Pusara Waktu Profile picture
Mar 11 167 tweets 22 min read
ERIKA (Part 4 - END -)
- Keluarga Korban Santet -

A Thread

@IDN_Horor
@bacahorror
@ceritaht

#pusarawaktu #threadhorror #kisahseram #bacahorror #kisahnyata
ERIKA (Part 4 END)

Setelah membereskan semuanya, dan hanya menyisakan 3 benda pusaka, aku kemudian melakukan sebuah tirakat di dalam kamar itu. Segera aku keluarkan buku yassin dari saku baju dan sebotol air mineral yang sudah aku persiapkan sebelumnya.
Aku membuka tutup botol mineral itu dan segera membaca Yassin tujuh mubbin, dimana di setiap ayat yang ada kalimat mubbinnya di ulang sebanyak tujuh kali. Ini aku lakukan sesuai dengan arahan dari mbah Yai, ketika aku masih mondok di salah satu pesantren di daerah Jawa timur.
Mubbin sendiri bisa diartikan nyata atau jelas. Setelah selesai melakukan tirakat, kemudian aku menutupnya dengan berdoa memohon petunjuk kepada gusti Allah, serta memohon perlindungan dan meminta agar diberikan kekuatan untuk menghadapi semua hal yang tengah terjadi kini.
Setelah selesai melaksanakan tirakat di kamar Erika, aku segera menghampiri kamar bu Wandra dan meminta mbak Jum untuk menyiramkan air dalam botol mineral yang sebelumnya sudah aku bacakan Yassin tujuh mubbin tersebut di semua sudut ruangan.
Keesokan harinya, aku segera menuju sebuah sebuah tempat di parang tritis, pantai laut selatan pulau Jawa untuk melarung semua benda-benda mistis yang sebelumnya sudah aku kumpulkan dan kemudian secepatnya kembali ke rumah.
Setelah aku kembali ke rumah, dengan segera aku meminta mbak Jum untuk menyiapkan sebaskom air hangat yang di campur dengan garam dari dapur, dan membawanya ke kamar bu Wandra.
Aku kemudian membantu untuk mengangkat bu Wandra dan memposisikannya dalam keadaan duduk. Kurendamkan kedua telapak kaki bu Wandra sampai sebatas pergelangan mata kakinya dalam baskom yang sudah diisi oleh air hangat dan dicampur dengan garam.
Ilmu ini diajarkan kepadaku oleh mbah Yai. Katanta dalam dunia supranatural garam dipercaya dan bisa digunakan untuk meredam dan menyedot energi negatif dalam tubuh.
Tanda adanya dari energi negatif yang mendiami tubuh, biasanya keluar dari ujung-ujung kaki, diantara batas antara kuku jari kaki dan dagingnya. Biasanya air dalam wadahnya pun akan berubah warna menjadi kehitaman, bahkan mungkin menjadi berwarna hitam pekat.
Ada juga yang hanya menimbulkan gelembung-gelembung udara yang bermunculan dari bawah telapak kaki.

Kini aku menyaksikan perubahan warna dalam air baskom tersebut,
saat merendam kaki bu Wandra. Dan aku sendiri sadar, bahwa apa yang aku lakukan ini adalah tindakan yang dapat membahayakan nyawaku, karena tindakanku menolong bu Wandra ini secara tidak langsung sudah menantang para pengirim santet itu.
Di siang harinya setelah aku mengobati bu Wandra, aku kemudian mencoba untuk kembali memasuki kamar Erika. Berbeda dengan sebelumnya yang sangat terasa sekali penolakan dari para makhluk ghaib di kamar ini,
kali ini aku bisa masuk ke dalam kamar Erika dengan lebih mudah, mungkin dikarenakan sebagian benda-benda pusaka di kamar ini sudah aku singkirkan.

Aku pun kemudian kembali mencoba untuk untuk memasukan sisa ke dua bilah keris ke dalam kardus bekas mie instan,
setelah sebelumnya aku terlebih dahulu membentengi diriku dan merapalkan beberapa doa, agar perlawanan makhluk-makhluk penunggu keris ini dapat aku tangkal. Dan ternyata memang tetap ada perlawanan dari para pengunggu keris-keris ini,
akan tetapi aku berhasil mengalahkannya walaupun dengan bersusah payah. Dan Setelah berhasil memasukkannya ke dalam kardus, kemudian aku membawa menyimpannya di dalam bagasi mobil.
"Hmm ... Tinggal jenglot setengah ular itu …" Gumamku dalam hati sambil melangkah kembali ke dalam kamar Erika dan menghampiri kotak kayu kecil itu.

… Aku pun kemudian menghampiri kotak kecil itu dan ketika tanganku menyentuhnya,
kotak itu kemudian bergetar dengan hebatnya seakan memberikanku perlawanan. Aku segera memejamkan mata, menyatukan pikiran dan hatiku, mengarahkan kefokusanku ke tertuju ke kotak kayu itu.
"Kembalikan aku ke kaki Gunung sindoro …" Sebuah suara tiba-tiba saja terdengar dengan jelas di kupingku.

"Aku akan mengembalikanmu ke asalmu, tapi jangan pernah kembali rumah ini …" jawabku dalam hati.
"Aku tidak akan kembali ke rumah ini, asal kamu memberikan aku darah ayam yang berbulu terbalik …" Pinta kembali suara itu.

"Aku tidak akan pernah mengikuti keinginanmu! Kalau mau pulang aku antar, kalau nggak mau, kamu akan aku musnahkan!" Jawabku lantang menantang.
"Musnahkan saja aku kalau kamu mampu …" Suara dari dalam kotak kayu kembali terdengar.

"Baik, akan aku lakukan!" Jawabku akan tantangannya.
Lalu mulutku pun berkomat-kamit membaca doa-doa khusus dan doa Malaikat Jibril, "Ya Allah … Jadikan Malaikat Jibril di tangan kananku untuk menghancurkan setan dan jin pembangkang ini! ".
Setelah berdoa, aku langsung menggebrak kotak kayu yang berisi boneka jenglot setengah ular itu. Tak ayal, kotak kayu itu semakin bergeyat lebih hebat dan mengeluarkan asap hitam, yang lama kelamaan menjadi sebuah gumpalan hitam yang semakin menebal.
Semakin lama, gumpalan asap itu menjadi semakin menjelas membentuk sebuah sosok kakek-kakek dengan separuh badannya berwujud ular.
"Hahaha ... Aku akan datang kembali! Akan kucabik-cabik tubuhmu hai anak manusia!!" Ancamnya dengan suara yang membahana, dibarengi dengan menipisnya gumpalan asap itu, dan kemudian menghilang.
Setelah selesai semuanya, kemudian aku langsung melarung kedua keris dan kotak kayu kecil itu, agar seluruh energi yang tersisa benar-benar lenyap dari kamari ini.

Malam kembali datang, gelap mulai mengitari sekeliling rumah ini.
Bu Wandra masih mengerang kesakitan, lukanya kini semakin menebarkan bau amis darah bercampur nanah yang menyengat ke penjuru ruangan. Mbak Jum pun terlihat sudah tak mampu lagi menahan kantuknya dan begitupun dengan aku yang merasakan rasa kantuk yang begitu luar biasa.
"Wah, ngantuk banget. Padahal baru jam segini …" Pikirku sambil melihat ke arah jarum jam yang berdetak di dinding rumah ini sambil berjalan ke arah kursi sofa di tengah ruangan dan kemudian merebahkan badanku di atasnya. Aku dan mbak Jum benar-benar dibuat tertidur.
Tiba-tiba saja aku terbangun dan tersentak, lalu mengusap-usap kedua mataku. Aku langsung berlari ke arah kamar bu Wandra.

"Astagfirullah … " Gumamku pelan saat melihat kondisi bu Wandra.

Aku terkaget ketika melihat kondisi bu Wandra tengah mencekik lehernya sendiri.
Tentu ini bukan keinginannya. Sementara mbak Jum terlihat tertidur lelap di samping ranjangnya.

"Hmm ... Aji sirep mayit …" Ucapku dalam hati.
Ilmu sirep mayit adalah sebuah ilmu yang konon dipakai oleh para telik sandi atau mata-mata pada jaman kerajaan di nusantara, hanya saja ilmu ini banyak disalahgunakan oleh para penjahat.
Pada jaman itu ilmu ini lebih sering dipakai untuk merampok, daan siapapun yang terkena Ajian ini, akan tertidur seperti orang mati (mayit) dan tidak jarang juga digunakan oleh para dukun penganut ilmu hitam, untuk membuat target tertidur.
Karena santet akan bekerja lebih maksimal ketika kita sedang tidak terjaga. Begitupun aku dan mbak Jum yang terkena Ajian sirep mayat, hingga saat kiriman ini datang, aku sama sekali tidak merasakan apa pun,
tapi aku masih bersyukur bahwa kiriman itu tidak mengenai diriku dan Tuhan membangunkan aku disaat yang tepat, saat dimana bu Wandra butuh pertolongan.

Ketika melihat kondisi bu Wandra, aku segera memegangi kedua tangannya, karena ini bukan kehendaknya sendiri.
Aku segera berdoa, lalu meniupkannya ke telapak tanganku, kemudian mengusapkannya di wajah bu Wandra dan mengepalkan telapak tanganku, lalu berlari ke arah halaman belakang dan membuang kepalan tanganku.
"Pergi dan kembali sama tuanmu!" Seruku sambil mengibaskan tangan.

Aku segera kembali ke kamar bu Wandra dan membangunkan mbak Jum yang masih terlelap tidur, dengan kembali menyapukan telapak tanganku yang sudah aku basahi terlebih dahulu dengan air biasa.
Mbak Jum terbangun kaget dan mengerdipkan-ngerdipkan matanya.

"Loh ... Dek Wi, kok ada di sini ..." Tanya mbak Jum kleheranan dengan kehadiranku.

Aku hanya tersenyum saat mbak Jum bertanya dan menatapku dengan heran.
"Mbak Jum tolong kalau mau ke dapur, sekalian buatkan kopi panas ya Mbak …" Pintaku.

"Siap laksanakan, Dek Wi ..." Jawab mbak Jum sambil mengedipkan matanya dan segera beranjak.
Aku pun kembali ke ruang tengah dan menyeruput kopi panas yang telah disediakan. Seperti biasa, seperempat gelas kutuang di piring kecil, lalu menyulut sebatang rokok kesukaanku dan mengepulkan asapnya tinggi-tinggi ke atas.
Sayup-sayup kini kudengar sebuah suara raungan, dan aku yakin ini bukan suara dari raungan Wangsadireja. Aku segera beranjak dan membuka pintu bagian depan. Kedua mataku mengedar meliihat sekitar.
. Di samping pendopo, nampak seekor macan kumbang hitam, tengah berbaring sambil menjilati kedua kakinya secara bergantian.

"Macan Luwing ..." Ucapku pelan.

Ku arahkan langkah kakiku ke arah pendopo dan menghampirinya.
"Assalamualaikum, hai Macan luwing ..." Sapaku dalam batin.

Macan luwing pun mengaum, membalas salamku. Aku pun segera mengelus-ngelus kepala macan macan hitam itu, saat mengetahui dia tidak menjadikanku sebagai ancaman.
"Aku tahu kamu terluka dalam yang cukup parah, karena serangan dari keris setan kober yang telah melukai tubuhmu. Aku berusaha mencarimu dan berharap kamu selamat ..." Ucapku sambil mengalihkan elusanku pada tubuhnya.
Macan luwing kembali mengaum dan menurunkan kepalanya di atas tanah. Aku bisa merasakan jika kini macan luwing sedang sedih karena tidak mampu menjaga tuannya. Terlihat dari tingkahnya yang berbeda.
"Sudahlah, jangan sedih ... Erika gak apa-apa …" Ucapku mencoba menenangkannya.

Mulai saat itu juga macan Luwing selalu mengikutiku kemana pun aku pergi, seperti Wangsadireja.
Aku mengatakan kepadanya, bila besok Erika sembuh, dia harus kembali menjaganya. Macan luwing kali ini terdiam dan tidak mengaum seperti biasanya, hanya mengibaskan ekornya saja ke kiri dan ke kanan.
Pagi itu aku berusaha mencari dimana letak boneka-boneka kiriman dukun santet yang aku lihat ketika menerawang dan terlihat oleh mata batinku di kamar Erika sebelumnya.
"Aku harus mengambilnya nanti malam. Jangan sampai semakin lama dan berlarut-larut, karena jika semakin lama maka akan semakin sulit mencarinya." Ucapku dalam hati.
“Jarum jam terus berdetak mengitari angka- angka. Detik, menit dan jam terus berganti. Sang senja temaram semburatkan warna kuning keemas an, lalu merah tembaga mengiringi para gagak hitam yang beriring pulang, hitam mengandeng kelam dan menurunkan malam nun jauh di atas sana.
Bintang-bintang mulai berkedip manja menemani rembulan menghias cakrawala. Ternyata keindahan senja telah tergantikan dengan panorama sang dewi malam.
Akankah rembulan tetap menjaga malam dan menerangi dalam gelap Serta mengetuk hati para penganut ilmu hitam …" Aku bersyair mengusir resah dengan datangnya sang malam.
Sebetulnya aku begitu khawatir dengan keselamatan diriku, dan juga dua orang wanita yang berada di dalam rumah ini. Karena aku tahu, para pengirim santet ini tidak akan puas sebelum membinasakan para targetnya.
Angin malam yang berhembus memaksaku untuk segera beranjak dan menghangatkan tubuh dengan secangkir kopi panas, lalu kembali duduk di kursi sofa panjang. Kutarik napasku dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
"Aku harus waspada dan tidak boleh lengah kali ini …" Ucapku pelan.

Aku kemudian berdiri dan melangkah ke arah dapur untuk mengambil wadah plastik dan mengisinya dengan air, lalu masuk ke dalam kamar Erika dan kemudian duduk bersila.
Kupusatkan hati dan pikiran serta membacakan surah Yassin dan ayat Qursi juga doa Nurbuat dan ditutup dengan doa Jibril, lalu meniupkannya pada air dalam wadah plastic. Aku memohon perlindungan pada Tuhan Sang Pencipta, dan memasrahkan semuanya.
Setelah selesai, aku pun kembali beranjak dari kamar Erika, menuju kamar bu Wandra. "Mbak ... Mbak Jum …" Panggilku mengetuk pintu kamar bu Wandra.
Tak lama kemudian pintu segera terbuka dan aku masuk serta langsung menyiramkan air yang sudah didoakan ke setiap sudut ruangan dan meminta mbak Jum, untuk menyeka seluruh tubuh bu Wandra.
Waktu bergulir dengan cepat, tak terasa, sekarang sudah tengah malam. Aku berusaha untuk tetap terjaga, agar bisa tetap waspada akan serangan-serangan santet yang mungkin saja akan datang. Tiba-tiba saja telingaku mendengar suara seperti kepakan sayap yg entah darimana datangnya.
Aku pun penasaran dan mencari sumber suara tersebut. Kini kulihat diatas sana, sebuah gumpalan tipis berwarna hitam mengitari bagian atas rumah. Aku terus memperhatikannya dengan seksama, dan tidak melepaskan pandanganku sedikit pun.
Lambat laun, gumpalan tipis yang berwarna hitam itu kemudian memekat, lalu membentuk sebuah sosok kelelawar yang cukup besar, lebih besar dari kelelawar normal yang biasanya kulihat. Kelelawar ini terus berpindah-pindah, dia terbang berputar-putar.
Aku segera berlari ke arah dapur untuk mengambil sapu lidi dan mencabut salah satu batangnya. sebagai manusia aku tidak punya daya dan upaya kecuali atas kehendakNya. Kusertakan doaku sambil mencoba untuk menyabetkan sebatang lidi ini ke arah kelalawar itu.
Kelalawar itu terbang menjauh dan kembali menukik menyerangku dengan kuku-kuku di jari-jarinya, serta gigi-gigi yang tajam, dengan kepalanya yang besar dan mata yang bulat. Dia terus terbang dan menyerang, menyambar kesana-kemari.
Suara suitan dari sebatang lidi yang dipukulkan ke udara, dibalas dengan suara pekikan kelelawar itu Entah berapa kali batang lidi mengenai tubuh kelelawar seakan tidak merasakan sakit. Kelelawar itu terus menyambar dan menyerangku.
Segera aku membaca salah satu ayat dari surah Yassin, lalu meniupkannya pada batang lidi ini. Kucoba menyabetkannya kembali ke tubuh kelalawar itu. Saat kelelawar itu datang dan hendak menyambarku,
suara suitan dari batang lidi menderu, menyambut kepak sayap kelelawar yang datang dari arah depan dan binatang bersayap itu pun terhempas di lantai.

Dua sayapnya mencoba untuk berkepak dan berusaha untuk terbang kembali.
Aku segera menyabetkan kembali batang lidi ini dan kali ini, sayapnya terdiam, hanya suaranya yang bercicit, seolah meringis kesakitan.

"Cepat pulang atau kumusnahkan!" Seruku dalam hati memperingatkan makhluk itu.
Seketika itu juga wujud kelalawar itu kembali berubah menjadi asap hitam pekat dan keluar dari dalam rumah. Entah dukun yang mana yang mengirimkan kelelawar itu, yang jelas aku harus tetap waspada.
Dini hari aku masih dalam kedaan terjaga dan kembali memasuki kamar Erika, untuk memejamkan mata dan berusaha untuk menerawang lebih jauh tentang keberadaan boneka santet yang ditanam di rumah ini.
Tak berapa lama setelah duduk dan berdoa, kini terdengar suara letupan dari arah kamar yang biasa ditempati pak Kasran.

Aku segera berlari dan membuka pintu kamar pak Kasran dan aku mencari dimana arah suara yang terdengar tadi.
Kubuka semua lemari dan laci, dan mengintip ke bawah kolong ranjang, tapi tetap belum juga kutemukan.

Aku terus mencari di setiap sudut ruangan kamar pak Kasran, bahkan sampai buka kasur tebal tempat tidurnya, tapi tetap tidak ada,
dan aku yakin hampir semua sudut di kamar ini sudah kucari.

"Hmm ... Mungkin aku salah dengar tadi …" Ucapku dalam hati dibarengi dengan ayunan langkah kaki keluar dari kamar ini.
Setelah aku keluar dari kamar pak Kasran, tidak lupa aku menutup kembali pintu kamarnya, dan tiba-tiba saja sebuah benda jatuh dari atas kusen pintu jati itu. Aku terperangah melihat boneka santet yang terikat benang merah di sekujur tubuhnya ,
dan beberapa jarum yang menancap di bagian kiri tubuh boneka itu.
"Ohh, ini ternyata yang membuat pak Kasran tubuhnya lumpuh sebelah … " Ucapku pelan sambil terus memperhatikan boneka media santet itu.
Aku segera ke dapur dan membakarnya di atas kompor gas sampai hangus dan menjadi abu, dengan tidak lupa membaca doa-doa agar terlindung dari bahaya santet, ketika memusnahkan boneka ini.
Dua hari kemudian mbak Jum dikabari oleh pihak rumah sakit, bahwa pak Kasran mengalami kemajuan dalam pengobatannya. Sebagian tubuhnya sudah mulai membaik dan mulai bisa digerakan meski masih terasa ngilu dan sakit.
Aku pun segera pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan pak Kasran, dan hanya tersenyum ketika pak Kasran meringis kesakitan, ketika mencoba untuk menggerakkan kakinya.
Aku meminta kepada pak Kasran untuk jangan pulang dulu, sebelum kondisinya betul-betul sehat, karena aku takut kamar pak Kasran belum benar-benar bersih dari energi jahat,
dan juga dan agar aku bisa lebih fokus untuk mempersiapkan langkah selanjutnya, dalam menghadapi rangkaian santet yang menyerang keluarga ini.

Aku harus mencari jalan agar bisa menyelesaikan semua masalah yang terjadi ini dan mencoba mencari tahu,
siapa sebenarnya siapa dalang dibalik seluruh persoalan ini. Apakah betul semuanya adalah perbuatan sosok pemuda yang ditolak cintanya oleh Erika dan dalang lainnya adalah seorang wanita setengah baya?
"Ah ... Aku tidak perlu tahu siapa mereka … Yang terpenting sekarang adalah bagaimana caranya agar bisa menyembuhkan bu Wandra dan Erika, kasihan mereka." Pikirku.
Sebetulnya masih ada satu hal lagi yang harus aku selesaikan, yaitu mencari satu lagi boneka santet yang entah dimana diletakkannya dan kemungkinan besar boneka santet itu ditujukkan untuk Erika.
Aku harus segera mencari tahu secepatnya, sebelum tertanam lebih lama dan semakin kuat ikatannya. Bu Wandra mengerang kesakitan sambil memegangi kepalanya malam itu.
Mbak Jum dengan setengah berlari kemudian manghampiriku yang tengah duduk di pendopo halaman depan.

"Dek … Dek Wi ... Itu ... Ibu ..." Terdengar suara mbak Jum yang terengah-engah dengan raut wajah yang terlihat panik.
"Tenang Mbak ... Jangan panik ... Tarik napas dulu ..." Jawabku sambil terus berdiri dari tempat duduk.

Setelah mbak Jum agak tenang, kemudian dia berkata, "Ayo cepat Dek Wi ... Lihat Ibu itu..." Ujarnya sambil menarik tanganku.
Aku segera melepaskan tangan mbak Jum dan kemudian setengah berlari menuju kamar bu Wandra. Dan sesampainya di sana, kulihat bu Wandra sedang memegangi kepalanya, dengan darah segar yang mengalir, keluar dari hidung dan telinganya.
"Ya Allah" Pekikku kaget sambil menghampirinya.

Tak berselang lama, mbak Jum pun datang, dan aku pun segera memintanya untuk mengambil air hangat, yang di beri garam secukupnya.

"Ini Dek ..." Ucap mbak Jum sambil menyodorkan apa yang aku minta.
Aku segera meraih gelas yang masih di tangan mbak Jum dan secepatnya membaca bagian dari salah satu ayat dari surah Yassin, " … dan kami jadikan dinding di hadapan mereka ..." Mungkin seperti itulah arti dari penggalan ayat yang kubaca, dan langsung kusambung dengan ayat ke 82.
Setelah membacanya berulang kali, lalu aku mengambil napas dalam-dalam dan meniupkanmya ke dalam gelas berisi air tersebut. Mbak jum kemudian meminumkannya kpada bu Wandra dengan menggunakan sendok, dan sisanya dipakai untuk menyeka tubuh bu Wandra.
Apa yang aku lakukan adalah salah satu bentuk ikhtiar untuk membentengi badan bu Wandra dari serangan berikutnya, karena tidak menutup kemungkinan bu Wandra akan mengalami muntah darah, dan memperparah kondisinya, bahkan mungkin dia bisa meniggal dunia.
"Ini sudah tidak lagi main-main lagi. Serangan itu cepat dan mematikan …" Pikirku sambil menggeser tubuhku mendekati bibir ranjang di mana bu Wandra tergeletak tak berdaya.
"Hmm ... Sepertinya aku harus memperkuat benteng bu Wandra ...” Lanjut gumamku dalam hati.

Sejenak kupejamkan mataku sambil membaca ayat Qursi sebanyak 99 kali dan menutupnya dengan penggalan ayat 58 dari surah Yassin.
Kemudian aku memohon perlindungan dari gusti Allah.

Setelah selesai membentengi bu Wandra, kemudian aku beranjak ke rumah sakit, dimana Erika diobati, karena aku khawatir hal yang sama juga terjadi padanya. Aku memasuki halaman rumah sakit jiwa untuk melihat kondisi Erika,
dan kini nampak Erika tengah asik bermain boneka layaknya seorang anak kecil. Dan aku hanya memperhatikannya dari kejauhan saja.

“Sabar ya non Erika ... Insya Allah, Non pasti sembuh …" Ucapku dalam hati sambil menyeka butiran air mata yang tak terasa jatuh dari pipiku.
Setelah memastikan keadaan Erika baik-baik saja, aku segera berdiri dan beranjak kembali meninggalkannya yang masih asyik dengan boneka-bonekanya. Aku juga tidak lupa untuk mampir terlebih dahulu ke rumah sakit di mana pak Kasran dirawat.
Setelah aku sampai, aku langsung menuju ruangan pak Kasran dan mengetuk pintu ruangannya. Tak lama kemudian daun pintu terbuka dan kini terlihat seorang wanita tersenyum dan mempersilahkan aku untuk masuk.
Aku segera duduk di kursi sebelah ranjang pak Karan dan di susul oleh wanita itu, di kursi yang berada di sisi lain ranjangnya. Dan tak lama kemudian wanita itu pun berpamitan untuk membeli sesuatu.
Pak Kasran kemudian menanyakan kondisi keluarganya dan aku hanya menjawab bahwa semua baik-baik saja. Terpaksa aku berbohong dengan kondisi bu Wandra, istrinya. Setelah cukup lama kami berbincang, akhirnya aku pun berpamitan dan segera berjalan keluar ruangan,
Di tengah jalan, kemudian aku pun berpaapasan dengan wanita yang tadi ada di dalam ruang perawatan pak Kasran, dia hanya tersenyum dan menyapaku.

"Cepat pulangnya, Mas?" Tanya wanita itu.
“Iya, Bu …” Jawabku pendek yang dibarengi dengan senyuman.

Wanita itu pun kemudian memperkenalkan dirinya. Dia bernama Laela, dan berkata bahwa dia adalah rekan rekan kerja dari pak Kasran.
Dan setelah perkenalan singkat itu, kemudian aku pun segera pamit dan melangkah keluar dari rumah sakit.

Ketika aku tiba, beberapa saudara bu Wandra sudah berada di dalam rumah megah itu,
dan mereka kini datang bersama seorang nenek-nenek yang terlihat sudah cukup berumur yang memakai sebuah tongkat kayu berwarna hitam dengan ukiran kepala ular naga di atasnya, untuk membantunya berjalan.
Tubuh nenek itu sudah membungkuk dengan rambut putihnya yang dibiarkan tergerai, semakin menambah seram penampilannya. Sorot matanya yang tajam mengamati dengan dalam seluruh sudut rumah ini.
Aku yang hanya seorang supir di rumah ini pun segera menyingkir dan berjalan ke arah bagian belakang rumah itu. Baru saja aku sampai belakang dan duduk di kursi plastic, tiba-tiba nenek itu sudah berada sekitar dua meter di dekatku ,
dan dia tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang masih terlihat rapi.

"Auranya sangat panas dan aku merasakan satu sosok lain yang hadir di sini selain dirimu, Le …"
Mendengar perkataan dari nenek itu, aku pun segera menoleh ke arah kiri dan kanan.

"Hanya saya, Mbah?" Tanyaku memastikan.
"Hehehe … Kamu bisa aja ngomong kayak gitu, tapi batinku tak bisa kamu bohongi, Le ..." Ujar nenek itu.

Tak lama kemudian mbak Jum datang dengan membawa dua cangkir kopi hitam, "Silahkan Mbah duduk, ini sekalian kopinya.
. Tadi saya bawa ke depan kopinya, tapi Mbah gak ada. Jadi saya bawa ke belakang siapa tahu Mbah di belakang, eh ternyata benar Mbah ada di sini …" Ucap mbak Jum sambil menaruh kopi di atas meja.
"Iya, terima kasih …" Jawab sang nenek yang langsung meneguk kopi yang masih panas itu.

Melihat kelakuan nenek itu, aku dan mbak Jum pun kemudian langsung saling pandang. Bagaimana tidak, kopi itu masih panas, bahkan aku pun harus menuangkannya di piring kecil terlebih dahulu.
" Le ... Energi negatif di sini begitu besar dan terasa sangat jahat … Kalian berdua mesti hati-hati, jangan sembarangan ..." Imbuh nenek itu mengingatkan aku dan mbak Jum.
Malam pun datang, dan kulihat nenek tua itu sendang melakukan ritual pembersihan dari energi-energi jahat yang ada di rumah ini. Setelah melakukan pembersihan, keesokan harinya saudara bu Wandra dan nenek tua itu pun berpamitan pulang.
Dua hari setelah kepulangan saudara bu Wandra dan nenek-nenek itu, aku tiba-tiba saja merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Perassaanku sudah tidak, tidak tenang. Seperti ada sesuatu yang akan terjadi atau tengah terjadi.
Bisa jadi dikarenakan beradunya dua kekuatan, baik dari kekuatan sang nenek yang kemarin datang, maupun dari dukun pengirim santet pring sedapur. Hawanya begitu panas terasa, padahal semua AC sudah aku nyalakan, kondisi ini secara tidak langsung membuatku panik.
Aku harus bersikap tenang, karena bisa saja ini adalah salahsatu strategi dari pengirim santet itu, untuk mengacaukan kefokusanku. Aku pun berdiam diri sejenak, memejamkan mata. Kutarik napasku dalam-dalam dan kuhembuskan secara perlahan,
tidak lupa juga aku terus mengingat Tuhan, karena dengan mengingatNya, membuatku semakin tenang.

Lewat tengah malam, hawa panas ini semakin menjadi-jadi. Sepertinya pagar ghoib nenek itu tengah digempur dari berbagai arah sekaligus.
"Aku harus melakukan sesuatu dan harus tetap waspada. Jangan sampai lengah. Kalau sampai jebol pagar ghaib nenek itu dan aku sedang lengah, maka ku dan semua yang ada di rumah ini bisa celaka ..." Ucapku dalam hati, meneguhkan persiapanku.
Segera aku pergi ke kamar mandi untuk bersuci dan kembali masuk ke kamar Erika untuk melakukan tirakat. Setelah semuanya selesai, aku segera menuju ke halaman depan dan berhenti di depan sebuah pohon pisang kipas, lalu berjongkok dan memukulkan telapak tanganku ke atas tanah.
. Setelah itu akupun langsung menggali tanah yang sudah aku tepuk tadi.

Aku menggali sekitar sedalam 50 cm-an dan aku pun menemukan sebuah kain hitam yang membungkus sesuatu. Aku membawa kain bungkusan itu ,lalu segera berjalan kembali menuju kamar Erika.
Setelah aku berada di dalam kamar, aku kemudian meletakkan bungkusan yang terbalut kain hitam itu dengan menyebut nama Tuhanku.

Aku segara membuka ikatannya dan ternyata dalam bungkusan itu aku melihat tulang belulang dan pecahan kaca,
, serta Kain kafan yang terdapat noda darah dan juga tanah merah, seperti tanah kuburan. Inilah yang disebut dengan santet tanah kuburan.

Kain kafan yang masih terdapat noda darahnya, biasanya diambil dari orang yang mati karena kecelakaan,
, sementara tulang belulang itu menjadi simbol kematian bagi korban yang menjadi target santetnya. Ada juga jenis santet tanah kuburan yang diperuntukkan untuk menutup usaha atau bisnis orang lain dan mengakibatkan kebangkrutan bagi korbannya.
Tapi khusus bungkusan yang aku buka ini, ditujukan untuk membinasakan targetnya.

Setelah aku bongkar bungkusan itu, aku kemudian melangkah ke halaman belakang dan membakar semua piranti santet dengan sebelumnya membaca ayat Qursi dan doa Nurbuat.
Ini dilakukan untuk memagari tubuh kita saat membakar piranti santet, agar tidak memberikan efek negative kepada kita.

"Hmm ... Aku ingin tahu, apa malam ini akan ada serangan balik, setelah media santet ini kubakar …" Ucapku dalam hati.
Tidak berselang lama setelah aku membakar bungkusan hitam itu, aku melihat dua buah bola api tiba-tiba datang menyambarku.
Hal ini pun sudah aku duga sebelumnya, karena saat aku membakar piranti santet tadi, maka akan terjadi sebuah ledakan di tempat pengirim santet dan tentunya dia akan menyerang balik, karena tidak menerima bahwa santetnya berhasil dipatahkan.
Sang dukun merasa ditantang olehku yang berhasil mematahkan ilmu santetnya, hingga kembali mengirimkan santetnya yang masih berwujud bola api. Aku yang pernah mengalami hal seperti ini, tentu saja tidak akan main-main menghadapinya.
Segera aku menghindar dan secepatnya memagari badanku dengan membaca ayat ke 9 dari surah Yassin dan disambung dengan ayat ke 63. Aku menggangkat tanganku berlawan dengan putaran bola api, sekaligus menahannya untuk tidak masuk dalam rumah.
Bola api itu hanya berputar-putar saja di atas kepalaku, tanpa menyambar kembali. Setengah berteriak, "Allahhu Akbar !!" Aku pukulkan kedua telapak tanganku ke arah bola api itu, lalu bola api itu melesat kembali ke arah pengirimnya.
Selang beberapa hari setelah kejadian malam itu, aku pu kembali berkunjung ke rumah sakit untuk mengecek kondisi dari penghuni rumah ini, dan Alhamdulillah kondisi bu Wandra pun berangsur membaik, begitu juga dengan pak Kasran.
Setelah menengok pak Kasran, aku berencana untuk langsung pergi kembali untuk mengecok Erika, tapi aku sempatkan mampir di kantin rumah sakit untuk sekedar mengisi perutku.

Setelah makan, aku menyempatkan diri untuk menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok.
Di sela-sela kepulan asap rokokku, itu-tiba tiba datang seorang wanita setengah baya yang masih terlihat cantik menghampiri dan langsung duduk di hadapanku, sambil tesenyum, "Mas lagi ngopi sendirian? Boleh saya temani?" Ujar wanita itu.
Aku yang tengah tertunduk kemudian menengadahkan kepala dan tersenyum setelah melihat wajahnya.

"Eh, Bu Laela ... Silahkan Bu …" Jawabku mempersilahkan.
Bu Laela pun segera duduk di hadapanku, lalu mengeluarkan sebuah amplop coklat yang terlihat tebal dan dia menyodorkannya kepadaku.

"Terimalah uang ini dan pergi jauh-jauh dari rumah pak Kasran …" Ucap bu Laela sambil menggangukan kepalanya.
Aku yang kaget, hanya terdiam keheranan dengan apa yang dilakukan oleh bu Laela.

"Ini ada apa ya, Bu? Saya gak paham maksudnya." Jawabku penasaran.

"Biarkan keluarga itu binasa dan mati secara perlahan …" Tukas bu Laela.
Aku semakin heran dan tidak mengerti. Ini sebenarnya ada apa?

"Aku tidak ingin kamu ikut campur dan membantu mereka, paham?!" Sambung bu Laela dengan nada yg tinggi dan tegas

"Mohon maaf Bu, tapi saya benar-benar tidak mengerti dengan maksud Ibu …"Tanyaku balik akan maksudnya.
"Aku, Laela adalah ibunya Sinta … Kasran telah mengambil Sinta dari kehidupanku, juga menelantarkan aku setelah sekian lamanya. Sinta diambil dariku oleh Kasran, setelah tiga hari aku melahirkannya, dan selama itu pula aku berusaha untuk mencari keberadaan anakku ...
Sampai satu tahun yang lalu, aku akhirnya bisa menemukan keberadaan Kasran." Ucap bu Laela menceritakan kisahnya.

"Aku menjadi istri siri dari Kasran. Dia sebelumnya telah berjanjji akan memberikan sebagian hartanya untuk Sinta,
tapi semua hak warisnya malah jatuh kepada Erika. Itu yang membuat aku semakin sakit atas kelakuan Kasran, setelah sebelumnya dia merampas Sinta, dan pergi mencampakkanku begitu saja.
Dan asal kamu tahu, akulah yang membuat mereka sakit!!" Sambung bu Laela dengan mengarahkan jari telunjuknya ke arah dadanya sendiri. Dan kembali meneruskan ceritanya setelah menarik napas yang dalam.
"Aku ingin Kasran, istri dan anaknya mati, hingga semua rasa sakit hatiku terbalaskan, dan semua harta warisannya jatuh kepada Sinta anakku. Tapi ... kamu yang telah mengagalkan semuanya dan juga menghancurkan semua rencanaku,
jadi aku minta kamu untuk segera tinggalkan Kasran dan keluarganya." Ujar bu Laela sambil kembali menyodorkan amplop coklat itu.

Aku hanya terdiam tanpa bicara sepatah kata apapun, mencoba mencerna seluruh cerita dari bu Laela.
"Aku tidak punya urusan denganmu dan aku tak ingin berursan denganmu. Mungkin secara batin kamu bisa menangkal semua yang aku lakukan, tapi apakah kamu mau mempertaruhkan nyawamu, jika aku menggunakan kekerasan secara fisik?
Jadi segeralah tinggalkan kota ini untuk kebaikanmu sendiri. Oh ya, aku kasih waktu dua hari untukmu berpikir.” Tutupnya dengan nada yang tegas dan mengancam.
Setelah itu, kemudian bu Laela berdiri lalu berjalan ke arah kasir dan dia terlihat berbincang sesaat dengan kasir kantin itu, sambil menunjukan jarinya ke arahku, kemudian dia keluar, berjalan ke arah parkiran.

Aku menarik napas panjang sambil kembali menghisap rokokku,
dan tak lama kemudian datang kasir yang tadi berbicara dengan bu Laela, lalu menyodorkan sebuah kartu nama.

"Ini Mas, titipan dari Ibu yang barusan …" Ucap kasir kantin sambil tersenyum dan kembali berjalan ke arah mejanya
Segera kuraih dan kubaca kartu nama itu. Tertera nama Laela dengan sederet titel di belakangnya.

Aku tidak ingin salah dalam melangkah. Aku harus mengambil keputusan yang tepat. Selama tenggat waktu dua hari yang diberikan bu Laela kepadaku,
disetiap malamnya aku selalu sholat istiharoh untuk meminta petunjuk kepada Gusti Allah. Dan akhirnya aku pun menelepon ibu Laela, memintanya untuk kembali bertemu denganku.
Di salah satu rumah makan di Jogja, tepatnya di Malioboro, aku bertemu dengan bu Laela dan kami pun berbincang-bincang. Setelah berbicara panjang lebar, aku kemudian menyerahkan kembali amplop yang berisi uang itu kepada bu Laela.
"Saya tidak ingin menjadi pahlawan dari orang yang tidak pernah datang kepada saya untuk meminta tolong. Ini uang Ibu saya kembalikan, dan saya putuskan untuk mengakhiri semuanya tanpa harus mempertaruhkan hidup saya. Saya akan pergi, dan kembali ke Batam.
Tapi aku meminta waktu, karena tetap aku tidak bisa meninggalkan keluarga pak Kasran begitu saja, minimal sampai pak Kasran keluar dari rumah sakit ..." Ucapku dengan nada yang tegas.
Wajah bu Laela berubah, dari yang asalnya terlihat penuh dengan kekesalan, kini dia tersenyum kepadaku, sebuah senyuman kemenangan.

Aku pun segera beranjak setelah menyerahkan amplop cokelat itu, tapi kemudian bu Laela kembali memanggilku setelah aku berada di luar rumah makan.
"Ini … Kamu ambil buat ongkos di perjalanan ..." Ujar bu Laela sambil memasukan beberapa lembar uang di saku baju.

Aku pun tersenyum dan berterima kasih kepadanya sambil bergumam, "Kadang kala kita harus punya rasa takut, untuk lebih waspada dan hati-hati ..."
Aku pun bertahan selama beberapa hari di rumah itu, menunggu pak Kasran keluar dari rumah sakit. Dalam beberapa hari itu ada beberapa kejadian yang hampir membuatku meregang nyawa. Karena ternyata bu Laela tidak sabaran, dia mengirimkan beberapa orang untuk melukaiku,
bahkan mencoba membunuhku, dan ini tidak terjadi hanya sekali, tapi beberapa kali selama aku menunggu pak Kasran keluar dari rumah sakit.
Dan untungnya selama beberapa hari ini, serangan ghaib tiba-tiba terhenti, sehingga aku bisa lebih fokus dalam menyembuhkan penyakit bu Wandra.
Setelah pak Kasran keluar dari rumah sakit dalam keadaan yang lebih sehat dan bu Wandra pun semakin berangsur membaik kondisinya, aku pun langsung berpamitan untuk berhenti bekerja.
Pada awalnya mereka mereka menahanku dengan segala iming-imingnya dan memintaku untuk tetap tinggal bekerja di rumah ini. Aku menolak dengan alasan ingin kembali ke Batam karena ada suatu urusan yang penting, dan tidak menceritakan perihal bu Laela kepada mereka.
Sebelum berangkat aku menginatkan kepada mereka agar lebih mendekat kepada Tuhan, lebih sering dalam bersedekah dan menyantuni anak-anak yatim, karena itu bisa menjadi penghalang bala, dan pencegah dari musibah.
Setelah berpamitan kepada bapak dan ibu Kasran, aku pun memberitahu rencanaku kepada mbak Jum. Dia terlihat kaget dan menangis, atas keputusanku yang mendadak.
Mbak Jum pun membujukku agar tetap bekerja di rumah ini agar bisa menemaninya, dan tentu saja aku menolak permintaan dari mbak Jum, tanpa memberitahu alasan yang sebenarnya.
Aku berpesan padanya agar terus brhati-hati dan lebih waspada, dan juga agar terus menginat Tuhan, karena aku khawatir mbak Jum akan terkena lagi dampak dari santet, jika memang santet itu berlanjut kepada keluarga ini.
Aku tidak bisa memaksanya untuk pergi, karena itu adalah pilihan hidupnya, aku hanya bisa mengingatkannya.

Setelah aku selesai bersiap-siap dan berpamitan dengan semuanya, aku langsung berangkat pulang menuju batam.
Setelah kepulanganku, aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi kepada pak Kasran, bu Wandra, Erika, bahkan mbak Jum. Aku pun tidak sempat berpamitan dengan Sinta,
karena terlalu beresiko bagiku setelah mengetahui bahwa Sinta adalah anak dari ibu Laela, seorang wanita kejam yang tega membinasakan siapapun yang menghalangi jalannya. Aku hanya bisa berdoa yang terbaik bagi mereka.
Setelah beberapa lama aku kembali ke Batam, tiba-tiba saja Macan luwing menampakkan dirinya, dia mengaum dan mendekatiku, dan aku pun kembali mengelus kepalanya. Tingkahnya cukup aneh, seolah mengucapkan terima kasih dan akan meninggalkanku.
Aku jadi teringat perjanjianku dengan Macan luwing, bahwa jika Erika telah sehat, dia harus kembali menjaga Erika.

Ah … Rasanya bahagia sekali jika itu benar-benar terjadi. Walaupun itu hanya intuisiku, aku tetap senang.
Yaa, aku bukanlah orang yang sakti yang bisa menyelesaikan segala persoalan. Aku adalah Wijaya. Orang yang masih punya rasa takut akan kematian, dan bukanlah seorang pahlawan.

-------------------- TAMAT --------------------
giman nih PWers kisah nya ? semoga kalian bisa mengambil pelajarannya ya ...
Tetaplah meminta perlindungan dan penjagaan hanya dari Allah Ta'ala, karena sesungguhnya setan itu lemah tipu daya nya.

Terimakasih ~

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Pusara Waktu

Pusara Waktu Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @pusara_waktu

Mar 10
ERIKA (Part 3)
- Keluarga Korban Santet -

A Thread
@IDN_Horor
@bacahorror
@ceritaht

#pusarawaktu #threadhorror #kisahseram #kisahnyata #bacahorror
ERIKA (Part 3)
- Keluarga Korban Santet -

Pada suatu hari aku pun memutuskan untuk berpamitan, berhenti bekerja di rumah ini. Pak Kasran menatapku lekat-lekat, begitu juga dengan bu Wandra yang terperangah, saat mendengar kata-kataku untuk berhenti bekerja.
Mereka berdua membujuk dan memintaku untuk tetap bertahan bekerja di rumah ini, minimal sampai keluarga Kasran mendapatkan pegawai pengganti.

Aku yang mengetahui kondisi keluarga ini pun, sedikit mengerti dengan alasan dari bapak dan ibu Kasran,
Read 150 tweets
Mar 8
ERIKA (Part 2)
- Keluarga Korban Santet -

Melihat raut muka Sinta yang begitu antusias dan terlihat polos, aku pun tersenyum mendengar pertanyaannya.
"Santet itu sudah ada pada jaman Rasul sekali pun, bahkan dalam sebuah hadist diterangkan bahwa pernah satu hari Rasul pernah disihir atau disantet oleh para dukun waktu itu, hingga beliau muntah darah dan malaikat jibril yang berdoa kepada Allah untuk kesembuhannya.
Read 131 tweets
Mar 7
ERIKA
(Keluarga Korban Santet)

Ns : Mas Wijaya

Aku mencium bau yang tidak asing, saat berada di halaman depan yang ditumbuhi beberapa pohon pisang kipas, sejenis pohon pisang hias dan sebuah pohon mangga yang cukup besar berdaun rimbun.
Sekilas disudut mataku, aku melihat sebuah sosok hitam legam sedang menatapku dengan sorot matanya yg berwarna merah menyala. Segera aku palingkan muka dan berjalan ke arah pintu gerbang untuk menguncinya, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang tidak asing, aku mengenal suara ini.
Read 132 tweets
Mar 2
Cokro Kolo Munyeng
Season II - End

Dengan hentakkan Al-zalzalah, aku pun menyongsong guncangan serangan dari gada betoro. Sebuah benturan yang begitu dahsyat pun terjadi, membuat tubuhku terpental begitu jauh, bahkan baju dan tanganku pun ikut terbakar hingga kulitnya melepuh.
Srenggi kolo pati tertawa terbahak-bahak menyaksikan tubuhku yang kini sedang terkapar. Dengan cepatnya dia kemudian menyerangku dengan lecutan cambuk api dan anginnya kembali, "Swwiiit ... Ctarr ... Ctaaarrrr ...!"
Read 85 tweets
Mar 1
COKRO KOLO MUNYENG
Season II

Ns : Mas Wijaya

Selepas sholat subuh handphoneku berbunyi, sebuah pesan telah masuk. Aku segera menbacanya, "… Kamim telah berpulang untuk selamanya ...” Sebuah penggalan pesan yang kubaca berasal dari saudaranya.
Aku terdiam membaca pesan itu, mataku berkaca-kaca dengan tangan yang gemetar. Perasaanku bercampur, antara sedih dan kesal. Tapi hal ini sudah terjadi, sudah menjadi suratan takdir, bahwa Kamim harus berpulang kembali kepada Sang pencipta.
Read 102 tweets
Feb 27
Lanjut Part terakhir di Season 1 yaa PWers ...

Cokro Kolo Munyeng
(Part 7 - Season 1 - END)

Aku terus terdiam sesaat setelah Hamidah mengutarakan keinginannya, bagiku menikahi Hamidah sama dengan mempertaruhkan nyawaku ini. Aku tidak yakin bisa menahan diriku selama 40 hari,
jika aku benar-benar harus menikahi Hamidah, selain karena kecantikan dan pesona Hamidah sendiri, Hamidah itu sangatlah agresif, aku bisa celaka jika tidak bisa menahan diriku atas godaannya, bisa-bisa aku yang akan menjadi korban selanjutnya.
Read 96 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(