Disclaimer : Kisah ini berlatar Bandung di tahun 2000. Nama tokoh dan lokasi spesifik telah disamarkan.
Tidak terasa Rizki telah memasuki tahap akhir perkuliahannya. Rizki seorang mahasiswa
sebuah universitas swasta di Jakarta, mengambil jurusan hukum. Saat itu dia sedang bersiap
menyusun skripsi.
Sebagai anak fakultas hukum yang sekaligus juga menyukai perihal lingkungan hidup khususnya hutan maka pilihan fokus studi skripsinya adalah Hukum
Konservasi Hutan.
Rizki memiliki paman yang tinggal di Bandung yang kebetulan seorang tenaga pengajar utama
di salah satu universitas di Bandung.
Pamannya memang bukan seorang berlatar hukum
melainkan seorang pakar ekologi dan konservasi. Sebuah bidang ilmu yang penelitian utamanya adalah keberlanjutan pembangunan yang seiring dengan kelestarian lingkungan
hidup.
Rizki berpikir akan menyambangi pamannya ke kota Bandung untuk dapat berdiskusi
dengannya dan mendapat masukan tentang rencana penulisan skripsinya.
Hari dan waktu
keberangkatan telah dia rencanakan, minggu depan hari Kamis sore, menggunakan bus dari
terminal Kampung Rambutan, Jakarta. Tibalah di hari yang direncanakan. Pukul 4 sore bus yang dinaiki Rizki berangkat menuju
Bandung.
Tiba di kota Bandung di terminal Leuwi Panjang pukul setengah 9 malam.
Kelihatannya Bandung di hari itu seharian diguyur hujan, itu terlihat dari suasana terminal yang terdapat genangan air di beberapa titik.
Terminal masih terlihat cukup banyak orang oleh para
calon penumpang juga para pedagang jajanan meskipun tidak bisa dibilang ramai.
Hawanya terasa dingin apalagi bagi Rizki yang tinggal di Jakarta yang bersuhu panas. Dia
sedikit menggigil. Pamannya tinggal di wilayah Ujung Berung.
Ini bukanlah kali pertama Rizki menyambangi pamannya dengan menggunakan bus, maka itu dia sudah hafal harus
menyambung bus apa menuju ke sana.
Dari terminal Leuwi Panjang dia menaiki bus Damri jurusan terminal Cicaheum.
Bus Damri yang
ia naiki sepi penumpang, mungkin karena memang sudah malam. Awalnya Rizki duduk di
bangku paling belakang dekat pintu. Niatnya agar bisa bebas melihat pemandangan malam
kota Bandung, namun saat bus melaju beberapa meter angin malam menerpa tubuhnya.
“Buset dingin banget,” lirihnya dalam hati. Dia pun berganti posisi duduk ke deretan bangku ketiga dari belakang.
Tiba di terminal Cicaheum Rizki melanjutkan perjalanan dengan menggunakan angkutan kota
kecil yang berwarna hijau jurusan yang menuju arah Ujung Berung. Lokasi perumahan
pamannya jika dari akses jalan utama letaknya lumayan jauh. Harus menggunakan setidaknya
ojeg.
Namun Rizki sudah tahu ada jalan “potong kompas”, melewati jalan belakang sebuah
perguruan tinggi negri ilmu Islam. Akses jalan belakang kampus itu sudah tidak seberapa jauh
lagi menuju komplek perumahan pamannya.
Rizki turun dari angkot di gerbang kampus itu. Saat menginjakkan kakinya ia merasa lega,
“sampe juga,” katanya dalam hati. Lalu dia melirik jam tangannya, pukul 10 lewat seperapat.
Perutnya keroncongan lapar. Dia menghampiri gerobak tukang gorengan yang mangkal di
dekat gerbang kampus itu. Karena lapar, dia memakan beberapa potong gorengan di tempat
lalu membungkus beberapa lagi.
Rizki pun mulai berjalan masuk ke lingkungan kampus, lalu keluar dari daerah belakang.
Sebenarnya itu bukanlah akses jalan resmi kampus itu. Hanya berupa jalan kecil yang bisa
dilewati kendaraan paling banter sepeda motor.
Para mahasiswa yang ngekost di belakang
kampus itu adalah pengguna utama akses jalan itu, lalu penduduk sekitar dan juga orang lain
namun tahu ada jalan “potong kompas” seperti Rizki malam itu.
Dia bisa tahu jalan itu karena
pernah diantar oleh saudaranya yang memang penduduk sekitar.
Keluar dari lingkungan kampus suasana berganti menjadi rumah-rumah penduduk. Suasananya
sudah sangat sepi, karena memang sudah malam. Kondisi penerangan juga minim. Rumah-
rumah di belakang kampus itu belum masuk ke komplek perumahan pamannya Rizki.
Daerah
rumah-rumah itu bisa dikatakan daerah perkampungannya.
Sambil menahan dinginnya hawa malam Rizki melanjutkan langkahnya.
Awalnya dia bertanya
dalam hati mengapa suasana sangat sepi, tidak dijumpainya satu pun sesama pejalan kaki
seperti biasanya atau penduduk yang masih beraktivitas.
“Oh iya ya, biasanya kan gue lewat sini hari masih terang. Kalo engga siang, kalo engga sore. Wajarlah sekarang sepi gini,” ingatnya.
Rizki tiba di sebuah jembatan kecil untuk menyebrangi parit aliran air yang cukup deras di
bawahnya. Jembatan itulah juga penanda batas perkampungan dengan komplek perumahan
pamannya.
Saat berjalan diatas jembatan itu dia mendengar derasnya aliran air parit di
bawahnya lebih deras dari biasanya. Pastilah debit air jadi lebih banyak, dikarenakan musim hujan, demikian dalam benak Rizki.
Jembatan itu tidaklah terlalu panjang, hanya sekitar 2 meter, ya kira-kira selebar parit aliran air
yang membelahnya. Kedalamannya juga sekitar 2 meter dari permukaan, lumayan dalam.
Baru
saja melewati jembatan itu sekitar 5 meter namun masih di sisi parit itu tiba-tiba Rizki merasakan hembusan angin kencang menerpa tubuhnya, dia menggigil lagi. Kali ini dinginnya seolah terasa sampai ke tulang. Sampai-sampai Rizki mendekap lengannya sendiri.
Kemudian bersama hembusan angin itu Rizki menghirup wewangian, dia mencium wangi bunga melati.
Sebenarnya saat itu pikirannya sempat kemana-mana berpikir bahwa ada
kehadiran makhluk tak kasat mata, namun dia melawan rasa takutnya dan berpikir positif bahwa
wangi melati itu berasal dari taman rumah seseorang yang terbawa angin.
Baru beberapa langkah, samar-samar dia mendengar suara tangis sesenggukan anak kecil laki-laki. “Tulung!…tulung!…hoyong uih,” (tolong..tolong..mau pulang) begitu yang Rizki dengar.
Lalu diantara temaram cahaya Rizki melihat sosok anak kecil sedang berjongkok di pinggir
parit, namun tidak begitu jelas. Rizki melangkah hendak menghampirinya, dia berpikir pasti
yang nangis pun si anak itu.
Saat di posisi dimana Rizki melihat anak lelaki itu dia tidak mendapati anak lelaki itu, hilang
begitu saja. “Lohh… kemana tuh anak?” herannya. Rizki menoleh kanan-kiri, tak nampak
seorang pun. “Gue yakin barusan gue liat anak kecil jongkok sambil nangis di sini,” gumamnya.
“Dek, dek… kamu dimana?”, Rizki mencoba memanggil anak kecil yang dia yakini barusan
dilihatnya. Tak ada jawaban, hanya suara aliran air, jangkrik dan gesekan daun yang tertiup
angin.
Lalu angin berhembus kembali menerpa tubuh Rizki, kembali membuatnya menggigil.
Lalu wangi melati tercium lagi, kali ini wanginya tercium pekat di hidung Rizki.
Di momen itu, mulailah Rizki berpikir yang aneh-aneh. Dia mulai berpikir bahwa sosok anak
kecil yang dilihatnya sambil menangis minta tolong itu bukanlah manusia. Berbarengan dengan
pikirannya itu bulu kuduknya meremang berdiri.
Dia lalu mempercepat langkahnya, bergegas
tidak sabar ingin segera tiba di rumah pamannya.
Saat jarak Rizki belumlah terlalu jauh dari situ kupingnya kembali menangkap suara tangisan
anak laki. Lalu terdengar lagi, “tulung!…tulung hoyong uih. Tulung!…tulung!”
Sebenarnya dia ingin berlari karena takut, namun khawatirnya nanti malah dikira maling jika ada orang yang
melihatnya. Mana ada orang lari-lari di malam selarut ini kan? kalau terlihat orang pasti curiga kenapa-napa, pikirnya.
Setiba di pagar muka rumah pamannya lagi-lagi Rizki merasa lega. Rasa lega yang berlipat daripada saat sampai di turun di depan gerbang kampus. Kemudian dia membuka pagar lalu
langsung memasuki teras rumah.
Lalu dia mengetuk pintu rumah pamannya, “Assalamualaikum. Wa! wa!…wa!” seru Rizki kepada penghuni rumah (Uwa adalah
sebutan kepada kakak orangtua kita dalam bahasa Sunda). Namun tidak ada jawaban. Dia melirik jam tangannya, dilihatnya hampir pukul 11 malam.
“Apa
udah pada tidur?” pikirnya. Lalu Rizki mencoba mengetuk lagi pintu rumah, “Assalamualaikum! wa Jajang!... wa Eli!” Tidak
juga ada respon. Dia mencoba sekali lagi,
“Wa Jajang!...Wa Eli…, Assalamualaikum! ini Rizki
wa.” Pada percobaan ketiga barulah Rizki mendengar ada suara dari dalam rumah.
Lalu terlihat korden terbuka sedikit, seseorang sedang mengintip sebelum membuka kunci pintu rumah. “Ehh… Rizki!” kata seseorang dari dalam, itu istri pamannya. Pintu rumah pun dibuka.
Rizki melihat wa Eli menyambutnya ditemani ketiga anaknya.
Rizki diterima di ruang santai depan televisi. Secangkir teh manis hangat disuguhi oleh wa Eli.
“Maap ya, wa Jajang udah tidur. Cape katanya abis seharian ngajar di kampus,” papar wa Eli.
“Ga apa-apa besok aja wa. Lagian Rizki kan sampe hari minggu di sini,” balas Rizki.
Kemudian Rizki dijamu makan malam. Di meja makan sambil menemani Rizki makan malam
wa Eli bercerita bahwa komplek perumahan sedang diteror arwah anak-anak.
Katanya lagi, 4
hari yang lalu sewaktu hujan deras di sore hari ada anak kecil laki-laki yang hanyut terseret
aliran air di parit dekat jembatan kecil. Anak kecil hanyut terseret air dalam bahasa Sunda
disebut “Budak Palid”.
“Baru ketemu besokannya, udah jadi mayat.” cerita wa Eli. “Sejak mayat anak itu ketemu
malemnya ada suara anak kecil nangis sambil minta tolong deket jembatan.
“Ihh takut jadinya,” sambungnya. “Makanya tadi juga maap ya buka pintunya lama, takut uwa mah. Mana ini malem
Jum’at..” lanjutnya. Mendengar uraian cerita wa Eli Rizki jadi sulit menelan makanannya.
Selesai makan malam
Rizki pamit istirahat, rencananya baru besok dia akan menceritakan apa yang dia alami di
jembatan tadi. Saat hendak tidur Rizki sulit memejamkan matanya, dia terngiang suara anak kecil itu,
Disclamer : Nama tokoh dan lokasi spesifik dalam cerita ini telah disamarkan.
Yadi seorang supir angkutan umum minibus yang melayani rute kota M ke kota S dan
sebaliknya. M adalah sebuah kota kecil setingkat kecamatan yang berjarak sekitar 100 km dari
kota S. Durasi perjalanannya ± 5 jam. Yadi sendiri bertempat tinggal di kota M.
Dulu pernah aku bertetangga dengan seorang bapak-bapak yang tinggal sendirian di rumahnya. Sebut saja namanya Pak M.
Sebenarnya dia memiliki istri dan seorang anak perempuan yang waktu itu masih sekolah di sekolah dasar, namun sepertinya ada masalah keluarga yang
membuat istri dan anaknya meninggalkan Pak M, pulang ke kampung istrinya di sebuah kota
kecil di Jawa Timur.
(Disclaimer: Nama karakter dalam cerita ini bukan nama sebenarnya. Lokasi sengaja disamarkan)
Ganjar memutuskan mencari kosan yang letaknya tidak jauh dari kantor di bilangan RS, Jakarta. Selama
4 bulan terakhir ia pulang pergi Gadog – Jakarta dengan menggunakan bus kemudian menyambung
dengan kereta dari Bogor.
Di ruang UGD sebuah rumah sakit nampak sekeluarga sedang membacakan Surah Yasin kepada seorang
bapak yang terbaring tak berdaya.
Bapak itu sedang sakaratul maut. Namun seolah dia masih enggan melepas nyawa dari raganya.
Sementara angka-angka indikator pada alat ventilator menunjukan semakin menurunnya tanda-tanda kehidupan. Bunyi khas seperti alarm pada alat itu semakin terdengar.
Sebuah wahana rekreasi di salah satu kota di wilayah Jawa bagian barat yang pada saat jam operasional ramai dikunjungi orang, ternyata malam harinya kembali diramaikan oleh mereka para arwah dan makhluk gaib lainnya. @IDN_Horor@bacahorror#threadhorror#ceritaseram#ceritahantu
Ini adalah kisah yang benar2 terjadi. Pengalaman yang dialami karyawan usaha kuliner saya selama bekerja di tempat sebelumnya. Sejatinya kisah ini tidak bermaksud mendiskreditkan pihak tertentu, semata-mata murni menceritakan pengalaman dia. #horror#ceritamisteri#ceritasetan
Pada prinsipnya Penulis akan menyamarkan dan/atau merahasiakan lokasi, pihak-pihak dan orang-orang dalam kisah ini untuk kepentingan privasi & kenyamanan pihak terkait.
Dari kisah ini pula semoga kita semua mengambil pembelajaran serta mendapat pesan moral. Selamat membaca