Pengalaman ini saya alami sekitar 2 tahun yang lalu, sepulang dari gudang tempat kerja yang pada waktu itu belum lama difungsikan oleh kepala tukang yang bekerja sama dengan saya untuk tempat kerja kami.
Sebenarnya lokasi gudang itu, masih berada di wilayah kota.
Tapi, jarak gudang dengan rumah saya bisa dibilang cukup jauh. Dikarenakan, gudang tersebut berada ditempat milik kepala tukang saya.
Yang perlu saya sampaikan, untuk pulang dari gudang sebenarnya terdapat 3 jalur.
Pertama, jalur terjauh adalah lewat jalur pantura-
Kedua, jalur wilayah kota, yang sampai sekarang masih sering saya lewati.
Dan yang ketiga jalur Alas L**o, yang sebenarnya adalah jalur terdekat.
Malam itu, saya pulang terlalu larut. Hujan yang turun deras sejak sore, tak kunjung reda, dan memaksa saya untuk menunggu di Gudang hingga hujan itu berhenti.
Sempat saya berfikir untuk menginap saja di tempat itu. Tapi, karena alasan keluarga saya pun memutuskan untuk pulang.
Setelah hujan mulai reda, saya pun segera bersiap untuk pulang. Setelah berpamitan dengan kepala tukang, saya segera menjalankan motor meninggalkan tempat itu.
Saya hanya berfokus agar secepatnya sampai rumah. Karena kawatir, jika hujan kembali turun saat diperjalanan.
Setelah meninggalkan gudang, tanpa pikir panjang, saya pun memutuskan untuk memilih jalan yang saya anggap lebih cepat mengarahkan saya ke rumah.
Dan sudah pasti, jalan itu mengarah pada jalur Alas L**o.
Saya terus melajukan motor sambil berharap ada pengendara lain yg melintas.
Jujur, saat itu ada sedikit rasa takut dalam diri saya. Pasalnya, saya cukup tau bahwa jalanan yg akan saya lewati merupakan kawasan yg dulunya adalah hutan.
Saya yakin, jika ada pembaca yang berdomisili di sekitar lokasi itu, pasti paham alasan kenapa saya agak merasa takut.
Banyak cerita yang sering terjadi di kawasan itu, dari cerita tentang perampokan, begal, hingga cerita mistis yang sering terjadi di kawasan itu.
Meski kawasan itu telah bertransformasi menjadi jalanan umum, namun kesan mistis masih tetap terasa bagi siapapun yang berkendara sendirian melintasi jalanan itu.
Masih banyaknya pepohonan berukuran tinggi dan besar, serta rimbunnya area sekitar, mengesankan bahwa kawasan itu belum sepenuhnya terjamah manusia. Penerangan jalan yang belum maksimal, pun semakin membuat suasana jalanan itu terasa menyeramkan.
Menyadari bahwa saya akan segera memasuki kawasan jalanan Alas L**o, perasaan saya berubah menjadi was-was.
Beberapa kali saya mengamati kaca spion, namun tetap tak ada seorang pun yang terlihat akan melintasi jalan yang akan saya lalui.
Kepalang tanggung, saya pun memutuskan untuk mempercepat laju motor.
Dan sampailah saya di perempatan jalan yang bisa dikatakan sebagai batas 4 desa dikawasan itu, dikarenakan masing-masing jalan mengarah ke desa yang berbeda.
Disekitar perempatan itu, terlihat ada deretan ruko yang baru dibangun, namun belum difungsikan.
Penerangannya masih belum terlalu terang, karena lampu jalan milik Pemda masih jadi satu-satunya penerang di lokasi itu.
Saya menengok ke arah setiap cabang jalan-
Terus berharap ada pengendara lain yang lewat, yang setidaknya bisa menjadi teman perjalanan ketika melewati kawasan itu.
Dari perempatan jalan itu pula bisa saya amati keadaan jalan yang akan segera saya lalui.
Gelap, dan terlihat seperti lorong yang tak berujung.
Bulu kuduk saya semakin merinding, saya kembali menoleh ke arah belakang namun tetap tak kunjung ada pengendara lain yang melintas.
Rasa takut dan was-was dalam diri saya membuat suasana terasa semakin dingin. Bukan sekedar karena hujan baru saja membasahi kawasan itu.
Saya hampir menambah kecepatan motor, saat tiba-tiba dari arah jalanan yang mirip lorong itu mulai terlihat ada sosok seorang pengendara yang berlawanan arah dengan saya.
Tapi, saya yakin tak akan ada yg menyangka, jika dijalanan yang gelap seperti itu ada orang yg mengendarai
Sepeda!
Saya berusaha berfikir positif, mungkin saja pengendara sepeda itu merupakan warga sekitar yang sudah terbiasa melewati jalanan itu.
Saya pun tetap melajukan motor, hingga akhirnya berpapasan dengannya.
Saya yakin, lelaki tua itu pastinya menyadari laju motor saya. Tapi, ia seakan tak peduli dan mengacuhkan hal-hal apapun disekitarnya, dan hanya menundukkan wajahnya.
Perkiraan saya, pandangannya hanya tertuju pada roda depan sepedanya agar tidak terjebak lubang jalan.
Saya pun berusaha mengabaikan pikiran-pikiran negatif yang entah kenapa semakin memenuhi isi kepala saya.
Termasuk pertanyaan kenapa ada seorang laki-laki tua, yang sekilas saya amati seperti berpakaian lusuh, berani bersepeda sendirian ditempat itu.
Setelah berpapasan dengan lelaki tua itu, saya pun akhirnya memasuki kawasan "Alas L**o".
Sama seperti dari kejauhan, kondisi tempat itu saat saya lewati pun memang sama gelapnya.
Beberapa lampu penerangan yang saya sadari keberadaannya, justru tak ada satu pun yang menyala.
Satu-satunya penerangan yang membantu pandangan saya hanyalah lampu motor saya sendiri yang meski agak redup, dalam keadaan gelap gulita seperti itu jadi terlihat lebih terang dari biasanya.
Suara ranting pepohonan yang diterpa angin, tiba-tiba terdengar lebih keras dari suara mesin motor yang saya kendarai.
Membuat saya mengira, hal tersebut merupakan pertanda hujan yang akan kembali turun. Karena angin yang berhembus terasa begitu dingin.
Tentu saja saya bertambah khawatir, jika ditengah jalanan yang gelap itu tiba-tiba hujan turun.
Suaranya semakin keras, dan beberapa kali pun terdengar suara gesekan dan patahan bambu.
Tidak saya kira sebelumnya, perjalanan pulang saya malah jadi semencekam itu.
Saat ingin menambah kecepatan, tiba-tiba saya dibuat terkejut oleh kemunculan seorang pengendara sepeda dari arah berlawanan.
Jalanan yg gelap, sepertinya membuat jangkauan pandang saya terbatas, sampai tak menyadari adanya pengendara lain.
Seketika, saya menarik tuas rem motor
Saya cukup kaget, tapi bukan karena pengendara sepeda itu, melainkan ada lubang jalan yg tiba-tiba terlihat tepat didepan laju motor saya.
Suara decit ban motor yg bergesekan dg aspal terdengar cukup keras, disusul suara gedubrak motor saya yg terlanjur mengenai lubang jalan itu
Beruntung, saya tak sampai terjatuh akibat lubang jalan itu.
Detak jantung saya pun terasa lebih cepat. Masih tak bisa membayangkan jika di tengah jalanan yang sepi dan gelap seperti itu, saya sampai mengalami kecelakaan tunggal.
Pengendara sepeda itu pun berpapasan dengan saya yang masih melajukan motor saya dengan pelan setelah hampir terjatuh.
"Ati-ati le. Ora usah ngebut."
(Hati-hati nak, jangan ngebut) serunya, dengan suara yang terdengar seperti suara kakek-kakek.
Dengan motor yang masih melaju, saya pun menganggukkan kepala kearah pesepeda itu, sebagai pertanda ungkapan terima kasih untuk peringatan yang ia berikan.
Setelah berpapasan dengan pengendara sepeda itu, saya baru menyadari sebuah keanehan.
Orang Tua, bersepeda? Ditengah jalanan yang gelap, yang masih pantas disebut Hutan seperti itu? Berani sekali orang itu?
Tak hanya itu, saya pun jadi teringat dengan pesepeda yang sempat saya lihat sebelum memasuki kawasan itu.
Entah kenapa, saya merasa pesepeda itu seperti orang yang sama!
Penasaran, saya pun mencoba melihatnya dari kaca spion.
Tapi...
Pesepeda itu sudah tak ada. Entah karena gelapnya lokasi, atau tak terjangkau oleh kaca spion.
Saya pun memberanikan diri untuk menoleh kebelakang.
Dan benar saja, tak ada seorang pun dibelakang laju motor saya. Pengendara sepeda itu benar-benar sudah tak terlihat.
Bulu kuduk saya sempat berdiri, dan saya kembali meneruskan perjalanan pulang dengan rasa was-was karena belum juga keluar dari kawasan itu.
Disamping kiri jalanan, mulai terlihat sebuah dinding pagar tua yang menandakan saya telah sampai di pertengahan jalanan Alas L**o.
Sedikit saya sampaikan, di siang hari, dinding pagar itu masih terlihat cat nya yang berwarna putih kusam, dg beberapa sempalan dinding yg sudah keropos termakan usia.
Dan saat pertama kali melewati jalanan itu, saya kira dibalik dinding pagar itu adalah area pemakaman di desa
Tapi setelah beberapa kali melewati area tersebut, saya mengetahui, ternyata dibalik dinding itu adalah sebuah ladang yang sudah tak terurus.
Dan menurut cerita teman saya yang merupakan warga desa itu, jauh dibalik dinding itulah pusat kemistisan di kawasan itu.
Warga sekitar menyebut lokasi itu dengan sebutan "Randu Ro**o".
Jadi, dibalik dinding pagar itu, dulunya ada sebuah pabrik yang dibelakangnya terdapat pohon randu yang berukuran besar, ciri khas pohon tua. Pohon itu lah asal muasal nama lokasi itu.
Meski sudah beberapa kali melintasi kawasan itu, saya masih saja sering merasa was-was dan merinding jika tepat berada di jalanan depan lokasi "Randu Ro**o".
Jangankan malam hari, di siang hari pun lokasi itu tetap memancarkan kesan mistisnya.
Kembali ke cerita perjalanan saya.
Saat akhirnya melintas di lokasi itu, saya menyadari bahwa saya telah berada di pertengahan jalanan Alas L**o.
Aroma pepohonan disekitar lokasi terasa semakin kuat. Jalanan yg masih basah pun akhirnya membuat saya harus sangat berhati-hati.
Di sisi lain jalanan, tepatnya di depan dinding pagar, agak terlihat kumpulan pohon bambu yang diterpa angin saat saya melintas. Suara khas nya, membuat saya semakin merinding dan ingin secepatnya keluar dari kawasan itu.
Saya hampir melewati ujung dinding yang juga terdapat bekas area gerbang tanpa pintu, yang menjadi akses menuju lokasi "Randu Ro**o".
Disitu, tiba-tiba saya kembali dikejutkan oleh adanya lubang jalan yang untungnya masih bisa saya hindari.
Duh, tiba-tiba jadi keinget kejadian setelah itu...
Merinding jadinya...
Jujur, walaupun kejadiannya sudah lama, tapi tiap coba menceritakan pengalaman waktu itu, saya agak sedikit parno.🥶
@wulan_rindryani Jadi, setelah berhasil menghindari lubang jalan, tak sengaja pandangan saya tertuju ke arah dalam pagar.
Tapi, disana malah terlihat sesuatu yang membuat saya kaget dan langsung mempercepat laju motor saya.
Bisa saya lihat dengan jelas, seorang laki-laki tua dengan pakaian lusuh, kotor, kecoklatan, dan compang-camping berdiri tepat di sisi gerbang.
Pandangannya seperti tertuju ke arah saya yang sekilas terlihat senyum menyeringai di wajahnya yang menghitam.
Saya terus melaju dengan terburu-buru. Rasa kaget, takut, merinding, tak karuan membuat saya tak lagi mempedulikan area sekitar jalanan, yang saya yakin terasa memanas.
Saya terus berusaha memfokuskan pandangan kedepan, sambil tetap berhati-hati dengan adanya lubang jalan lain.
Hingga akhirnya, di kejauhan mulai terlihat cahaya penerangan jalan yang menandakan saya hampir sampai di kawasan penduduk.
Perasaan saya hampir lega, karena menyadari akan segera keluar dari kawasan Alas L**o.
Tapi tiba-tiba...
Dari kumpulan pohon bambu yang berada di depan laju motor saya, tepatnya di sisi kanan jalan, kembali muncul sesosok lelaki tua yang terlihat mirip dengan sosok yang saya lihat di sudut gerbang yang mengarah ke lokasi Randu Ro**o.
Lelaki itu berdiri sambil memegangi sebuah sepeda tua yang sudah berkarat. Tatapannya sama, terus menatap ke arah saya, juga dengan senyum menyeringai, sama seperti di lokasi sebelumnya.
Spontan, saya beristigfar cukup keras ketika saya menyadari bahwa pesepeda yg dari awal saya jumpai di jalanan itu, ternyata adalah sosok yg sama.
Sebisa mungkin saya merapalkan beberapa doa yg bisa saya ingat. Berharap saya dilindungi dari makhluk yang mendiami kawasan itu.
Saya mencoba mengalihkan perhatian saya dari sosok itu. Berusaha mengabaikannya dan terus merapalkan doa.
Sambil meyakinkan diri bahwa saya akan segera keluar dari kawasan Alas L**o, dan pasti tak akan terjadi apa-apa.
Akhirnya, sampailah saya di depan deretan ruko lain yang menandakan bahwa saya telah berada di kawasan berpenduduk.
Jalanannya pun sudah lebih terang oleh lampu jalan yang menyala.
Saya pun agak merasa lega, karena telah keluar dari jalanan yang menegangkan itu.
Tak lama setelah keluar dari kawasan itu, hujan pun kembali turun cukup deras.
Saat mampir berteduh disebuah warung kopi, saya merasa benar-benar bersyukur, karena hujan tidak kembali turun saat saya masih di kawasan itu.
Sempat saya ceritakan pengalaman yang baru saya alami pada penjual dan seorang pembeli di warung itu. Siapa sangka, cerita itu pun ditanggapi dengan cukup antusias oleh mereka. Dan di warung itu pun saya bertukar cerita.
Ternyata memang sudah dari dulu banyak cerita yang terjadi di kawasan Alas L**o. Dan menurut si pembeli di warung kopi, saya masih dikatakan beruntung karena yang menampakkan diri pada saya bukan sosok yang lebih mengerikan.
Efek traumatis sejak saat itu, saya jadi tidak terlalu sering melewati kawasan Alas L**o ketika pulang dari gudang kerja.
Setidaknya, sebelum kawasan itu mulai ramai dengan beberapa lokasi kuliner yang sekarang sudah mengubah persepsi tempat itu.
Oh ya, Deretan Ruko yang pertama saya sebutkan di thread ini (diperempatan perbatasan), sebenarnya adalah Ruko milik teman saya.
Nah di kesempatan lain, saya akan menceritakan kisah lain seputar kawasan Alas L**o. Tapi berdasarkan pengalaman teman saya, dan beberapa orang.
Pernah juga saya dan beberapa teman yang memiliki channel Youtube misteri, live streaming di kawasan itu. Tentunya sebelum kawasan itu ramai seperti sekarang.
Saya akan ceritakan beberapa kisah lain seputar kawasan itu di thread selanjutnya.
Thread ini saya cukupkan. Kurang lebihnya, saya mohon maaf apabila ada kesalahan kata.
Semoga thread kali ini dapat dijadikan pelajaran, untuk kita semua. Bahwa kita hidup di dunia ini tidak sendiri. Selalu berdoa dan berserah diri pada Yang Maha Kuasa kapan pun dimana pun.
Dan jangan sekali-kali nekad, melintas di jalan yang jarang atau bahkan belum pernah kalian lewati sendirian. Apa lagi dengan kondisi jalanan yang sepi, dan minim penerangan.
Saran saja, buru-buru putar arah sebelum kalian mengalami hal-hal yang tak diinginkan.
Hihihihihi...
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
"Loh, kok bisa ada makam ditempat itu pak?" tanyaku, penasaran.
"Ya, karena dulunya, lokasi itu ya masih milik keluarganya. Kalau bisa dibilang sih, pemakamannya agak kurang wajar, jadi dimakamkan di pekarangan milik sendiri", jelas Pak Erte.
"Nggak wajar gimana pak?" rasa penasaranku pun mulai muncul mendengar penuturan Pak Erte tentang lokasi itu.
"Orang yang dikubur itu," Pak Erte sedikit memberi jeda. "Bisa dibilang, dikubur hidup-hidup disana".
Bulu kudukku pun mulai berdiri mendengar penjelasan Pak Erte.
Orang tuaku, sejak dulu sering mengingatkan untuk pulang, masuk kedalam rumah saat waktu sudah mendekati maghrib. Karena konon, saat menjelang maghrib merupakan saat "Tengangi", saat "cadek olo" keluar.
Saat beraktifitas pun, jika sudah mendekati waktu tengangi diusahakan untuk berhenti sejenak, menunggu saat itu usai.
Menurut kepercayaan dari masyarakat, menghindari aktifitas diwaktu tengangi akan menghindarkan kita dari hal-hal negatif yang bisa saja terjadi saat itu.
Seharusnya, perkataan orang tuaku itu yang saat itu kuingat.
Lek Mus, begitulah orang-orang di desanya, memanggil seorang lelaki berperawakan pendek itu.
Lek Mus sebelumnya tinggal di sebuah desa terpencil di daerah kabupaten "B". Karena cukup lama menganggur tanpa pekerjaan, akhirnya ia memutuskan untuk menjadi seorang penjual bakso-
- keliling. Tapi, bukan di desanya sendiri.
Dengan harapan punya omset yang lebih besar, ia memutuskan untuk menjajakan dagangannya ke wilayah kota "P".
Sambil nge-kos di sebuah kos-kosan kecil, ia pun mulai menjajakan dagangannya setiap sore hingga malam hari.
Pagi itu, pak Sugi berangkat dari rumahnya cukup pagi. Ia baru saja mendapat panggilan dari mandor yang biasa mengajaknya bekerja sebagai tukang bangunan.
Saat itu cuaca sedikit mendukung, dengan udara yang masih beraroma pagi yang dingin, dan sinar matahari belum terlalu hangat
Ia berangkat dari rumahnya yang berlokasi cukup jauh dari tempat yang dikatakan oleh mandornya. Karena itu, ia memutuskan berangkat dari pagi, agar tidak kesiangan saat sampai ke tempat dimana dia akan mulai pekerjaan.
Setelah melalui jalanan yang cukup panjang, sampai lah -
Bantaran sungai itu dipenuhi oleh rerimbunan tanaman yang tumbuh subur. Dari pohon-pohon yang berukuran sedang sampai yang sangat besar, yang usianya mungkin sudah puluhan atau ratusan tahun.
Bagian yang jadi hak milik salah seorang warga, ada juga yang ditanami pohon bambu.
Salah satu desa yang berbatasan dengan sungai itu adalah desa kelahiran saya. Dan dulu, almarhum kakek saya memiliki sebidang tanah yang ditumbuhi pepohonan bambu, di bantaran sungai itu.
Dan cerita pertama yang akan saya sampaikan adalah yang pernah diceritakan orang tua saya.
Kisah ini, sempat heboh di sebuah kabupaten, beberapa tahun yang lalu.
Cerita tentang wanita cantik yang sering mencari pasangan dari kalangan masyarakat sekitar kabupaten itu juga dari daerah lain.
Perlu saya sampaikan, bahwa alur cerita ini adalah sebuah rekaan, mungkin bukan cerita sebenarnya.
Tapi, untuk inti kejadiannya memang pernah terjadi di kabupaten itu.
Sore itu, langit terlihat mendung. Udara dingin mulai dapat dirasakan di sekitar area kota.
Suara gemuruh geluduk pun beberapa kali terdengar, seakan mengingatkan pada siapa pun yang masih berada dijalanan, untuk bergegas pulang. Setidaknya bersiap mencari tempat berteduh.