, 23 tweets, 4 min read Read on Twitter
Serius nih pada mau ngomong soal Riset? Nggak tanya bagaimana pendapat gue yang sudah hampir 20 tahun jadi orang riset?
Ada bagian yang benar dari twit ahmad zaky,: anggaran R&D di Indonesia terlalu rendah. Mau pake angka tahun berapapun ya tetap rendah. Kita terima aja dulu hal itu.

Tapi apa iya semata soal alokasi anggaran? Tentu saja tidak. Apa iya cuma tugas presiden? Juga tidak.
Siapa penerima manfaat pangodari kegiatan riset? Ya paling utamanya para peneliti. Apakah kesejahteraan mereka sudah sebanding dengan produktivitas mereka? Nah ini maha runyam. Kompleks.

Belum lagi bicara soal kualifikasi dan independensi.
Akarnya ada di mana? Tradisi keilmuan, cara pandang terhadap metode ilmiah, sistematika, dan pengambilan kesimpulan, bagaimana kurikulum pengajaran disusun, bagaimana alokasi anggaran disusun, dll.

Belum lagi Riset dan Pengembangan adalah dua hal berbeda dan terpisah.
Banyak perusahaan di Indonesia ingin melakukan pengembangan ini-itu tapi tidak mau melakukan riset. Yang sering terjadi, keputusan produk atau pasar baru sekadar mengandalkan 'gut feeling' Dewan Direksi.

Mengandalkan intuisi, perasaan, naluri, atau apapun itu.
Direksi yang lebih senior mengandalkan pengalaman. "Dari pengalaman saya sebagai xxx selama yyy tahun - kalau melakukan zzz pasti sukses"

Tapi apa iya jaman dulu dan segala asumsinya akan sama dengan jaman sekarang?

Ini gambaran 12 tahun lalu soal Nokia.
Direksi yang peragu - akan mencari second opinion. Biasanya dari teman-teman di bisnis yang sama. Itu sebabnya segala bisnis di Indonesia selalu ada asosiasinya, karena orang Indonesia senang guyub - kalau salah jangan sampai sendirian. Berjamaah lebih baik.
Maka nggak heran asosiasi di Indonesia lebih condong menjerumuskan. Karena banyak tradisi pengambilan keputusannya juga sering nggak ilmiah. Pake perasaan, rumor, hasil bisik-bisik, klenik dan nujum.

Riset kalaupun ada - dianggap cost center. Cuma jadi beban.
Di atas itu ada faktor ego. Gue penting karena keputusan gue yang gue ambil penting. Padahal selalu ada konsekuensi jangka pendek, menengah dan panjang - yang tidak selalu kongruen secara hasil dan manfaat.

Kongruen? Iya gue orang riset, demen pake bahasa susah...
Dan bisa dibayangkan bagaimana Direksi suatu perusahaan menghadapi orang riset yang suka pakai cara ruwet dan bahasa susah? Tertamparlah ego mereka.

Dan seperti biasa: mereka akan menampar balik dengan bilang: "Tapi itu kan teorinya - prakteknya beda!"
Di Indonesia, orang riset sering sekali dicap "cuma tahu teori" oleh orang yang... nggak tahu teori - tapi egonya tersakiti.

Mereka lupa: semua teori dibangun dari kajian empiris. Yaitu dari banyak sekali praktek di berbagai tempat dan waktu yang diambil prinsip dasarnya.
Tapi ya sebagai orang riset - percuma juga menyampaikan itu ke orang yang nggak ngerti teori. Ribet. Kayak menjelaskan mekanika newton ke tukang becak. Dan cuma akan semakin terinjak-injak harga diri mereka.

Dari hal seperti ini kemudian muncul kebiasaan jelek lain.
"Kita outsourcing aja ke institusi luar" Tinggal bayar, suruh mereka meneliti dan kasih output rekomendasi. Orang riset bisa kita pecat supaya nggak bikin ribet. Lagian kan kalau pake jasa McKinsey atau BCG kan jadi kelihatan keren. Bergengsi.

Sekali lagi ini soal ego.
Lalu saat secara formal minta jasa @McKinsey atau @BCG, direksi terpukau oleh visualisasi yang ciamik, deretan kredensial PhD, MSc, MA, CFA, dan FRM (maaf kredential lain nggak cukup memukau) tibalah saat paling menentukan: penyodoran price list.
Apa yang terjadi? Direksi terkencing-kencing melihat angkanya.

Institusi seperti McKinsey dan BCG nggak akan pernah mau ngerjain proyek yang nilainya di bawah 1 Juta Dollar. Mereka patuh sekali dengan prinsip yang berlaku di Pasar Glodok: "Ada harga, ada rupa"
Aduh tengsin juga Direksi udah panggil McKinsey tapi ternyata price list-nya mahal bingits. Mau ditawar - udahlah gengsi tetep mahal juga.

Maka mereka pun akan pakai jurus klasik para terdakwa sedunia: "Kita pikir-pikir dulu ya?"

Orang riset sejati udah tahu maksudnya apa.
Lalu berhamburlah segala excuse:

"McKinsey dulu pernah gagal waktu jadi konsultan AT&T karena nggak bisa meramalkan munculnya ponsel"

"Mereka kan ahlinya sesuatu yang ada di Amrik atau Eropa - Indonesia kan beda"

Itulah hasil ego yang kembali tertampar.
Lalu yang terjadi Direksi kasak-kusuk cari konsultan lain yang lebih "ekonomis" dan "bersahabat"

Konsultan demikian sebenarnya paling menyebalkan: karena mereka biasanya setuju tarif lebih murah tapi kasak kusuk ke karyawan: "Direksi maunya hasil yang gimana?"
Konsultan seperti ini mengikuti prinsip "Demand Driven" secara sungsang. Kajian biasanya cuma skala desktop, comot angka sana-sini, tanya sana-sini.

Semua rekomendasi diselaraskan dengan selera Direksi. Tujuannya: direksi segera setuju dan invoice segera cair.
Saya menyebut konsultan seperti ini jasa "rental stempel" - mereka cuma menuliskan apa yang selera direksi, membumbui ini itu, lalu hasilnya dituang dalam presentasi dengan stempel cap mereka sebagai konsultan.

Kelas dunia sih, tapi tetap saja cuma rental stempel.
Di badan pemerintah - gambarannya suram.

Memang ada LIPI, Bappenas, dan BKF - tapi banyak Kementrian dan Lembaga juga punya bagian atau departemen bernama Litbang.

Harusnya sih singkatan dari Penelitian dan Pengembangan.

Kenyataanya? Singkatan dari "Sulit Berkembang"
Banyak bagian Litbang di kantor pemerintahan bukan cuma diawaki orang-orang yang inkompeten - tapi sering terjadi berstatus sebagai tempat buangan.

Staf-staf bermasalah dilempar ke sana. Dan karena dianggap mengurusi teori - budgetnya pun ala kadar. Cuma cukup buat napas.
"Ngetwit panjang-panjang kok nggak ada ngebahas posisi berdiri secara politik sama sekali? Katrok ah"

Posisi gue jelas: Selama Kampanye 02 isinya pembodohan dan penyesatan - soal Utang, PKI, dan kumpulan sandiwara - arah menuju masyarakat ilmiah semakin menjauh di sana.
Missing some Tweet in this thread?
You can try to force a refresh.

Like this thread? Get email updates or save it to PDF!

Subscribe to Poltak Hotradero
Profile picture

Get real-time email alerts when new unrolls are available from this author!

This content may be removed anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!