Pusara Waktu Profile picture
Mar 10 150 tweets 20 min read
ERIKA (Part 3)
- Keluarga Korban Santet -

A Thread
@IDN_Horor
@bacahorror
@ceritaht

#pusarawaktu #threadhorror #kisahseram #kisahnyata #bacahorror
ERIKA (Part 3)
- Keluarga Korban Santet -

Pada suatu hari aku pun memutuskan untuk berpamitan, berhenti bekerja di rumah ini. Pak Kasran menatapku lekat-lekat, begitu juga dengan bu Wandra yang terperangah, saat mendengar kata-kataku untuk berhenti bekerja.
Mereka berdua membujuk dan memintaku untuk tetap bertahan bekerja di rumah ini, minimal sampai keluarga Kasran mendapatkan pegawai pengganti.

Aku yang mengetahui kondisi keluarga ini pun, sedikit mengerti dengan alasan dari bapak dan ibu Kasran,
dan akhirnya menyetujui permintaan mereka untuk bekerja kembali, sampai menemukan pegawai pengganti.

Setelah obrolanku dengan bapak dan ibu Kasran, aku pun pamit untuk pergi ke belakang, dan sesampainya di bekakang mbak Jum langsung menghampiriku
ia membujukku untuk tidak berhenti bekerja,

"Kalau Dek Wi berhenti bekerja di sini, Mbak juga akan ikut berhenti bekerja. Mbak takut di sini kalau sendirian Dek, apalagi dengan kondisi seperti sekarang ini …" Ujar mbak Jum sambil meletakkan gelas kopi di meja plastik untukku.
"Mbak Jum nguping ya pembicaraanku sama bapak dan ibu?" Tanyaku balik.

"Hehehe ... Iya, Dek …" Jawabnya sambil menggeser kursi dan duduk di hadapanku.
Aku segera menuang seperempat kopi panas ke atas piring kecil dan menyulut sebatang rokok, lalu mengepulkan asapnya ke atas, yang kemudian hilang tertebak angin.
"Mbak ... Mbak ... Merasakan gak, suasana rumah ini semakin kesini semakin terasa berbeda?" Tanyaku.

"Iya Dek, Wi ... Mbak kadang merasa takut kalau malam-malam mau ke kamar mandi sendiri …" Jawab mbak Jum.

"Hmm …" Aku hanya bergumam merespon jawaban mbak Jum.
"Pernah di suatu malam, Mbak kebelet pengen pipis. Nah, pas mau ke kamar mandi, eh pintunya tiba-tiba terkunci dari dalam dan terdengar suara orang yang sedang mandi. Mbak coba panggil-pangil namamu, tapi gak ada yang menyahut.
Mbak coba dorong pintunya dan ternyata terbuka, tak terkunci, tapi gak ada orang di dalam kamar mandi. Jadi siapa yang tadi bermain air …? Hiiihii ... Serem …" Cerita mbak Jum dengan tubuh bergidik.
Aku hanya diam sambil menikmati kopi dan rokokku, menyimak cerita dari mbak Jum, yang bercerita dengan ketakutan tapi terlihat begitu antusias.

"Terus Mbak juga pernah mendengar suara orang atau apa gitu, sedang mencakar-cakar tembok ,
dan gak lama kemudian terdengar seperti auman suara macan atau harimau gitu, Dek Wi …" Lanjutnya dan tiba-tiba terdiam, seperti mencoba mengingat sesuatu.
“Oh ya, pernah juga nih lagi beres-beres di dapur. Pas lagi asik-asiknya beres-beres, tiba-tiba ada kayak bau-bau aneh gitu. Kayak apa yaa, baunya … Kayak yang bau kebakar tapi agak aneh.
Mbak cuekin aja, tapi lama-lama makin menyengat, pas Mbak cari-cari sumber baunya, Mbak tiba-tiba ngeliat sosok kayak guling gitu dek Wi, tapi kotor. Mbak coba deketin, tapi tiba-tiba itu guling nge-gelinding terus berdiri dan terbang.
Mbak kaget dek Wi, Mbak langsung lari ke kamar …” Sambungnya sambil mendekap dadanya dengan kedua tangan dan muka pucat pasi.

Setelah aku selesai mendengarkan mbak Jum bercerita, aku berpamitan dan segera beranjak meninggalkan mbak jum sendirian,
karena kebetulan bersamaan dengan terdengarnya suara adzan isya dari mesjid di sebrang perumahan elit ini. Dan kulihat mbak Jum pun, setengah berlari masuk ke dalam kamarnya, karena mungkin dia ketakutan sendirian, apalagi setelah bercerita pengalamannya kepadaku.
Pada saat tengah malam, tiba-tiba aku mendengar sebuah suara geraman yang sangat lemah, aku penasaran dan segera kubuka pintu dan beranjak ke luar kamar. Terlihat kini di sudut halaman belakang, sebuah sosok hitam tengah berbaring dengan lemah.
Aku pun semakin penasaran, kucoba untuk mendekat, dan saat aku mendekati nya ternyata sosok itu adalah sosok dari Macan luwing. Sosok itu menyadari kedatanganku, dan langsung menggangkat kepalanya dan menggeram.
"Hmm ... Macan luwing ini terluka parah, tapi siapa yang melukainya? Gak mungkin kalau Wangsadireja yang melakukannya …" Ucapku dalam hati.

Aku segera memejamkan mata dan mencoba untuk memanggil Wangsadireja,
dan selang tak berapa lama, Wangsadireja pun muncul dan langsung mendekati Macan luwing, dan terus menjilati setiap lukanya.

Kedua Mata dari macan luwing terpejam, saat lidah Wangsadireja menjilati luka-lukanya yang terlihat menganga,
dan sesaat kemudian kedua sosok itu menghilang dari hadapanku.

"Hmm … Mereka sudah saling mengenal dan tampaknya menjadi dua sahabat yang saling menolong …" Kembali ucapku dalam hati, dan aku pun kembali beranjak melangkah masuk ke dalam kamar.
Esoknya, di sore hari, aku meminta ijin kepada tuan rumah untuk mengadakan pengajian di rumah dengan mengundang puluhan anak yatim piatu dan tanpa ada penolakan dari ibu dan bapak Kasran, mereka mengijinkannya. Pengajian itu berjalan lancar dengan semestinya,
dan pada saat itu Sinta terlihat sangat senang sekali. Erika pun seakan-akan terbius oleh lantunan ayat-ayat yang dibacakan, padahal sebelumnya dia bertingkah seperti anak kecil, bermain boneka dan masak-masakan.
Pak Kasran dan bu Wandra memperhatikan kondisi Erika pada saat itu dan saling pandang.

Setelah acara selesai, aku pun berencana untuk mengantarkan semua anak-anak untuk kembali pulang ke panti asuhan, tapi sebelum berangkat aku kemudian dipanggil oleh pak kasran,
dan tiba-tiba dia menyodorkan kembali sebuah amplop cokelat berisi uang.

"Wi ini untuk mengganti semua biaya acara tadi, dan amplop yang ini tolong diserahkan sama pengurus pantinya ya …" Ucap pak Kasran.
Aku pun mengangguk tanda paham, dan berucap dalam hati, “Allah sudah mulai membuka hati pak Kasran. Alhamdulilah ...”

Aku mencoba menerangkan kepada pak Kasran, bahwa ada sebuah keterangan yang mengatakan, "Obatilah penyakitmu dengan bersedekah,
dan di alam kubur berapa banyak penghuninya yang meminta kepada Allah untuk dikembalikan ke alam dunia, hanya agar bisa bersedekah dan melaksanakan sholat. Doa kita hanya amal untuk kita sendiri,
sementara dengan bersedekah mungkin kita telah menyelamatkan orang lain yang sedang berada dalam kesusahan atau sedang merintih menahan rasa laparnya ..."
Sepasang suami istri yang sudah cukup berumur itu mendengarkan perkataanku, sambil menganguk-anggukkan kepalanya.
"Mungkin dengan sedekah Bapak dan Ibu, dengan diniatkan lillahi ta’ala dan berdoa setelah bersedekah, untuk kesembuhan Erika, putri Bapak dan Ibu …" Lanjutku menerangkan.
Malam itu aku mendengar kembali dua suara auman yang saling bersahutan, dan segera aku berlari menuju halaman belakang. Kini kulihat dua buah bola api yang berlawanan arah sedang melesat di tengah malam, berputar-putar mengelilingi rumah.
Aku yang lumayan sedikit banyak tahu tentang hal ini, segera mengetuk kamar mbak Jum dan mencoba untuk membangunkannya.

"Ada apa Dek Wi ..." Tanya mbak Jum setengah sadar, sambil merapikan baju bagian atasnya yang sedikit tersingkap.
Aku segera memintanya untuk membuatkan kopi, yang sebetulnya ini hanya alasan saja, sebenarnya aku ingin membuat malam ini mbak Jum tetap terjaga. Mbak Jum pun kemudian melangkahkan kakinya ke arah dapur, dan aku segera ke kamar mandi untuk bersuci.
Malam ini aku ingin mbak Jum tetap dalam kondisi terjaga, agar pengaruh santet ‘pring sedapur’ yang dikirim tidak mengenainya, sebab kekuatan santet itu akan lebih cepat bereaksi apabila menyerang orang yang sedang dalam kondisi tertidur,
meski mbak Jum bukanlah target yang sebenarnya, tapi tentu imbasnya akan mengenainya juga.

Aku tidak bisa membangunkan tuan rumah karena akses yang tertutup, dan aku juga berpikir bahwa masih ada satu orang spritualis yang diminta untuk menjaga Erika,
juga ada beberapa pendamping ghoib yang sengaja ditanam untuk menjaga seisi rumah.

Tentu hal ini akan menghambat penyerangan, meskipun aku sadar, sang pengirim santet bukanlah orang sembarangan ,
yang mampu membuat mbah Man dan mbah Rus binasa oleh serangan santetnya, karena mencoba untuk menghalangi dan melawannya.

Aku sendiri tidak tahu menahu, siapa sebenernya dalang dibalik semua ini,
yang tergambar dari pantulan air di dalam baskom. Apakah itu orang yang di tolak cintanya oleh Erika, atau orang yang digeser posisinya oleh bu Wandra? Tapi, siapapun mereka,
bagiku tidak begitu penting, karena yang terpenting saat ini adalah menyelamatkan diri dari pengaruh santet yang sangat kejam ini.

Di bagian belakang rumah yang cukup luas, aku melihat dengan jelas melesatnya dua buah bola api yang datang dari arah berbeda,
tentu saja ini bukan hanya dari satu orang penyantet saja. Bola api terus berputar mengitari rumah dan seakan ingin menembus pertahanan ghoib pemilik rumah. Sudut mataku pun melihat macan luwing, sosok hitam dan nyimas konde yang sedang bertempur, menghalau kiriman santet itu.
Ketiga makhluk pendamping Erika tersebut, kini sedang bertempur habis-habisan.

Dari arah barat, sebuah larik sinar berwarna unggu melesat dengan cepatnya. Sinar yang berbentuk lancip menyeruak dengan hawa yang sangat panas, lalu menusuk kedua bola api yang mulai tampak mengecil,
dan kedua bola api itu kemudian seakan menjadi satu, menyatukan kekuatan, membungkus larik sinar ungu tersebut dan melesat kian kemari mengarah kepada ketiga penjaga ghoib yang sedang melindungi Erika.
Makhluk hitam tinggi besar itu kini mengerang, seakan merasakan kesakitan, saat tubuhnya tertembus oleh larik lancip sinar unggu tersebut, lalu tubuhnya ambruk melayang dan berubah menjadi asap hitam pekat. Macan Luwing terus mengaum, suara aumannya menggelagar membahana,
dan nyimas konde terus menyemburkan ludahnya yang berwarna merahm yang kemudian berubah menjadi lidah api yang terus menyambar-nyambar larik sinar unggu itu dan tak lama kemudian terdengar jeritan memilukan dari nyimas konde,
saat larik sinar unggu menembus lehernya. Sisir yang selalu dipegangnya terjatuh, tubuhnya terbakar oleh api membara berwarna unggu.

Macan luwing kemudian mengaum dan suaranya lenyap begitu saja, saat larik sinar ungu itu,
kemudian melesat masuk dalam rumah. Pada saat larik sinar ungu itu memasuki rumah, tak berselang lama kemudian terdengar sebuah suara letupan yang berasal dari dalam rumah.
Sehari berselang dari kejadian itu, aku mendengar kabar bahwa ahli spritual yang menjaga Erika kembali menjadi korban dari keganasan santet pring sedapur, yang memang santet jenis ini akan menyerang balik siapapun yang berusaha untuk melawannya,
apalagi dengan ditambah oleh kekuatan magis dari keris Setan Kober yang terbilang sangat ganas.

Aku kembali masuk kamarku, dan menulis di dinding kamar angka sembilan,
dimana angka tersebut adalah jumlah korban dari keganasan santet pring sedapur yang berasal dari para ahli spritual yang mencoba untuk mengobati Erika.

Aku harus cepat-cepat keluar dari rumah ini, bagaimana pun aku sadar bahwa kemampuan batinku bukanlah lawan yang sebanding,
untuk melawan keganasan keris setan kober, yang terus mencari korban untuk menambah kekuatannya.

Semakin banyak darah yang tertumpah dan semakin banyak nyawa yang melayang,
maka akan semakin menambah kesaktian pemilik keris setan kober, bahkan bangsa lelembut pun bisa dibuat tidak berdaya.

Kondisi Erika mungkin saat ini sudah bisa dikatakan mendekati gila, karena kelakuan liarnya yang diluar nalar,
tetapi anehnya ketika bapak dan Kasran mencoba untuk membawa Erika ke rumah sakit jiwa, kesadarannya tiba-tiba kembali normal, namun saat berada dalam rumah dia kembali menjadi gila, hal ini membuat pak Kasran dan istrinya menjadi semakin stress dan frustasi.
Aku pun mempunya firasat yang kurang baik, bahkan buruk ketika menelaah kejadian demi kejadian yang terjadi di rumah ini. Berdasarkan firasatku inilah, kemudian aku menyarankan kepada Sinta untuk sementara waktu untuk tidak tinggal di rumah dulu,
mencari tempat agar bisa selamat dari santet yang terus menerus datang ini.

"Menurut Om Wi aku harus kemana? "Tanya Sinta setelah aku jelaskan duduk masalahnya.

"Sinta bilang sama Papah dan Mamah untuk break dulu sekolah satu semester, untuk menenangkan diri …" Saranku padanya
"Iya Om ... Nanti Sinta minta ijin sama Papah dan Mamah …" Ucapnya mengiyakan saranku.

Aku hanya tersenyum dan menggangkat ibu jariku, setelah mendengar respon dari Sinta yang mau menuruti saranku.

Pada akhirnya pak Kasran kemudian mengajukan pensiun dini kepada perusahaan nya
karena memang hanya tinggal tersisa beberapa tahun lagi, sebelum dia pension secara otomatis. Tapi berbeda dengan bu Wandra, pengajuan pengunduran dirinya dipersulit oleh perusahaan tempatnya bekerja karena suatu hal yang akupun tidak tahu.
otomatis setiap hari pak kasran berada dalam rumah untuk menjaga Erika .

Hari itu aku memberikan pilihan kepada Sinta, untuk tinggal di pondok pesantren Jombang, Jawa timur atau di pondok pesantren Suryalaya, Jawa barat. Sengaja aku menyarankan untuk tinggal di pondok,
selain bisa menjauh dari rumah ini, Sinta juga mendalami ilmu agama lebih lanjut, karena kebetulan dia pun menyukainya.

"Kalau di Jombang, Jawa timur itu dulu tempat pesantrennya Om Wi. Kalau di Jawa barat, pengajar-pengajarnya itu kawan-kawannya Om Wi.
Ayo, mau pilih dimana Sinta?" Tanyaku.
Ternyata Sinta lebih memlih untuk berada di pesantren Jawa barat dan Sinta pun langsung mengutarakan keinginannya untuk mondok di pesantren,
dan ternyata tanpa disangka-sangka, keinginan Sinta itu disetujui oleh bapak dan ibu Kasran. Tanpa berlama-lama aku pun langsung mengurus segala keperluan Sinta untuk mondok di pondok pesantren Jawa barat
dan setelah semuanya selesai, Sinta pun berpamitan kepada keluarganya dan aku pun segera mengantar keberangkatannya menuju pondok pesantren suryalaya, yang berada di Jawa barat.
Sekembalinya mengantar Erika dari pondok pesantren, kini kudapati pak Kasran sedang terbaring sakit dengan lemah, setelah sebelumnya dia terjatuh di kamar mandi dan langsung mengalami gejala stroke.
Tentu hal ini semakin menyulitkan mbak Jum dalam mengerjakan pekerjaan rumahnya dan mau tidak mau, aku pun harus membantu untuk mengerjakan pekerjaan rumah mbak Jum, karena mbak Jum sendiri kini bertugas untuk menjaga juga pak Kasran.
Aku juga jadi lebih banyak menghabiskan waktuku bersama Erika. Aku menemani Erika bermain ini dan itu, dan pada saat dia kambuh, tak jarang aku mengurungnya di kamar sendirian,
karena takut jika Erika kembali mengamuk akan membahayakan kondisi pak Kasran yang kini sedang mengalami stroke, sebelah badannya tidak berfungsi.
Sore itu bu Wandra tampak begitu letih, raut wajahnya terlihat sangat kusut dan hanya duduk termenung saja, kemungkinan dia jadi lebih banyak melamun, karena begitu banyaknya masalah yang terjadi dan tidak kunjung selesai di rumah ini,
belum lagi kondisi pak Kasran yang kini menderita penyakit stroke, jadi mau tidak mau bu Wandra sendirian yang harus mencari cara agar bisa menyembuhkan Erika.
Pada suatu hari ketika aku berada di dapur dan sedang menyeduh kopi, sedangkan mbak Jum sedang berada di halaman depan, menyiram tanaman. Aku mendengar suara langkah kaki yang sedang mendekati arah dapur dan berhenti tepat di pintunya,
dan aku membalikan badanku sambil memegang secangkir kopi. Tiba-tiba saja tangan bu Wandra memegang tanganku dan menatap mataku dengan napas menderu, naik dan turun.

Bu Wandra kemudian mengambil gelas dari tanganku dan meletakannya di atas meja,
kemudian membenamkan kepalanya di dadaku. Dia memelukku sambil menangis.

"Wi … Ibu sudah tidak tahan dengan semua ini …" Suaranya terucap lirih dan terbata-bata.

Tanganku pun dengan reflek memegang bahu bu Wandra dan sedikit mendorong tubuhnya dari dadaku.
"Inilah ujian yang sesungguhnya Bu ... Mungkin selama ini Ibu tidak pernah merasakan sebuah kesulitan, dan hari ini Allah menguji Ibu dengan media anak dan suami …" Jawabku.
Bu Wandra hanya bisa menangis dengan terisak-isak mendengar jawabanku, lalu terdengar lirih suaranya berucap, "Dulu Erika anak yang sangat cerdas, tapi sekarang … Wi ... Lihatlah kondisi Erika ..."
"Saya paham, Bu …" Jawabku kembali sambil menyodorkan segelas air putih untuk bu Wandra.

Aku pun melangkah ke luar dari dapur, lalu duduk di kursi plastic. Bu Wandra mengikutiku dan duduk di hadapanku sambil menyeka kedua matanya yang masih terus mengeluarkan air mata,
dan tak lama kemudian mbak Jum pun datang serta ikut duduk bersama kami.

Kami duduk bertiga berhadap-hadapan, memikirkan solusi atas kejadian-kejadian yag terjadi di rumah ini. Bu Wandra pun mengusulkan untuk membawa suaminya ke rumah sakit,
agar pihak rumah sakit saja yang merawatnya, sehingga minimal suaminya bisa terbebas dari energi-energi jahat yang ada di rumah ini.

Erika pun rencananya akan dibawa saja ke sebuah rumah sakit jiwa, minimal bisa keluar dulu dari rumah ini,
sedangkan bu Wandra sendiri akan mencoba untuk mengambil cuti beberapa pekan, untuk sekedar menenangkan diri, dan menjernihkan pikirannya.

Bu Wandra kemudian aku dan mbak Jum untuk menjaga rumah ini berdua saja,
selama pemilik rumah diluar, tapi tentu saja aku menolak kalau harus menjaga rumah sama mbak Jum. Itu sama saja membiarkan diriku terperangkap dalam sebuah kebebasan dan dosa. Aku gak mungkin hidup serumah dengan seorang perempuan yang bukan istriku.
"Kalau gitu nikahi aku saja Dek Wi … " Celetuk mbak Jum sambil tertawa-tawa.

Mendengar celotehan mbak Jum aku hanya tersenyum.

"Nah ... Itu ide bagus, Wi ..." Timpal bu Wandra.
"Wah ... Ini sekongkolan namanya …" Jawabku sambil meneguk kopi dan akhirnya kita tertawa bersama sore itu, sejenak melupakan seluruh peliknya persoalan yang ada di rumah ini.
Setelah adzan maghrib berkumandang, aku mendengar suara dari bel gerbang depan yang berbunyi. Aku pun segera beranjak dan setengah berlari ke arah depan untuk membukakan pintu gerbang, dan kini sebuah mobil Nampak memasuki halaman.
Tak berselang lama setelah mobl itu berhenti di halaman depan, lalu turunlah seorang kakek tua dengan sorban yang terlihat menggantung di lehernya.

"Mas ... Tuan rumahnya ada?" Tanya supir mobil yang mengantar kakek tua itu.
"Oh ... Ada Pak …" Jawabku sambil mempersilahkannya duduk di kursi depan rumah.

Aku segera berlari ke arah belakang dan mengatakan kepada mbak Jum, bahwa ada tamu untuk bu Wandra.
Mbak Jum pun langsung menuju kamar bu Wandra dan mengatakan ada tamu yang sedang menunggunya.

Tak lama kemudian supir itu pulang sendirian dengan meninggalkan kakek tua itu di rumah bu Wandra dan aku diminta untuk menemani dan membantu menyediakan semua kebutuhannya.
Aku kemudian segera menghampiri kakek itu dan menyalami serta mencium tangannya.

"Saya Mbah Imron …" Imbuhnya memperkenalkan diri, sambil berjalan-jalan mengitari setiap sudut rumah.

Aku melihat pandangan mata mbah Imron mengedar kesana-kemari,
ia memperhatikan dengan seksama setiap bagian rumah ini. Dia membuka satu persatu ruangan dan kemudian masuk ke dalam kamar pak Kasran, lalu mengangkat tangannya dan berdoa, lalu kembali berjalan mengarah ke kamar Erika.
Ketika pintu kamar dibuka, tiba-tiba saja seperti ada sebuah kekuatan yang mendorong mbah Imron, bahkan aku pun bisa merasakan dorongannya.

"Astagfirullah …" Seru mbah Imron sambil terjejer beberapa langkah ke arah belakang.
"Wi, cepat tutup pintunya …!" Seru mbah Imron setelah kami berdua berada dalam kamar.

Pernak pernik spritual berterbangan di sekitar kamar Erika yang terbilang cukup luas. Kulihat sebuah kotak dalam lemari Erika kemudian terbuka,
, nampak isi dari kotak itu langsung terbang dan berdiri di atas lemari. Sebuah sosok kecil berambut dengan taring dan kuku yang panjang dan meruncing, setengah tubuh dari sosok itu pun menyerupai ular.
Orang-orang yang berkecimpung dalam dunia supranatural sering menyebut sosok ini dengan sebutan jenglot yg memiliki kekuatan supranatural tinggi. Jenglot setengah ular ini juga sangat sulit untuk didapatkan.
Benda keramat ini terbilang langka, belum lagi ritualnya yang terbilang berat.

"Darimana Erika bisa mendapatkan benda seperti ini …" Ucapku dalam hati.

Sosok jenglot itu kini tengah berdiri dengan kedua tangannya yang bergerak-gerak seperti patah-patah.
Beberapa bilah keris pun ikut berterbangan tak beraturan. Tidak hanya itu, beberapa batu mustika pun kini berterbangan kesana-kemari. Entah berapa banyak khodam-khodam atau makhluk dari dunia lain yang berada di dalam kamar Erika ini.
Entah itu yang berasal dari berbagai senjata ataupun batu-natu mustika itu, tapi yang jelas kekuatan yang terasa begitu besar berasal dari sosok jenglot itu.

Mbah Imron kemudian memutar sorbannya yang kemudian diiringi dengan terdengarnya deru angin yang keluar dari sorban itu.
Seketika itu juga beberapa mustika kembali ke tempatnya dan hanya beberapa gelintir saja yang masih tetap berterbangan. Kembali mbah Imron memutar sorbannya dan kemudian memukulkannya ke arah jenglot tadi.
Jenglot itu pun terbang menghindar dan berpindah tempat, kini diaberada atas meja belajar Erika.

Pada saat itu, kondisi Erika sendiri hanya bisa terbaring dengan tangan yang mengepal
dan dibarengi dengan kedua bola matanya yang berputar liar disertai suara yang menggeram keluar dari mulutnya. Kupejamkan mataku dan mencoba untuk memfokuskan hati dan pikiranku, untuk melihat sesuatu yang tak terlihat oleh mata telanjang.
"Hmm ... Ternyata disitu ..." Ucapku dalam hati.

Kembali mbah Imron mengibaskan sorbannya untuk yang ketiga kali. Dan kali ini kembali diarahkan kepada jenglot tadi, tetapi jenglot itu berhasil menghindar dan kini terbang melayang ke arah mbah Imron.
Secepatnya mbah Imron menarik sorbannya, dan kembali mengibaskannya ke arah jenglot itu, tapi terlambat, jenglot itu telah berhasil melukai, dan menancapkan taringnya di bahu mbah Imron.
Setelah berhasil melukai mbah Imron, jenglot itu lalu kembali terbang dengan taringnya yang kini sudah berwarna merah dengan darah mbah Imron dan kembali masuk ke dalam kotaknya, dan dengan sendirinya kotak itu menutup.
Mbah Imron pun mendekap luka di bahu kirinya dengan tangan kanannya.

"Bahaya …! Cepat Wi, kita keluar dari sini …!!" Seru mbah Imron dengan meninggalkan aku yang masih memejamkan mata.
Aku yang masih dalam keadaan terpejam segera membuka mata dan cepat-cepat keluar dari kamar Erika dan aku mulai merasakan rasa takut yang menjalar di sekujur tubuhku ini. Kamar Erika memang telah terisi dengan banyak makhluk-makhluk ghoib dari dunia lain,
dan saat aku memejamkan mata di kamar Erika tadi, batinku seakan-akan melihat sebuah boneka yang tergantung dalam keadaan terikat dengan benang merah dan kepalanya tertusuk beberapa batang jarum.
Sedangkan satu boneka lagi dalam keadaan seluruh badannya terikat oleh benang merah dan tertanam di dalam rumah ini.

Mbah Imron kini merasakan panas yang luar biasa di bahu yang sebelumnya di gigit oleh jenglot setengah ular itu.
Jenglot itu mengoyak bagian bahunya dan meninggalkan lubang yang lumayan dalam. Aku pun kemudian meminta kepada mbah Imron untuk menginap saja di rumah ini dan jangan pulang malam itu juga.
"Mbah jangan pulang sekarang ya, saya gak bisa mengantar, soalnya di rumah gak ada siapa-siapa, Mbah …" Tukasku.

"Ya sudah Wi, kalau kamu gak bisa nagnter Mbah, biar Mbah pulang sendiri aja." Jawabnya.

"Jangan Mbah, jangan pulang malam ini ..." Pintaku khawatir.
"Kenapa emangnya...? Kamu tenang aja Wi ..." Jawab mbah Imron.

"Bukan begitu Mbah ... Tangan dan bahu Mbah sedang terluka, biar nginap aja dulu di sini. Besok pagi saya antar pulang Mbah." Jelasku.
Mbah Imron menatap ke arah bahunya dan kemudian mengangguk, menerima saranku, lalu kembali berjalan ke arah belakang dan menginap malam itu di kamarku. Aku sungguh menghawatirkan keselamatan mbah Imron malam ini, setelah kejadian yang baru saja terjadi di kamar Erika.
Setelah sholat subuh berjamaah bersama mbah Imron, aku segera duduk di kursi plastik dan tepat disebelahku, mbah Imron ikut duduk sambil menghisap sebatang rokok kretek.
"Wi ... Aku sarankan untuk segera meninggalkan rumah ini. Energi jahatnya begitu terasa dan sangat dingin menusuk tulang. Itupun kalau kamu mau selamat … " Ucap mbah Imron memecah keheningan pagi.
Aku hanya diam mendengarkan nasihatnya sambil menghisap dalam-dalam rokok kretekku.

"Ini bukan tandinganku, maupun kamu Wi ... Aku tahu kamu punya kemampuan, tapi bersikap hati-hati
dan sedikit merasa takut akan membuatmu lebih wapada untuk melangkah. Ojo sembrono …" Lanjut mbah Imron disela-selakepulan asap rokok kami berdua.

"Iya, Mbah ..." Jawabku singkat.
Matahari pun mulai menampakan dirinya. Hangat sinarnya menyapa hamparan seluruh bumi. Di ruang depan aku tidak bu Wandra seperti biasanya, karena bisanya bu Wandra selalu terlihat duduk sambil minum secangkir teh, di kala pagi seperti ini.
Tak lama kemudian mbak Jum kemudian menghampiriku yang tengah duduk bersama mbah Imron, terlihat mbak Jum datang dengan begitu tergesa-gesa.

"Dek … Dek … Dek Wi ... Ibu sakit …" Terang mbak Jum sembari mengatur napasnya.
"Sakit apa Mbak?" Tanyaku.

"Ayo Dek Wi, sama Mbah Imron lihat Ibu langsung saja …" Ajak mbak Jum sedikit memaksa.

Aku segera melangkah mengikuti mbak Jum di belakangnya, disusul oleh mbah Imron.
Sesampainya kami di kamar, nampak bu Wandra tengah terbaring lemah dengan berselimut tebal, padahal hari sudah mulai terang.

"Ibu sakit apa …?" Tanya mbah Imron memastikan keadaan bu Wandra.

Mulut bu Wandra seakan tak mampu berucap.
Begitu lemah suaranya dan nyaris tidak terdengar sama sekali. Lalu mbak Jum mencoba untuk mendekatkan telinganya ke arah mulut bu Wandra, dan terlihat mbak Jum mengangguk-anggukan kepalanya,
kemudian tangan mbak Jum membalikkan tubuh bu Wandra dalam posisi tengkurap.

Setelah bu Wandra berganti posisis, mbak Jum kemudian menarik selimut tebal yang menyelimuti tubuh bu Wandra secara perlahan dan menyingkapkan baju daster bagian belakangnya yang terlihat basah.
"Astagfirullah … " Secara bersamaan kalimat itu terucap dari mulutku dan mbah Imron.

Kini terlihat, tepat di belakang di pinggang bu Wandra sebuah luka menganga yang membusuk menebarkan bau amis, serta mengeluarkan darah dan nanah.
Mbak Jum langsung menutup mulutnya, dia bergidik ngeri dan segera membalikkan badan. Terlihat bibir bu wandra meringis menahan sakit, disertai butiran air mata yang kemudian mengalir secara perlahan di lereng pipinya.
Lengkap sudah kemalangan yang menimpa keluarga pak Kasran, dan kini hanya Sinta yang sempat aku selamatkan dengan memindahkannya ke pondok pesantren Suryalaya, Jawa barat.
Aku segera membalikkan kembali tubuh bu Wandra, karena aku tidak tega melihat luka di bagian belakang tubuhnya itu. Aku dan mbak Jum pun semakin kebingungan, karena satu persatu keluarga itu berada dalam kondisi mengkhawatirkan.
Aku mencoba untuk menenangkan diriku, agar aku bisa mencari solusi yang terbaik, dan akhirnya aku putuskan untuk meneruskan rencana bu Wandra, untuk membawanya beserta suaminya ke rumah sakit, agar bisa di rawat dan ada yang memperhatikan kondisi mereka berdua,
dan Erika aku titipkan di rumah sakit jiwa, meski dia memberontak dan mengatakan bahwa dirinya tidaklah gila.

Sore itu juga, aku kemudian mengantar mbak Jum untuk pulang ke kampung asalnya di Klaten,
dan setelah mengantarkan mbak Jum, aku langsung menuju ke pondok pesantren, di Jawa barat untuk sekedar menjenguk Sinta.

Setibanya di pondok pesantren aku kemudian bertemu dengan Sinta, dan dia pun menanyakan kabar kedua orang tuanya.
Aku terpaksa berbohong kepada Sinta dengan mengatakan tentang keadaan keluarganya yang baik-baik saja dan berjanji akan membawa mamah serta papah dan juga kakaknya, Erika untuk berkunjung menemuinya di pondok.
Semua ini aku lakukan semata-mata hanya untuk menenangkannya saja dan Sinta bisa fokus dengan pendidikannya di pondok ini.

Dari pondok pesantren, kemudian aku terus menuju ke kota Garut dan terus mengarah ke selatan, hingga akhirnya aku sampai di rumah mendiang nenekku.
Rumah itu masih tetap berdiri tegak, meski sudah tidak ada lagi penghuninya.

Dari rumah itu aku kemudian terus melangkah menelusuri hutan pohon bambu, hingga di pusara nenekku tercinta dan pada saat itu, senja sudah mulai tenggelam.
Di depan pusara nenekku, kini kulihat Wangsadireja tengah duduk sambil menjilati kaki depannya. Wangsadireja menoleh ke arahku, lalu mengaum seakan-akan sedang menungguku di sini.

"Wangsadireja ternyata sudah lebih dulu sampai di sini …" Ucapku dalam hati.
Wangsadireja kemudian berdiri dan mengitariku dan aku pun mengelus-elus kepalanya. Setelah beberapa saat, aku segera pergi keluar dari kota Garut dan langsung menuju ke Jawa tengah, Jogjakarta.
Kupandangi dalam-dalam rumah megah ini sebelum membuka gerbang. Suasananya terasa begitu sepi dan mencekam. Aku bingung untuk memutuskan akan bermalam di mana,
karena aku tidak malam ini tidur di rumah ini, sama saja dengan bun** diri dan akhirnya aku pun keluar dari rumah itu dan menuju sebuah mesjid di perkampungan seberang perumahan elit itu.

Pagi itu setelah meminum kopi di salah satu warung,
aku pun segera beranjak ke rumah sakit untuk melihat keadaan suami istri yang menjadi majikanku. Aku terkaget ketika menengok ke kamar bu Wandra, karena disana ternyata sudah ada mbak Jum yang sedang duduk di samping ranjang bu Wandra.
“Loh, kok Mbak Jum ada di sini? Saya kira masih di Klaten, Mbak …” Tanyaku kaget melihat kehadirannya.

“Aku kepikiran terus sama Ibu, Dek Wi … Aku gak tenang, jadi aku putusin buat secepatnya ke sini buat nemenin Ibu …” Jelasnya.
Mbak Jum terlihat senang saat melihat aku datang, dan bu Wandra pun kemudian mengalihkan pandangan matanya ke arahku, dan meminta ku untuk membawa nya pulang.
"Wi ... Aku gak ingin mati di rumah sakit ini. Bawa aku pulang ... Jika hanya untuk mati, lebih baik aku mati di rumah saja …" Ucap bu Wandra dengan suara yang lemah.
Aku dan mak Jum pun hanya saling pandang, ketika mendengar ucapan dari bu Wandra. Kulihat mbak Jum kemudian mengganggukkan kepalanya, dan aku pun segera mengiyakan keinginan bu Wandra untuk pulang ke rumah.
Sore harinya setelah mengurus semua kepentingan dengan pihak rumah sakit, bu Wandra segera diantar oleh mobil ambulance untuk kembali ke rumah. Bagiku, saat memenuhi keinginan bu Wandra ini, aku sempat berpikir bahwa mungkin ini adalah keinginan terakhirnya,
tapi di sisi lain sama saja aku tengah mempertaruhkan hidupku juga, karena mau tidak mau aku harus kembali berhadapan dengan pemilik keris setan kober dan pengirim teluh lainnya.
Aku tidak punya pilihan lain selain menuruti keinginan dari bu Wandra, tetapi untung saja pada saat itu keluarga besar dari pak kasran dan istrinya kemudian berkunjung ke rumah, jadi suasananya tidak begitu mencekam. Hanya saja dua keluarga ini tampak memisah,
mungkin dikarenakan sebuah perbedaan, yaitu keluarga bu Wandra sebagian besar mendalami ilmu kebatinan, berbeda dengan keluarga pak Kasran yang sebagian besar lebih dekat dengan Tuhan sang pencipta Alam.
Malam itu sebagian dari keluarga bu Wandra mengadakan sebuah ritual di lantai atas, sedangkan sebagian besar keluarga besar pak Kasran, berada di lantai bawah, dan aku pun cepat-cepat pergi ke kamarku untuk istirahat.
Keesokan harinya, entah bagaimana caranya, keluarga bu Wandra berhasil mendapatkan sepasang ayam cemani dan kemudian meyembelihnya. Darah ayam cemani itu kemudian mereka tamping dalam wadah plastik,
lalu memercikkan darah ayam cemani itu di sekeliling kamar bu Wandra dan juga di halaman depan serta halaman belakang.

Dua hari kemudian, dua keluarga besar itu berpamitan untuk pulang,
sedangkan kondisi bu Wandra sendiri masih tergeletak sakit, dan mbak Jum dengan setia menemani di dalam kamarnya.

Malam itu aku memberanikan diri untuk memasuki kamar Erika dan melakukan tirakat di dalam kamarnya,
tapi sebelum memasuki kamar Erika, aku sudah merasakan adanya sebuah kekuatan yang mendorongku kembali keluar kamar, seolah-olah makhluk ghaib yang berada di kamar ini, tidak menginginkan aku masuk.
Dengan cepat aku membaca doa Malaikat Jibril dan menyapukan kedua telapak tanganku ke seluruh tubuh. Baru saja aku selesai berdoa, kini semua barang-barang pusaka Erika seketika berguncang seakan ingin keluar dari tempatnya.
Aku yang melihat itu semua, kemudian dengan segera meraih kotak kayu tempat jenglot setengah ular itu berada, dan dengan telapak tanganku, aku segera menutup kembali kotak kayu yang hampir sepenuhnya terbuka itu, dibarengi dengan beberapa doa khusus yang aku panjatkan.
Setelah mengunci kotak kayu itu dengan rapat, kemudian aku segera mengambil sarung bantal dan memasukan semua sisa pernak-pernik spiritual. Kini yang tersisa hanya kotak kayu dan dua bilah keris yang tak bisa kuambil,
, karena ketika kucoba untuk memasukkannya ke dalam sarungg bantal itu, ketiga pusaka ini melawanku balik, tanganku terasa sangat berat sekali, bahkan badanku pun bergetar dan berkeringat hebat, karena hawa di ruangan ini pun mendadak menjadi sangat panas.
Ada alasan kenapa aku sengaja memasukan semua pernak-pernik mistis itu terlebih dahulu, karena untuk mengurangi hawa negatif yang ada di dalam rumah ini, khususnya kamar Erika, dan agar tidak terlalu banyak makhluk astral yang berkeliaran di dalam rumah.
Lanjut besok yaa part terakhir ...

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Pusara Waktu

Pusara Waktu Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @pusara_waktu

Mar 11
ERIKA (Part 4 - END -)
- Keluarga Korban Santet -

A Thread

@IDN_Horor
@bacahorror
@ceritaht

#pusarawaktu #threadhorror #kisahseram #bacahorror #kisahnyata Image
ERIKA (Part 4 END)

Setelah membereskan semuanya, dan hanya menyisakan 3 benda pusaka, aku kemudian melakukan sebuah tirakat di dalam kamar itu. Segera aku keluarkan buku yassin dari saku baju dan sebotol air mineral yang sudah aku persiapkan sebelumnya.
Aku membuka tutup botol mineral itu dan segera membaca Yassin tujuh mubbin, dimana di setiap ayat yang ada kalimat mubbinnya di ulang sebanyak tujuh kali. Ini aku lakukan sesuai dengan arahan dari mbah Yai, ketika aku masih mondok di salah satu pesantren di daerah Jawa timur.
Read 167 tweets
Mar 8
ERIKA (Part 2)
- Keluarga Korban Santet -

Melihat raut muka Sinta yang begitu antusias dan terlihat polos, aku pun tersenyum mendengar pertanyaannya.
"Santet itu sudah ada pada jaman Rasul sekali pun, bahkan dalam sebuah hadist diterangkan bahwa pernah satu hari Rasul pernah disihir atau disantet oleh para dukun waktu itu, hingga beliau muntah darah dan malaikat jibril yang berdoa kepada Allah untuk kesembuhannya.
Read 131 tweets
Mar 7
ERIKA
(Keluarga Korban Santet)

Ns : Mas Wijaya

Aku mencium bau yang tidak asing, saat berada di halaman depan yang ditumbuhi beberapa pohon pisang kipas, sejenis pohon pisang hias dan sebuah pohon mangga yang cukup besar berdaun rimbun.
Sekilas disudut mataku, aku melihat sebuah sosok hitam legam sedang menatapku dengan sorot matanya yg berwarna merah menyala. Segera aku palingkan muka dan berjalan ke arah pintu gerbang untuk menguncinya, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang tidak asing, aku mengenal suara ini.
Read 132 tweets
Mar 2
Cokro Kolo Munyeng
Season II - End

Dengan hentakkan Al-zalzalah, aku pun menyongsong guncangan serangan dari gada betoro. Sebuah benturan yang begitu dahsyat pun terjadi, membuat tubuhku terpental begitu jauh, bahkan baju dan tanganku pun ikut terbakar hingga kulitnya melepuh.
Srenggi kolo pati tertawa terbahak-bahak menyaksikan tubuhku yang kini sedang terkapar. Dengan cepatnya dia kemudian menyerangku dengan lecutan cambuk api dan anginnya kembali, "Swwiiit ... Ctarr ... Ctaaarrrr ...!"
Read 85 tweets
Mar 1
COKRO KOLO MUNYENG
Season II

Ns : Mas Wijaya

Selepas sholat subuh handphoneku berbunyi, sebuah pesan telah masuk. Aku segera menbacanya, "… Kamim telah berpulang untuk selamanya ...” Sebuah penggalan pesan yang kubaca berasal dari saudaranya.
Aku terdiam membaca pesan itu, mataku berkaca-kaca dengan tangan yang gemetar. Perasaanku bercampur, antara sedih dan kesal. Tapi hal ini sudah terjadi, sudah menjadi suratan takdir, bahwa Kamim harus berpulang kembali kepada Sang pencipta.
Read 102 tweets
Feb 27
Lanjut Part terakhir di Season 1 yaa PWers ...

Cokro Kolo Munyeng
(Part 7 - Season 1 - END)

Aku terus terdiam sesaat setelah Hamidah mengutarakan keinginannya, bagiku menikahi Hamidah sama dengan mempertaruhkan nyawaku ini. Aku tidak yakin bisa menahan diriku selama 40 hari,
jika aku benar-benar harus menikahi Hamidah, selain karena kecantikan dan pesona Hamidah sendiri, Hamidah itu sangatlah agresif, aku bisa celaka jika tidak bisa menahan diriku atas godaannya, bisa-bisa aku yang akan menjadi korban selanjutnya.
Read 96 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(