Pusara Waktu Profile picture
Mar 1 102 tweets 15 min read
COKRO KOLO MUNYENG
Season II

Ns : Mas Wijaya

Selepas sholat subuh handphoneku berbunyi, sebuah pesan telah masuk. Aku segera menbacanya, "… Kamim telah berpulang untuk selamanya ...” Sebuah penggalan pesan yang kubaca berasal dari saudaranya.
Aku terdiam membaca pesan itu, mataku berkaca-kaca dengan tangan yang gemetar. Perasaanku bercampur, antara sedih dan kesal. Tapi hal ini sudah terjadi, sudah menjadi suratan takdir, bahwa Kamim harus berpulang kembali kepada Sang pencipta.
Dan karena keterbatasan jarak, aku pun tidak bisa melayat jenazah Kamim, yang aku bisa lakukan hanya mendoakan saja, semoga almarhum ditempatkan ditempat terbaik di sisi-Nya.
Hari ke-33, malam ke-34. Saat itu Hamidah sudah tertidur lelap. Seperti biasa, aku meminta kepada mang Atun untuk tetap terjaga, jangan sampai terlelap.
"Kamu jaga di tepi ranjang dan usahakan jangan tidur ya Mang.
Nanti kalau kamu mulai merasa mengantuk ke air dulu aja atau bikin kopi, terus kasih tau aku, biar gantian nanti aku yang berjaga mengawasi Hamidah. Paham, Mang?" Ucapku mengingatkan mang Atun.
" Iya Wi, aku paham …" Jawab mang Atun.
"Jangan lupa sambil berdoa dan dzikir juga, Mang." Ujarku kembali mengingatkan mang Atun.
"Aman, Wi ..." Jawab mang Atun sambil mengangkat ibu jarinya.
Aku dibangunkan mang Atun saat jam dinding menunjukan pukul 02.00 dini hari. Setelah meneguk kopi, aku duduk di kursi panjang dan menghadap ke arah ranjang Hamidah. Tubuh Hamidah terlihat gelisah, dia berpindah-pindah membolak-balikkan badannya seakan tidak tenang.
Lalu tiba-tiba Hamidah terduduk di tepi ranjang, sedangkan dua matanya masih dalam keadaan terpejam.
"Kamu lagi nunggu aku datang yah? Hahahaha …" Ucap Hamidah mengagetkan aku.
"Iya ... Tapi bukan kamu yang kutunggu ..." Jawabku memandang tajam mata Hamidah.
Hamidah yang masih dalam keadaan mata terpejam, tiba-tiba membuka kancing bajunya.
"Celaka ...!" Gumamku.
"Tun ...! Mang Atun ...! Bangun, Mang ...!!" Ucapku sambil menggoyangkan tubuh mang Atun.
Sementara Hamidah, kini telah membuka baju seluruhnya dan melemparkannya ke arahku
dengan desahan napasnya yang memburu, Hamidah pun berdiri dan berjalan ke arahku. Melihat hal itu tanganku dengan cepat menyambar cangkir kopi yang ada didepanku dan menyiramkannya ke wajah mang Atun.
Mang Atun pun langsung terbangun gelagapan,
dia mengusap-mengusap wajahnya lalu menatap ke arahku, dan aku pun segera memberi isyarat dengan kedipan mata dan juga gerak bibir ke arah datangnya Hamidah.
"Cepat Mang, tutupi tubuh istrimu itu ...!" Seruku.
Dengan cepat mang Atun pun langsung menyambar selimut yang ada di dekatnya dan menutupi tubuh Hamidah.
Sebuah sosok dengan telinga runcing, bertaring dan berkuku tajam, dipunggungnya terdapat sesuatu seperti sebuah sirip ikan yang menonjol ,
dengan ekor yang panjang tumbuh di bagian belakangnya. Tampak kakinya menyerupai sebuah kaki harimau dan aku yakin dia bukanlah Nyai dayang wungu yang selama ini aku tunggu-tunggu.
"Aku tidak akan keluar dari raga ini sebelum kamu pergi ...!" Seru sosok menyeramkan itu kepadaku.
"Jika kau tidak mau keluar secara sukarela, maka aku akan memaksamu!!" Balasku dengan nada yang mengancam.
"Paksalah aku kalau kau bisa. Hahahaha …" Ujar mahkluk itu tertawa.
Aku segera meminta mang Atun untuk bersama-sama menbaca doa. Dalam setiap doa yang kubaca,
makhluk itu malah terus tertawa menggelegar. Apapun doa yang kubaca, makhluk itu tidak merasakan apa-apa, malah semakin mengeraskan suara tertawanya, seolah-olah meledekku.
Aneh, semua doa-doa yang selama ini sudah kupelajari tidak berpengaruh kepada makhluk itu, padahal keringatku sudah mulai bercucuran dengan deras membasahi seluruh tubuhku, dan mang Atun pun sudah mulai mulai merasakan ketakutan.
Sedangkan Hamidah masih tetap tertawa bergema, meski dalam keadaan mata yang tetap terpejam. Aku benar-benar kebingungan dalam menghadapi makhluk ini.
"Ayo keluarkan semua doa-doamu!
Keluarkan semua mantra yang kau bisa! Tidak akan ada yang bisa melukaiku! Hahaha …" Tantang makhluk yang ternyata bernama Srenggana maruta itu.
Aku betul-betul dibuat putus asa oleh Srenggana maruta. Dia sekarang berkacak pinggang congkak, sambil menunjuk-nunjuk ke arahku.
"Saakeh-akehne gembolanmu, isih kalah karo sholawatmu …"
“(Sebanyak-banyaknya ilmumu, masih kalah sama sholawatmu …)” Sebuah ucapan yang tiba-tiba terdengar oleh telingaku. Ya, itu ucapan dari mbah yai Ambari dahulu, seakan kembali terdengar dengan jelas olehku.
Aku segera menghentikan doa-doa yang sedang kubacakan dan meminta mang Atun untuk sama-sama bersholawat. Kupejamkan mata, hatiku menyebut Asma Allah dan mulutku mengucap sholawat Nabi.
Srenggana maruta menutup telinganya dan langsung melesat keluar dari raga Hamidah.
Melihat itu aku segera berlari ke kamar kosong dan memfokuskan diri, menyatukan hati dan pikiran, lalu sesaat kemudian sukmaku mengejar ke arah Srengana Maruta melesat, dan dia sudah dalam keadaan menanti kedatanganku.
Pertempuran kembali terjadi, dengan sebuah tongkat berkepala ular naga, Srenggana maruta menyerangku. Deru angin yang keluar dari kibasan tongkat tersebut menimbulkan hawa dingin nan lembab, juga bau amis darah yang begitu menyengat.
Saling serang diantara kami pun tak terelakan. Kilatan cahaya perak terus berbenturan dengan tongkat naga milik Srenggana maruta. Tiba-tiba Srenggana maruta melompat ke arah belakang dan menancapkan tongkatnya disertai dengan mulutnya yang berkomat-kamit membaca mantra.
Segumpal asap kuning pun terlihat turun dari atas dan menyelimuti tongkat naganya. Perlahan tapi pasti, asap kuning itu kini berubah wujud menjadi seekor ular yang besar dengan dua tanduk di kepalanya.
Ular itu melesat ke arahku dengan mulutnya yang terbuka lebar, seakan ingin memperlihatkan taringnya. Srenggana maruta kemudian mengangkat tangannya ke atas dan tidak lama kemudian kedua tangannya berubah menjadi hitam, lalu sebuah bola api pun keluar dan melesat ke arahku.
Aku mengibaskan Pedang Sirr yasin yang sudah kupersiapkan sebelumnya untuk memenggal kepala ular bertanduk itu dan tepat mengenai leher ular itu, tapi jangankan memenggal lehernya, sekedar melukainya pun tidak. Sedangkan kini, sebuah bola api sedang melesat ke arahku.
Aku pun meyongsongnya dengan pukulan Jibril. Tak terelakkan, sebuah dentuman pun terjadi saat dua hawa panas berbenturan, "Daaarrrr …!!"
Aku pun terjengkang dengan rasa sakit di bagian ulu hati. Mulut ular itu semakin terbuka lebar, bersiap-siap untuk mencaplok kepalaku.
Aku tancapkan pedang Sirr yasin, lalu memejamkan mata dan memanggil sebuah nama, Wangsadireja, sambil menepukkan telapak tanganku ke atas tanah. Tapi entah kenapa, pada saat itu Wangsadireja tidak bisa hadir untuk membantuku.
Sebuah bayangan yang terlihat membungkuk,
kemudian terlihat berkelebat dan memukul kepala ular besar itu. Bayangan itu terlihat memakai jarik yang biasa dipakai oleh perempuan di pulau Jawa pada jaman dahulu. Ular yang terkena pukulan dikepalanya itu pun kemudian menggelepar, seakan merasakan rasa sakit yang luar biasa.
"Mbok, Minah !!" Seruku.
"Aku meminta sahabatmu, Wangsadireja untuk menjaga jasad Hamidah. Ayo Wi, sekarang pilih mana lawanmu ..." Jawab mbok Min sambil tersenyum.
"Hehehe terserah Mbok saja, aku ngikut …" Jawabku terkekeh.
"Hei nenek bongkok, mau apa kau ke sini, hah?!” Tanya Srenggana maruta dengan wajah yang marah.
"Aku kesini mau menghajarmu ..." Jawab mbok Min sambil melompat dan menerjang Srenggana maruta.
Aku segera merapal Hijib ayat qursi ,
untuk membakar sosok ular jelmaan dari tongkat Srenggana maruta yang kini sudah mulai bergerak kembali. Sebuah hawa panas menyebar mengelilingi tubuh ular bertanduk itu. Ular itu kemudian membuka mulutnya,
dan mengeluarkan uap panas yang lain yang bergulung keluar dari mulutnya itu. Hawa panas itu menyebar hingga menutupi energi dari Hijib ayat qursi. Dua hawa panas beradu, terlihat pijaran-pijaran api meletup, "Darrrr …!! " Aku terjajar ke belakang.
Sementara itu mbok Min masih beradu tenaga dengan Srenggana maruta, ketika salah satu ujung kembennya dipegang oleh Srenggana maruta dan ujung satunya dalam genggaman mbok Min. Terlihat asap putih keluar dari tubuh mereka masing-masing,
dan tak lama kemudian kedua tubuh mereka sama-sama terjengkang ke arah belakang, seiring dengan terdengarnya sebuah suara ledakan, "Blarrrr ...!" Dan terputusnya kain kamben.
Mbok Min terjengkang ke belakang, begitu juga dengan Srenggana maruta.
Keduanya sama-sama memiliki tenaga dalam yang seimbang. Kali ini Srenggana maruta memutar tubuhnya, ekornya yang lancip melesat mengarah ke arah tubuh mbok Min.
Dengan sigap, nenek tua bertubuh agak bongkok itu menghindar ke arah kiri dan memukulkan telapak tangannya ke arah ekor milik Srenggana maruta, tapi ekor itu seperti punya mata, dia meliuk menghindari pukulan dari mbok Min, lalu membelit pergelangan tangannya.
Laksana seekor ular, ekor itu terus merayap hingga membelit tubuh mbok Min sepenuhnya.
Aku meninggalkan ular bertanduk itu dan segera menebaskan pedang Sirr Yasin ke arah ekor yang sedang membelit tubuh mbok Min. Sebelum pedang Sirr yasin menyentuh ekor Srenggana maruta,
aku merasakan ada sebuah kekuatan yang melindungi ekor itu, hingga membuat aku terpental.
Mbok Min semakin terancam, napasnya tersengal ketika lehernya terbelit oleh ekor Srenggana maruta. Disaat yang kritis itu,
Nyai kantil semayang tiba-tiba saja muncul dari arah belakang tubuh Srenggana maruta dan menusukan konde bunga kantil yang sedang dipakainya pada kedua bahunya, lalu memukul punggung Srenggana maruta.
Tubuh Srenggana maruta pun terdorong ke arah depan dengan berlumuran darah dari kedua bahunya. Dengan cepat Srenggana maruta mengangkat tangannya dan tongkat naga itu pun tiba-tiba sudah kembali berada dalam genggaman tangannya.
Dengan gerakan memutar, dikibaskannya tongkat naga itu ke arah Nyai kantil semayang. Melihat hal itu membuat Nyai kantil semayang segera menangkis deru tongkat naga dengan tangannya, "Prakkk!!" ... Tubuh dari Nyai kantil semayang sempoyongan akibat benturan itu.
Tidak hanya sampai disitu saja, kini Srenggana maruta pun segera menerjang dan memburu tubuh dari Nyai kantil semayang. Ujung tongkat berkepala naganya menghantam dada dari Nyai kantil semayang, sehingga membuat Nyai ambruk dan memuntahkan darah segar.
Mbok Min yang kini terbebas dari belitan ekor Srenggana maruta, segera memejamkan mata dan merapatkan ke dua telapak tangannya di depan dada seraya berkata, "Wi … Keluarkan selendang itu, cepat!!"
Aku yang mendengarkan teriakan mbok Min pun segera mengeluarkan Selendang merah darah itu dan memberikannya kepada Mbok Min.
"Cepat serang dengan selendang itu sebelum dia kembali menggunakan ekornya!!" Seru Mbok Min kembali.
Melihat aku yang hanya terdiam, mbok Min pun langsung menghampiri dan menyambar selendang itu dari tanganku, lalu kemudian mengikatkan ujung dari selendang itu hingga berbentuk seperti sebuah bulatan, disusul dengan gerakan memutar-mutarkan selendang itu di atas kepalanya.
"Wishhh …" Ujung selendang merah darah, kini bergantian membelit tubuh dari Srenggana maruta, hingga semua tubuhnya terbungkus oleh selendang merah darah itu.
"Cepat, tebas ekornya Wi!!" Seru mbok Min.
Aku segera meloncat dan menebaskan pedang Sirr yasin, "Crasss ...!" Ekor dari Srenggana maruta pun terputus. Tetapi walaupun sudah terputus, ternyata ekor dari Srenggana maruta masih saja bergerak-gerak layaknya ekor cicak, yang kemudian kembali menyerangku.
Aku pun kembali menyabetkan pedang Sirr yasin, hingga akhirnya menghentikan pergerakan dari ekor Srenggana maruta.
Tubuh Srenggana maruta yang masih terbungkus oleh selendang merah darah,
nampak memberikan perlawanan dengan membuat tubuhnya semakin besar agar bisa memutuskan lilitan selendang merah darah tersebut. Melihat hal itu Nyai kantil semayang, dengan sisa kekuatan yang masih ada segera menghampiri dan memeluk leher Srenggana maruta.
"Mbak yu, cepat lakukan!!" Seru Nyai kantil semayang kepada mbok Min, sambil mengalungkan tangannya di leher Srenggana maruta.
Pada saat mendengar teriakan dari Nyi kantil semayang, mbok Min terdiam sesaat, seperti ada keraguan yang tersirat dari wajahnya yang kini terlihat sedih
Aku yang melihat tingkah aneh mbok Min pun langsung menghampiri dan menyuruh mbok Min untuk segera melakukan apa yang diperintahkan oleh Nyai kantil semayang.
Mbok Min menunduk sejenak, lalu kemudian berteriak dan disusul oleh sebuah hentakan kaki.
Terlihat selendang itu kini terbungkus api yang berwarna ungu, merambat dari ujung tangannya kemudian menjalar terus hingga membakar sosok Srenggana maruta beserta Nyai kantil semayang berbarengan.
"Duarrr!!" Tubuh keduanya hancur dan hanya menyisakan bau daging yang terbakar
Pertarungan pun selesai, sukmaku kembali ke dalam ragaku. Aku merasakan kelelahan yang begitu luar biasa dan langsung tertidur pada saat itu juga.
Malam ke-37 pun tiba. Saat aku dan mang Atun tengah asyik bermain catur, tiba-tiba saja terdengar suara ketukan dari arah pintu.
Aku yang memang berada tidak jauh dari pintu, segera bangun dan beranjak untuk membukakannya. Terlihat sosok nenek tua dengan tubuh yang agak bongkok kini tengah tersenyum ke arahku.
Aku segera mempersilahkan mbok Min untuk masuk ke dalam rumah dan langsung duduk dihadapanku.
Mang Atun pun langsung berdiri dan segera pergi ke arah dapur untuk menbuatkan teh manis juga kopi hitam, kesukaanku.
Mbok Min menatap papan catur yang berada di hadapannya, kemudian menaruh buah catur raja dan ratu bergandengan
lalu dan menyingkirkan buah catur yang lain, kecuali benteng yang kini ia simpan dengan posisi yang terbalik.
"Ini sang raja, dia berkuasa tapi hanya bisa jalan dengan satu langkah saja dan yang ini adalah sang ratu,
dia bisa berjalan dan berpindah dengan bebas, sedangkan yang ini adalah sang benteng, tapi posisinya sudah terbalik artinya sudah kalah, sirna. Nah, sekarang hanya tinggal sang ratu dan sang raja saja.Dan sekarang, jika kamu bisa mengalahkan sang ratu dan menangkap sang raja,
maka kamu akan menang … Bagaimana kamu melakukannya, Wi?" Jelas mbok Min dengan memakai bahasa kiasan.
Aku terdiam, terkagum dengan cara mbok Min menyampaikan bahasa kiasannya kepadaku.
"Terus, Mbok …? " Jawabku serius dengan mengernyitkan dahi.
"Tugasku hanya sampai di sini saja Wi, untuk menghentikan sang benteng dan mungkin membantu menyingkirkan sang ratu, sedangkan sang raja akan aku kembalikan padamu ... Gunakan selendang merah darah, dipadu dengan doa Jibril ...
Kamu harus tenang dan usahakan hatimu agar terus mengingat Gusti Allah, meski kondisimu tengah bertempur. Hanya dengan cara itu, kamu bisa menghentikannya …" Lanjut mbok Min.
Hamidah dan mang Atun kemudian datang dan bergabung duduk bersama kami.
Mbok Min pun segera mengalihkan percakapan.
"Ndo ... Kemarin ada yang datang untuk menanyakan masalah rumah yang mau dijual. Ini kartu namanya, katanya besok akan menghubungi kembali …" Ujar mbok Min.
"Iya Mbok, terima kasih.
Besok kalau rumahnya sudah laku, Mbok tinggal di sini saja ya, Mbok …"

"Nggak Ndo, Simbok mau pulang aja ke Jawa … Mudah-mudahan kamu sehat-sehat terus ya Ndo …" Jawab mbok Min dengan mata yang terlihat berkaca-kaca.
Mbok Minah tertunduk, menyeka air matanya. Hamidah pun mendekat dan memeluk erat tubuh mbok Minah yang sudah puluhan tahun menemaninya itu.
"Kalau rumah itu nanti laku, kita sekalian pulang bareng ya Mbok. Aku antar sampai rumah Simbok ..." Ucap Hamidah berkaca-kaca.
Malam itu mbok Min tidur bersama Hamidah dan tidak ada sedikitpun gangguan yang terjadi kepada Hamidah hingga pagi hari. Selepas subuh, aku sudah duduk sambil minum kopi. Mbok Min menghampiri dan berkata, “Besok malam ke-39, persiapkan dirimu Wi ..." Ucap Mbok Min.
"InsyaAllah, Mbok."
"Tapi bisa jadi sang ratu akan keluar di malam ke-40, hanya saja Simbok bingung bagaimana ngasih tahunya ..."
"Apa yang membuat Mbok bingung sebenarnya?" Tanyaku penasaran.
"Ah sudahlah Wi, nanti aja Mbok kasih tahu, kalau kamu sudah bisa mengalahkan sang ratu, Srenggi kolo pati …" Jawab mbok Min.
Aku mengernyitkan dahi ketika mendengar nama makhluk asing yang lain, lagi.
"Mbok, kok banyak sekali makhluk yang mendiami tubuh Hamidah …
Sebenarnya mereka itu siapa dan kenapa berada di dalam tubuh Hamidah? Lalu, bagaimana dengan Nyai dayang wungu itu? Seperti apa wujudnya, Mbok?” Tanyaku keheranan.
Aku memang benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang terjadi dengan Hamidah.
Banyak sekali makhluk-makhluk astral yang berdiam di tubuhnya, dan yang menjadi permasalahan bukan hanya karena banyaknya saja, tetapi juga kekuatannya. Makhluk-makhluk itu benar-benar berbahaya, beberapa kali aku hampir saja mati jika tidak ada yang membantuku.
"Nyai dayang wungu beserta pembantunya adalah sosok yang ditanam oleh mendiang ibunya Hamidah, yang memberikan kecantikan dan kemolekan untuk Hamidah dengan imbalan nyawa dari suami Hamidah. Beda lagi dengan jungjungan pesugihan Hamidah,
yang memang sampai saat ini masih mengincar nyawa Hamidah …"Ujar mbok Min.
Aku hanya bisa menunduk sambil memegangi kepala dengan kedua tanganku, dibarengi dengan sebuah tarikan dan hembusan napas yang panjang.
Malam ke-39 pun datang. Aku telah duduk bersila, bersiap dengan serangan yang akan terjadi di malam ini. Srenggi kolo pati pun datang dengan wujud seorang laki-laki tampan, dipinggangnya terselip sebuah buah keris yang cukup panjang berhiaskan batu permata digagangnya.
Dengan berkacak pinggang, sikapnya begitu jumawa, senyum sinis tersungging di atas bibirnya.
"Aku akan mengabdikan diriku kepadamu, jika kamu bisa mengalahkan aku! Hahaha ..." Ucap Srenggi kolo pati dengan sombong.
"Kita lihat saja nanti." Jawabku sambil menyiapkan diri.
"Bagus ... Keluarkan saja semua ilmumu ..." Ujar Srenggi kolo pati sambil mencabut kerisnya.
Saat keris itu keluar dari sarungnya, langit tiba-tiba berubah menjadi hitam disertai kilatan petir yang terus menyambar dan sebuah pusaran angin berputar mengelilingi dirinya.
Wujud Srenggi kolo pati pun kini berubah menjadi sesosok yang tidak jauh berbeda dengan Srenggana maruta. Dia menggunakan ilmu "Malih wujud".
Keris dari Srenggi kolo pati diarahkan kepadaku dan dari ujung kerisnya keluar sebuah larik sinar yang berwarna hitam,
menderu dengan hawa panas yang begitu menyengat. Aku tidak ingin beradu kekuatan dengannya, aku pejamkan mata, hatiku terus menyebut Asma Allah dan mulutku mengucap doa Jibril.
Sebuah hawa yang begitu sejuk mengalir dalam jiwaku.
Kedua tanganku terangkat ke arah atas, layaknya orang yang tengah berdoa dan segera kuturunkan kedua tanganku, kemudian menepuk tanah seraya berucap, " Allahu Akbar!!”.
Sebuah hawa dingin menyongsong larik sinar dari ujung keris Srenggi kolo pati, "Desss ..."
Perlahan-lahan, larik sinar panas itu terdorong hingga kembali masuk ke dalam ujung keris Srenggo kolo pati.
"Setan alas …!! Ilmu apa yang kau pakai hingga bisa menahan serangan dari kerisku ini, hah?!" Seru Srenggi kolo pati dengan wajah yang marah.
"Ilmuku adalah ilmu yang berasal dari Tuhan … Pasti akan bisa mengalahkan ilmu setan sepertimu!!" Jawabku dengan nada yang meninggi.
Srenggi kolo pati segera mengacungkan jari telunjuk dan menariknya ke arah kanan.
Sebuah putaran angin puting beliung terbentuk dan langsung menyapu tubuhku ini. Aku terperangkap di dalam sebuah pusaran angin, aku terus berusaha untuk tetap tenang dan tetap melakukan apa yang sudah dipesankan oleh mbok Min.
Aku terus mengingat Yang Maha Kuasa. Aku pun berdoa dan terhanyut dalam tasbih Nabi Yunus.
Pusaran angin yang sedang menggulungku, tiba-tiba saja mereda dan kembali menurunkanku tidak jauh dari tempat Srenggi kolo pati sedang berdiri, yang kini tengah tertawa terbahak-bahak.
Tawanya langsung hilang saat melihatku, langsung mengambil posisi duduk bersila.
"Edan …!! Dua kali kamu mampu keluar dari seranganku ini." Ucap Srenggi kolo pati.
Mungkin inilah yang dimaksud oleh mbok Min.
Ketenangan jiwa dan tidak terbawa emosi saat menghadapi Srenggi Kolo Pati. Srenggi kolo pati segera ikut bersila dengan mulutnya yang berkomat-kamit, lalu meniupkan ke arah kerisnya. Keris itu pun terbang dan langsung melaju mengarah dadaku.
Aku segera mengayunkan pedang Sirr yasin untuk menangkis tusukan dari keris itu, " Trang ...! Trang ...! Trang …!!"
Getaran dari energi keris itu begitu kuat, begitu terasa oleh jemariku yang sedang memegang pedang Sirr yasin.
Tanganku terasa sakit, padahal hanya menahan getaran dari beradunya ke dua senjata. Kali ini Srenggi kolo pati memang sengaja untuk mengajakku bertempur, mengadu kekuatan. Mau tidak mau, aku pun harus melayaninya.
Dua serangan sudah kusiapkan, yaitu pukulan dari doa Jibril dan hentakkan Al-zalzalah.
Keris itu datang kembali kepadaku dengan terbang meliuk-liuk, sementara Srenggi kolo pati tengah bersiap menyerangku dengan merapalkan mantra lainnya.
Tiba-tiba saja wujudnya berubah, tangannya kini menjadi empat dengan tambahan satu mata di keningnya. Di setiap tangannya memegang senjata yang berbeda. Aku betul-betul terkejut dengan perubahan wujud yang terjadi pada Srenggi kolo pati.
"Celaka ...!!" Gumamku panik.
Melihat wujud baru dari Srenggi klo pati, betul-betul membuatku terkejut. Sebetulnya bukan hanya masalah wujudnya saja yang berubah, tetapi juga tekanan energi yang keluar dari tubuhnya juga kian membesar.
Benar-benar sebuah energi yang keluar dari makhluk yang begitu kuat.
Kini aku dihadapkan pada sesosok makhluk astral yang mempunyai kekuatan luar biasa. Kesaktiannya begitu tinggi, tapi aku berusaha untuk tetap tenang dalam menghadapi serangan Srenggi kolo pati yang akan datang.
Srenggi kolo pati benar-benar menjelma menjadi sosok yang begitu menakutkan, dengan empat tangannya yang memegang senjata berbeda. Dua tangan kanan memegang gada dan cambuk, sedangkan dua tangan kirinya memegang pedang dan tombak.
Di sisi lain, keris yang dilesatkan kepadaku pun masih terus berputar-putar mengitari tubuhku ini.
Srenggi kolo pati kemudian datang menerjangku dengan keempat senjatanya. Aku benar-benar kerepotan, seluruh tenagaku juga sudah terkuras habis.
Keris yang masih terbang mengitariku itu, kini juga datang menghunus dari arah samping. Kali ini aku yakin, bahwa aku tidak akan bisa untuk menangkisnya dengan pedang Sirr Yasin.
Aku coba untuk menghalau datangnya keris itu dengan dengan pukulan Jibril, sekaligus untuk menghentikan langkah Srenggi kolo pati yang juga datang dan menyerang dari arah yang sama. Ayunan gada juga lecutan cambuk, pedang dan tombak sudah siap untuk menikamku.
Setelah pukulan Jibril, aku pun langsung menyerang mereka dengan hentakan Al-Zalzalah dan dengan cepat membentengi diriku dengan energi dari Hijib qursi.
Dua kekuatan besar saling berbenturan.
Hawa yang begitu panas menyengat, menyebar diseluruh penjuru tempat pertempuran. Dentuman keras yang dahsyat pun terdengar menggema, disusul oleh tubuhku yang terdorong ke arah belakang hingga jungkir balik.
Aku segera kembali untuk duduk bersila, menahan napasku dan menyimpannya di dalam rongga dada. Sementara itu, Srenggi kolo pati terjajar beberapa langkah ke belakang dan langsung melecutkan cambuk api anginnya,
disusul dengan mengayunkan gada betoro yang terus menghantam bumi. Srenggo kolo pati kemudian melepaskan pedang dan tombak dari genggamannya, yang kemudian kedua senjata itu berubah menjadi kepulan asap yang masuk kembali dalam tubuhnya.
Semburan api dan hembusan angin yang keluar dari lecutan cambuknya itu terlihat seperti jilatan api yang semakin membesar, merangsak maju ke arah tubuhku. Hijib qursi yg sudah kupersiapkan sejak tadi, kemudian kuhembuskan dengan napas yang sebelumnya kutahan di dalam rongga dada
Udara semakin memanas karena benturan dua energi yang berasal dari jilatan api dan Hijib qursi. Suara dentuman dari gada betoro terus terdengar, membuat tanah yang kupijak ini semakin bergoncang dengan hebat.
"Kepalang basah ..." Gumamku dalam hati.
Lanjut besok yaaa PWers , tadi nya mau di kelarin malem ini ternyata tweet nya bermasalah -_-

Jadi, kita lanjut besok yaa :)
Bagian kedua cerita ini udah di upload yaa ...

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Pusara Waktu

Pusara Waktu Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @pusara_waktu

Mar 2
Cokro Kolo Munyeng
Season II - End

Dengan hentakkan Al-zalzalah, aku pun menyongsong guncangan serangan dari gada betoro. Sebuah benturan yang begitu dahsyat pun terjadi, membuat tubuhku terpental begitu jauh, bahkan baju dan tanganku pun ikut terbakar hingga kulitnya melepuh.
Srenggi kolo pati tertawa terbahak-bahak menyaksikan tubuhku yang kini sedang terkapar. Dengan cepatnya dia kemudian menyerangku dengan lecutan cambuk api dan anginnya kembali, "Swwiiit ... Ctarr ... Ctaaarrrr ...!"
Read 85 tweets
Feb 27
Lanjut Part terakhir di Season 1 yaa PWers ...

Cokro Kolo Munyeng
(Part 7 - Season 1 - END)

Aku terus terdiam sesaat setelah Hamidah mengutarakan keinginannya, bagiku menikahi Hamidah sama dengan mempertaruhkan nyawaku ini. Aku tidak yakin bisa menahan diriku selama 40 hari,
jika aku benar-benar harus menikahi Hamidah, selain karena kecantikan dan pesona Hamidah sendiri, Hamidah itu sangatlah agresif, aku bisa celaka jika tidak bisa menahan diriku atas godaannya, bisa-bisa aku yang akan menjadi korban selanjutnya.
Read 96 tweets
Feb 26
Lanjut Part 6 yaa Pwers, malam ini gak akan terlalu banyak tweet soalnya lagi ada kerjaan.

Selamat membaca !

Cokro Kolo Munyeng
(Part 6)

"Kalau sama Akang, mereka kok bisa kalah, kang?” Tanyaku penasaran.
"Ngajimu kurang jero (dalam) ... Kopimu aja yang kental, ilmumu masih encer. Hahaaha, aku bukan mengejekmu ya Wi, tapi sedang membangkitkan semangat dalam dirimu agar terus mau untuk menggali ilmu,
Read 100 tweets
Feb 25
Lanjut Part 5 yaa, PWers ...

COKRO KOLO MUNYENG
(Part 5)

Mendengar penjelasanku, Kamim hanya mengangguk dengan pandangan mengarah ke bawah. Berbeda dengan Kamim yang sebelumnya, yang terlihat begitu congkak dan bangga atas apa yang dilakukannya.
Kali ini, Kamim lebih melunak, mungkin pertemuannya dengan sosok yang menyerupai anaknya, telah merubah isi hati yang sebelumnya telah mengeras.

Pada Satu hari, di tengah malam, pintu rumahku, diketuk.

"Wi .. Wi ..." Sebuah suara memanggilku dengan nada yang tidak terlalu keras
Read 81 tweets
Feb 24
Sebelum lanjut, pastikan kalian udah baca sampai terakhir cerita di Part 3 yaaa... Selamat membaca !

COKRO KOLO MUNYENG
(Part 4)

"Semua terserah kamu, Mim. Kamu yang menjalaninya, aku hanya mengingatkan … " Ucapku.
"Terima kasih kamu sudah mengingatkan, tapi mohon maaf, aku akan menikmati uang ini. Biarkan aku menerima taqdirku sendiri dan kalau memang aku harus jadi tumbal dari Hamidah, mungkin itulah jalanku … Mungkin aku bisa bertemu kembali dengan anakku …" Jawab Kamim.
Read 99 tweets
Feb 23
COKRO KOLO MUNYENG
(Part 3)

Aku hanya membalas singkat seperlunya pesan itu, dan bergegas pulang karena tidak tahan dengan hawa dari rumah megah itu.

Tepat 44 hari kemudian, Acun datang untuk menjemputku, dia kemudian mengajakku untuk kembali mengunjungi rumah Hamidah,
dan sesampainya di sana, aku melihat Hamidah sedang menangis. Tak jauh dari tempat Hamidah, di tengah rumah, sebuah jasad sudah terbujur kaku.

Aku segera duduk dan membuka kain menutup jasad tersebut, "Astagfirullah …" Ucapku kaget.
Read 100 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(