,
9 tweets,
1 min read
Read on Twitter
Sy pernah menghadiri reuni sekolah yg diadakan di hotel berbintang. Ketika mengajak seorang teman, jawabnya: saya nggak punya baju yang layak untuk acara di hotel.
Kami pun tak sempat bersilaturahmi tatap muka.
Kami pun tak sempat bersilaturahmi tatap muka.
Sy pernah mengajak teman main futsal. Batal, semat karena: “nggak punya sepatu futsal”.
Saya pernah ngajak teman lari, batal semata karena, “nggak punya sepatu untuk running.”
Saya baca twitter, orang meributkan layak tidaknya pakai sepatu tertentu untuk acara kencan, meeting, pertemuan keluarga dll...
Di era semua jadi lebih mudah oleh perkembangan teknologi, ternyata untuk bersilaturahmi justru sebaliknya, makin susah...
Mau ikut undangan nonton acara dakwah di televisi, satu rombongan pakai “peraturan”: baju seragam. Bagaimana dengan yg tak mampu membeli? Pdhl begitu muncul di layar kaca, nanya nggak, cuma tepuk tangan doang, sebagian malah terkantuk-kantuk tertangkap kamera...
Teringat Bapak saya, yg sepanjang hidupnya yg singkat (38 th) hanya punya 2 batik, 2 jas, 1 sepatu olahraga, 1 sepatu kulit imitasi, tapi silaturahminya luas banget. Sahabatnya banyak banget.... Baginya, undangan wajib dipenuhi, bukan dengan meributkan “aksesori” di tubuh
Hidup tergantung komentar netijen itu sungguh-sungguh....
.
.
Jadi teringat ajaran sederhana: yg selalu bikin masalah itu “pihak ketiga”: org yang sibuk mengomentari orang lain
.
.
Jadi teringat ajaran sederhana: yg selalu bikin masalah itu “pihak ketiga”: org yang sibuk mengomentari orang lain
Intinya, saya cuma mau bilang, bahkan yg mengusulkan, meributkan dan meribetkannya pun tak lagi bisa membedakan antara etika dengan etiket
