Cerita tentang hal-hal mistis di daerah bantaran sungai yang memisahkan dua desa.
Konon, di daerah itu terdapat sebuah istana tak kasat mata, yang penghuninya sering berinteraksi dengan masyarakat sekitar.
#bacahorror @bacahorror
Bagian yang jadi hak milik salah seorang warga, ada juga yang ditanami pohon bambu.
Dan cerita pertama yang akan saya sampaikan adalah yang pernah diceritakan orang tua saya.
Salah satu keponakan kakek saya, sebut saja namanya Pakdhe Muin. Semasa hidupnya, Dhe Muin senang sekali memancing, kadang juga menjaring ikan di sungai itu, tepatnya disekitar kebun milik kakek saya.
Hanya beberapa orang yang pernah berhasil menangkap ikan itu.
Namun, siapa yang mendapatkan ikan kakap itu, harus bersiap mengalami konsekuensi yang tak diharapkan.
Dari bermimpi didatangi penunggu disungai itu, sakit, bahkan bisa-
Karena itu, siapa yang mendapatkan ikan itu, pasti akan melepaskannya kembali sebelum ikan itu mati di rumahnya.
Sudah ada kejadian, yang pernah berhasil menemukan ikan itu, dan membawanya pulang -
Saat terbangun, dan ingin membebaskan ikan itu, ikan tersebut sudah terlanjur mati.
Alhasil, selang berapa hari kemudian, orang itu dikabarkan-
Hanya dua jenis ikan yang dianggap tabu oleh warga sekitar sungai. Ikan Kakap dan Lele yang berasal dari sungai itu.
Cerita tentang hewan-hewan mistis dari sungai itu, akan saya ceritakan di bagian yang lain dari thread ini.
Saat saya kecil, usia dhe muin sudah cukup tua, dan bahkan sampai di usianya itu beliau masih -
Berdasarkan cerita ibu saya, kejadian itu dialami oleh dhe Muin yang pernah menjaring ikan bersama orang dari desa seberang sungai.
"Yah mene wes pak njaring bae dhe? Opo wes do metu iwak e?"
(Jam segini sudah mau menjaring saja pak?-
"Lha yo palongo rha. Nek njaring kui ojo ngenteni banyu duwur. Ngenteni yo cok klelep kowe! Hahaha"
(Persiapan dong. Menjaring itu, jangan menunggu air sungai naik. Kalau menunggu ya bisa tenggelam kamu!)
Jawabnya-
"Sampean nek njaring karo sopo bae si?"
(Anda kalau menjaring ditemani siapa saja sih?) tanya orang yang sama.
"Biasane yo dewekan. Tapi iki ono sing ngejak, dadine yo aku mending sore mangkate"
(Biasanya sih sendirian. Tapi malam ini ada-
Setelah sedikit meladeni orang yang menyapanya, dhe Muin langsung bergegas pergi ke arah sungai itu, ke daerah yang jadi penghubung desa.
Di daerah itu ada jukung (perahu lebar) yang ditarik dengan kawat besi, yang biasa dipakai-
Dhe Sa'an merupakan orang yang cukup paham dengan keadaan bantaran sungai itu, karena ia sendiri tinggal disebuah gubug, yang tak jauh-
Malam itu, daerah bantaran sungai itu begitu gelap. Tak ada pencahayaan disekitarnya. Satu-satunya pencahayaan yang ada hanya dari lampu sentir yang dinyalakan oleh dhe Sa'an yang sedang menunggu penumpang jukungnya.
Beda ketinggian antara sungai dan jalanan itu sekitar lebih dari 10 meter.
Senter itu coba diarahkan ke arah jukung yang posisinya seperti terparkir diseberang sungai. Beliau mencari keberadaan dhe Sa'an disekitar sentir yang menyala.
Dhe Muin menepuk tangannya beberapa kali, lalu melambaikan tangannya saat dhe Sa'an menoleh kearahnya.
(Kesini, aku mau menyebrang).
Si penarik Jukung itu berdiri, dan mulai menarik tali jukung yang terikat antara satu pohon di area desa kami dan desa seberang. Jukung itu perlahan bergerak mendekat kearah dhe Muin yang sudah berada di bibir sungai.
(Kamu itu sudah tua, malam-malam tak pakai baju. Apa gak dingin?)
Kebiasaan orang itu memang sering tak pakai baju saat menarik Jukung. Katanya kalau pakai baju panas. Wajar sih, memperhatikan bahwa pekerjaannya itu-
Air sungai masih mengalir lembut dan tenang malam itu. Diantara kegelapan malam dan suasana bantaran yang sunyi.
Saat Jukung mulai bergerak menyeberang, sempat terdengar bunyi pohon bergesekan dari arah sebrang.
(Ada yang lewat pak. Lebih baik pulang atau jadi menjaring?)
Tanya dhe Sa'an.
"Alah, wes biasa. Ora gumun aku karo kono"
(Ah, sudah biasa. Tak heran aku dengan mereka) sahut dhe Muin.
(Kamu itu, seperti tak kenal aku saja. Sudah dari kecil biasa main di sungai ini, begitu saja takut)
"Lah, cuman ngomongi lek. Mbok an, ono opo-opo"
(Cuma ngasih tau pak. Siapa tau ada apa-apa)
Dari cerita para sesepuh dan orang-orang yang tempat tinggalnya disekitar bantaran sungai itu, ada sebuah istana tak terlihat, yang keberadaannya tak diabaikan oleh mereka.
Rokok klinting adalah rokok yang dibuat sendiri oleh penghisapnya.
Biasanya hanya membeli tembakau yang kemudian diramu sendiri dengan dicampur -
Dhe Muin memberikan Rokok Klinting buatannya sebagai imbalan.
"Suwun yo" celetuknya.
(Masih mau disini apa mau pulang?)
"Dilut mneh paling bali lek. Lha sampean paling yo baline ngesok"
(Sebentar lagi juga pulang pak. Pastinya anda juga pulangnya besok). kata dhe Sa'an.
"Yo wes. Ati-ati yo! Hahaha"
Seru dhe Muin dengan diikuti tawa
(Ah, anda itu. Buat apa menakutiku. Aku kan orang sini)
Gerutu dhe Sa'an.
Dhe Muin pun pergi menaiki jalanan setapak ke arah desa seberang. Dhe Sa'an masih terus memandanginya. Seakan ia memperhatikan sosok lain-
Dhe Sa'an tak mengira, malam itu akan terjadi sesuatu pada dhe Muin yang akan membuat keluarganya panik dan khawatir.
Keluarganya mencari-cari hingga ke desa seberang, namun tak juga menemukan keberadaannya.
Tapi, hal mengerikan terjadi pada keluarga -
Rupanya, sebelum adzan subuh berkumandang, ada kejadian aneh menimpa anak lek Tarjo yang masih balita.
Dari apa yang disampaikan oleh mertua lek Tarjo, cucunya yang tidur bersama ibunya, tiba-tiba meronta-ronta.
Karena panik, ibu anak itu memanggil orang tuanya yang tinggal serumah.
Namun, begitu mereka tiba di kamar, tubuh anak kecil itu sudah bersimbah darah, yang keluar dari setiap lubang ditubuhnya.
Begitu juga dengan mertua pak tarjo, yang langsung berlari keluar dari rumah dan berteriak minta tolong.
Salah satu yang datang merupakan seorang kyai desa, yang saat melihat kondisi anak itu langsung menanyakan keberadaan lek Tarjo.
"Iki lek Tarjo nang ngendi?"
(Ini pak Tarjo dimana?)
(Semalam katanya mau mancing pak kyai. Tak tau sekarang dimana orangnya.) jawab mertua lek Tarjo yang masih panik dan menangisi cucunya.
"Iki mesti ono opo-opo karo lek Tarjo. Lek-lek, ayo diluru bareng".
Beberapa warga laki-laki pun mencoba mencari keberadaan lek Tarjo disekitar bantaran sungai itu. Namun, sampai matahari muncul pun belum ada yang berhasil menemukan lek Tarjo.
Dhe Muin dan lek tarjo menghilang selama seharian penuh. Dan miris, pak Tarjo tak sampai menyaksikan anaknya dimakamkan.
Kyai desa yang masih menemani keluarga pak Tarjo,-
"Niki keluargane panjenengan, rogo lan sukmone iseh kesasar. Tapi bakale bali."
(Ini keluarga kalian, jiwa dan raganya masih tersesat. Tapi nantinya akan pulang). Jelas pak kyai.
"Sing disayangke, memang ono hal-
(Sayangnya, memang ada hal yang sudah terlanjur terjadi. Kalian jangan menyalahkan siapapun perihal anakmu.-
Malam itu pun, kedua keluarga mengadakan acara tahlilan, yang dikhususkan untuk mengirim doa untuk anak lek Tarjo dan keselamatan mereka yang masih menghilang.
"Wingi bengi kui, sak durunge njaring, lek Muin ki numpak jukungku."
(Malam itu, sebelum menjaring, pak Muin itu naik jukungku)
"Tapi, sakwise de'e mudhun, terus lungo pancen ono-
(Tapi, setelah turun, lalu pergi, memang seperti ada yang mengikuti. Tak lama, ada buaya yang muncul, lalu menabok air dengan ekornya).
Beberapa warga yang mendengar, agak tertegun mendengarnya. Pasalnya, mereka tau-
"Sakjane aku meh ngandani dhe muin. Tapi wong e tak nteni ning kali kok rak katok. Nganti tak kiteri nggon kenenan, ora temu"
(Sebenarnya, aku mau kasih tau dhe Muin. Tapi orangnya-
Dan semua orang pun menyadari alasan kenapa kedua orang itu menghilang dan belum kembali.
"Kowe ki, ngopo ditawani mangan enak ora gelem"
(Kamu itu, kenapa ditawari makan enak-
"Lha kowe ki wes tak kandani malah melu-melu! Kowe rak reti sing mok pangan kui opo!"
(Kamu itu sudah kubilangin malah ikutan makan! Kamu tak tau apa yang kamu makan itu!)
Lek tarjo tetap menghiraukan dhe Muin yang masih terus menyalahkannya.
Ia masih terlihat tenang, dan mengajak semua warga untuk ikut ke rumahnya.
Disana lah, dhe Muin akan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Beberapa warga sampai ada yang berteriak dan histeris melihat lek Tarjo. Seakan mensyukuri lek Tarjo bisa pulang dengan selamat.
"Sing sabar yo lek. Sing sabar!"
Seru seorang-
"Nangopo nju? Ono opo iki?"
(Kenapa bu? Ada apa ini?)
"Wes, ayok bali disik."
(Sudah, ayo pulang dulu).
"Anakmu Jo!" ada seorang warga yang berteriak.
Dan seketika, lek Tarjo langsung berlari menuju rumahnya, saat mendengar nama anaknya.
Lek Tarjo tak menyangka, hal buruk itu akan menimpanya. Ia sempat tak percaya saat orang-orang mengatakan bahwa ia telah pergi selama hampir 3 hari. Pasalnya, menurut lek Tarjo-
Lek Tarjo masih belum menyadari penyebab kematian anaknya, sampai ia mendengar penjelasan Kyai desa itu.
Ia cukup mengerti kejadian apa yang-
Sehabis mandi, ia segera menanyakan keadaan putranya yang masih bayi. Dan bersyukur bahwa tidak terjadi apa-apa saat ia tak di rumah.
Untuk itu, ia segera menjalankan sholat disertai sholat ghaib untuk siapa pun yang menjadi korban atas kejadian itu.
Terjadi pembicaraan yang cukup panjang saat itu. Karena dhe Muin pun akhirnya menceritakan apa yang dialaminya.
Ia berjalan melewati jalan yang masih berupa jalanan setapak, dimana disekelilingnya masih dipenuhi pepohonan.
Dari arah belakangnya, sesekali ia dengar-
Sampai lah ia ditempat lek Tarjo sudah menunggunya.
Saat itu, ternyata lek Tarjo berada disana bersama seseorang yang baru kali itu dilihatnya.
(Kamu sama siapa ini Jo?)
tanya dhe Muin, pada lek Tarjo yang sepertinya juga belum mengenal orang disampingnya.
"Oh, kulo niku tiang saking daerah **** pak. Nah, kulo niku madosi panggonan sing alamate sekitar deso niki. Mung kok kadose kulo nyasar-
(Oh, saya itu orang dari daerah **** pak. Saya sedang mencari tempat yang alamatnya di sekitar desa ini. Tapi sepertinya saya kesasar, dan bertemu pak Tarjo ini).
"Owalah. Lha terus piye iki Jo? Kowe sido melu njaring opo ora?"
(Terus gimana-
Dhe Muin menanyakan hal itu pada lek Tarjo, tapi juga menaruh curiga dengan orang asing itu.
"Oh, nggih mboten nopo-nopo pak. Monggo mawon yen badhe njaring. Kulo nggih nembe sanjang kalih pak Tarjo, menawi angsal kulo sekalian nderek"
"Lha tujuanmu priye? Kok malah meh melu njaring?"
(Tujuanmu bagaimana? Kok malah ikut menjaring?)
Orang itu sedikit bingung memberi jawaban.
(Gimana ya pak? Saya sudah kemalaman ini, kalau saya pulang, nanti malah saya tak bisa menemukan alamat ini).
"Ora! Ojo melu. Ngendi alamate? Tak uduhi"
Orang itu terdiam sejenak, tak tau harus mengatakan dengan jujur, atau harus mencari alasan lain.
Namun, belum sampai orang itu menjawab, dari belakang dhe Muin muncul dhe Sa'an.
"Lha kowe. Ngopo mrene? Jare pak bali?" tegur dhe Muin.
(Kamu. Mau apa kesini? Katanya mau pulang?)
Dhe Sa'an tak menjawab pertanyaan dhe muin. Ia malah mendekati orang itu.
"Iki tamu ne sedulurku lek. Aku mau dipeseni kon ngeter"
Dhe Muin masih bingung dengan dhe Sa'an, belum sempat ia mengatakan sesuatu, dhe Sa'an langsung menarik dan mengajak pergi orang itu.
Awalnya, dhe Muin dan lek Tarjo sudah bergegas untuk pergi menjaring, namun tiba-tiba -
"Pak, tolong pak!"
(Pak tolong pak!)
Lek Tarjo dan dhe Muin pun bergegas menuju ke arah suara.
Saat keduanya sudah ditempat orang itu berada, mereka melihat dhe Sa'an sedang ditolong untuk bangun karena terjatuh.
(Gimana si kamu An? Biasa lewat sini kok jatuh!)
Gumam lek Tarjo.
Lek Tarjo pun segera membantu dhe Sa'an bangun. Dhe mu'in tak bergerak dari tempatnya berdiri. Ia masih tetap memperhatikan mereka yang ada ditempat itu.
Bisa saja ia menyelamatkan diri sendiri, tapi bagaimana dengan lek Tarjo? Ia sudah terlanjur menginjak "oyot mimmang" yang akan menyesatkan-
"Iki meh bali nang nggon ngomahe sampean disik bae pok dhe?" tanya lek Tarjo.
(Apa ini kita pulang ke rumahmu dulu saja pak?)
Dhe Sa'an hanya mengangguk.
Anehnya, seingat lek Tarjo, rumah dhe Sa'an tidak begitu jauh dari tempat mereka tadi. Tapi saat itu malah hampir berjam-jam mereka tak juga sampai rumah dhe Sa'an.
Lek Tarjo mulai menyadari apa-
"Dhe, ndewe iki koyone keno oyot mimang"
(Pak, kita ini sepertinya kena "oyot mimang")
gerutu lek Tarjo, mulai merasa ketakutan.
Begitu juga dengan dhe Muin yang akhirnya mulai khawatir dengan keadaan mereka.
"Wes, tenang bae."
(sudah tenang saja)
(Semoga ada orang lewat, lalu menyadarkan kita).
ujar dhe Sa'an, seakan ikut khawatir tapi masih mencoba untuk tenang.
"Lek, mbok gantian"
(Pak, gantian dong!) seru lek Tarjo, meminta dhe Muin untuk mengganikannya-
(Dasar bodoh! Mau-maunya membopong orang yang tak apa-apa. Suruh dia jalan sendiri)
Dhe Muin yang sudah merasa agak takut dan agak jengkel, malah memarahi lek Tarjo.
Tapi dhe Sa'an hanya memasang-
"Karang dasar Muin. Wes, ora opo-opo, aku pak mlaku dewe"
(Dasar Muin. Sudah, tak apa-apa, biar aku berjalan sendiri)
Dhe Sa'an pun akhirnya berusaha berjalan sendiri, dengan kaki yang agak diseret.
Mereka berempat akhirnya berjalan terus-
Berdasarkan mitos yang ada, siapa pun orang yang terkena "Oyot mimang", akan terus tersesat seakan terhipnotis untuk berputar putar melalui jalanan yang sama, sampai ada yang menyadarkan
Hingga akhirnya, lek Tarjo pun menyerah dan meminta mereka beristirahat sebentar.
Saat mereka beristirahat itu lah, ada orang yang datang.
"Lha iki sampean do nang kene. Wes dienteni dek mau kok ora tekan-tekan."
(nah, kalian malah disini. sudah ditunggu-
Dhe Muin pun keheranan.
Dhe Sa'an pun menjelaskan kalau orang itu lah saudaranya yang sebelumnya dia katakan. Dhe Muin tau betul siapa dhe Sa'an, dan ia yakin orang itu bukan saudaranya yang sebenarnya.
Setelah bertemu dengan orang itu, mereka pun-
Lek Tarjo keheranan, ia baru tau kalau di desa itu ada orang yang punya rumah megah seperti itu. Malahan dikiranya "Oyot mimang" telah menyesatkan mereka sampai ke tempat yang jauh.
"Lek, iki ndewe nang ngendi?"
"Mpun, mboten usah dipikiri rumiyin pak. Sing penting mpun mboten kesasar ten kebon kados wau."
(Sudah, tak usah dipikirkan pak. Yang penting sudah tidak kesasar di tempat rimbun seperti tadi) Ujar orang asing yang tadi bersama-
Dhe Muin masih terus curiga dengan orang itu.
Dhe saan diajak pergi oleh orang yang mengaku saudaranya itu, dengan alasan hendak diobati.
Mereka bertiga disuruh menunggu ditempat yang seperti teras yang sangat megah itu, hingga pemilik rumah datang menemui mereka.
Pemilik rumah itu muncul dari arah pintu.
"Owalah njenengan sampun duki mriki"
(Wah, anda sudah datang)
(ternyata bersama dengan orang sini)
Pemilik rumah itu sepertinya mengenali dhe Muin, tapi tak begitu mengenali Lek Tarjo.
Singkat cerita, mereka pun diajak masuk kedalam rumah yang sangat megah itu.
Dhe Muin masih juga merasa khawatir, rasa takutnya, entah kenapa belum juga hilang. Mungkin karena-
Lek Tarjo sesekali berkeliling disekitar ruangan. Ia sepertinya masih memperhatikan sebuah lukisan yang bergambar aneh.
Diperhatikannya lukisan itu dengan seksama. Imajinasinya, seakan membuat gambar di lukisan itu-
"Jo, ora usah ono-ono kowe! Mrene ngger kene bae!"
(Jo, tak usah bertingkah kamu! Disini saja)
Tak lama kemudian, orang asing dan pemilik rumah itu keluar dari kamar. Keduanya seperti telah membuat kesepakatan tertentu, karena sekeluarnya mereka dari kamar, orang asih itu seperti bersalaman dengan pose sungkem, dan orang-
Setelah meninggalkan dhe Muin dan lek Tarjo cukup lama, orang asing itu mendatanginya, disusul si pemilik rumah.
Orang asing itu cukup terlihat gembira, sambil mengatakan bahwa si pemilik rumah baru saja menawarinya makan-
Mereka pun diajak ke sebuah ruang makan, dimana ada beberapa hidangan yang terlihat istimewa dan menggiurkan siapa pun yang melihat.
(Wah, rejekinya kita pak. Kebetulan, aku juga belum makan dari sore)
Lek tarjo begitu antusias, seakan ingin mencicipi setiap hidangan yang ada.
Sementara dhe Muin malah memperhatikan setiap hidangan dengan tatapan-
Lek Tarjo, mungkin tak menyadari apa yang dilihatnya, tapi dhe Muin, secara samar dapat melihat apa yang ada dihadapan mereka.
Makanan yang ada, tak seperti apa yang mereka lihat secara kasat mata.
"Ojo di delokke tok, wes, monggo dicicipi" Seru pemilik rumah
Orang yang tadi ikut bersama dengan mereka, sudah mulai mengambil beberapa makanan.
Sepiring nasi telah ia ambil, dan seonggok daging ayam-
Dari gelagatnya, lek Tarjo hampir ikut mengambil hidangan yang sama dengan orang itu.
Sedangkan dhe muin terus mengingatkannya berkali-kali dengan suara lirih.
Bukan lagi terlihat sebagai -
Dhe Muin hanya beristighfar, dan sangat meyakini dimana sebenarnya mereka berada.
Keduanya seakan menikmati daging ayam yang dimakannya.
"Sampean ora melu mangan rugi lek. Enak e por"
(Kamu tidak ikut makan rugi, pak. Enak sekali)
Si pemilik rumah tak menghiraukan dhe Muin yang hanya memperhatikan kedua orang disampingnya.
Seakan, ia tak peduli dhe Muin ikut makan atau tidak. Ia sudah cukup terlihat senang dengan kedua orang yang begitu menikmati jamuan darinya.
Ia seakan tak sanggup menghabiskan sisa makanannya.
"Telaske pak, ampun disisani. Mboten sae. Mundak ditelaske setan"
Tegur orang itu.
Namun, lek Tarjo sudah tak sanggup lagi menghabiskan sisa makanannya, sehingga tubuhnya seakan tak bisa untuk berdiri. Ia menyenderkan tubuhnya di senderan kursi, sambil memegang perutnya.
(Tarjo, tarjo, dibilangin jangan ikut makan malah nekat), ucap dhe Muin dalam hati.
Setelah menyelesaikan makan malam itu, ketiga orang tamu itu dipersilakan meninggalkan ruangan dan menunggu pemilik rumah di ruangan awal.
Sesuatu yang membuatnya bergidik ngeri, saat pandangannya beralih ke pemilik rumah yang memperhatikannya.
Terlihat senyuman nyengir, -
Dhe Muin menjadi orang terakhir yang meninggalkan ruang makan itu, saat tiba-tiba dari arah lain seakan ada gerombolan makhluk yang mengerikan seperti menyerbu sisa makanan yang ditinggalkan lek tarjo.
Seketika, terdengar suara jeritan seorang anak-
"Paaaaakkkk", suaranya cukup melengking, tapi anehnya kedua orang yang sudah berada diluar seakan tak mendengar teriakan itu.
"Laa hawla wa laa quwwata Illa billah"
Seakan hanya kalimat itu yang mampu diucapkan dhe Muin.
Mereka kembali berada di ruangan awal untuk menunggu si pemilik rumah. Entah apa yang sedang dilakukan, mereka dibuat cukup lama menunggu.
Dhe Muin sempat merasa khawatir terhadap keluarganya.
"Lek, koyone lukisan ning ruangan iki kok koyo nambah yo?"
(Pak, sepertinya lukisan di ruangan ini bertambah ya?) ujar lek Tarjo, merasa keheranan.
Lukisan di ruangan itu, memang telah-
Lek tarjo, mengamati satu lukisan yang baru dilihatnya, bergambar seperti tubuh anak kecil yang cacat, dengan bentuk fisik yang tak sempurna.
Sedangkan lukisan yang satunya, diamati seperti -
Belum sempat ia mengamati lukisan itu dengan jelas, tiba tiba si pemilik rumah itu datang menemui mereka dengan raut wajah yang agak berbeda dari sebelumnya.
Ia memanggil dan membentak seseorang yang tadi bersama dhe Muin dan lek Tarjo ke tempat itu.
(Sembarangan kamu! Barang jelek dibawa masuk ke rumah ini!)
"Barangmu ora tak trimo. Milih mok jupuk gowo bali, opo ganti rugi?"
(Barangmu tidak saya terima. Pilih kamu bawa pulang lagi, atau ganti rugi?)
Dan terjadi-
Pertengkaran itu, akhirnya berniat diselesaikan di ruangan lain.
Lek Tarjo dan dhe muin hanya menurut dengan tingkah yang agak ketakutan.
(Bagaimana ini Jo? Kok jadi seperti ini?)
gumam dhe Muin.
"Gara-gara kowe ndadak melu-melu wong kae mrene, malah dadi ndewe kegowo urusan rak genah"
(Gara-gara kamu ikut-ikutan orang itu kesini, kita jadi terbawa urusan yang tak jelas.)
"Ah mbuh lek. Aku ora melu-melu urusan e wong kae. Sing penting, aku melu mangan, wes wareg"
(Tak apa pak. Aku tak ikut campur dengan urusan orang itu. Yang penting,-
Kedua orang itu pun, tetap menunggu ditempat itu, hingga pada akhirnya ada seseorang yang datang menyusul mereka.
Lek Tarjo agak mengenali orang yang datang. Ia tampak diantar oleh seseorang yang sebelumnya bersama dhe Dasaan.
Setelah si pengantar masuk, orang itu menemui lek Tarjo dan dhe Muin yang akhirnya merasa lega.
Lek Tarjo yang mengenali orang itu, menyalaminya saat telah berada didepannya.
(Ada urusan apa pak? Anda kok bisa kesini?)
"Mboten nopo-nopo pak. Kulo nggih badhe nusul njenengan, terose sampun dipadosi keluargane njenengan"
(Tak ada apa-apa pak. Saya hanya ingin menusul kalian. Sepertinya kalian sudah dicari-
Tak lama kemudian, si pengantar tadi kembali bersama pemilik rumah. Pemilik rumah itu seperti sudah reda dari emosinya, lalu menyambut kedatangan orang yang sepertinya berasal dari desa yang sama dengan lek Tarjo.
"Nyuwun sewu, nggih meniko angsal,-
(Permisi, kalau diijinkan, saya ingin berbicara dengan anda).
"Nggih, saged. Monggo mlebet rumiyin"
(Iya, boleh. Silakan masuk)
Pemilik rumah mempersilakan orang itu masuk kedalam ruangan lain di rumah itu. Sebelum meninggalkan lek Tarjo-
Lek Tarjo dan dhe Muin pun mengiyakan isyarat yang diberikannya.
Dan benar saja, tak lama kemudian orang itu kembali tanpa disertai pemilik rumah.
"Njenengan sedoyo, monggo wangsul rumiyin. Kulo taksih wonten urusan-
(Kalian berdua, silakan pulang duluan. Saya masih ada urusan disini).
"Mangke, yen sampun medal saking mriki, mending njenengan langsung wangsul ten griyond piyambak. Ampun mampir nggih"
(Nanti, kalau sudah keluar dari sini, lebih baik kalian langsung pulang-
Lek Tarjo dan dhe Muin mengiyakan pesan dari orang itu, dan langsung pamit dan berterima kasih pada orang itu.
Dan setelah keduanya pergi, orang itu kembali menemui pemilik rumah.
Sampai dengan tahlilan 7 hari meninggalnya anak lek Tarjo, dhe muin ikut datang ke rumahnya di desa seberang.
Disana dhe Muin pun menyampaikan cerita yang sama.
Lalu, saat mereka ditemui oleh dhe Sa'an, dhe Muin pun sudah tau bahwa bukan dhe Sa'an yang mendatangi mereka.
Maka dari itu, dhe Muin sempat membiarkan orang asing itu pergi bersama sosok penyerupa dhe Sa'an.
Namun, ternyata ada -
Dhe Muin kembali menjelaskan pada lek Tarjo, saat ia melihat lihat lukisan yang ada di istana itu, lukisan tersebut merupakan wadah para korban yang -
Terkait dengan korban para tamu istana, berkaitan dengan cerita tentang buaya putih, yang sudah banyak diketahui warga desa sekitar bantaran sungai.
Namun, lek Tarjo melakukan kesalahan, tak menghabiskan makanannya, karena sisa makanan yang terkait dengan jasad anaknya, akhirnya menjadi rebutan para -
Dan orang asing yang bersama mereka ke istana itu, memang sudah berniat untuk mengunduh pesugihan ditempat itu. Sayangnya, penguasa merasa tersinggung, karena orang itu-
Beruntung, mereka berdua diselamatkan oleh seorang warga desa yang ternyata adalah kyai sepuh dari desa itu.
Pak kyai yang hadir pun melanjutkan cerita yang dijelaskan oleh dhe Muin.
Tak ingin ada kejadian lain, pak Kyai memutuskan untuk menjemput lek Tarjo yang ternyata bersama dhe Muin.
Setelah mengetahui alasan kenapa-
Terkait dengan nasib orang asing itu, menurut pak Kyai, orang asing itu akhirnya harus mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Ada pelajaran yang disampaikan oleh pak kyai atas kejadian itu.
Pada dasarnya, istana itu tidak pernah ingin merugikan desa sekitar.
Agar masyarakat sekitar dapat menjaga perilakunya dalam berhubungan antar manusia dengan manusia, maupun manusia dengan hal-hal ghaib disekitarnya.
Kejadian itu pun merupakan pengingat-
Serta, perlunya warga sekitar bantaran sungai, agar berhati-hati ketika berada disekitarnya.
Tapi mungkin, sosok orang asing yang pernah datang ke istana itu, masih tetap berada disekitar bantaran sungai, dan sering mencari korban yang berasal dari daerahnya untuk diberikan pada penguasa bantaran sungai itu-
Sebenarnya, ada banyak cerita yang terjadi disekitar bantaran sungai itu yang bisa diceritakan.
Tapi, ada hal yang membuat saya mungkin tak bisa melanjutkan thread yang berkaitan dengan bantaran sungai itu.
Dan judul thread ini tidak berkaitan dengan salah satu daerah yang nama serta lokasinya berdekatan-
Lokasi istana itu, berada di bantaran sungai antara desa Wat- dengan desa War-.
Bukan di daerah yang bernama desa Paku*bulan.
Mungkin, karena berkaitan dengan daerah tempat tinggal saya sendiri, jadi saya merasa tidak pantas untuk menyebarluaskan cerita yang merupakan mitos di masyarakat.
Thread saya tutup, dan sampai jumpa di thread selanjutnya.
Wassalamualaikum.