Pusara Waktu Profile picture
Feb 25 81 tweets 12 min read
Lanjut Part 5 yaa, PWers ...

COKRO KOLO MUNYENG
(Part 5)

Mendengar penjelasanku, Kamim hanya mengangguk dengan pandangan mengarah ke bawah. Berbeda dengan Kamim yang sebelumnya, yang terlihat begitu congkak dan bangga atas apa yang dilakukannya.
Kali ini, Kamim lebih melunak, mungkin pertemuannya dengan sosok yang menyerupai anaknya, telah merubah isi hati yang sebelumnya telah mengeras.

Pada Satu hari, di tengah malam, pintu rumahku, diketuk.

"Wi .. Wi ..." Sebuah suara memanggilku dengan nada yang tidak terlalu keras
"Siapa?" Jawabku sambil mengulung kain sarung di area pinggangku.

"Aku, Wi ... Kamim ..." Jawabnya pelan.

"Masuk Mim." Jawabku setelah membukakan pintu.

Kamim segera masuk dengan napas yang terengah-engah, aku segera memberikan satu gelas air putih
dan dengan cepat, tangan Kamim meraih gelas itu dan dalam satu tegukan, gelas itu telah kosong. Setelah melihat Kamim mulai tenang, aku kemudian meminta Kamim untuk bersuci dan segera masuk ke dalam kamar.
"Mim, ini kamu baca sebanyak-banyaknya dan usahakan jangan sampai tidur … Tahan sebisa mungkin agar tetap terjaga malam ini ..." Pesanku sambil menyerahkan sebuah buku kecil yang berisi surah yasin terjemahan.

Aku segera duduk di ruang tengah,
dan tak berselang lama sebuah hawa yang kurang bersahabat, kurasa. Hawa yang datang dengan energi panas yang terasa begitumenyengat. Aku segera memejamkan mata, menyatukan hati dan pikiran, mulut beserta hatiku merapalkan ayat qursi.
Aku seakan masuk ke dalam sebuah dimensi alam lain, aku melihat sebuah kereta kencana berlari dengan seorang kusir yang berwujud seperti seorang laki-laki berkepala plontos dengan empat tanduk di kepalanya, lalu turun tepat di depan pintu.
Aku merentangkan tanganku saat kusir itu hendak berjalan masuk.

"Aku hanya diutus untuk mengambil persembahan, jangan halangi atau kamu sekalian akan aku bawa ..." Cetus makhluk bertanduk empat itu.
"Aku akan menghalangimu dan tidak akan kubiarkan mengambil temanku, biarkan anak manusia itu menebus kesalahan-kesalahan dan memperbaiki hidupnya ..." Jawabku.
"Manusia itu sudah dipersembahkan untuk jungjungan kami, jadi manusia itu hak bangsa kami, karena selama ini dia telah menikmati semua kekayaan yang telah diberikan oleh junjungan kami …" Ujar makhluk itu.
"Lebih baik kamu pulang dan katakan pada jungjunganmu, bahwa urusan mati itu haknya Gusti Allah yang menentukan!" Ucapku dengan nada yang tegas.
"Bedebah kurang ajar! Beraninya menghalangi tugasku, atau sebaiknya aku bawa saja sekalian denganmu ke alamku …" Cetus makhluk bertanduk itu, seraya mengangkat kedua tangannya ke atas.

Suara menggelegar disusul oleh kilatan kilatan petir terlihat menyambar
Aku yang pernah berhadapan dengan bergola ijo yang bersenjatakan cambuk hitam sebelumnya, merasakan hawa panas yang luar biasa, apalagi makhluk bertanduk empat ini yang menjadikan petir sebagai senjatanya, luar biasa mengerikannya.
Baru utusannya yang datang sudah seperti ini, apalagi jungjungannya, pikirku.

Pukulan Jibril segera kusiapkan ditambah dengan Sirr Yasin sebagai sebuah senjata untuk mengimbangi cambuk petir makhluk itu.
"Swiiiit ..Ctarr!"Swiiiit .. Ctar! Ctarr!!" Gelegar cambuk petir yang berupa kilatan cahaya menuju ke arahku.

Sebuah hawa panas menyebar, berbarengan dengan kilatan cambuk dan pedang Sirr yasin, berkibas menyambut lesatan dari cambuk petir ...
"Darrrrr ... Jegeeerrrr!!" Dua benturan kekuatan terjadi.

Langkahku tersurut beberapa langkah ke belakang, kekuatan makhluk ini bukan main-main. Saat aku terjajar ke belakang, lecutan kembali terdengar dan ujung cambuk kembali melesat ke arahku,
segera aku silangkan, pedang sirr yasin di dada. Kilatan cambuk petir membelit badan dari pedang siir yasin. Terjadi tarik menarik dan adu tenaga. Sambil menahan tarikan dari makhluk bertanduk empat itu, aku merapal doa al-zalzalalah,
lalu terdengar sebuah teriakan yang dibarengi oleh sebuah hentakan dari makhluk itu. Aku yang kalah tenaga, ikut tertarik ke depan, bagiku ini sebuah tekhnik, dimana aku membiarkan tubuhku tertarik, hingga jarakku yang semakin dekat dengannya.
Aku segera melepas pedang sirr yasin dan mahluk itu terbawa oleh tenaganya sendiri, hingga dia terjajar mundur beberapa langkah.

Aku yang berada pada posisi bebas, segera memukulkan tangan lurus ke arah tubuh makhluk bertanduk itu.
Pukulanku tepat mengenai tubuh makhluk bertanduk itu,"Aaaa..". Sebuah jeritan melengking yang disusul dengan tubuh makhluk itu yang melayang. Secepatnya aku meraih pedang Siir yasin, lalu menerjang memburu tubuh yang kini sedang melayang itu.
Sebuah jeritan kembali terdengar bersama muncratnya darah dari makhluk itu saat tangannya terbabat putus.

Sambil beringsut mundur, makhluk bertanduk itu mendekati kereta kencananya yang ditarik oleh empat ekor kuda berbulu hitam.
"Perbuatanmu adalah penghinaan bagi bangsa kami dan akan menumbuhkan demdam! Besok, kamu akan merasakan rasa sakit yang melibihi apa yang aku rasakan ini …
Aku akan menyiksamu, saat jungjunganku membawamu ke alamku nanti!" Ancam makhluk itu sebelum kereta kencana itu melesat dengan cepat membelah langit

Setelah pertarungan itu, aku langsung ambruk,tubuhku terasa sangat lelah sekali. Aku pun masuk ke dalam kamar tempat Kamim berada
"Mim ... Besok kita pergi dari sini ya … " Ajakku.

"Pergi kemana Wi? " Jawab Kamim dengan mimik muka yang terlihat heran.

"Mulai besok, agar kamu lebih aman, kamu tinggal di pondok dulu ya …" Jawabku sambil melipat kain sarung.

"Di pondok siapa Wi?”
"Di pondok Darrul Ulum, Mim. Mau?” Ujarku dengan menatap wajah Kamim.

"Memang kenapa Wi, kita harus pindah segala?" Tanya Kamim sambil penasaran.

"Jujur Mim, aku takut … Aku tak akan mampu untuk menjagamu.
Terus terang Mim, yang kini mengejarmu, penguasa kegelapan yang menjadi sesembahan dari Hamidah, aku tidak terlalu yakin bisa melawannya, tapi kalau di sana, ada pak Kyai yang ikut menjagamu.
Disini aku sendiri ragu, Mim ... Ini semua untuk kebaikan mu ..." Jawabku sambil menuang kopi dalam piring kecil.

"Kamu gak kuat Wi?" Tanya Kamim.

"Aku manusia biasa, bisa saja aku lengah, Mim … Di saat aku lengah, di saat itu aku tidak akan bisa menjagamu.
Yang kita hadapi ini makhluk astral yang tidak punya rasa lelah dan ngantuk, mereka bisa datang kapan saja, siang atau malam untuk membawamu. Aku sadar bahwa aku bukan apa-apa bagi mereka, minimal kalau di pondok, ada pak Kyai yang akan ikut untuk menjagamu ..." Jelasku
"Tapi pak Kyai, apa mau menolongku? Menyelamatkan nyawaku, Wi?” Tanya Kamim, ragu.

"InsyaAlloh, Mim .. Kyai Solehhudin pasti mau menolongmu. Aku kenal baik dengan beliau, beliau adalah teman dari kecilku, dulu kami sering main bersama " Jawabku seraya menyulut rokok kesukaanku.
"Wes, aku nurut saja sama kamu Wi …” Jawab Kamim sambil ikut menyalakan korek api dan membakar rokok.

"Eh, Wi ... Kamu sendiri gimana, apa gak akan menemani aku di sana??” Tanya Kamim.

"Aku akan menemanimu setiap malam. Aku akan ke pondok, Mim." Jawabku.
"Makasih ya, Wi ... Aku, selama ini sudah salah menilaimu. Ternyata kamu sampai sejauh ini, ingin menolongku, menyelamatkanku ..." Ujar Kamim dengan raut muka yang sedih dan terlihat kedua matanya, basah.
"Sudahlah Mim, Jangan dipikirkan, yang penting saat ini kita bisa keluar dari situasi berbahaya ini." Balasku.

Sore hari, aku telah sampai di pondok Darul Ullum. Setelah mengucapkan salam, pintu pun terbuka dan disusul dengan jawaban salam. Kyai Solehhudin membukakan pintu,
aku segera menyalami serta mencium tangannya, begitu juga dengan Kamim yang melakukan hal sama denganku. Setelah duduk dan berbincang-bincang, aku segera mengutarakan maksud dan tujuanku, serta mengenalkan Kamim, sahabatku kepada kyai Sholehhudin.
Kyai Solehhudin adalah teman waktu kecil dulu. Aku tidak pernah menyangka bisa bertemu dengannya di kota Batam. Dan kini, teman sepermainanku ini, telah mendirikan sebuah yayasan untuk kaum dhuafa, juga membuka pondok pesantren gratis bagi anak-anak tidak mampu, luar biasa.
"Wi, sudah kamu di sini saja, sayang ilmu yang kamu pelajari. Kan, kalau di sini, bisa mengajar ngaji anak-anak juga … " Ucap kyai Sholeh.

"Hehehe, iya Kang, nanti ya Kang ... Aku masih terikat dengan yayasan Darul Gufron, Kang … " Jawabku.
"Oh ... Kamu sekarang di sana ya? Yaudah gak apa-apa kalau di sana …” Tak lama kemudian, salah seorang santri datang dengan membawa nampan dan meletakan dua cangkir kopi dan satu gelas teh manis.
Kyai Sholeh sudah tahu kebiasaanku dan mempersilahkan aku untuk minum kopi dan menyulut roko. "Kopi tanpa rokok, ibarat sayur tanpa garam ya,Wi ... Hahaha …" Ujar kyai Sholeh tertawa.
"Hehehe ... iya, Kang." Jawabku, disusul dengan menuang kopi dalam piring kecil.

"Wah ... Kebiasaanmu, gak berubah ya Wi ..." Ujar kyai, sesaat setelah melihat aku menuang kopi.

"Hehehe, iya Kang." Jawabku.
Kamim yang sedari tadi diam saja, meminta ijin untuk pergi ke warung untuk membeli sesuatu, aku dan kyai pun mengangguk, mempersilahkannya.

" Wi ... Ada satu kamar kosong di belakang, suruh nanti Kamim tidur di sana saja." Pinta kyai Sholeh.
"Iya Kang … Terus gimana Kang, masalah keselamatan Kamim?" Tanyaku.

"Kita hanya berdoa dan memohon keselamatan pada Gusti Allah, Wi ... Kita itu mahluk yang tidak daya dan upaya, semua serahkan pada Gusti Allah saja …” Jawab kyai Sholeh.
“Wi, nanti kamu antar ke kamar belakang dan minta Kamim untuk banyak-banyak mendawamkan ayat qursi, sama sholawat. Insya Allah, aman ..." Sambung kyai Sholehhudin.
Setelah Kamim datang, dan setelah perbincangan selesai, aku mengajak Kamim untuk menuju ke kamar yang sebelumnya ditunjukan oleh kyai Sholeh. Setelah membersihkan dan merapikan isi kamarnya,
kemudian aku meminta Kamim untuk mendawamkan ayat qursi juga sholawat yang diajarkan kyai Sholeh. Aku pun meminta kepada Kamim untuk tetap berusaha terjaga malam ini.

Waktu berlalu dan tengah malam pun datang menghampiri.
Seperti biasa di saat-saat seperti ini, udara akan terasa sangat berbeda, hawa terasa begitu panas dan pengap dan aku pun memutuskan untuk segera keluar dari kamar ini.

Baru saja aku membuka pintu kamar, kini nampak kyai Sholeh tengah berdiri membelakangi pintu kamar,
kedua tangannya di simpan di belakang, jarinya memutar biji tasbih.

Mendengar suara pintu yang terbuka, kyai Sholeh pun menoleh ke arahku sambil tersenyum dan berkata, "Mereka sudah datang dari tadi, Wi ..." Ujar kyai Sholeh dengan sedikit tersenyum.
Aku baru merasakan kehadiran mereka, tapi kyai Soleh mengatakan bahwa mereka sudah datang dari tadi, hebat betul kawan kecilku ini.

Aku mengucap syukur, karena jika saja kami masih di rumahku, mungkin Kamim sudah dibawa oleh mereka.

"Kamu gak melihat mereka, Wi?"
"Belum, Kang. Cuman hawanya saja yang kini mulai terasa pengap dan panas ..." Jawabku

"Tirakatmu kurang lama, Wi ... Yang kamu hadapi ini sudah bukan utusan lagi, sudah jauh berbeda … Kalau di alam manusia, pangkatnya sudah ada di bahu, bukan di pangkal lengan lagi, Wi ..."
Setelah aku selesai bersuci, secepatnya aku keluar dari kamar mandi dan menghampiri kyai Sholeh.

"Jangan tidur Wi, jaga temanmu itu …" Ujar kyai Sholeh, sambil mekangkahkan kaki meninggalkan aku.

Aku paham maksud dari kyai Sholeh dan dengan segera, aku pun memasuki kamar.
Setelah bersiap-siap, aku pun memejamkan mata, menyatukan hati dan pikiran, fokus. Hatiku menyebut asma Gusti Allah, mulutku mengucap sholawat dalam keagungan sang pemimpin umat. Memohon perlindungan Gusti Alloh.

Aku merasakan, sesuatu menarik diriku ini memasuki dimensi lain,
dimensi alam astral, alam lelembut. Sebuah sosok telah menungguku di alam ini, sosok buto ijo yang membawa gada yang ditemani sebuah sosok lain yang memegang kendali kuda kencana, dengan wajah yang tidak kalah menyeramkan.
Dengan satu gerakan, dia meloncat dan berdiri di samping buto ijo, mereka pun tertawa terbahak-bahak, saat melihat kedatanganku. Mereka dengan kekeh tetap meminta padaku untuk menyerahkan Kamim dan jangan ikut campur dengan urusan mereka.
Melihat sosok mereka berdua, aku mencoba untuk bersikap tenang dan mencoba mengingatkan mereka untuk kembali membatalkan niat mereka dan kembali ke alamnya.

"Lebih baik kalian pulang dan minta pada pemujamu (Hamidah) untuk jadi gantinya …" Ucapku.
"Hamidah itu urusanku, bukan urusanmu!" Jawab buto ijo.

"Kalau kamu tetap bersikeras untuk mau membawa Kamim, maka ini menjadi urusanku sekarang!" Ucapku menantang mereka sambil merapal Sirr yasin dan doa Jibril.
"Bagus, kalau begitu biar aku bisa menikmati segarnya darah manusia ..." Jawab makhluk satu lagi yang bertubuh agak pendek dengan memegang sebuah pedang yang cukup besar dan berkiilauan.
"Swiiiittt …" Desingan angin dari pedang besar yang dikibaskan oleh makhluk itu menyambar ke arah leherku dan disusul ayunan gada yang datang dari samping, menderu, siap menghancurkan tulang igaku.
Aku menarik beberapa langkah untuk mundur. Gada itu melewati depan dadaku, pedang Sirr yasin dalam posisi menangkis serangan pedang besar itu.

"Trang!!" Dua benda tajam beradu.

Aku merasakann getaran yang sangat kuat.
Gada yang luput kini kembali berbalik arah. Disaat aku menahan tekanan pedang besar itu, posisiku benar-benar dalam keadaan yang sulit. Sebelum gada itu menyentuh kulitku, satu auman dahsyat terdengar, seiring melesatnya sebuah sosok dengan tubuh belang, hitam
Wangsadireja menerkam sosok buto ijo itu. Kali ini, aku melihat sosok Wangsadireja sama besarnya dengan sosok buto ijo. Mulut Wangsadireja mencengkram tangan buto ijo, kukunya yang tajam mencakar wajahnya,
sedangkan tangan kiri buto ijo itu mencengkram leher belakang dan berusaha untuk membantingkan tubuh dari Wangsadireja.

Sosok berpedang besar yang berwajah seperti buto cakil, mendorongkan pedangnya, kemudian disusul sebuah tendangan ke arah perut.
Aku menarik pedang Sirr yasin ke arah samping untuk keluar dari tekanan dari pedang besar itu. Melihat hal itu, aku segera memukulkan pukulan Jibril ke arah buto cakil. Sebuah hawa panas menderu mengarah tubuh buto cakil,
tapi dengan cekatan buto cakil berhasil menghindar, sambil memukul balik. Ternyata buto cakil, lebih berpengalaman dalam sebuah pertarungan seperti ini.

Melihat pukulan buto cakil, aku menarik napas dan menahannya di dalam rongga dada,
lalu secara bersamaan, kuhentakan bersama guncangan doa al-zalzalah. Sebuah benturan terjadi, "Blarrr!!" Aku dan buto cakil sama-sama terjajar beberapa langkah ke belakang.

Di sisi lain, Wangsadireja sedang terlibat pergumulan yang cukup sengit dengan buto ijo.
Buto ijo dan Wangsadireja, sama-sama memiliki taring dan cakar, auman-auman Wangsadireja menggelegar, dan dibalas oleh suara buto ijo yang menggeram, "Grrrrrrrhhh …" Buto cakil menancapkan pedangnya,
disusul tangannya yang diangkat ke atas dengan mulut yang komat-kamit. Terlihat kedua lengannya kini mengeluarkan api yang membara.

Aku yang pernah merasakan beberapa pertarungan sebelumnya, tidak ingin menganggap enteng buto cakil dengan kedua tangannya yang membara itu,
dengan doa al-zalzalah dan doa Jibril yang sudah kusiapkan, untuk menghadapi pukulan dari buto cakil. Ternyata buto cakil kemudian menghantamkan kedua tangannya ke atas tanah. Ini jelas diluar dugaanku, aku kalah cepat, tanah yang kupijak kini bergetar dengan hebat,
bersamaan dengan datangnya hawa panas yang begitu menyengat.

Aku merasakan seluruh tubuhku seakan terbakar hebat. Aku berteriak sekuat mungkin dengan menyebut Asma Alloh, sambil memukulkan kedua telapak tanganku ke atas tanah.
Tanah yang kupijak semakin bergoncang, membuat aku dan juga buto cakil, sama-sama terpelanting jatuh tertelungkup.

Aku tak mampu untuk bangun kembali, seluruh tubuhku terasa panas seakan terbakar, dadaku sesak dan sakit berdenyut.
Sudut mataku masih sempat melihat buto cakil yang kini sudah berdiri sambil tertawa terbahak-bahak.

"Modar! Modarrr kowe!!" Seru buto cakil bergema.
Suara langkahnya mendekat ke arahku yang masih tengah tertelungkup dan sayup-sayup kudengar sebuah suara ditelingaku.

"Hudang maneh … Karek sakitu geus ngagoler …"
“(Bangun kamu … Baru segitu saja sudah terbaring …)” Sebuah suara yang terdengar cukup akrab ditelingaku.
Ya, itu adalah suara dari teman kecilku, yang juga sudah kuanggap sebagai kakak kandungku. Aku mendengar suara itu, seiring dengan kibasan dari sebuah sorban yang berwarna putih, yang menimbulkan deru angin.

Sontak buto cakil menghentikan langkahnya,
seraya mendorongkan ke dua telapak tangannya untuk menghalau kibasan dari sorban kyai Sholeh. Buto cakil terlempar ke belakang, sementara kyai Sholeh hanya terjajar tiga langkah akibat dari benturan energi dua tenaga dalam itu.
Kyai Soleh segera mengangkat kedua tangannya, dan dengan mulut yang komat-kamit, sebuah teriakan Asma Alloh yang disertai sebuah hentakan kaki, sebuah asap putih kemudian menggumpal keluar dari tanah yang diinjaknya, melesat dan bergulung membungkus tubuh dari buto cakil.
Semakin lama, tubuh buto cakil semakin mengecil dan kemudian menghilang menjadi satu dengan asap putih yang membungkusnya, buto cakilun lenyap begitu saja bersamaan dengan lenyapnya asap putih itu.
"Hudang, Wi ..."
“(Bangun, Wi …)” Ucap kyai Sholeh sambil mengibaskan sorbannya ke arah tubuhku.

Setelah membangunkanku, kyai Sholeh kemudian melangkah mendekati dua sosok yang tengah bergumul, sengit.

"Wangsadireja, kesini!" perintah kyai soleh
"Balik maneh! Nu kieu mah urusan kuring …"
“(Pulang kamu! Yang seperti ini, urusanku …)” Ujar kyai Soleh sambil mengangkat tangannya untuk melakukan hal yang sama saat berhadapan dengan buto ijo.
Buto ijo yang melihat buto Cakil lenyap digulung asap putih, segera menaiki kuda kencana, lalu melesat ke arah langit sambil berkata, “Bukan aku lawanmu, Hyai ...”

Pertarungan itu pun selesai, aku pun tersedar dengan keadaan yang lemah.
Beberapa hari kemudian, aku duduk bersama dengan kyai Sholeh di ruang tengah.

"Wi ... Saat kamu berhadapan dengan makhluk astral yang berasal dari gunung, lautan dan hutan belantara, kamu harus ingat,
bahwa kemampuan mereka itu berkali-kali lipat daripada sosok astral yang hidup berdampingan dengan manusia. Itu sebabnya, sebangsa jin yang hidup di hutan, gunung dan lautan sulit untuk ditaklukkan.
Sosok-sosok seperti inilah yang kemudian sering digunakan oleh pemilik ilmu hitam, karena kekuatannya yang luar biasa. Maka dari itu, banyak pemilik ilmu hitam bertapa di gunung, di dalam gua atau di hutan belantara, juga di lautan ..." Jelas kyai Sholeh.
"Kalau sama Akang, mereka kok bisa kalah, kang?” Tanyaku penasaran.

Bersambung ...

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Pusara Waktu

Pusara Waktu Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @pusara_waktu

Feb 27
Lanjut Part terakhir di Season 1 yaa PWers ...

Cokro Kolo Munyeng
(Part 7 - Season 1 - END)

Aku terus terdiam sesaat setelah Hamidah mengutarakan keinginannya, bagiku menikahi Hamidah sama dengan mempertaruhkan nyawaku ini. Aku tidak yakin bisa menahan diriku selama 40 hari,
jika aku benar-benar harus menikahi Hamidah, selain karena kecantikan dan pesona Hamidah sendiri, Hamidah itu sangatlah agresif, aku bisa celaka jika tidak bisa menahan diriku atas godaannya, bisa-bisa aku yang akan menjadi korban selanjutnya.
Read 96 tweets
Feb 26
Lanjut Part 6 yaa Pwers, malam ini gak akan terlalu banyak tweet soalnya lagi ada kerjaan.

Selamat membaca !

Cokro Kolo Munyeng
(Part 6)

"Kalau sama Akang, mereka kok bisa kalah, kang?” Tanyaku penasaran.
"Ngajimu kurang jero (dalam) ... Kopimu aja yang kental, ilmumu masih encer. Hahaaha, aku bukan mengejekmu ya Wi, tapi sedang membangkitkan semangat dalam dirimu agar terus mau untuk menggali ilmu,
Read 100 tweets
Feb 24
Sebelum lanjut, pastikan kalian udah baca sampai terakhir cerita di Part 3 yaaa... Selamat membaca !

COKRO KOLO MUNYENG
(Part 4)

"Semua terserah kamu, Mim. Kamu yang menjalaninya, aku hanya mengingatkan … " Ucapku.
"Terima kasih kamu sudah mengingatkan, tapi mohon maaf, aku akan menikmati uang ini. Biarkan aku menerima taqdirku sendiri dan kalau memang aku harus jadi tumbal dari Hamidah, mungkin itulah jalanku … Mungkin aku bisa bertemu kembali dengan anakku …" Jawab Kamim.
Read 99 tweets
Feb 23
COKRO KOLO MUNYENG
(Part 3)

Aku hanya membalas singkat seperlunya pesan itu, dan bergegas pulang karena tidak tahan dengan hawa dari rumah megah itu.

Tepat 44 hari kemudian, Acun datang untuk menjemputku, dia kemudian mengajakku untuk kembali mengunjungi rumah Hamidah,
dan sesampainya di sana, aku melihat Hamidah sedang menangis. Tak jauh dari tempat Hamidah, di tengah rumah, sebuah jasad sudah terbujur kaku.

Aku segera duduk dan membuka kain menutup jasad tersebut, "Astagfirullah …" Ucapku kaget.
Read 100 tweets
Feb 22
COKRO KULO MUNYENG
(Part 2)

Janur kuning melengkung menghiasi halaman, di tengah rumah sepasang pengantin sedang terduduk di depan seorang penghulu dalam prosesi ijab qobul. Selepas ijab qobul, raut wajah sang pengantin terlihat begitu berbahagia, Hamidah dan Rusman.
Hari itu, Hamidah dan Rusman sudah resmi menjadi pasangan suami istri.

Kehidupan pasangan pengantin baru, penuh kebahagian, dalam cinta dan kasih sayang.
Read 25 tweets
Feb 22
Hi Pwers, kali ini saya mau berbagi kembali kisah dari serangkaian perjalanan kisah Narasumber kita, Mas Wijaya. Masih di bumbui adegan diluar nalar yang bisa kalian percaya atau enggak. Buat saya seru sih dan yang pasti kita ambil pelajaran nya aja ya :)

Selamat membaca !
COKRO KULO MUNYENG
Ns : Mas Wijaya

Malam itu, seperti biasa sehabis isya, aku duduk di sebuah warung kopi yang terletak tidak jauh dari masjid. Dari kursi yang menghadap ke arah jalan tempat aku duduk, kulihat salah seorang kawanku yang juga sering mengopi di warung ini datang
Read 25 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(