My Authors
Read all threads
Merapal Tuhan di Alam Batin

Agama Sunda lawas yang berkeyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Mengagungkan keesaan dengan berlaku baik dan cakap dalam hidup. Mengekspresikan kekuasaan Tuhan melalui perenungan dalam batin.

Sayup suara gamelan berkumandang lirih. Suara seseorang
mengetes mic bersisian dengan suara gamelan dan hilir mudik orang-orang melempar komando. Sesekali denting gamelan berganti lagu-lagu wajib nasional seperti "Garuda Pancasila", "Bangun Pemudi Pemuda", dan "Satu Nusa Satu Bangsa".

Sementara itu, anak-anak kecil riuh rendah
bermain dan berlarian menjelang pukul tujuh malam. Ibu-ibu dengan kebaya putih dan kain batik berlatih sekali lagi sebelum tampil. Sementara sebagian besar pria datang dengan pangsi hitam (pakaian adat Sunda) dan ikat kepala. Sebelum pukul setengan delapan malam, Bale Pasewakan
yang berada di Kampung Cicalung, Desa Wangun Harja, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, sudah penuh.

Sejenak kemudian, mereka menyanyikan "Indonesia Raya" secara bersama. Sepintas aura nasionalisme dan kebangsaan menyeruak. Rasanya seperti menggantang Indonesia yang kaya
, lagi beraneka.

Luas Bale Pasewakan 1.400 meter persegi, dan terdiri dari dua bangunan utama. Sebuah aula seluas 9 x 11 meter persegi dan panggung seluas 48 meter persegi yang menghadap lapangan terbuka. Bale ini merupakan milik Organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, Budi Daya. Mereka yang hadir malam itu mayoritas para penghayat Budi Daya.

Malam itu, 1 Juni lalu, bertepatan dengan hari lahirnya Pancasila. Sudah tiga kali penghayat Budi Daya di Bandung Barat melaksanakan renungan 1 Juni di Bale Pasewakan. Sebelum 2013, saat
Bale belum ada, renungan 1 Juni dilakukan di rumah masing-masing penghayat atau mengadakan renungan bersama diselingi pentas kesenian dan pencak silat. "Tahun ini katanya warga kepingin agak rame," kata Engkus Ruswana, Ketua Organisasi Penghayat Budi Daya yang juga hadir dalam
acara renungan 1 Juni tersebut. Kegiatan ini, menurut Engkus bisa berlangsung meriah karena bantuan sejumlah pihak. Salah satunya, sumbangan sound system dari kepala desa.

Renungan malam 1 Juni merupakan salah satu hari penting selain malam 1 Sura dan tanggal 17 September yang
biasa dirayakan oleh penghayat Budi Daya. Tanggal 17 September 1927 diperingati sebagai hari penggali ajaran Budi Daya, Mei Kartawinata (1897-1967) mendapat wangsit.

Dalam sebuah tulisannya, Mei menyebut kelima sila dalam Pancasila bertalian erat dengan ajaran leluhur. Yakni,
Ka-Tuhanan anu Maha Esa. Kedua, ''Kemanusiaan yang adil dan beradab'' selaras dengan kama-nusa'an, yang maknanya kama-nusa (sari rasanya/Tanah Air) dan ka-manusaan (unsur suci dalam diri manusia). Ketiga, ''Persatuan Indonesia'' dimaknai sebagai kabangsaan anu buleud (kebangsaan
yang utuh). Keempat, ''Kerakyatan yang dipimpin dalam hikmat kebijaksaan dan permusyawaratan perwakilan'', dimaknai sebagai kadaulatan rah-hayat. Kelima, ''Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia'', dimaknai dengan ka-adilan sosial, keadilan untuk semua makhluk.

"Sehingga
nilai-nilai yang diajarkan juga ajaran mengenai kebangsaan dan patriotisme," imbuh Asep Setia Pujanegara, salah satu tokoh muda penghayat Budi Daya yang turut hadir dalam acara tersebut. Dalam pandangannya, masyarakat penghayat, tak hanya Budi Daya, menjadi benteng terakhir dalam
menjaga kebhinekaan berbangsa dan bernegara. Sebab, semua sendi kehidupan masyarakat penghayat sudah termaktub dalam Pancasila.

***

Budi Daya merupakan organisasi keyakinan yang percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran yang dianut berasal dari leluhur dan diklaim sebagai
salah satu agama lokal Sunda Buhun (Sunda Tua), selain Sunda Wiwitan yang ada di tanah Priyangan. Buhun sudah lebih dulu ada ketimbang Hindu dan agama-agama "impor" lainnya. Sayangnya, tak ada tradisi tulis yang menguatkan hal ini. Sebab, pada masa itu tradisi tutur lebih kuat
dan disampaikan turun-temurun.

Ajaran Buhun baru terlihat manifestasinya secara tertulis saat Mei Kartawinata memperoleh wangsit pada 17 September 1927, dan mulai menuangkannya dalam bentuk tulisan. Namun, perbedaan tafsir ajaran Mei Kartawinata ini memunculkan beberapa aliran.
Di antaranya Budi Daya dan Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP).

Budi Daya bermakna gerakan badan halus dan badan kasar. Dimaknai juga sebagai perilaku yang dibimbing rasa. Nama Budi Daya berasal dari buku Boedi Daja yang ditulis Mei Kartawinata. Perbedaan antara Budi Daya dan AKP
ada sejak 1980-an. Menurut Asep Setia Pujanegara, perbedaan di antara keduanya adalah soal orientasi perjuangan. "Budi Daya memprioritaskan perjuangan hak sipil oleh negara, sementara di mereka (AKP) agak kurang," kata Asep yang juga pernah menjadi pengurus AKP. Namun, Engkus
menilai keduanya sama-sama bersumber ke ajaran Mei Kartawinata.

Sebelum agama-agama luar masuk ke Nusantara, lanjut Engkus, nenek moyang Indonesia sudah memiliki sistem keyakinan tersendiri. "Disebut dalam sejarah, animisme, dan dinamisme," ia menjelaskan. Penamaan animisme dan
dinamisme ini tak membuatnya nyaman. Sebab, penamaan ini dilabeli ilmuwan sosial asing yang menyimpulkan animisme dan dinamisme diartikan sebagai penyembahan terhadap arwah nenek moyang, pun terhadap barang-barang tertentu. Padahal intinya, kata Engkus, bukan itu.

Nenek moyang
Indonesia, kata Engkus, sudah paham bahwa keyakinan adalah hak setiap orang. Sehingga, kedatangan Hindu yang dalam sejarah umum tercatat sebagai agama pertama masuk ke Indonesia, disambut dengan sukacita. Pun, ketika Buddha datang ke Nusantara. ''Pada dasarnya bangsa ini tidak
suka konflik. Kalaupun ada perbedaan, jalan yang diambil adalah mengharmonisasikannya,'' katanya.

Sejarah mencatat, sekitar tahun 130-an Masehi berdiri Kerajaan Salakanagara, kerajaan pertama di Jawa yang berlokasi di Cilegon, Banten. Kerajaan ini melahirkan Tarumanegara yang
mengalami masa kejayaan di bawah kepemimpinan Purnawarman. Selepas Tarumanegara, berganti Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan dan Kerajaan Sunda dan kerajaan kecil lainnya. Kerajaan Sunda menganut agama asli Sunda yang sekarang dikenal dengan Sunda Wiwitan dan Sunda Buhun.
Putra Raja Sunda, Raden Mandiminyak menikah dengan keturunan Ratu Shima dari Kalingga. Dari segi agama, lanjut Engkus, telah terjadi kawin antara agama-agama Sunda dean Hindu dari kerajaan Hindu. Perkawinan ini melahirkan Sanjaya, yang kelak menjadi raja Mataram Kuno. Salah satu
putranya, Raden Panangkaran, memiliki cucu yang menikah dengan keturunan Dinasti Syailendra dan melahirkan Samaratungga, yang kelak mendirikan Candi Borobudur. "Pada masa itu perkawinan lintas agama tidak masalah. Karena semua sudah diharmonisasikan," Engkus menambahkan.
Beberapa waktu kemudian Islam datang. Salah satu raja, Brawijaya, yang beristrikan dari Cina, melahirkan Raden Patah yang kemudian hari mendirikan kerajaan Islam Demak. Hingga kemudian muncul para wali yang memperluas ajaran yang berdampak pada keinginan mengislamkan Majapahit.
Sebagian masyarakat Majapahit yang tak mau masuk Islam dan menghindari konflik menyingkir ke pedalaman di Gunung Lawu di Karanganyar, Gunung Tengger, atau yang sekarang disebut sebagai Buddha Jawa, Banyuwangi, hingga ke Bali. "Lari ke tempat-tempat terpencil karena dulu (tempat-
tempat tersebut) sulit dijangkau,'' ungkapnya.

Setelah Majapahit hancur, di Tanah Jawa masih berdiri Kerajaan Galuh dan Pajajaran. Kerajaan Pajajaran, lanjut Engkus, merupakan perkawinan Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda. Kerajaan Galuh yang berpusat di Ciamis masih menganut
agama Sunda. Kerajaan Galuh juga diserang oleh Kesultanan Cirebon. Kerajaan Cirebon memiliki hubungan besan dengan Kerajaan Demak. Sebagian anggota Kerajaan Galuh yang menolak Islamisasi menyingkir ke pedalaman. Kini mereka mewujud menjadi kampung adat seperti Kampung Naga,
kampung Dukuh, dan sebagainya.

Kerajaan Pajajaran kemudian tak luput dari invasi. Kesultanan Banten yang masih memiliki hubungan kawin dengan Kesultanan Cirebon, menguasainya. Mereka yang melarikan diri masuk ke Baduy, Garut, dan sejumlah daerah di pesisir selatan. Yang bertahan
dalam proses itu kemudian beralih agama lain meski diam-diam masih meyakini kepercayaan lama, "Mereka inilah yang melahirkan kelompok kebatinan," Engkus menerangkan.

Pada zaman revolusi pun, lanjut Engkus, banyak penganut kepercayaan yang ikut serta dalam pergerakan, baik
melalui medan perang maupun diplomasi politik. Di antara mereka juga banyak yang berpendidikan tinggi seperti Mr. Wongsonegoro, Dr. Radjiman Widjojodiningrat, Dr. Soepomo, dan lain-lain. Mereka ini juga turut mendukung Pancasila sebagai dasar negara dan merumuskan Pasal 29 UUD
1945. Salah seorang penghayat yang turut mendukung kemerdekaan Indonesia di antaranya, Mei Kartawinata, putra Raden Kartowijoyo asal Rembang dan masih keturunan Brawijaya-Majapahit. Sementara ibunya, Raden Mariah berasal dari Bogor, keturunan Siliwangi dan Pajajaran.

Dalam buku
Boedi Daja dikisahkan, Mei bersekolah di HIS Zendingschool, sekolah partikelir, dan kursus di Klein Ambtenar. Tahun 1914, ia bekerja di perusahaan percetakan di Bandung. Pada 1922, Mei bergabung pada organisasi perburuhan IDB (Indische Drukkerij Bond). Pada 1925, ia menikah
dengan Sukinah dan pindah ke Subang, bekerja di perusahaan percetakan Atelir Subang (P&T Land) milik orang Inggris. Bersama dengan Rasid dari Cirebon dan Sumitra dari Bandung, ketiganya sering disebut sebagai Tri Tunggal oleh para pengikutnya.

Pada 17 September 1927, Mei
mendapat wangsit di tepi Sungai Cileuleuy. Sejak mendapat wangsit, Mei semakin bergelora tak hanya batin, tapi juga nasionalisme dan patriotismenya. Pada masa pergerakan, menurut beberapa saksi, Mei berkawan karib dengan Ir. Soekarno. Keduanya kerap kali berdiskusi kemudian
melahirkan konsep mengenai Pancasila. Meski tak muncul dalam sejarah umum Indonesia, bagi pengikutnya, Mei merupakan salah seorang penggali Pancasila.

Berbeda dari Buhun beraliran Budi Daya, menurut mantan peneliti Litbang Kemenag Ahmad Syafii Mufid, penganut Buhun di Kranggan
sudah mengalami puritanisasi agama (Islam). ''Sekarang mereka kebanyakan sudah mengakui Islam,'' katanya kepada Gatra. Berdasarkan penelitiannya pada 2013, ada tiga varian dalam kelompok penganut buhun di Kranggan. Pertama, yang sudah mengalami proses Islamisasi. Kedua,
segelintir orang masih memegang adat istiadat meski sudah mengakui Islam. Ketiga, penganut Aliran Kebatinan Perjalanan.

Dalam penghayat AKP, mereka tidak mengakui Islam tapi mengaku sebagai penghayat kepercayaan. Hari raya mereka jatuh pada tanggal 1 Sura menurut perhitungan
kalender Jawa. Mereka juga mencatatkan perkawinannya di Kantor Pencatatan Sipil, dan anak-anak mereka sekolah dan mengikuti ajaran agama Islam. Bedanya, kalau ada ujian praktik mereka tidak ikut.

Kemudian dalam hal pencatatan administrasi, kebanyakan sudah memiliki KTP dengan
kolom agama yang dikosongkan, atau ada juga yang menuliskannya dengan Aliran Kebatinan Perjalanan. Soal tempat ibadah, sama saja dengan Budi Daya, mereka juga menyebutnya Gedung Pasewakan.
***
Sebagai sebuah agama yang bersumber dari leluhur, dalam agama Sunda, baik Wiwitan
maupun Buhun terdapat tradisi seperti bakar kemenyan, ruwatan, larungan, dan lainnya. Tetapi semua tradisi itu, kata Engkus, merupakan simbolisasi pemahaman tentang Ka-Tuhanan dan hubungan antara manusia dengan alam. Dalam keyakinan Buhun, asal-usul manusia adalah sedulur papat,
kelima pancar.

Disebutkan, manusia berasal dari empat unsur alam; api, angin, air, dan bumi. Semua makhluk alam, jelas Engkus, merupakan pancaran sinar matahari (api). Apa yang dikonsumsi manusia sudah terdapat saripati api. Manusia bernapas menghirup udara (angin). Manusia
dalam hidupnya butuh (air). Semua makhluk pun tinggal dan berada di bumi. "Makanya manusia berasal dari empat unsur tersebut,'' katanya.

Sementara itu, yang kelima pancar (pusat) menerangkan wujud lahir. Yang menjadi poros empat unsur tersebut adalah "Sang Aku". Sehingga pancar
bermakna diri sendiri. Prinsip tersebut yang digali untuk memahami hidup. Makanya, tak mengherankan, lanjut Engkus, jika ada tata cara tertentu yang dilaksanakan oleh penghayat dalam mengelola air, merawat tanah, dan sebagainya.

Makna Ka-Tuhanan bagi penghayat berasal dari
bahasa Sunda Ka-Gusti-an, yang artinya ada unsur yang Mahasuci dalam diri setiap makhluk. Maka setiap makhluk memiliki zat hidup. Tak mengherankan, dalam mitologi muncul dewa-dewi penguasa sesuatu sebagai simbolisasi. "Ini kemudian melahirkan tata cara menanam padi, perayaan
kelahiran, kematian, dan lain sebagainya. Intinya mohon izin," Engkus menjelaskan.

Bakar sesajen pun, menurut ayah tiga anak ini, bukan berarti menyembah makhluk gaib. Melainkan perlambang keempat unsur pembentuk hidup. Api dilambangkan warna merah. Angin dilambangkan warna
kuning. Air dilambangkan warna putih. Sementara bumi dilambangkan hitam. "Makanya bendera-bendera di luar (Bale Pasewakan) dilambangkan dengan empat warna," katanya.

Dalam sesajen, arang yang berwarna hitam melambangkan bumi, merahnya api melambangkan api, bara yang
kekuning-kuningan melambangkan angin, dan asap putih sesaji tersebut melambangkan air. Kesemuanya dibakar dan diberi kemenyan dengan maksud keempat unsur ini diberi wewangi. "Artinya diri ini harus wangi. Diri yang wangi hanya bisa dicapai dengan perbuatan dan ucapan yang baik.
Selain itu sesajen juga sebagai media untuk memfokuskan diri dalam perenungan tentang diri kita sendiri dan kekuasaan Tuhan,'' ia menambahkan.

Pun dalam upacara kelahiran. Mesti disediakan bubur merah putih. Ini melambangkan proses diri manusia. Putih melambangkan zat dari bapak
, sementara merah melambangkan zat ibu. Maka, tak mengherankan dalam ajaran penganut agama Sunda termasuk Budi Daya penghormatan kepada orangtua hingga leluhur sangatlah penting. ''Jadi kalau kami dinilai menyembah roh nenek moyang, bukan demikian. Tetapi kita menghargai mereka,
'' Engkus menegaskan. Upacara lainnya seperti upacara tiga bulanan, tujuh bulanan, dan sembilan bulanan, pada saat ibu mengandung juga memiliki makna.

Misalnya, dalam proses penggalian diri juga akan ditemukan angka tiga yang merupakan tiga unsur; lahir, batin, dan "sang aku".
Hal ini juga dituangkan dalam tata cara, misalnya, bentuk sesajen tumpeng atau tempat suci yang bentuknya segi tiga. Dalam acara selamatan meninggal juga dikenal satu hari meninggal (nyusur tanah), tiga hari, tujuh hari, 40 hari, 100 hari, setahunan (mendak tahun), hingga ada
1.000 hari. "Semuanya dari penggalian diri dan kemudian diterapkan,'' katanya.

Mengenai kitab suci, Engkus menjelaskan bahwa alam raya termasuk diri sendiri merupakan kitab yang terus-menerus dipelajari dan dipahami. "Jadi tidak berupa tulisan,'' katanya. Melalui alam, manusia
berupaya belajar bagaimana kegotongroyongan antar-anggota badan, belajar baik dan buruk dan belajar merasa. Konsep kebenaran dalam hal ini menjadi manisfestasi yang dialami secara personal oleh tiap manusia. Tidak dapat diklaim benar atau salah secara dialogis selain melalui
perwujudan tingkah laku dan ucapan dalam kehidupan sehari-hari. "Semua tuntunan itu tak hanya dialami, melainkan juga dihayati. Makanya disebut penghayat," tambah Engkus.

Tak ada konsep seorang yang dikirim sebagai utusan Tuhan sebagai penyampai wahyu dalam Buhun. Tiap makhluk
merupakan utusan Tuhan. Sebab, dalam diri tiap makhluk terdapat pancaran citra Tuhan, seperti teori emanasi dalam Kristen. Orangtua berperan penting sebagai penyampai baik buruk.

Selain itu, para penghayat percaya Tuhan Maha Kuasa. Sehingga dalam tata cara keagamaan Buhun tak
dikenal istilah menyembah Tuhan, melainkan berlaku baik dan cakap dalam hidup. Meski ada beberapa acara dilakukan dengan meditasi atau merenung, Engkus menjelaskan hal tersebut lebih kepada intropeksi dan menyadari kebesaran Tuhan. "Terserah mau sambil duduk, berdiri. Mau
menghadap ke mana juga bebas. Yang terpenting batinnya fokus kepada Tuhan." katanya.

Fitri Kumalasari (Lembang)

= = =

BUHUN

Agama: Buhun

Asal: Jawa Barat
Merupakan keyakinan asli masyarakat tanah Priyangan. Percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, ajarannya bersumber dari
leluhur. Dalam tata cara keagamaan Buhun tak dikenal istilah menyembah Tuhan, melainkan berlaku baik dan cakap dalam hidup. Diyakini salah satu kepercayaan tertua di Indonesia, dan ada sebelum Hindu.

Lokasi penganut:
Bekasi, Bandung, Bogor, Subang, Indramayu, Majalengka,
Sumedang.

Kitab ajaran: -

Kekuasaan Tertinggi:
Tak ada konsep seorang yang dikirim sebagai utusan Tuhan sebagai penyampai wahyu dalam Buhun. Tiap makhluk merupakan utusan Tuhan. Sebab, dalam diri tiap makhluk terdapat pancaran citra Tuhan.

Tradisi Upacara:
Renungan malam
1 Juni merupakan salah satu hari penting selain malam 1 Sura dan tanggal 17 September yang biasa dirayakan oleh penghayat Budi Daya. Tanggal 17 September 1927 diperingati sebagai hari penggali ajaran Budi Daya, Mei Kartawinata (1897-1967) mendapat wangsit.
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Agama Kepercayaan Adat Nusantara #2019gantimayor

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!