Disclaimer : Nama tokoh dan lokasi spesifik dalam cerita ini telah disamarkan.
Pada suatu sore sebuah truk melaju dengan deras. Si supir tampak kesulitan berusaha
mengendalikan truk yang menjadi liar. Truk itu mengalami masalah pada pedal gasnya. Saat
melaju pada gigi 4 dengan kecepatan 80 km/jam pedal gas tidak kembali ke posisi semula.
Hingga di sebuah kelokan ke arah kiri yang merupakan jalan menurun seharusnya truk
melambatkan kecepatannya namun tak bisa. Truk malah menghantam telak sebuah mobil
Avanza yang datang dari arah berlawanan.
Supir truk bermaksud menghindari menyeruduk kendaraan di depannya dan menghindari sebuah warung nasi di sisi kiri jalan jalan yang sedang
ramai.
Avanza yang ukurannya tidak seberapa dibanding truk tentu saja hancur bagian depannya
bahkan terseret beberapa meter. Penumpang dalam Avanza itu tewas seketika di tempat,
pengemudi dan temannya yang duduk di bangku sebelahnya.
Ternyata di belakang Avanza itu ada pengendara motor Revo yang naas. Seorang remaja laki-
laki berusia 20 tahunan. Ia ikut terseret bersama motornya di kolong mobil Avanza.
Tio sudah seminggu lebih di Kota Malang, ia sedang liburan kuliah. Sebenarnya keluarganya
juga baru sekitar 7 bulan di Malang. Ayahnya yang seorang tentara dipindah-tugaskan.
Sebelumnya mereka tinggal di Kota Semarang.
Ketika keluarganya pindah ke rumah dinas Tio
tidak turut serta dikarenakan kuliah di Semarang. Pada liburan itu Tio mengajak serta teman kuliahnya, Dios.
Ia mengisi hari-harinya selama
berlibur dengan berjalan-jalan mengendarai mobil Yarisnya berkeliling wilayah Malang dan
sekitarnya sekedar menyegarkan mata dan melihat-lihat suasana baru.
Rute jalan-jalan kali ini sedikit keluar kota Malang, ke wilayah KP, yang mana sore itu terjadi kecelakaan. Posisi mobil Tio pada detik-detik menjelang kejadian adalah persis di belakang truk
yang menabrak.
Melihat dengan langsung dengan mata kepala sendiri saat berlangsung
kejadian membuatnya menepikan mobil didorong pula karena rasa penasaran memastikan apa
yang sebenarnya terjadi. Terlihat orang-orang berkerumun mengitari Avanza, Tio dan Dios juga turut menghampirinya.
Mereka menyaksikan pemandangan yang sangat mengenaskan, pengendara dan rekannya
terjepit dashboard mobil. Sekujur tubuh korban tampak basah dengan noda darah segar.
Pecahan beling dan bagian-bagian entah dari Avanza atau truck terlihat berserak di sekitar
tempat kejadian.
Beberapa orang lainnya mengamankan si supir truk. Di kolong Avanza itu terlihat motor namun
entah di mana pengendaranya. Lalu ada seorang bapak-bapak menegur Tio. “Mas, mas, mas
yang bawa mobil Yaris itu ya?” katanya sambil menunjuk ke arah mobil Tio. “Iya Pak,
kenapa?”
“Masnya ga kenapa-napa?”
“Saya ga kenapa-napa pak”
“Mas, bisa minta tolong mas?” lanjut si bapak.
“Iya pak, ada apa?”
“Ada korban lagi sebenernya
yang naek motor. Kondisi udah gawat keliatannya mas, harus buru-buru dibawa ke rumah
sakit. Nunggu ambulan lama, bisa dianter sama masnya?”
Tio sejenak diam terpaku atas
permintaan si bapak. Lalu ia menatap ke arah Dios. Dios memberi kode menggeleng tanda tidak setuju.
Sebenarnya Tio juga merasa ragu jika harus membawa korban kecelakaan ke dalam mobilnya. Namun disisi lain ia ingin juga membantu. Akhirnya Tio mengiyakan permintaan si bapak. “Ayo bawa korban ke mobil Yaris mas ini!” teriak si bapak kepada orang-orang yang ada di
lokasi.
“Serius kamu yo? bakal panjang urusan loh,” kata Dios. “Abis gimana bro, kasian juga
kan.”
Akhirnya korban kecelakaan yaitu pengendara motor sudah di dalam mobil Yaris Tio di
kursi belakang. Si bapak tadi dan seorang lagi turut juga mengantarkan.
“Di mana rumah sakit terdekat sini pak?” tanya Tio. “Ke rumah sakit PH mas, saya tunjukin
jalannya.”
Selama di perjalanan si korban terus mengerang kesakitan. “Aduhh…
sakiitt….sakiiittt, Eeeeeee… sakittttt.”
“Sabar ya mas, sebentar lagi sampe rumah sakit,” hibur si
bapak kepada korban.
Rumah sakit dimaksud memang tidak seberapa jauh dari lokasi. Namun di perjalanan si korban
sudah tidak mengerang dan tidak bergerak lagi. Saat tiba di UGD ternyata korban telah meninggal di perjalanan.
Di parkiran mobil saat hendak pulang, Tio melongok ke kursi belakang mobilnya. Ada noda merah, dugaan Tio dan Dios itu adalah darah si korban karena tercium bau anyir. Disamping itu juga terlihat sedikit cairan putih kental. “Itu cairan apa ya?” tanya Tio kepada Dios.
“Mbuh aku!
(ga tau aku), cairan otak kayanya…hiiyy!! Makanya kataku juga jangan diangkut!”
“Loh piye
toh, aku juga ndak nyangka bakal gini eh. Tak kira korbane ndak sekarat, Yo mosok aku nolak
dimintain tolong. Kamu juga kalo diposisiku juga pasti bingung,” sergah Tio.
“Baune jadi anyir yo mobilmu. Bawa neng pencucian steam sek,” (baunya jadi anyir mobil kamu yo. Bawa ke pencucian steam dulu) saran Dios.
Tio setuju dengan usul temannya. Ia langsung
mencari tempat pencucian mobil. Sampai di tempat pencucian mobil Tio meminta kepada
petugas yang mencuci agar bagian kursi belakang dicuci juga dengan banyak sabun serta
pewangi.
Selesai mobil dicuci Tio dan Dios pun bersiap kembali pulang ke rumah keluarga Tio. Mereka bersyukur bau anyirnya telah berganti wangi aroma jeruk sintetik dari tempat pencucian mobil. Setibanya di rumah Tio menceritakan semua kejadian itu ke keluarganya.
Mendengar cerita Tio
ibunya sangat khawatir, namun Tio meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja.
Sejak kejadian kecelakaan itu Tio jadi enggan berjalan-jalan sore mengitari kota Malang.
Lagi
pula pikirnya sehari lagi ia musti kembali ke Semarang karena perkuliahan akan segera berlangsung.
Hari kepulangan pun tiba. Dengan mengendarai mobil Yarisnya Tio berangkat dari Malang
pukul 4 sore. Sengaja ia berangkat sore dengan pertimbangan lebih santai, juga sesampainya
di Semarang nanti pasti sudah malam, ia pun bisa langsung istirahat tidur.
Di tengah perjalanan waktu menunjukan pukul 8 malam. Tio mengendarai mobil dengan kecepatan sedang sambil mendengarkan musik, sedangkan Dios tidur di kursi sebelahnya. Tiba-tiba hidung Tio mencium sesuatu yang ia kenali beberapa hari terakhir.
“Yos! Yos! Yos! Bangun sek!” sergah Tio kepada Dios. “Opo? minta ganti nyupir?”
“Engga.
Kamu nyium sesuatu ndak?” Dios terlihat mengendus-ngendus mencoba menangkap bau yang
dimaksud Tio. “Lohh…iki kalo ndak salah ambune….” (loh ini kalau tidak salah baunya…)
Tio dan Dios saling bertatapan. Tidak salah! Mereka berdua mencium bau anyir darah. Bau
yang hanya beberapa hari lalu mereka cium karena mengangkut korban kecelakaan yang
akhirnya meninggal di dalam mobil Tio.
Hari berikutnya saat di Semarang, setiap Tio mengendarai Yarisnya bau anyir darah menyeruak
seisi dalam mobil. Tio merasa stres dengan kondisi tersebut.
Dia sudah coba menaburkan
bubuk kopi yang konon bisa menghilangkan bebauan tidak sedap, tetap saja bau anyir darah
tidak mau pergi.
Sampai-sampai ia bela-belain mengganti jok mobilnya sekaligus karpet bagian belakang, tetapi tetap saja bau anyir darah tercium. Anehnya bau anyir darah itu hanya tercium santer jika hari
menjelang maghrib sampai sepanjang malam hari.
Akhirnya Tio memilih tidak menggunakan mobilnya apabila hari sudah menjelang malam.
Nyalinya ciut juga.
Saat pulang kuliahpun biasanya ia tenang-tenang saja jika harus pulang
malam karena ada jadwal kuliah malam atau lanjut nongkrong bersama teman-teman, dikarenakan keadaan itu ia jadi selalu segera meninggalkan kampus agar tiba di rumah
sebelum waktu maghrib.
Meski mengendarai mobilnya saat hari masih terangpun hatinya tidak tenang, kerap merasa
was-was. Dikarenakan baunya masih tercium walaupun tidak sesanter malam hari.
Maka dari
itu jika ia tahu ada jadwal kuliah malam, atau kegiatan kampus lainnya yang mengharuskan ia
pulang malam ia memilih naik motor, atau sesekali menebeng Dios.
Hingga suatu waktu saat Tio membawa mobil ke kampus, teman dekatnya, Lala, yang
sebenarnya diam-diam ia taksir memintanya untuk mengantarnya ke mall, ada barang yang
ingin dicari katanya. Tentu saja dia tak bisa menolaknya.
Namanya juga cewek, jarang sekali jika belanja katakanlah baju, langsung mendapat yang
dicarinya selesai terus pulang.
Mesti dicoba dulu, dibanding-bandingkan dengan pilihan lainnya,
kalau belum sreg juga beralih mencari ke toko lainnya, masih belum cocok juga beralih ke toko
satunya.
Dan yang terkadang absurd setelah berkeliling ke sana ke mari akhirnya pilihannya jatuh kepada baju yang pertama kali dicobanya.
Itu yang dialami Tio hari itu saat menemani Lala.
Saat menjelang sore ia melirik jam tangannya,
sudah pukul 5 sore. Kalau tidak pake acara muter-muter jam 3 juga sudah selesai. “Tio, kamu
mau kan sekalian anter aku pulang ke rumah?” pintanya manja.
“Mau, mau,” jawab Tio sambil senyum. Tapi dalam hatinya berkata, “mampus aku, pulang bakal kemaleman ini.”
Sampai di rumah Lala, sudah sedikit lagi maghrib. “Mau mampir dulu ke rumahku?” tanya Lala. “Nanti aja La, lain kali. Aku banyak tugas kuliah,” jawab Tio beralasan. “Ohh gitu, yaudah,
makasih ya. Sampe ketemu besok di kampus.”
Tio langsung tancap gas. Perasaannya tidak enak.
Pukul 7 malam ia masih di jalan. “Sebentar
lagi sampe rumah.., sebentar lagi sampe rumah..” demikian ia mensugesti diri, meyakinkan
semua akan baik-baik saja. Baru saja dia berpikir demikian, bau yang dia sangat tidak harapkan
tercium, bau anyir darah.
“Ya ampun, ya ampun… jangan, jangan, jangan …tolong,” jeritnya dalam hati. Ia lalu memilih-
milih lagu kesukaannya pada tape mobilnya yang ia bisa nyanyikan demi mengalihkan rasa
parno.
Sebenarnya sedari tadipun ia menyetel radio, hanya lagu-lagu yang diudarakan oleh
stasiun radionya acak dan kurang akrab ditelinga.
Pada lagu pilihannya ia membesarkan volumenya kemudian ikut bernyanyi kecil.
Sia-sia, pikirannya tidak teralih, bau anyir darah tetap santer tercium, seolah ada jipratan darah yang
menempel di ujung hidungnya. Lalu di antara untaian lagu ia mendengar suara lain. Kepalanya
dimiring-miringkan untuk memperjelas suara apa itu dan berasal dari mana.
Pikiran Tio kalut ia bingung akan sumber suara, apakah dari lagu yang sedang diputar atau dari sumber lainnya. Lalu ia mengecilkan volume tape mobilnya. Terdengarlah dengan jelas suara
seseorang sedang mengerang dari kursi belakang mobilnya; “Aduuhh sakiittt…sakiittt…sakit!!”
Tio sangat terkejut, jantung berdegup keras, kemudian melirik spion tengah dalam mobil. Ia tak percaya dengan apa yang kedua matanya tangkap, ada seseorang duduk di belakang.
Ia yakin
sedari tadi pulang dari mall tidak seorang pun yang menebeng diam-diam, hanya dia dan Lala.
Pun ketika mengantar Lala sampai rumah, tinggal dia seorang.
Lalu Tio melirik lagi ke kaca spion untuk mencoba menegaskan. Ia melihat ada seorang laki-laki sedang duduk dengan kepala berdarah bercampur cairan berwarna putih. Di sisi kiri kepala orang itu terlihat darah yang paling banyak keluar mengucur.
Tio ketakutan setengah mati, namun ia berusaha mengendalikan diri agar tidak celaka.
Sebenarnya ia ingin segera menepi dan pergi kabur meninggalkan mobilnya begitu saja. Namun mengingat rumah tidak seberapa jauh lagi ia tetap bertahan melajukan mobilnya.
Sampainya di rumah dengan sembarang dia parkirkan mobilnya di depan pagar rumahnya, lalu
masuk ke dalam rumah dengan terbirit-birit.
Tio mengabari kejadian yang menimpanya kepada kedua orangtuanya di Malang. Orangtuanya
memintanya agar ia beserta mobilnya ke Malang. Di hari Sabtu pagi, ia ditemani Dios pun berangkat ke Malang.
Sampai Malang sudah menjelang sore.
Tio menjumpai orangtua dan adiknya sudah
menunggunya di teras rumah. Ada 2 orang yang Tio tidak kenali bersama mereka.
Yang satu
dari perawakannya laki-laki berusia sekitar 30 tahunan, seorang lagi bapak-bapak berpenampilan laksana pemuka agama, memakai baju koko mengenakan celana bahan berwarna coklat, dan memakai peci. Di saku baju koko bapak itu tersembul tasbih.
Ayahnya memperkenalkan kedua orang itu kepada Tio. Ternyata bapak itu adalah “orang
pintar” yang bisa membantu orang dengan masalah gangguan makhluk halus, sedangkan orang yang satu lagi pengantarnya. Saat memperkenalkan diri bapak itu menyebut panggilan
dirinya mbah Sastro.
Lalu Tio menceritakan semua kejadian-kejadian yang ia alami di Semarang. “Jadi persis hari
Kamis malem kemarin mbah, ada penampakan di belakang mobil saya,” terang Tio.
“Oalah, yo pantes. Aku saiki ngeliat ono orang duduk ning buri mobilmu. Tak kira koncomu nunggu di
mobil,” respon mbah Sastro. (Pantas, sekarang aku melihat ada yang duduk di belakang
mobilmu. Kirain teman kamu menunggu di mobil)
Mendengar paparan mbah Sastro wajah Tio dan Dios berubah pias. “Yo wes, sabada sholat
maghrib aku minta dia supaya pulang,” kata mbah Sastro (Ya sudah, setelah sholat maghrib
aku minta dia supaya pulang).
Setelah menunaikan sholat maghrib mbah Sastro minta disediakan air putih segelas besar. Lalu
ia duduk bersila, gelas berisi air itu diletakkan di depannya. Ia membacakan doa-doa yang kemudian ia tiupkan ke airnya.
Mbah Sastro lantas menghampiri mobil Tio.
Yang lainnya hanya menyaksikan dengan
mengambil jarak dari mobil. Mbah Sastro membuka pintu mobil bagian belakang lalu duduk,
dan kembali ia terlihat membacakan doa-doa.
Pemandangan selanjutnya ia seperti sedang bercakap-cakap dengan seseorang, setelah itu air
dalam gelas itu diciprat-cipratkan ke bangku belakang juga ke bagian depan, akhirnya ke
seluruh body mobil.
“Sudah nak Tio, aku sudah minta dia pulang baik-baik. Sekarang mobilmu sudah bersih nda
bakal ada gangguan lagi,” kata mbah Sastro.
“Beneran mbah?”
“Insya Allah.”
Benar saja, semenjak itu saat bau anyir darahnya hilang, tidak tercium sama sekali. Dan
meskipun awalnya was-was saat mengendarai mobilnya di malam hari ternyata bau anyir,
suara orang mengerang kesakitan dan penampakannya juga hilang.
Namaku Norman (bukan nama sebenarnya. Penulis). Aku akan menceritakan pengalaman
mendaki gunungku di tahun 2006. Waktu itu aku masih kuliah di semester 7. Aku menyukai
kegiatan mendaki gunung.
Meskipun belum bisa juga dikategorikan sebagai “Anak Pecinta
Alam” yang kegiatannya rutin mendaki berbagai gunung. Mendaki gunung kulakukan semata-mata karena aku menyukai dan mengagumi keindahan
gunung dengan hutan rimbanya, hawanya yang sejuk, dan udaranya yang menyegarkan.
Disclaimer : Kisah ini berlatar Bandung di tahun 2000. Nama tokoh dan lokasi spesifik telah disamarkan.
Tidak terasa Rizki telah memasuki tahap akhir perkuliahannya. Rizki seorang mahasiswa
sebuah universitas swasta di Jakarta, mengambil jurusan hukum. Saat itu dia sedang bersiap
menyusun skripsi.
Disclamer : Nama tokoh dan lokasi spesifik dalam cerita ini telah disamarkan.
Yadi seorang supir angkutan umum minibus yang melayani rute kota M ke kota S dan
sebaliknya. M adalah sebuah kota kecil setingkat kecamatan yang berjarak sekitar 100 km dari
kota S. Durasi perjalanannya ± 5 jam. Yadi sendiri bertempat tinggal di kota M.
Dulu pernah aku bertetangga dengan seorang bapak-bapak yang tinggal sendirian di rumahnya. Sebut saja namanya Pak M.
Sebenarnya dia memiliki istri dan seorang anak perempuan yang waktu itu masih sekolah di sekolah dasar, namun sepertinya ada masalah keluarga yang
membuat istri dan anaknya meninggalkan Pak M, pulang ke kampung istrinya di sebuah kota
kecil di Jawa Timur.
(Disclaimer: Nama karakter dalam cerita ini bukan nama sebenarnya. Lokasi sengaja disamarkan)
Ganjar memutuskan mencari kosan yang letaknya tidak jauh dari kantor di bilangan RS, Jakarta. Selama
4 bulan terakhir ia pulang pergi Gadog – Jakarta dengan menggunakan bus kemudian menyambung
dengan kereta dari Bogor.
Di ruang UGD sebuah rumah sakit nampak sekeluarga sedang membacakan Surah Yasin kepada seorang
bapak yang terbaring tak berdaya.
Bapak itu sedang sakaratul maut. Namun seolah dia masih enggan melepas nyawa dari raganya.
Sementara angka-angka indikator pada alat ventilator menunjukan semakin menurunnya tanda-tanda kehidupan. Bunyi khas seperti alarm pada alat itu semakin terdengar.