Sebuah cerita tentang pengalaman beberapa orang yang berinteraksi dengan warga penghuni perumahan misterius.
Pernah viral pada masanya...
#bacahorror @bacahorror
Lek Mus sebelumnya tinggal di sebuah desa terpencil di daerah kabupaten "B". Karena cukup lama menganggur tanpa pekerjaan, akhirnya ia memutuskan untuk menjadi seorang penjual bakso-
Dengan harapan punya omset yang lebih besar, ia memutuskan untuk menjajakan dagangannya ke wilayah kota "P".
Sambil nge-kos di sebuah kos-kosan kecil, ia pun mulai menjajakan dagangannya setiap sore hingga malam hari.
Tak jarang, untuk menghabiskan dagangan, ia berkeliling ke daerah yang belum pernah dilaluinya. Bahkan hingga larut malam pun tetap ia jalani.
Namun, ia terus melangkahkan kakinya sambil mendorong gerobak dan membunyikan suara mangkoknya.
Hingga sampai lah ia di sebuah pangkalan ojek, dan beberapa orang-
"Nembe mangkat po lek? Kok sek akeh?"
(Baru berangkat ya pak? Kok masih banyak?) tanya seorang tukang ojek.
"Yo metu ne sih wes awet mau kang, tapi sing jenenge rejeki yo ngene"
(Ya kalau keluarnya sih sudah dari tadi mas, tapi
"Cok laris cok ora"
(Kadang laris, kadang tidak), lanjutnya.
"Wah, mesakke, yo wes aku gawekke siji. Nggo penglaris"
(Wah, kasihan, ya sudah buatkan satu. Untuk penglaris) ujar si tukang ojek.
Lek Mus pun, agak lama berada dipangkalan ojek itu
Sambil mengamati beberapa orang yang sedang menikmati baksonya, lek Mus pun coba membuka obrolan.
"Daerah kene sing mending rame ngendi yo kang?"
(Daerah sini yang agak -
"Lha sampean wong anyar pok?"
(Anda orang baru ya?) tanya salah seorang tukang ojek yang baru menghabiskan semangkuk baksonya.
"Yo, pancen durung suwi tah."
(Ya, memang belum lama sih).
"Sampean nek luru nggon rame, jajal wae mrono ning daerah -K-"
"Kae, mrono nggon e. sampean lempeng bae. Daerah kono wes mending rame"
(Itu, kesana tempatnya. Kamu lurus saja. Daerah sana sudah agak rame.)
"... Tapi, ati-ati lek, sampean wong anyar, -
(... Tapi, hati-hati pak. Kamu orang baru, siapa tau tersesat).
"Ah, jenenge wong usaha yo kudu dilakoni kang. Nek wedinan yo sido ora mangan anak bojoku"
(Ah, namanya orang berusaha ya harus dijalani mas. Kalau penakut bisa tidak makan anak istriku)
(Yasudah, yang penting sudah saya kasih tau), gumam si tukang ojek.
Mungkin rejekinya Lek Mus baru mulai keluar di pangkalan ojek itu. Cukup banyak orang lewat dan beberapa tukang ojek yang membeli baksonya.
Dan setelah maghrib -
"Sesuk mrene meneh yo lek. Bakso ne sampean mending enak ge"
(Besok kesini lagi ya pak. Baksonya agak enak nih) seru tukang ojek terakhir yang masih berada di lokasi itu.
"Beres bos"
Dengan terus membunyikan suara mangkuknya, ia berjalan sambil sesekali beristirahat.
Ternyata, daerah yang ditunjukkan oleh si tukang ojek cukup jauh dari pangkalan.
Dan sampai lah dia di sebuah jembatan yang cukup besar. Sepertinya sungai yang ada di bawah jembatan itu memisahkan dua daerah yang berbeda.
Tiba-tiba -
"Lek, mandeg, aku pak tuku"
(Pak, berhenti, aku mau beli)
Rupanya, seorang gadis muda yang ingin membeli baksonya.
Lek Mus pun menyuruhnya untuk menunggu di seberang jembatan.
Dengan agak gembira, lek Mus pun mulai meracikkan bakso untuknya, sambil sesekali membuka obrolan dengan gadis itu.
"Sampean wong ndi mbak? Kok yahmene durung bali?"
Gadis itu, agak malu-malu menjawab pertanyaan lek Mus.
"Ngomahku kono lek, perumahan Sit* Patl*t"
(Rumahku disana pak, perumahan Sit* Patl*t)
Mendengar nama perumahan itu, lek Mus jadi agak penasaran.
Lek Mus hampir menyelesaikan racikan baksonya, saat tiba-tiba ada mobil yang melintas di depannya. Mobil itu, seperti membunyikan klakson, sehingga lek Mus Pun sempat menengok dari-
Ia memperhatikan wajah sopir mobil yang seperti ngeri ketakutan. Tangannya melambai kearahnya, seakan menyuruhnya agar segera pergi.
Akan tetapi, lek Mus tak menyadari maksud dari sopir mobil itu. Ia malah meneruskan untuk menyelesaikan racikan baksonya.
Tiba-tiba gadis yang ada di belakangnya seperti mengeluarkan suara tawa aneh.
Lek Mus yang masih kaget, tak menghiraukan suara tawa gadis itu.
"Dasar, wong edan. Nompak mobil kok-
(Dasar, orang gila. Naik mobil kok seenaknya sendiri), gerutu Kang Mus.
Bakso pesanan gadis itu pun selesai, dan kang Mus menyerahkannya. Sambil gadis itu menyodorkan selembar uang.
"Wah, duit cilik bae mbak. Ora ono susuk e iki"
(Wah, uang kecil aja mbak. Tidak ada-
"Wah, lha podo bae lek. Aku yo ora ono duit cilik"
(Wah, sama saja pak. Aku juga tidak ada uang kecil), sahut gadis itu.
Lek Mus hampir menggratiskan baksonya, sebelum si gadis malah menyuruh lek Mus mengambil uangnya saja.
Setelah menerima baksonya, gadis itu pun buru-buru meninggalkan lek Mus, yang terus memperhatikannya.
Dengan wajah yang masih riang,-
Begitu ia mulai mendorong gerobaknya, tiba-tiba ada hembusan angin yang seperti menyebarkan aroma harum yang cukup menyengat.
Aroma harum yang tidak asing bagi orang-orang desanya.
Karena aroma bunga melati, memang identik dengan aroma mistis.
Karena mulai merasa ketakutan Lek Mus pun bergegas meninggalkan tempat itu.
Saking ketakutannya, lek Mus melupakan bahwa sebelumnya ada seorang gadis yang membeli-
Keadaan sekitar sudah mulai gelap. Tak seperti yang diceritakan si tukang ojek yang ditemuinya, kawasan yang ia lewati-
Hanya cahaya lampu tiap rumah yang terlihat menerangi jalan. Sehingga, tiap kali melewati-
Cukup jauh ia berjalan, tapi seperti sebelum berada di pangkalan ojek, tak ada seorang pun yang membeli baksonya.
Waktu isya telah tiba, suara adzan pun mulai terdengar, tapi disekitar -
Ia masih merasa merinding jika harus melewati lokasi yang berbau melati, di sisi lain, ia tak tau apakah -
Sebenarnya, dijalanan itu beberapa kali ada pengendara sepeda atau pun becak yang melintas. Tapi, ia merasa tak enak-
Dan sampai lah lek Mus di area jalanan yang disebelah kanannya terdapat permukiman warga. Lek Mus pun mencoba untuk menyeberang dan masuk ke setiap gang yang ternyata saling terhubung.
Di permukiman warga itu -
Seorang warga memberitahunya, bahwa ada jalan lain untuk kembali, tapi jalanan yang harus dilaluinya berputar cukup jauh.
Lewat waktu isya, sepertinya waktu berputar lebih cepat. Tak terasa, saat lek Mus keluar dari gang terakhir, sudah hampir jam 9.
Lek Mus berhenti tepat di depan gang, ia seperti-
Dan akhirnya di kejauhan, lek mus melihat seorang pengendara yang masih mengayuh sepedanya.
Tentu, melihat ada pengendara sepeda yang akan -
Akan tetapi, ia agak kecewa saat pengendara sepeda itu berbelok masuk ke sebuah gang.
Karena merasa penasaran, sekaligus berharap masih ada lagi perkampungan disekitar jalan, ia pun mendorong kembali gerobaknya. Ia mencoba menuju ke tempat-
Benar saja, disekitar area itu ia menjumpai sebuah perkampungan.
Dengan harapan ada pembeli di perkampungan itu, ia pun mendorong gerobaknya masuk ke area perkampungan.
Awalnya, lek Mus tak terlalu mengamati kondisi perkampungan itu.
Mulai di amatinya bentuk rumah yang ada, hampir terlihat memiliki bentuk dan model yang sama. Seperti sebuah perumahan, dengan arsitektur bangunan-
Belum lama ia menunggu, seorang penghuni rumah keluar dan membeli baksonya.
Belum sempat ia membuka pembicaraan, datang pembeli lain.
Lek Mus, sama sekali tak menaruh curiga. Pikirnya, ia -
Dibalik kesibukannya melayani pembeli, ia pun terus bertanya-tanya dalam hatinya. Meski banyak warga yang berdatangan, mereka seperti tak bertegur sapa satu sama lain.
Benar-benar berbeda dengan kondisi di perkampungan yang sempat ia lewati, dimana ia beberapa kali diajak berinteraksi oleh warganya.
Anehnya, bolak balik ia hitung hasil penjualan baksonya, pendapatannya seperti masih sama dengan hasil sebelum ia masuk ke perumahan itu.
Ia pun memutuskan untuk keluar dari perkampungan yang mirip pumahan itu, dan berencana menghitung kembali hasil jualannya nanti-
Lek Mus kembali mendorong gerobaknya menuju jalanan. Baru beberapa langkah, tiba-tiba saja ia teringat dengan sebuah nama perumahan yang sempat dikatakan oleh pembeli baksonya.
"Sit* P*tlot"
Mungkin kah perumahan yang dimaksud adalah tempat itu?
Namun, gerobak Lek Mus menabrak sesuatu, sehingga tubuhnya agak -
Seketika itu pula, tempat yang sebelumnya terlihat sebagai perumahan, berubah gelap dan lek Mus pun tersadar bahwa tempat itu sebenarnya adalah sebuah area pemakaman.
Ia benar-benar terkejut, dan saat ia melihat ke arah gadis pesepeda-
Sosok itu memandang ke arah Lek Mus, sehingga lek Mus merasa sangat ketakutan. Saat ia mulai melebarkan senyumnya, ia pun tertawa lepas, dengan suara yang begitu menyeramkan.
Beruntung, ada seorang tukang becak lewat di jalanan depan lokasi itu.
Hampir saja lek Mus tertabrak.
"Lek, tulungi lek." Teriak lek Mus, dengan suara yang terengah-engah.
Setelah ia yakin, bahwa Lek Mus benar-benar manusia, ia pun memberanikan diri turun dari becaknya.
(Kamu ini siapa? Kok bisa-bisanya lari dari arah sana?) tanya si Tukang becak itu pada Lek Mus yang masih terengah, dengan wajah yang sudah sangat pucat.
"Tulungi lek, aku diweruhi Kun*****ak", jelas Lek Mus, buru-buru.
Mendengar perkataan lek Mus, seketika tukang becak itu pun merasa merinding. Ia buru-buru menaiki becaknya kembali dan menyuruh Lek Mus segera ikut naik.
"Lek, njo sampean melu aku disik bae. Nggon kene kui pancen medeni"
Tanpa disuruh dua kali, lek Mus langsung naik keatas becak, masih dengan tubuh yang gemetaran karena ketakutan.
Becak itu pun dikayuh dengan cepat, dengan maksud segera menjauh dari tempat itu.
"Sampean kendel-
(Kamu benar-benar bernyali pak. Jam segini berani masih keluyuran di daerah itu).
Lek Mus yang belum hilang rasa takutnya, menjawab tukang becak dengan tergagap.
"Aku... Aku..."
"Lah sampean kui jam semene kui pak nang ngendi?" tanya Tukang becak itu.
(Lah kamu itu jam segini mau kemana?)
Mendengar pertanyaan tukang becak itu, Lek Mus merasa ada kejanggalan.
"Emang iki jam piro lek?"
(Memangnya ini jam berapa?)
(Barusan sudah hampir jam setengah dua. Lah kamu itu gimana? Jam segini malah masuk kuburan. Cari nomer -togel- ya?)
(Bukan pak. -*berusaha meyakinkan*- aku itu... tukang bakso.)
"Lah, sampean dodol bakso tekan Kuburan... Priye sih?"
(Lah, kamu jualan bakso ke-
Lek Mus sendiri masih belum percaya kalau tempat yang ia datangi itu ternyata sebuah area pemakaman. Pasalnya, sebelum tersadar, ia sangat yakin bahwa area itu adalah area perumahan.
"Sumpah lek.. Gerobakku.. Gerobakku.. we.. Sek tak tinggal nang kono".
"Sampean... nek ora ngandel... mono tiliki dewe... gerobakku."
(Kamu, kalau tak percaya, sana periksa sendiri gerobakku)
Tukang becak itu masih mengayuh becaknya sekuat tenaga, sambil sesekali menengok-
Keduanya, akhirnya sampai di area pangkalan ojek yang berada disekitar pasar. Setelah ia turun dari becaknya, ia segera mengajak Lek Mus untuk duduk di pangkalan, sambil menenangkan diri.
(Bagaimana ini pak? Gerobakku)
"Wes. Ora usah pikiri ndisik gerobakmu. Sampean biso selamet kui wes mending" sahut tukang becak.
(Sudah. Tak usah dipikirin dulu gerobakmu. Kamu bisa selamat-
Bagaimana pun, gerobak itu adalah modalnya berjualan bakso. Meski pun ia sudah merasa lega bisa keluar dan menjauh dari tempat itu, ia masih tetap kepikiran dengan gerobak baksonya.
"Wes, jupuk ngesok bae", tambah si tukang becak.
Sepertinya, ada sesuatu yang membuatnya teringat dengan sebuah kejadian.
Kejadian yang hampir serupa?
(Tempat itu tadi, namanya daerah apa pak?)
Ada rasa enggan untuk menjawab pertanyaan itu. Tapi, si tukang becak berfikir, mungkin saja-
"Jenenge, kuburan sit* pat**t" terang si tukang becak.
(Namanya, pemakaman sit* pat**t).
"Ora ono sing wani lewat nggon mau kae, nek wes kelewat jam songo"
Tukang becak itu pun, akhirnya membuka sebuah cerita pengalaman salah seorang teman se-profesinya yang juga pernah mengalami hal yang sama dengan lek Mus.
Awalnya, tempat itu tak beda dari pemakaman biasa. Namun-
Daerah yang mulanya biasa saja, berubah menjadi daerah yang penuh nuansa mistis. Terutama bagi siapa yang-
Beberapa kali pun terjadi kecelakaan di jalanan sekitarnya. Dimana penyebab kecelakaan bisa dikatakan masih hal yang sama.
Korbannya melihat sesosok penampakan yang berdiri disekitar lokasi, maupun sedang menyeberang jalan.
Tukang becak itu bernama pak Maliki, sebut saja dengan nama itu.
Beliau mulai menarik becak setelah ia berumah tangga.
Suatu ketika, saat ia sedang mengantar salah seorang penumpang, ia melihat ada keramaian-
Rasa penasarannya membuat ia memelankan laju becaknya. Hingga penumpangnya memintanya untuk berhenti sekedar mengamati korban kecelakaan itu.
Tubuhnya hancur hampir berantakan. Hanya bagian bawah tubuh si korban yang bisa dengan jelas dilihat oleh pak Maliki. Sedangkan saat penumpangnya melihat tubuh bagian atas si korban-
Pak Maliki pun menuruti permintaan penumpangnya. Namun, rasa penasaran membuatnya belum bisa mengalihkan perhatiannya dari tempat itu.
Pikirnya, sepeda itu adalah yang dikendarai oleh korban kecelakaan itu.
Penumpang becaknya pun, jadi membicarakan tentang kejadian itu di sepanjang jalan.
Suasana jalanan sudah tidak seramai sebelumnya, tapi masih ada beberapa orang yang tetap berada di tempat itu.
"Mau kecelakaane priye mbak? Kok nganti korbane parah koyo kae kui?"
(Tadi kronologi kecelakaannya gimana-
"Mbuh lek. Kejadiane cepet. Aku ora patio paham." jawabnya singkat.
(Tak tau pak. Kejadiannya cepat. Aku tak terlalu tau)
Tak puas dengan jawaban itu, pak Maliki mencoba mencari orang lain untuk ditanyai.
Akan tetapi ...
Pak Maliki agak merasa merinding, ia pun mendorong becaknya dengan agak cepat. Ia mengikuti pengguna jalan yang lain, berusaha menghindari-
Dari mereka lah pak Maliki mendapat informasi bahwa seorang perempuan pengendara sepeda, menjadi-
Sudah pasti, perempuan naas itu langsung meninggal ditempat kejadian.
Entah kenapa, setelah mendengar penjelasan itu, pak Maliki merasa curiga dengan orang sempat ditanyai nya.
Setelah kejadian kecelakaan itu, pak Maliki selalu merasa merinding saat melewati jalanan sekitar tempat itu. Karena setiap kali melintas, pak Maliki seakan diamati oleh sosok yang berada disana.
Setelah cukup lama, ia baru bisa merasa biasa saja-
Wajah Lek Mus kembali menampakkan ketakutannya. Ia teringat dengan gadis bersepeda yang membeli baksonya sebelum ia memasuki area pemakaman yang terlihat seperti perumahan di matanya saat itu.
Lebih-lebih, yang dilihat Lek Mus sebelum ia sadar tengah berada di area pemakaman, adalah sosok yang sama.
"Mau kui, aku juga ditukoni cah wadok lek, duete gedi tapi ora jaluk susuk. Nangendi yo duit e?"
Pak Maliki memperhatikan Lek Mus dengan pandangan penasaran.
"Astaghfirullah, lek. Iki opo?"
(Pak, apa ini?)
Digenggaman tangan lek Mus, terdapat beberapa lembar uang ribuan dan uang receh. Namun, bukan itu yang membuat mereka terkejut.
Ada beberapa bunga layu yang hampir mengering, ikut-
Rupanya, kecurigaan lek Mus benar. Malam itu, bisa dibilang ia memang dikerjai oleh para penunggu makam, yang menjelma menjadi warga perumahan.
Keduanya pun segera beranjak dari pangkalan-
Dalam perjalanan, keduanya masih terus membahas hal-hal yang pernah terjadi di area pemakaman itu.
Lek Mus, rupanya mulai penasaran dengan cerita-cerita yang berkembang terkait tempat itu. Khususnya, cerita tentang kuburan seorang dukun-
Rumah tempar kos Lek Mus masih terlihat sepi dan agak gelap. Hanya lampu penerangan jalan yang masih terlihat menyala.
Ia langsung pergi meninggalkan rumah Kos lek Mus dengan terburu-buru. Begitu juga dengan lek Mus, yang langsung bergegas masuk dalam kamar kos nya.
Tepat sebelum-
Lek Mus yang sempat melihat sosok wanita itu melambai, sebelum akhirnya lek Mus menutup pintu kamarnya dengan keras.
Saya sendiri pertama kali mendengar cerita itu ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Untungnya ada narasumber yang-
Salah satu pesan dari beliau, bahwa sosok ghaib itu bisa saja muncul disekitar kita, -
Kita dan mereka berada di dunia yang sama, namun dalam dimensi yang berbeda.
Hati-hati dengan orang yang tak dikenal, apa lagi saat bertemunya di jalanan.
Berbeda dengan dulu, saat pengguna sepeda motor masih
Lalu, apakah lokasinya masih tetap angker?
Saya pun masih menantikan cerita dari orang-orang yang pernah punya pengalaman di tempat itu.
Jadi, threat "Warga Perumahan"-
Akhir kata, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, apabila dalam menyampaikan thread ada banyak kekurangan dan jangka waktu pending terlalu lama.
Wassalam.