My Authors
Read all threads
Foto: sinarharapan.co

Tokoh Penghayat Kepercayaan: “Sudah Mati pun Kami Masih Didiskriminasi”

Masyarakat pada umumnya menganggap hanya ada enam agama di Indonesia: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan terakhir Konghucu. Padahal di luar itu sebenarnya ada banyak
agama lokal –atau sering dikenal dengan istilah kepercayaan– yang telah berkembang jauh sebelum ‘agama-agama impor’ datang ke Indonesia.

Dalam data yang dicatat Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003, ada 245 aliran kepercayaan yang terdaftar, dengan jumlah penganut
mencapai 400 ribu jiwa lebih.

Sayangnya masih banyak terjadi diskriminasi terhadap agama-agama asli Nusantara ini. Tak satupun dari 245 kepercayaan tersebut boleh dicantumkan di Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Masalah ini berawal saat Sidang MPR tahun 1978 yang memutuskan bahwa
aliran kepercayaan tidak termasuk dalam agama. Ini tertuang dalam ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978. Berdasarkan ketetapan MPR tersebut Departemen Agama mengeluarkan instruksi Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1978 mengenai kebijakan aliran-aliran kepercayaan. Dalam instruksi ini
Departemen Agama tidak lagi mengurusi aliran kepercayaan.

Sejak saat itu berbagai perlakuan tak adil dialami oleh penganut aliran kepercayaan, baik dari negara maupun masyarakat. Ini terentang dari tidak diakuinya pernikahan penganut kepercayaan, ketiadaan hak mereka untuk
mencantumkan identitas kepercayaannya di KTP sampai dipersulit saat pemakaman jenazah.

Walaupun mengalami berbagai diskriminasi, para penganut kepercayaan masih bertahan sampai sekarang. Mereka tetap berjuang untuk mendapatkan hak-haknya. Untuk mengetahui lebih jauh kondisi para
penghayat kepercayaan dan berbagai diskriminasi yang mereka alami, Warsa Tarsono dari Madina Online mewawancarai Engkus Ruswana, salah satu tokoh penghayat kepercayaan Sunda yang berada di Jawa Barat. Wawancara dilakukan pada Sabtu, 7 November 2015, di Jakarta Selatan. Berikut
petikan lengkap wawancaranya.

Bisa Anda ceritakan apa itu yang disebut Penghayat Kepercayaan?

Penghayat Kepercayaan sebenarnya adalah penganut agama lokal. Kami mempercayai ajaran leluhur kami yang sudah ada jauh sebelum agama-agama besar dari luar negeri itu datang. Istilah
‘agama’ sendiri adalah istilah yang berasal dari bahasa lokal, bukan bahasa dari luar.

Dalam proses sejarah, setelah masuk agama-agama dunia, sebagian penganut agama lokal berpindah keyakinan ke agama-agama baru itu. Ada yang melakukan sinkretisme, yaitu menggabungkan dua
keyakinan, tapi banyak juga yang tetap bertahan. Dari yang bertahan ini banyak yang mengalami pemaksaan agar pindah keyakinan. Karena ingin mempertahankan keyakinan mereka atau bisa juga karena mengalami diskriminasi dan penindasan, mereka mengungsi ke tempat-tempat lain.

Dalam
sejarah hal itu terjadi, misalnya, saat Kerajaan Demak menghancurkan Kerajaan Majapahit. Rakyat Majapahit sebenarnya adalah para penganut agama lokal yang bercampur dengan Hindu dan Budha. Ketika Majapahit hancur, para penganut agama lokal yang ingin mempertahankan agamanya
terpaksa mengungsi –ada yang ke Tengger atau tempat lainnya.

Hal yang sama terjadi di Sunda. Di masa lalu kerajaan yang berkuasa di Sunda adalah Galuh yang hancur karena diserang Kerajaan Cirebon yang dibantu Demak. Para penganut agama lokal ada yang mengungsi ke Kampung Naga,
ke Garut; namun ada juga yang bertahan di tempat dan mengakomodasi atau menyatukan dua keyakinan agama. Hanya sedikit yang berganti agama. Sebagian besar ajaran lokal tetap diyakini. Namun demi keamanan, yang baru pun diterima. Kondisi seperti itu masih berlanjut sampai sekarang.
Kalau dari sisi ajaran, agama kami adalah agama Sunda. Ajaran yang berasal dari leluhur Sunda. Tapi sekarang ada Sunda Wiwitan dan ada yang seperti kami.

Dalam agama yang Anda yakini ini, Anda menyembah Tuhan?

Kalau dari sisi ajaran, agama lokal tidak mementingkan soal
menyembah Tuhan. Pada prinsipnya, kita ini bergerak, bicara, melihat, mendengar itu kan karena kuasa Tuhan. Berarti hubungan antara manusia dan Tuhan itu dekat sekali. Menurut pemahaman kami, tidak mungkin Tuhan ingin dipuja-puji atau untuk disembah-sembah. Ajaran kami tidak
mengarah ke penyembahan-penyembahan.

Kami percaya Tuhan punya sifat-sifat suci. Nah, sifat-sifat suci Tuhan itu yang kami berusaha untuk wujudkan dalam hidup kami. Manusia harus suci dalam perbuatan, dalam pikiran, dalam tekad. Karena Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, kita
sebagai manusia harus juga melakukan perbuatan kasih dan sayang karena unsur Tuhan ada di kita. Itu pemahaman kami soal Tuhan.

Yang mempunyai unsur ketuhanan bukan hanya manusia saja. Binatang pun punya unsur ketuhanan; tumbuhan juga demikian. Alam pun mempunyai unsur ketuhanan.
Karena itu saat akan menanam padi, kami melakukan amitsun. Kami minta izin dulu, karena di tanah ada unsur hidup. Di padi ada unsur hidup. Jadi ada tatakrama meminta izin kalau mau bertanam agar hasilnya bagus dan dijauhkan dari penyakit. Begitu pun pada waktu panen. Saat
memetik hasil panen ada tatakramanya juga. Misalnya, dengan mengucapkan terima kasih telah diberikan hasil yang baik. Ketika mau dibawa ke lumbung juga ada tatacaranya.

Perilaku yang seperti ini sekarang disebut sebagai kearifan lokal. Kearifan itu berangkat dari pemahaman
tentang hidup dan kehidupan.

Apakah ada ritual tertentu?

Dalam arti bersembahyang tidak ada. Bentuk penyembahan kami dalam laku. Laku itu ada ucap, di langkah atau perbuatan. Kami punya keyakinan Tuhan tidak butuh apa-apa.

Apakah ada panduan beragama seperti larangan atau
anjuran kebaikan?

Ada, walau hanya bersifat garis besar saja. Pertama, bagaimana berbadan sehat, Kedua, berkelakuan baik. Ketiga, berpengetahuan benar. Keempat, hidup kami harus selamat.

Kami percaya, berpengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang didasarkan pada sesuatu
yang nyata. Yang nyata berarti harus disaksikan oleh mata dan indra lainnya, oleh hati, otak dan pikiran. Jadi pengetahuan itu jangan katanya.

Terkait larangan, tentu juga ada. Kalau di Jawa ada mo limo, di kami ada ma pitu. Dilarang maling, madon, mangani, mateni, dan lain-lain
. Juga, ada tujuh pantangan. Setiap komunitas berbeda-beda jumlah larangannya, tapi intinya sama. Ada yang lima, enam atau tujuh. Biasanya yang lima atau enam ada penggabungan-penggabungan.

Apakah ada hukuman tertentu bagi seorang penganut yang melakukan pelanggaran terhadap
ajaran atau larangan itu?

Prinsipnya masing-masing bertanggungjawab terhadap diri mereka sendiri. Kalau secara paguyuban atau komunitas, hukumannya paling dikucilkan. Kami punya keyakinan siapa saja yang melakukan kesalahan, dia yang akan menanggung akibatnya. Jadi, tidak ada
mekanisme pecat atau apapun. Biasanya mereka yang melakukan pelanggaran yang mengundurkan diri.

Penghayat kepercayaan ini ada di daerah mana saja?

Ada banyak penghayat di Indonesia. Ada Kaharingan di Kalimantan. Di Batak ada Parmalim; di Sunda ada Wiwitan, Aji Dipa; di Jawa
Kejawen; ada Aluk Todolo Tana Toraja, Wetu Telu Lombok, Sapto Darmo Jawa Tengah dan banyak lagi. Para penghayat terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil dalam rangka mempertahankan diri. Sebenarnya masih banyak orang yang meyakini agama lokal tapi mereka tersembunyi. Ada dalam
kelompok-kelompok kecil itu.

Apakah ada persamaan antara penghayat kepercayaan di satu tempat dengan daerah lainnya?

Tatacara dan adat istiadat para penghayat kebanyakan sama. Di Jawa ada tatacara bersawah, di Sunda juga ada. Di Ponorogo ada larungan, di tempat lain yang di
daerahnya ada laut atau telaga tradisi serupa juga ada. Hanya berbeda dalam penjelasan.

Apakah selama ini negara sudah mengakomodasi atau melindungi para penghayat kepercayaan?

Saya membaginya dalam tiga masa. Pertama, zaman Bung Karno (Orde Lama). Kedua, zaman Soeharto (Orde
Baru). Ketiga, zaman Reformasi. Pada zaman Bung Karno agama tidak pernah dipermasalahkan dan negara mengakomodasi kami. Bahkan beberapa tokoh penghayat kepercayaan terlibat dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) seperti Tumenggung Wongsonegoro dan
Dr. Radjiman Wedyodiningrat. Dr. Radjiman juga terlibat dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Mereka orang keraton, orang kejawen. Mereka ikut meletakkan dasar-dasar negara. Salah satu hasilnya adalah pasal 29 yang menjamin masyarakat untuk memeluk agama dan
beribadah sesuai agama dan kepercayaannya.

Pada Orde Lama tekanan atau diskriminasi tidak dari negara tapi dari masyarakat. Yaitu oleh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Pada tahun 1950-an DI/TII berkembang. Kami mendapat penindasan dan penganiayaan dari mereka.
Terutama di Sulawesi Selatan dan Jawa Barat, karena DI/TII di dua tempat itu kuat. Di komunitas saya sampai ada 42 orang yang dibunuh dengan dibakar hidup-hidup.

Memasuki Orde Baru awalnya kami masih diakomodasi. Ada banyak undang-undang yang mengakomodasi penghayat kepercayaan,
bahkan sampai dibentuk direktorat tersendiri. Tapi karena ada kalangan Islam yang mempengaruhi kebijakan negara akhirnya banyak peraturan yang membatasi ruang gerak kami. Misalnya dalam hal perkawinan.

Semula kami boleh melakukan perkawinan tanpa melalui agama. Memasuki akhir
1970-an, tepatnya 1978, hidup kami mulai dipersulit. Sampai akhirnya tahun 1986 kami tidak boleh kawin tanpa melalui agama.

Apakah larangan itu ada di level undang-undang?

Tidak, hanya peraturan-peraturan menteri saja. Pada 1978, Menteri Agama mengeluarkan surat yang menyatakan
tidak ada perkawinan tanpa melalui agama. Tidak ada perkawinan atas dasar kepercayaan. Semua orang harus beragama. Sejak itu hampir semua menteri terlibat. Ada Menkokesra, Menteri Agama, Hakim, Jaksa Agung, juga Polri. Mereka seringkali mengeluarkan surat berbeda-beda yang
membuat pernikahan penganut kepercayaan tidak jelas. Kadang boleh, kadang tidak. Kemudian boleh lagi, tidak lama dilarang lagi.

Kami berjuang terus sampai akhirnya pada 2006 keluar Undang-undang Administrasi Kependudukan (Adminduk) dan Peraturan Pemerintah pada 2007. Sejak itu
kami bisa kembali menikah tanpa melalui agama. Kami berjuang sampai 20 tahun. Kami juga sekarang boleh mengosongkan kolom agama di KTP. Untuk masalah pernikahan dan identitas sudah ada sedikit perbaikan.

Dalam bidang pendidikan kami masih terdiskriminasi. Kami masih diwajibkan
mengikuti pelajaran agama yang bukan merupakan keyakinan kami. Sampai sekarang masih seperti itu. Hal ini yang sedang kami terus perjuangkan.

Kemudian untuk jadi PNS. Dulu boleh, tapi seperti masalah perkawinan, kemudian menjadi sulit. Katanya sekarang sudah boleh lagi. Dua
tahun lalu anak saya melamar, tapi tidak bisa. Formulir disediakan hanya untuk para penganut agama, tidak untuk penghayat.

Di kepolisian dan tentara sampai sekarang belum boleh penghayat masuk menjadi anggota. Di banyak kasus, begitu diketahui seseorang itu penghayat dan bukan
penganut agama, mereka kemudian tidak diterima menjadi polisi atau tentara. Kasus seperti itu terjadi di Medan dan Jakarta. Sehingga sekarang kebanyakan anak penghayat yang mendaftar ke tentara atau polisi mengakunya beragama. Di KTP mereka kebanyakan mencantumkan agama Islam.
Saat ini mungkin hanya 10 persen para penghayat yang berani jujur menampilkan identitasnya. Yang lainnya tetap berkamuflase dan melihat kondisi.

Apakah ada diskriminasi bagi anak yang tidak mencantumkan agama di sekolah?

Ada yang mengalami diskriminasi tapi ada juga yang tidak.
Kepala sekolah maupun guru sekarang sudah mulai paham sehingga tidak melakukan diskriminasi. Kami juga secara aktif mendatangi sekolah-sekolah untuk menjelaskan. Tapi dalam hal pelajaran agama, anak para penghayat tetap diwajibkan ikut. Tetap harus mengikuti pelajaran walaupun
tidak usah ikut shalat atau belajar baca Al-Quran.

Apakah sudah ada tanda-tanda pemerintah memfasilitasi hak beribadat bagi para penghayat?

Memang sekarang mulai membaik. Misalnya, mulai ada bantuan untuk membangun tempat berkumpul. Kami menyebutnya tempat berkumpul bukan
tempat ibadat. Hanya ada satu-dua komunitas yang menamakan itu tempat ibadat, tapi sebenarnya itu tempat berkomunikasi atau ruang saresehan.

Jadi untuk fasilitas, kami sudah mulai mendapat bantuan tapi untuk hal lainnya pemerintah belum sepenuh hati melibatkan atau
memberdayakan kami. Seringkali dalam proses pembuatan undang-undang atau peraturan yang akan mengatur para penghayat, kami tidak dilibatkan. Beberapa kali kami diikutkan, tapi lebih sering tidak. Contohnya dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), karena penghayat dianggap
bukan agama, maka kami tidak dilibatkan. Agama-agama dari luar diikutkan, tapi kami agama lokal tidak diikutsertakan.

Akhir-akhir ini diskriminasi lebih banyak dilakukan oleh siapa?

Oleh negara masih ada. Oleh masyarakat juga masih. Masyarakat kan bermacam-macam. Ada yang tidak
mempermasalahkan, tapi juga ada yang mempermasalahkan kami. Yang berat bagi kami berhadapan dengan kelompok yang fanatik.

Di Semarang pesanggrahan atau tempat berkumpul penghayat kepercayaan dirobohkan. Jenazah penganut Sapto Darmo di Brebes tidak boleh dimakamkan di pemakaman
umum. Itu terjadi pada 2014 kemarin.

Masalah penguburan jenazah itu satu masalah tersendiri. Walaupun sudah ada aturannya bahwa penghayat juga boleh dikuburkan di tempat pemakaman umum, tapi realitasnya seringkali tidak begitu. Misalnya, ada kasus jenazah penghayat kepercayaan
ditolak dengan alasan bahwa tempat pemakaman yang ada adalah tanah wakaf yang hanya diperuntukkan buat orang Islam.

Ini dialami oleh ibu saya sendiri saat meninggal beberapa waktu yang lalu. Dia berpesan agar dikuburkan di Ciamis, maka kami bawa ke Ciamis. Saat mau dikuburkan
sebagian masyarakat menolaknya. Sampai akhirnya diadakan rapat kampung. Mayat ditaruh dulu di halaman masjid sambil menunggu tokoh masyarakat dan pemuka agama rapat.

Akhirnya diputuskan, ibu saya boleh dimakamkan di pemakaman yang ada, tapi harus dishalatkan terlebih dahulu.
Jadi harus diislamkan dulu boleh dimakamkan. Itu yang menyakitkan bagi saya. Sudah mayit saja harus diislamkan.

Dengan banyak kejadian seperti itu, bagaimana Anda melihat para pejabat pemerintahan sekarang? Apakah mereka sudah mulai melindungi keberagaman keyakinan yang ada?
Saya lihat memang sebagian pejabat sudah mulai ada yang peduli dan menyadari, tapi dalam praktiknya seringkali tidak berjalan. Masih ada kekuatan yang disegani sehingga tidak berani bertindak tegas kepada kalangan-kalangan radikal. Saya tidak mengerti, apakah ini politik ataukah
ada kekuatan-kekuatan yang menyusup di kepolisian? Sudah jelas melanggar undang-undang dan konstitusi kok tidak ditindak tegas? Heran saya!

Lihat saja kasus seperti Gereja Yasmin dan Syiah di Bogor. Mestinya Bima Arya berdiri di atas konstitusi. Tidak boleh walikota melarang
pembangunan gereja atau melarang kegiatan Syiah. Dia tidak boleh kalah oleh tekanan kelompok radikal. Seberat apapun mendapat tekanan, dia tidak boleh mengeluarkan keputusan publik yang merugikan dan membahayakan publik.

Apa harapan Anda ke depan, baik terhadap pemerintah atau
masyarakat umum dalam memperlakukan para penghayat kepercayaan?

Kami ingin kita berkaca pada sejarah. Saat Islam masuk, leluhur kami welcome. Hindu masuk, leluhur kami juga welcome. Bahkan mereka diberi tempat dan dipersilakan untuk mengembangkannya. Dalam legenda diceritakan
waktu Ajisaka membawa ajaran Hindu dia diberi tempat, bahkan dicarikan istri oleh penguasa yang menganut agama lokal. Waktu Islam datang ke Jawa mereka masuk di Bintara. Oleh Raja Majapahit diberi tempat di Bintara. Tidak ada diskriminasi karena ajaran kami ajaran damai.

Nah,
saat ini kami juga berharap diperlakukan yang sama. Karena kami percaya bahwa semua agama juga mengajarkan perdamaian. Tapi memang masalahnya ada kelompok radikal yang membawa adat mereka dari sana. Itu yang bikin hancur. Mereka di sana biasa berperang antaragama dan biasa dengan
kekerasan, sedangkan kita tidak. Di sini tidak ada budaya kekerasan.

Kaum radikal yang membawa kekerasan ke sini. Ini yang membuat masalah buat negara. Karena itu, menurut saya, negara harus bertindak tegas, berpegang pada undang-undang dan konstitusi. Sudah banyak
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Agama Kepercayaan Adat Nusantara #2019gantimayor

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!