Pusara Waktu Profile picture
Feb 26 100 tweets 15 min read
Lanjut Part 6 yaa Pwers, malam ini gak akan terlalu banyak tweet soalnya lagi ada kerjaan.

Selamat membaca !

Cokro Kolo Munyeng
(Part 6)

"Kalau sama Akang, mereka kok bisa kalah, kang?” Tanyaku penasaran.
"Ngajimu kurang jero (dalam) ... Kopimu aja yang kental, ilmumu masih encer. Hahaaha, aku bukan mengejekmu ya Wi, tapi sedang membangkitkan semangat dalam dirimu agar terus mau untuk menggali ilmu,
karena pada kehidupan yang sesungguhnya ,ilmu itu dipergunakan, contohnya kayak sekarang ini, Wi …" Jelas kyai Sholeh.

Aku yang memang dari kecil tidak pernah membantah kakakku ini, hanya diam sambil menggangukan kepala, tanda mengiyakan semua perkataannya.
Dua bulan sudah berlalu, semenjak Kamim tinggal di pondok kyai Sholeh. Sedikit demi sedikit Kamim sudah mulai berubah, kini hidupnya lebih dekat dengan Gusti Allah. Hidupnya jauh lebih baik dari sebelumnya,
melihat itu semua, tentu aku merasa sangat bahagia melihat perubahan dalam diri Kamim, sahabatku yang nyaris saja menjadi tumbal pesugihan.

Inilah momen dimana saat manusia itu diuji. Manusia itu diuji dengan kadar keimanannya masing-masing.
Kegagalan Hamidah untuk menjadikan Kamim sebagai tumbal, tetntu membuat Hamidah marah besar. Hamidah mencari tahu keberadaan Kamim kemana-mana, bahkan beberapa kali Hamidah menelponku untuk menanyakan keberadaan Kamim,
tapi jawabanku selalu sama, bahwa aku tidak tahu menahu dimana Kamim berada dan mepersilahkan dirinya untuk mencari tahu sendiri.

Hamidah mengatakan bahwa sebelum pergi dari rumahnya, Kamim sempat mengambil uang yang lumayan banyak,
tapi setelah Kamim menunjukan kepadaku dan didepan kyai Soleh, uang itu telah berubah menjadi tumpukan daun kering.

Sosok perempuan tua yang menjadi pembantu di rumah Hamidah, yang biasa aku panggil mbok Nah atau mbok Min,
siang itu selepas sholat dzuhur sengaja mencari aku di salah satu mesjid, dia diantar oleh Acun.

Akhirnya setelah berhasil menemuiku, aku kemudian diajak mereka untuk mengobrol di salah satu warung makan.
Menurut penuturan dari mbok Min yang sudah lama ikut dengan keluarga Hamidah, sejak masih jamannya kedua orang tua Hamidah, bahwa Hamidah hanyalah korban dari pesugihan orang tuanya yang mengikat perjanjian dengan Makhluk ghoib,
sehingga pesugihan itu menjadi turun-temurun seperti sekarang ini.

Hamidah sendiri sebetulnya tidak pernah tahu dengan perjanjian ghaib itu dan sekali lagi mbok Min menekankan, bahwa Hamidah hanyalah korban dari perjanjian ghaib
telah dilakukan oleh kedua orangtuanya di masa lalu, yang kini mengakibatkan setiap suami dari Hamidah meninggal.

Sebetulnya suami-suami Hamidah yang meninggal itu, bukan sebagai tumbal untuk kekayaan yang dimiliki Hamidah sekarang,
karena tumbal yang diminta untuk kekayaan Hamidah yang sebenarnya hanya memerlukan satu nyawa dalam satu tahun. Sedangkan kematian dari suami-suami Hamidah itu adalah sesuatu hal yang berbeda,
mereka adalah tumbal yang diminta dari “Nyai Dayang Wungu”, sebagai sosok yang kini bersemayam dalam raga Hamidah.

"Oh begitu, aku aru paham sekarang … Jadi, siapa sebenernya sosok Nyai Kantil Semayang, Mbok?" Tanyaku penasaran setelah mendengarkan penjelasan dari mbok Min.
"Dia adalah sosok yang ditanam oleh salah satu orang pintar untuk menjaga Hamidah …” Jawab mbok Min.

"Hmm … Lalu, maksud dari mbok Min sekarang mencari aku, kenapa? Apa hubungannya denganku?" Tanyaku.
"Maksudku datang ke sini adalah untuk memintamu menyelamatkan Hamidah. Percayalah, bahwa semua ini bertolak belakang dengan hati nurani Hamidah sendiri. Aku tahu betul watak dari anak itu dari kecil, Mas Wi ...
Aku sudah berkeliling-keliling kesana-kemari untuk mencari orang yang bisa menyelamatkan Hamidah, tapi semuanya gagal dan berakhir tanpa hasil …" Jawab mbok Min dengan raut wajah yang begitu terlihat sedih.
"Apa alasan Mbok Min datang dan meminta pertolonganku?" Aku kembali bertanya, memastikan.

"Selama ini, aku melakukan melek malam (tirakatan). Dan aku bermimpi melihat kamu yang datang, dibarengi seekor harimau belang berwarna putih dan hitam.
Kalau kamu masih ingat, aku pernah berkata bahwa auman penjagamu mengusik tidurku, kamu ingat itu, kan Mas Wi?" Ucap Mbok min.

Mendengar alasan dari mbok Min, aku hanya terdiam dan mengangguk.

"Baiklah Mbok, saya paham …
Tapi gimana caraku untuk bisa menolong Hamidah?" Aku kembali bertanya sambil menatap wajah orang tua depanku itu.

"Aku yakin, kamu bisa menemukan jalan sendiri untuk menolong Hamidah …" Jawab mbok Min dengan penuh keyakinan padaku.
Aku semakin bingung mendengar jawaban dari mbok Min. Bagaimana caranya aku bisa menyelamatkan Hamidah, sedangkan pertarungan terakhirku saja aku kewalahan, bahkan jika tanpa bantuan dari kyai Sholeh, entah bagaimana nasibku dan Kamim sekarang ini.
"Tolong Mas Wi, kasihan anak itu ... Dia nggak tahu apa-apa. Dia hanya jadi korban dari orangtuanya. Seluruh perbuatannya dilakukan diluar kesadarannya …" Pinta mbok Min dengan nada sedih seiring airmatanya yang jatuh menetes di kedua pipinya.
"Iya Wi … Aku mohon, semoga kamu mau untuk menolong Hamidah. Dia perlu bantuanmu untuk bisa keluar dari pesugihan ini…" Kembali mbok Min memintaku dengan sangat.

Saat aku akan menolak permintaan tolong dari mbok Min, wajah almarhum dari mbah Yai Ambari tiba-tiba saja terlintas
"Le, mudahkanlah urusan orang yang datang meminta bantuan kepadamu.."

Deg ... Jantungku seakan berhenti berdetak, ketika mendengar kembali perkataan dari mbah Yai yang mengingatkanku. Setelah itu aku pun langsung menunduk dan cukup lama tidak menjawab permintaan dari mbok Min.
Akhirnya dengan helaan napas yang panjang, seraya meyakinkan diriku sendiri, aku menyanggupi permintaan dari mbok Min untuk membantu Hamidah keluar dari lingkaran setan ini, meski aku sadar, bahwa ini sama saja dengan mempertaruhkan nyawaku sendiri,
tapi aku yakin bahwa Tuhan mengirimkan mbok Min kepadaku, tentu sepaket dengan jalan keluarnya nanti, meski pada saat aku masih bingung harus memulai dari mana.

Berbekal sepeda motor tua, aku pun melaju membelah jalanan menuju perumahan Elite dimana Hamidah tinggal.
Setelah sampai di pintu gerbang rumahnya, aku kemudian menekan bel di samping gerbang dan dengan sendirinya pintu gerbang itu bergeser memberikan jalan untuk masuk.

Aku melihat mobil Acun sudah terpakir di halaman depan rumahnya.
Pada saat itu aku juga melihat mang Atun sedang duduk di sebuah gazebo yang terletak di tepi taman, sdang bersama dengan Acun. Dan ketika mereka melihat kedatanganku, mang Atun segera berdiri dan menghampiriku, disusul oleh Acun di belakangnya.
"Wi, kamu sudah ditunggu tuh ..." Ucap mang Atun sambil menunjuk ke arah ruang tamu.

Di ruang tamu terlihat Hamidah sudah berdiri menungguku, dia tersenyum kepadaku dengan balutan daster bermotif bunga. Di sana juga sudah ada mbok Min yang berdiri di sampingnya.
Aku dibarengi mang Atun dan Acun kemudian menghampiri Hamidah, dia mempersilahkanku untuk segera masuk dan duduk di ruangan tengah. Melihat kedatanganku, mbok Min tersenyum sambil menganggukan kepala dan kemudian berjalan ke arah belakang menuju dapur,
setelah itu mbok Min kembali lagi dengan membawa minuman dan toples makanan. Mbok Min pun kemudian duduk di samping Hamidah, sesuai permintaan Hamidah.
"Wi, si Mbok sangat berterima kasih karena kamu sudah mau datang lagi ke sini untuk memenuhi undangan …" Ucap mbok Min sambil menujukan ibu jarinya ke arah Hamidah.

Aku hanya mengganguk dan tersenyum, sambil menuangkan kopi di piring kecil.
"Gimana Mas, bisa membantu dan menolong saya?" Tanya Hamidah tanpa basa basi lagi.

"InsyaAllah … Hanya saja ada beberapa hal yang harus saya sampaikan, untuk memutus perjanjian ghaib ini … " Jawabku sambil menatap wajah Hamidah.

"Apa itu, Mas Wi?" Balas Hamidah penasaran.
"Memutus perjanjian ghaib tentunya pasti ada akibatnya, salah satunya kamu harus siap kehilangan kekayaan yang saat ini kamu miliki. Gimana Mbak Hamidah, siap?" Jelasku sambil dengan serius menatap Hamidah.

Hamidah terdiam sesaat seakan tengah berpikir...
tak lama kemudian dengan dibarengi sebuah helaan napas yang panjang, dia pun berkata, "Saya siap, Mas ..." Jawab Hamidah dengan mantap.

"Baik kalau begitu … Yang pertama kamu harus sedekahkan hartamu untuk panti asuhan dan kaum dhuafa,
seratus lima puluh orang setiap hari jumat dan cari keluarga dari orang-orang yang telah menjadi tumbal kekayaanmu dan santuni mereka. Mintalah maaf kepada mereka ... Gimana, Mbak Hamidah sanggup memenuhi syaratku ini?" Tanyaku.
"Maaf Mas, tapi sejujurnya aku hanya tahu beberapa orang saja keluarga yang pernah menjadi tumbalku, selebihnya aku juga tidak tahu, siapa dan dimana keluarga korban-korban tumbalku ini …" Jawab Hamidah kebingungan.
"Untuk selebihnya yang tidak tahu, kita adakan doa arwah sampai hari ketujuh, nanti disambung hari 40 dan hari yang ke 100. Bagikan semua nasi kepada kaum dhuafa selama acara doa arwah. Ini tahap pembersihan semua harta ibu,
yang lainnya, buang atau larung semua benda-benda keramat yang ada di rumah ini, termasuk arca semar itu …" Jelasku sambil menunjuk arca semar yang terlihat marah saat jariku menunjuk ke arahnya.

"Iya Mas, aku terserah sampean aja." Jawab Hamidah dengan kepala yang terangguk.
Setelah Hamidah menyetujui semua syaratku, aku pun kemudian meminta Acun dan mang Atun untuk memasukan semua benda-benda mistis ke dalam karung.
"Ini aman, Wi?" Tanya mang Atun ragu, sambil menatap ke arahku.

"InsyaAllah aman, Mang Atun ..." Jawabku.
Semua benda-benda mistis selesai dimasukkan ke dalam karung. Beberapa lukisan pun sudah diturunkan dan dilepas dari bingkainya, kemudian lukisan itu pun digulung dan ikut dimasukkan ke dalam karung.
Hal ini aku lakukan untuk sebisa mungkin agar bisa mengurangi energi negatif yang ada di dalam rumah Hamidah ini.Dengan susah payah, kami pun menggeser sedikit demi sedikit
akhirnya sepasang arca yang berdiri di dua sisi tangga yang menuju lantai dua, kini berada di halaman rumah. Dengan menyebut nama Tuhan, mang Atun pun memukulkan martil besar ke arah tubuh arca itu, "Dess …"
Martil besar itu seperti memukul ban mobil. Martil itu memantul lalu menghantam kening mang Atun, untungnya mang Atun sempat menghindar dan hanya terserempet bagian pingir martil itu. Mang Atun langsung melepas martil itu dan menutupi mukanya.
Mang Atun mengaduh kesakitan dalam posisi terduduk di lantai. Melihat hal itu, Acun pun langsung berlari menghampiri aku yang tengah mengikat karung-karung berisi barang-barang mistis itu.

"Wi!! Itu ... Mang Atun, Wi ..." Ucap Acun dengan nada panik.
Aku langsung berlari menghampiri mang Atun yang tengah terduduk sambil menutupi wajahnya, terlihat ada darah yang menetes keluar dari kening mang Atun.

"Tun ... Mang Atun ... Kamu gak apa-apa?" Ucapku panik sambil mengoyang-goyangkan tubuh mang Atun.
Mang Atun hanya terdiam tidak menjawab ucapanku. Segera kutarik tangan mang Atun yang sedang menutupi wajahnya itu,tapi mang Atun tetap diam tanpa ekspresi. Aku segera membasuh luka di kening Atun dan memberinya obat luka, tapi tetap, mang Atun tetap diam tak bergeming sedikitpun
"Sudah gak beres nih anak …" Gumamku dalam hati.

Baru saja selesai aku mengucapkan hal itu dalam hati, tiba-tiba mang Atun berbicara dalam logat sunda sambil menunjuk-nunjuk ke arahku.
"Kurang ajar maneh … Wanian pisan nganggu imah aing!!"
“(Kurang ajar kamu … Berani sekali menggangu rumahku!!)” Seru mang Atun dengan nada yang marah disertai dengan mata yang melotot, merah.

"Ieu saha? Timana?!”
“(Ini siapa? Darimana?!)” Tanyaku mencoba untuk tetap tenang.
“(Aku yang menghuni pesisir laut selatan!)” Jawab mang Atun dengan matanya yang memerah tetap melotot ke arahku.

"Ooo begitu ... Yaa sudah, kamu pulang sana!" Seruku.
"Kamu sudah menggangu rumahku! Sekarang kamu menyuruh aku pulang … Emangnya siapa kamu, hah?!” Ucap makhluk yang kini sedang merasuk ke dalam tubuh mang Atun.
Aku tidak ingin berlama-lama berbincang dengan makhluk ini, segera kubacakan ayat Qursi dan doa Nurbuat, lalu mengusapkan tanganku ke wajah mang Atun. Tubuh mang Atun pun seketika melemas dan dia kembali sadar.
Mang Atun masih kebingungan dengan apa yang terjadi pada dirinya, dia masih merasa linglung dengan disertai darah yang kembali menetes dari keningnya.

Aku harus berusaha mengusir makhluk ini, agar bisa menghancurkan kedua patung arca itu.
Jangan sampai energi negatifnya masuk ke dalam raga orang-orang yang berada di sekitar rumah megah milik Hamidah. Aku segera mengambil sebuah martil besar, lalu memejamkan mata dan membaca Sirr yasin, lalu meniupkan energi Sirr yasin ke arah kepala martil.
Dengan mengucap Asma Allah, aku memukulkan martil itu ke arah patung arca, "Brukkk!!" Kepala martil besar menghantam patung arca dan kali ini, pukulan martilku berhasil mengenainya, tidak kembali memantul, dan patung arca itu pun mulai retak.
"Awas kamu!!" Sebuah suara terdengar setengah berbisik di telingaku.

Setelah berhasil membuat retak patung arca itu, aku meneruskan pukulan martilku sampai membuat patung itu benar-benar hancur,
dan setelah patung itu hancur, kami pun kemudian bergegas memasukkan benda-benda yang sudah dimasukkan ke dalam karung, dan mengangkutnya ke dalam mobil.

Aku dan mang Atun kemudian duduk di belakang, seddangkan Acun duduk di depan bersama Hamidah.
Mobil pun melaju, merayapi aspal hitam jalanan menuju sebuah jembatan dengan maksud untuk melarung semua benda-benda mistis itu.

Sesampainya di sebuah jembatan 4 balerang, aku kemudian meminta Hamidah untuk melemparkan semua benda mistis itu dari atas jembatan.
Aku pun meminta kepada Hamidah untuk membaca beberapa surah sebelum dia melarung semua benda-benda mistis miliknya itu, sebagai awal dari kehidupan barunya, sebagai syarat untuk membenahi dan melepaskan dirinya dari lingkaran setan yang sudah lama membelenggunya ini.
Setelah kami selesai melarung semua benda mistis milik Hamidah itu, aku pun memutuskan kembali pulang bersama mang Atun, setelah sebelumnya aku meminta kepada Hamidah untuk mendawamkan ayat Qursi sebanyak-banyaknya dan pada malam harinya, aku kembali ke rumah Hamidah.
Aku dan mang Atun, tidur di salah satu kamar di lantai dua. Suasana begitu mencekam, dingin begitu menusuk tulang, hembusan angin terasa lain.

Semua penghuni ghaib di rumah ini murka kepadaku, karena aku telah melarung semua benda mistis di rumah Hamidah ini.
Aku pun meminta kepada mang Atun untuk menyiramkan air yang sudah kudoakan terlebih dahulu di empat sudut kamar. Aku juga meminta mang Atun untuk terus berdzikir, memohon pertolongan kepada Gusti Allah, hingga akhirnya mang Atun pun tertidur.
Asap tipis perlahan-lahan memasuki kamar, lalu semakin meneebal dan menggumpal, yang akhirnya asap itu pun mewujud menjadi sebuah sosok yang menyeramkan. Sebuah makhluk muncul dari gundukan asap itu, telinganya lancip dengan dua mata yang bulat dan besar, menatap ke arahku
Makhluk itu terlihat marah, dan dengan logat sunda, makhluk itu kemudian memintaku untuk memindahkannya ke sebuah tempat yang tidak jauh dari rumah megah Hamidah itu.

"Pindahkan aku ke sana!" Ucap makhluk itu sambil menunjuk ke arah timur
"Kemana?" Tanyaku meperjelas maksudnya.

"Ke pohon besar di pinggir jalan … Dan kamu harus menggendong aku!" Perintah makhluk itu.

Aku tidak langsung menggubris permintaan makhluk itu, aku terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Kenapa harus digendong? "Tanyaku.
"Karena kamu sudah merusak rumahku …!" Balas makhluk itu dibarengi dengan sebuah geraman.

"Aku tidak akan menggendongmu ... Kalau kamu mau pindah, ya pindah saja sendiri …" Jawabku dengan tidak menggubris permintaannya.
Aku tahu, dengan menolak keinginannya, makhluk itu akan marah,tapi aku juga tidak mau diperbudak oleh makhluk itu dengan memenuhi keinginannya. Semua sudah ku pikirkan dan aku pun sudah menyiapkan sebuah doa untuk memukul makhluk itu,berjaga-jaga jikalau dia tiba-tiba menyerangku
Benar saja dugaanku, makhluk itu betul-betul murka. Matanya yang melotot kemudian menjadi merah. Satu tangannya melayangkan sebuah tamparan ke arah wajahku, tangan kiriku menangkis tamparan itu, disusul dengan tangan kananku yang memukul ke arah tubuh makhluk itu.
"Deugg …!" Pukulanku dihalau oleh tangan kiri makhluk itu.

Adu kekuatan tenaga dalam pun terjadi. Aku menahan napas dan menahannya dirongga dada, dibarengi dengan sebuah hentakan, aku pun mendorong makhluk itu.
"Pantas kamu berani menghancurkan rumahku, juga menolak keinginanku. Ada juga isinya ... Hahahaha ... Aku senang bisa bertempur dengan orang macam kamu. Sudah lama aku tidak merasakan segarnya darah manusia!" Ucap makhluk itu dengan sombong.
Aku segera memejamkan mata, menyatukan hati dan pikiran, larut dalam doa-doa. Pukulan Jibril dan hentakan al-zallzalah sudah kupersiapkan untuk menghadapi serangan makhluk itu.

Makhluk itu memutar kedua tangannya di depan dada,
dan secepatnya menghentakan kedua tangannya ke arah depan. Aku segera memukulkan kedua tanganku dan benturan pun terjadi, disusul dengan guncangan yang maha dahsyat, membuat makhluk itu terlempar dan kembali menjadi asap,
lalu menghilang. Baru saja aku meghela napas dan mengucap syukur, sebuah tawa kini terdengar dari arah balkon.

"Hehehe ... Hehehe ... Ini baru awal saja, wahai anak manusia ... Hehehe … " Sebuah suara yang terkesan mengejek terdengar terkekeh-kekeh.
Aku segera keluar dari kamar dan berjalan ke arah balkon. Di sana, Nyai Kantil Semayang tengah duduk di tembok balkon dengan memakai kain jarik dan kebaya yang berwarna putih.

"Apa maksud Nenek?" Tanyaku.
"Kamu akan berhadapan dengan penguasa kegelepan dari kerajaan buto ijo yang jadi sesembahannya Hamidah selama ini ... Mereka bangsa jin tingkat tinggi. Bisa saja kamu jadi korban dan binasa ... Hehehe" Ujar Nyai Kantil Semayang dengan masih terkekeh-kekeh.
"Hmm … Untuk apa Nenek ada disini?" Tanyaku kembali.

"Aku ditanam oleh seseorang untuk menjaga Hamidah, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, karena di dalam tubuh Hamidah ada sosok lain yang bersemayam. Sebuah sosok yang begitu mengerikan,
dan kini aku ingin meminta tolong kepadamu …” Ucap Nyai Kantil Semayang.

"Minta tolong apa, Nek?" Tanyaku penasaran.

"Aku terjebak di sini dan tidak bisa keluar lagi … Tolong bebaskan aku ..." Jawab Nyai Kantil Semayang.
Nyai Kantil Semayang pun kemudian menunjukan sebuah tempat, dimana terdapat sebuah media sebagai alat untuk menanam dirinya itu.

"Aku berjanji, aku akan ikut denganmu bila aku bisa terbebas dari sini … Tolong aku, manusia ..." Pintanya dengan nada yang memelas.
"Kalau Nenek mau ikut denganku, Nenek harus ikut dengan keyakinanku ... Gimana?” Jawabku mengajukan syarat.

"Aku akan ikut semua kata-kata mu, tapi bebaskan aku lebih dulu ... Aku sudah tidak tahan …” Ujar Nyai Kantil Semayang.
Nyai Kantil Semayang pun menunjukan sebuah tempat, dimana sebuah media ditanam. Aku segera pergi meuju tempat yang ditunjukkan oleh Nyai Kantil Semayang, sebuah tempat di bawah Gazebo dan menggali tanah yang sudah ditandainya.
Setelah cukup dalam aku menggali, aku pun menemukan sebuah kendi atau tempat air dari tanah. Kendi itu didalamnya banyak sekali terdapat rajah, juga diikat dengan benang hitam. Dengan menyebut Asma Allah, aku pun mulai membuka ikatan benang hitam itu dan memecahkan kendi tersebut
" Wusshhh ~ " Sebuah energi terasa keluar saat kendi itu terpecah.

"Aku kini sudah terbebas … Terima kasih banyak, wahai manusia …" Ucap Nyai Kantil Semayang.

"Nenek sekarang sudah bebas. Silahkan kalau Menek mau pergi." Balasku.
" Aku tidak akan pergi … Aku ingin ikut denganmu, wahai manusia ..." Ujar Nyai Kantil Semayang.

"Aku tidak ingin Nenek terikat dengan balas budi. Sekarang Nenek sudah bebas, silahkan ..." Jawabku.

"Baiklah jika begitu, aku akan pergi setelah urusanmu selesai.
Kini beri aku kesempatan untuk membantumu untuk membebaskan Hamidah." Ucap Nyai Kantil Semayang.

"Baik kalau itu yang Nenek inginkan ..." Jawabku sambil kembali memasuki rumah Hamidah.
Hari semakin malam, sayup-sayup terdengar suara telapak kaki yang menghampiri, aku pun segera membukakan pintu dan kini nampak mbok Min sedang berdiri di depan pintu.

" Ada apa Mbok?" Tanyaku.

"Mas Wi, ditunggu sama Ibuk, di bawah …" Jawab mbok Min.
Saat sampai dilantai bawah,aku lihat Hamidah tengah duduk dikursi panjang berukir seekor ular naga,dua cangkir kopi panas terlihat masih mengepulkan asap tipis.
"Wi, menurutmu gimana kalau semua hartaku, aku sumbangkan saja untuk Yayasan sosial?
Aku ingin mendirikan rumah yatim piatu untuk menebus semua dosa-dosaku, gimana Wi?" Tanya Hamidah dengan wajah yang terlihat sedang berpikir panjang.

"Semua? Ya itu sih terserah sampean. Mungkin itu semua untuk jangka panjang,
yang terpenting saat ini, kerjakan dulu yang kemarin kita bicarakan. Bila semua sudah selesai, nanti kita tindak lanjuti keinginanmu ini …" Jawabku meyakinkan Hamidah.

Setelah semua yang kukatakan dilaksanakan oleh Hamidah, terlihat toko Hamidah kini sangat sepi,
hingga banyak tenaga kerja yang terpaksa harus ia berhentikan dan dengan terpaksa, Hamidah memulangkan pekerjanya ke kampung halaman masing-masing.

Satu tahun kemudian, Hamidah masih berjibaku untuk menyantuni para fakir miskin dan beberapa lembaga sosial,
Hamidah bukan lagi sosok yang dulu, kini Hamidah menjadi sosok yang begitu alim. Hamidah sendiri sudah tidak pernah tidur lagi di rumahnya yang Megah, dia lebih banyak tidur bersama anak-anak yatim,
tapi bukan berarti Hamidah sudah terbebas dari penguasa kegelapan yang telah memberinya kekayaan. kali, aku mencoba menghentikan sosok-sosok ghaib yang ingin menjemput Hamidah
atas bantuan beberapa orang kyai, hingga kini Hamidah masih bisa untuk diselamatkan.

Hingga pada suatu hari, Hamidah meneleponku dan mengatakan bahwa ada seorang laki-laki yang menyukai dan mengajaknya untuk menikah, Hamidah pun meminta pendapatku,
Akhirnya Hamidah pun memutuskan untuk kembali menikah. Meski ada keraguan di dalam hatinya, juga rasa takut dan trauma, tapi sebagai manusia, Hamidah juga masih membutuhkan kasih sayang dan perhatian.

Setelah dua bulan menikah, suami Hamidah tetap kembali meninggal ,
Aku sebetulnya sudah sedikit bisa menghitung, jika hal ini kemungkinan besar akan terjadi, tapi aku tidak mungkin juga untuk menentang pernikahannya, karena mau bagaimanapun aku tidak bisa menentukan takdir yang akan terjadi kepada Hamidah
Enam bulan pun telah berlalu semenjak kematian suami Hamidah yang terakhir, Hamidah meminta diriku untuk menemuinya.

"Wi, sebenarnya ada apa dalam diriku ini … Aku pikir setelah perjanjian ghaib itu dibersihkan, aku tidak akan mengalami hal-hal seperti ini lagi,
tapi ternyata masih begini-begini juga?" Ucap Hamidah kebingungan.

"Mbak Hamidah akan hidup normal dan semua itu kuncinya tetap ada pada diri suami Mbak …" Jawabku.

"Maksudnya gimana, Wi?" Tanya Hamidah penasaran
"Hmm … Memang sulit untuk mengatakan hal ini, apalagi menjalaninya sebagai pengantin baru, tapi Mbak Hamidah harus mampu menahan rasa cinta sampai 40 hari, tidak boleh berhubungan badan dengan suami Mbak setelah menikah, apa mampu" Tanyaku memastikan.
“Yaa, kira-kira kamu mampu nggak, Wi?” Tanya Hamidah dengan pandangan serius kepadaku.

"Loh-loh … Kok malah ke saya Mbak?" Jawabku kebingungan.

"Iya Wi, sekalian tolong Mbak … Mau nggak?" Tanya Hamidah kembali dengan wajah yang yang terlihat tidak main-main.
Aku sontak kaget dengan permintaan dari Hamidah, awalnya kukira dia hanya bercanda saja, tapi ternyata dia tidak main-main, Hamidah serius memintaku untuk menjadi calon suaminya. Aku bingung, entah apa yang harus kukatakan padanya.

Lanjut besok ya...

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Pusara Waktu

Pusara Waktu Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @pusara_waktu

Feb 27
Lanjut Part terakhir di Season 1 yaa PWers ...

Cokro Kolo Munyeng
(Part 7 - Season 1 - END)

Aku terus terdiam sesaat setelah Hamidah mengutarakan keinginannya, bagiku menikahi Hamidah sama dengan mempertaruhkan nyawaku ini. Aku tidak yakin bisa menahan diriku selama 40 hari,
jika aku benar-benar harus menikahi Hamidah, selain karena kecantikan dan pesona Hamidah sendiri, Hamidah itu sangatlah agresif, aku bisa celaka jika tidak bisa menahan diriku atas godaannya, bisa-bisa aku yang akan menjadi korban selanjutnya.
Read 96 tweets
Feb 25
Lanjut Part 5 yaa, PWers ...

COKRO KOLO MUNYENG
(Part 5)

Mendengar penjelasanku, Kamim hanya mengangguk dengan pandangan mengarah ke bawah. Berbeda dengan Kamim yang sebelumnya, yang terlihat begitu congkak dan bangga atas apa yang dilakukannya.
Kali ini, Kamim lebih melunak, mungkin pertemuannya dengan sosok yang menyerupai anaknya, telah merubah isi hati yang sebelumnya telah mengeras.

Pada Satu hari, di tengah malam, pintu rumahku, diketuk.

"Wi .. Wi ..." Sebuah suara memanggilku dengan nada yang tidak terlalu keras
Read 81 tweets
Feb 24
Sebelum lanjut, pastikan kalian udah baca sampai terakhir cerita di Part 3 yaaa... Selamat membaca !

COKRO KOLO MUNYENG
(Part 4)

"Semua terserah kamu, Mim. Kamu yang menjalaninya, aku hanya mengingatkan … " Ucapku.
"Terima kasih kamu sudah mengingatkan, tapi mohon maaf, aku akan menikmati uang ini. Biarkan aku menerima taqdirku sendiri dan kalau memang aku harus jadi tumbal dari Hamidah, mungkin itulah jalanku … Mungkin aku bisa bertemu kembali dengan anakku …" Jawab Kamim.
Read 99 tweets
Feb 23
COKRO KOLO MUNYENG
(Part 3)

Aku hanya membalas singkat seperlunya pesan itu, dan bergegas pulang karena tidak tahan dengan hawa dari rumah megah itu.

Tepat 44 hari kemudian, Acun datang untuk menjemputku, dia kemudian mengajakku untuk kembali mengunjungi rumah Hamidah,
dan sesampainya di sana, aku melihat Hamidah sedang menangis. Tak jauh dari tempat Hamidah, di tengah rumah, sebuah jasad sudah terbujur kaku.

Aku segera duduk dan membuka kain menutup jasad tersebut, "Astagfirullah …" Ucapku kaget.
Read 100 tweets
Feb 22
COKRO KULO MUNYENG
(Part 2)

Janur kuning melengkung menghiasi halaman, di tengah rumah sepasang pengantin sedang terduduk di depan seorang penghulu dalam prosesi ijab qobul. Selepas ijab qobul, raut wajah sang pengantin terlihat begitu berbahagia, Hamidah dan Rusman.
Hari itu, Hamidah dan Rusman sudah resmi menjadi pasangan suami istri.

Kehidupan pasangan pengantin baru, penuh kebahagian, dalam cinta dan kasih sayang.
Read 25 tweets
Feb 22
Hi Pwers, kali ini saya mau berbagi kembali kisah dari serangkaian perjalanan kisah Narasumber kita, Mas Wijaya. Masih di bumbui adegan diluar nalar yang bisa kalian percaya atau enggak. Buat saya seru sih dan yang pasti kita ambil pelajaran nya aja ya :)

Selamat membaca !
COKRO KULO MUNYENG
Ns : Mas Wijaya

Malam itu, seperti biasa sehabis isya, aku duduk di sebuah warung kopi yang terletak tidak jauh dari masjid. Dari kursi yang menghadap ke arah jalan tempat aku duduk, kulihat salah seorang kawanku yang juga sering mengopi di warung ini datang
Read 25 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(