Puspo Arum

Sepenggal kisah kuntilanak dalam keris.

@bacahorror @ceritaht
#bacahorror

Sumber gambar : jatim times
Hari ini, saat senja menampakkan keindahan warnanya, gabungan indah antara oranye dan kelabunya awan menjadi saksi pernyataan kisah cintaku dengan Mas Dharma. Diiringi dingin angin semilir pegunungan Kani, menambah kesan dramatis peristiwa ini.
Kami dalam perjalanan pulang dari Pesarean gunung Kani. Di dalam mobil sport putih aku duduk di kursi depan sebelah kemudi, menopang daguku memandang keindahan kota Madang, hijab unguku berkibar mengalun-alun seiring hembusan angin, menerpa wajahku yang hitam manis.
Kaca jendela mobil sengaja kubuka untuk menikmati udara alami. Udara yang tak pernah kutemukan di tempat tinggalku, kota Sidobejo.

"Gimana, Fit?" tanya Mas Dharma sembari terus mengemudi,

"Gimana apanya?" tanyaku berbalik,

"Mau melanjutkan gak?" tanyanya lagi,
Kupalingkan wajahku memandang wajahnya, lalu mengendikkan bahu.

"Melanjutkan kisah kita Fitri, tiga hari lagi aku akan datang kerumahmu untuk melamarmu."

Aku terperangah, kaget dan tak percaya. Selama ini kami hanya berteman tak lebih, hubungan kami terbatas seperti kakak adik.
Tiba-tiba ia melantunkan kalimat yang membuatku tersipu malu, sebab sebenarnya akupun menyimpan rasa yang sama untuknya.

"Kamu bilang sama orang tua mu ya."

Aku tergelak, secepat ini dia mantap menembakku.
"Kog pede bener lo kamu, Mas. Emangnya aku mau?"

"Aku sudah tau perasanmu padaku, Fitri. Jadi aku pede. Aku ini lelaki pemalu yang tidak akan menyatakan cinta bila tidak yakin akan diterima."

Pandangannya begitu teduh, kutatap mata itu dalam-dalam, kutemukan cinta itu disana.
Ia terus tersenyum sambil tetap berkonsentrasi di balik kemudi.

"Baiklah, Mas. Aku tunggu janjimu tiga hari lagi," ujarku lugas.

Ia terlihat mempesona hari ini, rambutnya yang ikal dikuncir ke atas menambah maskulin penampilannya, menampakkan jidatnya yang putih bersih.
Hatiku bergetar hebat mengingat pernyataan cintanya barusan, tak sabar rasanya menanti tiga hari lagi.

Aku melirik tas selempang di sebelahnya yang hampir jatuh, tas itu sedikit terbuka menampakkan sebilah keris kecil di sana, aku tertarik dan bertanya.
"Mas, di dalam tas mu itu keris?"

"Iya, Fit. Itu keris Puspo Arum peninggalan kakekku, sengaja diberikan padaku untuk perlindungan."

Aku mengangguk mengerti, segera ia mengambilnya dari dalam tas dan menunjukkannya padaku.
Besarnya hanya sepanjang telapak tangan, warangkanya indah terbalut ukiran gambar naga yang memikat.

"Boleh aku memegangnya, Mas?"

Ia mengangguk dan tersenyum, kuambil pelan keris itu dari telapak Mas Dharma, jantungku berdegup kencang saat keris itu sudah ada di tanganku,
tetiba darahku berdesir memanas. Kepalaku terasa berat dan ngilu. Refleks kubuang keris itu ke tubuh Mas Dharma, ia kaget, mobil sedikit oleng. Saat itu juga kulihat sekelebat bayangan melintas di depan mobil, aku menjerit.

"Aaa ... aa ...!"
Dengan sigap Mas Dharma mengerem mendadak. Tubuh kami sedikit terpental, untung sabuk pengaman menolong kami.

"Kamu nggak papa, Fit?" tanya Mas Dharma khawatir. Aku menggeleng, celingukan mencari-cari bayangan di depan tadi.

"Cari apa?" aku hanya menggeleng untuk berbohong.
Selanjutnya dengan hati-hati kami meneruskan perjalanan.

Aku mulai cemas mengingat kejadian tadi, kulirik keris yang sudah ditaruh Mas Dharma di atas dashboard mobil. Aku bergidik ngeri.

"Mas, keris itu biasanya ada 'isi'nya kan?" tanyaku ingin tahu.
"Nggak semua sih, Fit. Kalo aku sih nganggap ini cuman sebagai 'gaman', gak lebih. Terlepas ada enggaknya isi di dalamnya aku juga gak pernah tahu."

Aku tersenyum kecut memandangnya, karna tak bisa dipungkiri aku mulai merasa risih menatap keris itu.
"Udah, nggak usah dipikirin," ucapnya seraya mengelus mesra tanganku.

Hari mulai berganti malam, tiga jam perjalanan akhirnya kami sampai di rumahku. Segera kuberanjak turun dan berpamit padanya, tak kuizinkan dia menemaniku masuk karena aku sudah lelah dan ingin istirahat.
Mobil berputar arah, saat ia melambaikan tangan di depanku, aku tercekat melihat penampakan sesosok makhluk berpakaian putih dan rambut panjang duduk di sebelah Mas Dharma, di kursi yang tadi kutempati.
Deg... jantungku terasa berhenti berdetak membiarkan mobil itu melaju jauh meninggalkanku. Apa aku tidak salah lihat?

Aku terhenyak kaget saat mendengar suara Ibu memanggilku.

"Fitri, kamu ngapain melamun disitu?" ujar Ibu di depan pintu rumah, aku segera tersadar dan berbalik.
"Enggeh, Bu." Segera kuberlari kecil masuk ke dalam rumah.

****

Malam ini aku begitu gelisah, membolak-balikkan badan di atas kasur berkali-kali. Memandangi ruangan berukuran 3 x 3 ini. Aku begitu khawatir, cemas, dan takut dengan apa yang terjadi hari ini.
Tak bisa kuhubungi Mas Dharma, karena di perjalanan pulang tadi kami sudah berjanji untuk tidak saling menghubungi sampai tiga hari. Dan nantinya kita akan bertemu di acara lamarannya padaku. Aku tak mau mengingkari janji ini, dan berharap semua akan indah pada waktunya.
Tubuhku mulai lelah, mata pun terasa berat, perlahan netra ini mulai terpejam. Saat mata ini sudah benar-benar lelap, saat itu pula kurasakan angin dingin menerpaku, seketika kubuka paksa mataku. Tubuhku kaku, seperti mematung, menatap lekat-lekat pemandangan mengerikan di atasku
tubuh kami hanya berjarak 5 cm, ia menyeringai, menampakkan mulutnya yang lebar penuh cairan kental dan busuk. Ia menggeliat-liat seirama dengan degupan jantungku yang kian cepat. Aku melirikkan pandanganku ke atas dan ke bawah, astaga! Ini sosok KUNTILANAK!!
Rambutnya yang panjang menutupi tubuhku, membelitnya, membuat penampakan ini kian jelas. Aroma busuk yang keluar dari tubuhnya menguar tajam, hingga membuat perutku terasa mual. Rasa takut ini tertahan meluruhkan keringat dingin, mengucur ke seluruh tubuhku.
Sekuat mungkin aku berusaha bersuara, namun gagal, bahkan untuk menggerakkan tangan pun aku tak mampu.

Sekilas aku mengedarkan pandang menuju pintu, berharap seseorang menemukanku. Aku hampir pasrah beberapa detik, hingga aku ingat bahwa aku masih punya Tuhan.
Allah ... Allah ... Tak hentinya hati ini merapal menyebut Asma-Nya.

Ceklek!

Suara daun pintu yang terbuka, terima kasih Tuhan engkau mendengar rintihanku. Ibu menemukanku yang terbujur kaku, hanya bisa melirikkan mata ke kiri dan kanan.
Bibirku bergetar mencoba memberi tahu, namun nihil. Sosok itu tak lagi berada di atasku, namun tubuh ini masih terasa terbelit, bagai bayi yang dibedong aku tak mampu bergerak.

"Nduk, kamu ini kenapa?" tanyanya cemas, ia memandang tubuhku yang kaku,
lantad meraba-raba sepenuhnya mencari tahu apa yang membuatku sedemikian rupa. Aku hanya bisa menitikkkan air mata, sambil berusaha menggerakkan bibir yang hanya bisa membuka dan menutup tanpa suara.

"Nduk! Fitri!! Ya Allah ...."
Secepatnya Ibu ke luar rumah mencari pertolongan. Memang, Kami hanya tinggal berdua, ayahku sudah meninggal ketika aku kecil, hingga aku tak mempunyai saudara.

Selang beberapa detik, para tetangga mulai berhamburan masuk ke kamar, terheran mereka melihat keadaanku.
Ada yang menatapku dengan pandangan iba, ada yang hanya terus merapal istighfar tanpa henti, ada pula yang mengelus-elus ibuku turut berduka.

"Cepat bawa ke rumah sakit aja Bu Ida, mungkin Fitri kena stroke, jaman sekarang penyakit memang gak pandang umur."
Saran seorang wanita paruh baya, tetangga depan rumahku. Semua mengangguk dan percaya, Ibu hanya bisa pasrah. Segera mereka menyiapkan mobil milik Pak Yusuf, tetangga kami yang kaya.
Empat orang lelaki bersiap mengangkatku dari atas pembaringan, mereka sudah ambil posisi masing-masing, dalam hitungan ketiga mereka merintih kesulitan. Keempatnya saling pandang tak percaya. Tubuh yang hanya berbobot 47 kg ini terasa ratusan kilo,
tak ada yang sanggup mengangkat jasad ini meski hanya sesenti sekali pun. Berulang kali mereka mencoba tetap tak berhasil, hingga membuat nafas saling memburu. Mereka akhirnya menyerah, menyatakan tak sanggup.
Ibu semakin meraung-raung dalam tangisnya, kulihat para Ibu tetangga ikut larut dalam sedih, "Sabar, Bu Ida," kata itu yang berulang kali kudengar. Semua hanya bisa menatapku dan Ibu bergantian, seolah tak percaya dengan apa yang terjadi, tak masuk akal.
Karena terlalu lama, Pak Yusuf yang sudah menunggu di depan mencari tahu apa yang terjadi, awalnya ia tak percaya tapi setelah mencoba kembali untuk menarikku bersama beberapa lelaki, ia pun percaya.
"Bu Ida, sepertinya penyakit yang dialami Fitri bukan penyakit medis, ini tak wajar. Sebaiknya Ibu cari orang pintar," usul Pak Yusuf.

Warga lainnya terlihat bergerumun saling pandang. Aku hanya bisa menatap mereka lewat lirikan mataku tanpa bisa bergerak sedikit pun.
"Apa ada yang punya kenalan disini? Mohon bantuannya, Pak ... Buk ...,"
Pinta Ibu memelas.

Pak Yusuf segera merogoh sakunya dan mengambil ponsel, kulihat ia menscroll benda pipih itu beberapa kali. Hingga ia terlihat menarik nafas lega, seperti menemukan sesuatu
lalu menunjukkannya pada Ibuku.

"Alhamdulillah Bu, ini saya masih menyimpan nomer Abah Anwar, beliau dulu pernah menolong istri saya saat kerasukan."

Ibu terlihat sumringah penuh harap,

"Tolong dihubungi, Pak."
Pak Yusuf mengangguk dan dengan segera menempelkan ponselnya pada telinga, suasana terlihat tegang. Para Ibu masih setia mendampingi Ibuku, ada yang mengusap-usap punggungnya, tangannya, bahunya. Ada pula yang rela selonjoran memijat-mijat kakinya.
Sedangkan para lelaki menatap Pak Yusuf menunggu kepastian yang tak tentu.

"Bu Ida, maaf sekali kalo malam ini dan besok beliau belum bisa, lusa baru ada waktu. Apa Ibu mau menunggu?"
Ibu menatapku penuh iba, seakan bertanya apa aku bisa bertahan sampai lusa? Namun, apa boleh buat, tak ada pilihan. Beliau pun mengangguk mengiyakan.

Satu per satu warga mulai meninggalkan kami, dengan ucapan sabar dan tegar.
Air mata Ibu terus mengucur, ia hanya bisa mengangguk tanpa membalas kata.

****

Malam ini Ibu tidur di sampingku, tak hentinya ia meluruhkan tangis sambil terus mengusap-usap wajahku. Sholawat, kalimat toyyibah, ayat-ayat suci Al-qur'an tak luput ia lantunkan.
Hingga kulihat ia tertidur dengan isakkan yang mulai melemah.

Sesaat kurasakan hening, bahkan suara binatang malam yang biasanya menggema tak lagi kudengar. Seketika bulu kuduk ini meremang, saat itu pula dari bawah kasur perlahan wujud kuntilanak itu menampakkan sosoknya,
bibirku bergetar tak karuan, ingin kupanggil Ibu di sampingku yang terlelap tapi tak bisa. Kurasakan rambut panjangnya kian membelit, sakit ... wajahku memerah, otot-otot seperti memaksa untuk keluar. Punggungku terasa diperas, hingga membuatku menggelinjang keatas,
hatiku menyeruakkan teriakan hebat, tetapi tidak dengan bibirku. Kuntilanak itu semakin menyeringai puas.

Gusti ... apa aku akan mati? Seketika jasad ini tersentak keras, Seperti dihempaskan begitu saja, membuat ranjangku bergetar hebat.
Ibu tersentak, terbangun dengan segala keheranan.

"Ada apa Nduk?" ia terduduk, lalu mengedarkan pandangan menelisik. Ia menatapku sembari beristighfar.

"Sabar ya Nduk." ia memelukku dengan tangisan lirihnya, tak lupa bacaan-bacaan mengagungkan Tuhan terus ia lontarkan,
hingga mata ini mulai terpejam.

****

Hari kedua,
Ibu masih setia mendampingiku, dengan telaten ia menyuapiku meski harus kumuntahkan kembali. Tanpa rasa jijik ia membersihkan pula kotoran dan kencingku yang tak dapat kutahan.
Hanya air mata yang bisa kucurahkan untuk mengungkapkan perasaanku. Entah sampai kapan ini akan berakhir.

Hilir mudik para tetangga bergantian menengok, banyak sekali makanan yang terkumpul di atas meja riasku.
Ya, Ibu yang harusnya bekerja sebagai buruh pabrik, rela meninggalkan aktivitasnya untuk merawatku. Beruntung kami dikelilingi tetangga yang baik hati, bahkan ada yang memberikan salam tempel berupa uang untuk kami.
Seharian Ibu hanya mengaji dan menangis, hatiku luluh melihat kasih sayangnya yang besar padaku, Ingin rasa memeluk tapi apa daya. Tak sabar rasanya menanti hari esok menunggu Abah Anwar menyelesaikan semua ini.

****
Hari ketiga,
Pagi ini juga deru mobil kudengar terhenti di depan rumah. Untung Ibu baru selesai menyekaku, mengganti bajuku yang sudah pesing. Terdengar suara Pak Yusuf memanggil nama Ibu, segera Ibu beranjak menuju panggilan suara.
Tak lama Ibu masuk kembali beserta dua orang lelaki, Pak Yusuf dan kuduga Abah Anwar, melihat dari pakaiannya yang serba putih dengan peci hitam melingkari kepalanya.
Saat melihatku seketika ia beristighfar kaget, seperti sudah mengerti apa yang kualami. Perlahan ia mendekat, duduk di pojok ranjangku, memandangku lekat. Lantas memegang kakiku.
"Asma ne sinten?" ( Namanya siapa? ) Terbata-bata mulutku berusaha menjawab, namun hanya bisa mengatup tanpa bersuara.

"Fitri, Bah. Fitri Andriana." Ibu menjawab,

"Dedeh yugane njenengan, Buk." ( Bukan anakmu, Buk )
Abah tersenyum, lalu memencet keras jempol kakiku. Tubuhku meliuk-liuk kesakitan, mulutku ternganga. Abah semakin memperkeras rapalannya, membuat suhu tubuhku kian panas. Saat itu pula kuntilanak itu sudah berada di atasku, memelukku erat.
Aku menggeleng-geleng tak karuan berharap sosok itu melepaskanku, ingin rasa kuucap tolong sekuat tenaga kepada Abah, bisakah ia melihat pemandangan ini? Akankah ia melepaskanku dari jeratan mengerikan ini? Sesaat kurasakan pandangan yang mulai memudar, tubuhku melemah ....
Aku pingsan!

Saat tersadar kutemukan diriku yang masih kaku, mencoba bergerak namun sulit. Tak berhasilkah Abah? Kulirik Abah Anwar yang masih berada di ujung ranjangku, mulutnya terlihat bercakap, di sampingnya Pak Yusuf berdiri dengan pandangan lurus yang sama dengan Abah.
Kuikuti arah pandangnya yang bermuara pada Ibu, kulirik Ibu yang terisak di sana, Gusti ... sia-sia kah jalan ini? Samar kudengar penuturan Abah, bahwa kuntilanak yang menggangguku ingin aku mati secara perlahan. Ia tak ingin seketika menerkamku,
karena baginya lebih asyik menikmatiku tersiksa.

"Bah, nopo mboten wonten coro lintu?" ( Bah, apa gak ada cara lain? ) tanya Ibu di sela isakkannya.

"Wonten, Buk. Sing nggada sing saget ngusir." ( Ada, Buk. Yang punya yang bisa ngusir )
"Abah semerap sinten sing nggada?" ( Abah tau siapa yang punya? ) tanya Ibu menelisik.

Abah Anwar terlihat menggeleng, Ibu menunduk, kulihat butiran air mulai merembes di ujung matanya, Pak Yusuf mendekati Ibu dan mengelus punggungnya.
"Kita sudah berusaha Buk, Insya Allah nanti ada jalan lain." Setelahnya keduanya berpamitan pergi.

****

Hari keempat,
Ini berarti hari ketiga setelah pertemuan terakhirku dengan Mas Dharma, astaga aku sampai lupa memberi tahu Ibuku bahwa hari ini Mas Dharma akan melamarku.
Aku menangis meratapi diriku, bagaimana bila Mas Dharma melihatku dengan keadaan seperti ini? Akankah tetap ada cinta untukku? Bisakah ia menerimaku? Rentetan pertanyaan terus muncul dalam benakku, aku terisak, menghela nafas pendek-pendek.
Tergesa Ibu menghampiriku, menatapku penuh kesedihan. Ia mencium keningku dalam-dalam. Semakin deras linangan air mata ini tak tertahan. Kami larut dalam kesedihan tak berujung.
"Assalamu'alaikum ...."

Tuhan ... itu suara Mas Dharma, hatiku semakin tertekan. Aku malu dengan kondisiku, aku bahkan tak bisa melihat sekacau apa penampilanku.
Andai bisa aku meminta pada Ibu, kuingin tampil cantik di depan Mas Dharma. Tidak dengan piyama lusuh ini.

"Wa'alaikum salam ...," jawab Ibu sembari beranjak meninggalkanku.
Saat membuka pintu rumah Ibu terkejut melihat Mas Dharma dan rombongannya dengan membawa beberapa seserahan, Mas Dharma pun bingung melihat penampilan Ibu yang terlihat linglung.

"Fitri ada, Buk?"
Ibu mengangguk tapi meringis mencoba menahan tangis,

"Monggo masuk ...," kata Ibu dengan suara serak yang berat, keluarga Mas Dharma saling pandang penuh heran dan mengikuti langkah Ibu ke kamarku.
Saat di depan pintu, Mas Dharma segera menghambur masuk, ia memandangku detail dari ujung kaki hingga kepala, ia mengernyit, kulihat matanya mulai berkaca-kaca. Ia tak percaya tiga hari yang lalu aku masih sehat dan cantik, tetiba hari ini tubuhku kering kurus,
hingga menonjolkan lengkungan di setiap sudutnya.

"Kamu kenapa, Fit?" Ia berlutut di sampingku, menatapku penuh haru, kulihat ayahnya ikut masuk melihatku iba.
"Saya juga nggak tau, Nak Dharma. Setelah pulang sama kamu malam itu Fitri sudah seperti ini, saya sudah coba mau membawanya ke rumah sakit tapi tak bisa, tubuhnya tak bisa diangkat meski dengan 5 orang lelaki sekali pun.
Kemarin juga saya hubungi orang pintar, tapi tetap tak ada hasil," tutur ibu menjelaskan.

"Kenapa kamu nggak menghubungi aku, Fitri?" Ia mulai menangis, begitu pun aku.

"Kata Abah Anwar ada kuntilanak yang mengganggunya, ia hanya bisa diusir oleh pemiliknya."
"KUNTILANAK??" tanya ayahnya Mas Dharma heran, Ibu mengangguk.

"Jangan-jangan keris itu, Dharma!" katanya melanjutkan.

"Kenapa, Yah? Maksud Ayah keris Puspo Arum?" Ayahnya terlihat mengangguk.
"Malam itu Fitri memang sempat memegangnya." Ayahnya terlihat kaget.

"Kita harus cepat-cepat membawa Fitri ke Kakek, hanya dia yang bisa menyelamatkan."
Kami semua terheran, apa maksud Ayah Mas Dharma? Apa kuntilanak itu punya Kakeknya?
"Gak mungkin bisa, Pak. Bagaimana cara membawa Fitri? Kemarin sudah dicoba, gimana kalo Kakeknya Dharma saja yang kesini?" pinta Ibuku.

"Maaf, Buk. Kakeknya Dharma juga sedang sakit, sudah 2 tahun ini beliau hanya jadi 'kembang bayang' diatas kasur."
Ibu pun mengangguk mengerti.
"Terus bagaimana cara mengangkat Fitri dari sini, Pak?"

"Saya yakin Dharma pasti bisa melakukannya. Coba saja, Nak," kata Ayah Mas Dharma.

Benar saja dalam satu kali hentakan dengan entengnya Mas Dharma membopongku ke luar kamar menuju mobil di depan rumah.
Beberapa tetangga yang melihat keheranan menyaksikan pemandangan ini. Sungguh ajaib!

Tanpa menunggu lagi Mas Dharma berpamit pada beberapa orang keluarga yang sudah diajaknya untuk melamarku, beberapa tetangga pun mendo'akan yang terbaik untuk kami.
Aku begitu terharu, apalagi Ibu, beliau terlihat menangis, mendo'akan keselamatanku.

Dua jam perjalanan penuh hening dan tegang kami lalui, hingga akhirnya kami sampai di suatu tempat yang kuduga rumah Kakeknya Mas Dharma, halamannya luas dengan banyak pohon besar di dalamnya.
Saat turun, karena Mas Dharma terlihat kesulitan, Ayah Mas Dharma mencoba membantu menarik kakiku. Sungguh mustahil dan benar apa kata Ibuku, Ayah Mas Dharma bahkan tak kuasa untuk mengangkat ujung kakiku.
Ia meringis dan menggeleng, meski dengan susah payah hanya Mas Dharma yang bisa mengeluarkanku dari mobil ini.

Aku hanya bisa melirikkan mata untuk mengedarkan pandang, rumahnya berbentuk joglo dengan banyak sekali patung-patung seram di depannya, sungguh 'wingit' dan aneh.
Dengan cekatan Ayah Mas Dharma membuka pintu rumah untuk kami, di sana kami menemukan seorang lelaki yang kuduga pembantu di rumah ini, ia menuntun kami hingga sampailah kami di suatu ruangan yang pengap.
Ayah Mas Dharma menyingkap kelambu yang di sana sudah terbujur seorang Kakek tua di atas ranjang besi, ia tersenyum melihat kedatangan kami. Namun, seketika garis bibirnya turun tatkala menatapku.
"Tidurkan disini, Le," katanya sembari menggeserkan badannya memberi ruang, perlahan Mas Dharma membaringkanku di sisi Kakek.

Kulihat tak ada yang menjelaskan apa-apa pada Kakek, seperti membiarkan Sang Kakek menebak dengan sendirinya.
Mas Dharma dan Ayahnya hanya berdiri di depan ranjang ini, menanti Kakeknya melakukan sesuatu.

"Aku tau kamu cemburu, tapi ya jangan sampai mencelakai gini toh, Nduk. Gadis ini gak salah apa-apa," kata Kakek itu seketika, aku yakin dia tidak bicara denganku.
"Maksude piye, Mbah?" pungkas Mas Dharma sedikit emosi.

"Ya ini, Puspo Arum. Kuntilanak yang ada dalam kerismu. Dia cemburu sama gadis ini. Emangnya kamu habis ngapain?"
"Tiga hari yang lalu aku menyatakan cinta pada Fitri, dan setelahnya Fitri memang sempat memegang keris ini, Mbah."

"Pantas saja ...," kata Kakek sembari mangut-mangut.

"Apa Ayah bisa mengusirnya?" tanya Ayahnya Mas Dharma. Di sebelahku, Kakek tetap terbaring sambil tersenyum.
"Sebenarnya dulu memang aku yang menginginkannya meng'isi' keris itu, aku ingin semua orang segan padaku, kujalani puasa mutih selama 40 hari, lalu bertapa di tempat-tempat 'wingit', dan akhirnya aku bisa mendapatkannya secara sukarela,
tapi tanpa kuketahui dia malah jatuh cinta padaku."Ia berhenti sejenak mengatur nafas lalu berdehem-dehem.

"Sampai akhirnya tubuh Kakek yang tua sudah tak kuat lagi, dan 2 tahun yang lalu aku menyerahkannya pada Dharma, berharap ia menggantikan posisi Kakek dengan jiwa mudanya."
Kulihat Mas Dharma mengusap wajahnya dengan tangan kanan, seperti menahan emosi.

"Jelas saja dia hanya mau dibopong sama Dharma, ternyata ini masalahnya," kata Ayah Mas Dharma,

"Jadi Ayah juga tau kalau keris itu ada isinya?" Beliau mengangguk.
"Ayah hanya sekedar tahu, tapi Kakek tak pernah memberi penjelasan seperti ini. Sekarang apa Ayah bisa mengusirnya dari Fitri?" tanya Ayahnya Mas dharma. Kulirik Kakek yang tersenyum, lalu mengelus tanganku.
"Ambil keris itu, buka dari warangkanya dan taruh diatas meja." Dengan sigap Mas Dharma mengeluarkan keris itu dari dalam tasnya dan dengan hati-hati membuka lalu meletakkannya di atas meja samping ranjang besi ini.
Kakek masih mengusap tanganku,

"Nduk, Puspo Arum ... apa kamu lupa sama aku? Mari kita mulai lagi kisah kita dari sini, aku berjanji tak akan pernah meninggalkanmu lagi."
Angin dingin seketika menerpa kami, kurasakan meja di sebelahku bergetar-getar, di sana kutemukan keris itu berdiri dengan sendirinya, kami bertiga kaget tapi tetap diam membiarkan semuanya terjadi.
Tiba-tiba tubuhku memanas, aku menggeliat-liat layaknya cacing kepanasan. Sontak aku mengejang melihat kuntilanak itu ke luar dari bawah tubuhku, ranjang mulai berderit-derit seiring gerakan tubuhku. Aku tak bisa berteriak, mulutku menganga menyaksikan penampakan mengerikan ini.
Taringnya panjang, wajahnya penuh borok dan nanah, bau anyir menyeruak memenuhi ruangan. Perlahan jeratan rambutnya terlepas dari tubuhku, ia tersenyum nyengir menampakkan mulutnya yang penuh cairan dan belatung,
benar-benar memuakkan membuat perutku seperti teraduk-aduk ingin muntah.

Kulirik Mas Dharma dan Ayahnya, mereka terlihat bergidik ngeri menyaksikan aku seperti ini. Tak bisakah mereka melihat kuntilanak ini? Tak hentinya Kakek mengelus tanganku,
hingga sampai di jeratan rambut terakhir, kulihat kuntilanak itu menerkam tubuh Kakek.

"KAKEEEKKK!!" Sontak aku terduduk dan bisa mengeluarkan suara, Kakek mencengkeram erat tanganku yang tadi dielusnya. Ia sedikit mengejang lalu, diam.
Klutik ...!
Aku menoleh kebelakang, melihat keris itu terbaring kembali. Mas Dharma dan Ayahnya segera menghambur mendekati Kakek, mereka menangis histeris melihat Kakek yang sudah kaku tak bernafas. Kami tak menyangka Kakek mau menyerahkan nyawanya demi aku.
Di sampingku Mas Dharma menangis tersedu, begitu pun Ayahnya yang duduk di pojok ranjang memeluk kaki Kakek dengan tangisan yang menyayat hati.

****
Setelah memberitahu semua keluarga, satu per satu keluarganya datang memenuhi rumah Kakek, kulihat Ibu juga hadir bersama rombongan keluarga Mas Dharma yang tadi diajaknya kerumah.
Saat melihatku ia berlari memelukku sambil menangis, tak menyangka aku sudah normal seperti sedia kala.

"Buk, Kakek sudah mengorbankan nyawanya demi aku. Aku benar-benar gak menyangka," kataku di sela isakanku.
"Iya, Nduk. Kita harus benar-benar berterima kasih pada keluarga Dharma."

Ayah Mas Dharma tiba-tiba datang menengahi kami,

"Fitri, kami sekeluarga sudah sepakat akan menikahkan kalian berdua sekarang juga di depan jasad Kakek. Mohon jangan menolak," pintanya memelas.
Aku dan Ibu mengangguk bersamaan, tak mungkin kami menolak melihat pengorbanan Kakek padaku. Seorang wanita paruh baya menghampiriku dan mengajakku masuk ke dalam kamar, Ibu mengekor di belakangku.
Di sana beliau mengganti baju piyamaku dengan gamis yang cantik berwarna pink salem, lantas sedikit mempoles wajahku. Ia menyuruhku memakai hijab khimar panjang yang warnanya senada dengan gamis.
Setelahnya kami dituntun ke ruang tamu di mana jasad Kakek disemayamkan.

Tepat di depan Kakek yang terbaring, aku dan Mas Dharma duduk di depan Ayahnya dan seorang lelaki, mungkin beliau seorang mudin atau ustad yang akan membimbing kami melangsungkan akad nikah.
Mas Dharma menjabat erat tangan Ayahnya mantap, dengan bimbingan sang mudin, Mas Dharma mengucapkan ikrar suci tanpa cela.

"QOBILTU NIKAHAHA WA TAZWIJAHA BIL MAHRIL MADZKUR... "

TAMAT

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with lely rosyidah

lely rosyidah Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @lely_rosyidah

13 Dec
👨 : "Bro, kenapa ya akhir-akhir ini aku merasa istriku tak lagi secantik dulu, tak sexy, tak menggairahkan."

👦 : "Jangan-jangan kamu ada main sama wanita lain, ya?"
👨 : "Nggak lah, cuman aku merasa lebih bergairah jika melihat wanita lain, tuh istri tetangga baru kita beniiing banget, beruntung banget lah itu suaminya."
👦 : "Itu karena kamu tiap hari melihat istrimu, secantik dan setampan apa pun pasangan, bila disuguhkan pandangan yang sama setiap hari pasti akan terasa pudar."

👨 : "Ah, masak sih? Padahal istriku udah kupenuhi dengan segala make up dan skin care yang bagus loh.
Read 6 tweets
30 Nov
Sesal Tiada Arti

*Short story*

Kutertawa sendiri memandangi layar ponsel di genggaman tangan. Membaca komen dari kawan-kawan di grup aplikasi hijau, saling berbalas dengan candaan yang semakin seru. Mood-ku tetiba hilang saat Fitri, anak semata wayangku
yang berusia tiga tahun merengek di sebelahku. Ia meminta makan, padahal baru sejam yang lalu aku baru menyuapinya. Dengan wajah kesal kuambil roti sobek cokelat di atas nakas sebelah ranjang.
Lantas, melanjutkan aktivitasku mengintip obrolan. Sebab, aku tak mau ketinggalan jauh, sembari kembali merebahkan diri di kasur.
Read 8 tweets
25 Nov
Penghuni Pabrik Rokok

Kisah gangguan yang dialami seorang security pabrik rokok
.
.
A thread

@bacahorror @ceritaht #bacahoror #bacahorror #threadhoror

*gambar hanya pemanis, comot dari google* Image
Tiga bulan sejak di PHK dari pabrik kemasan, aku mulai berusaha mencari pekerjaan baru. Namun, hingga sampai saat ini aku masih juga menjadi pengangguran. Uang pesangon yang hanya 15 juta nyatanya sudah hampir habis.
Namaku Fendy, lelaki 30 tahun. Istriku adalah seorang guru sekolah swasta yang gajinya nggak sampai sejuta. Aku tak mempermasalahkannya, karena bagiku menjadi seorang guru adalah sebuah tugas mulia, apalagi istriku sangat menyukai anak-anak.
Read 56 tweets
11 Nov
Tumbal Janin

Seorang gadis yang rela menikah dengan sahabat sang ayah, demi baktinya untuk membayar hutang ayahnya, hingga ia harus rela kehilangan janin yang belum sempat dilahirkannya untuk dijadikan tumbal.

A thread

@bacahorror #bacahorror
Malam ini dengan jengkel tapi pasrah aku menuruti keinginan ayah untuk menikah dengan lelaki tua itu, dia sudah beristri dan mempunyai seorang anak lelaki yang sebaya denganku.
Yah ... Aku akan menjadi madu untuk istri pertamanya.
Aku Ani, bulan agustus ini umurku memasuki usia 19 tahun, kulitku kuning langsat, rambut sedikit ikal dan badanku lumayan berisi dengan tinggi yang lumayan semampai, hidungku tak begitu mancung dan ada tahi lalat di sisi kanan nya, kata Ibuku tahi lalat di hidung adalah
Read 263 tweets
17 Jul
Kisah perselingkuhan yang berujung maut Image
*menggebrak meja*
"Aku iki wes usaha! Tapi gak mbok regani blas, prasamu aku gak ngempet sembarang kalir ta?! "( aku ini udah usaha! Tapi tidak kau hargai sama sekali, pikirmu aku gak mendam semuanya ta?!)
Satrio membelakkan matanya di depan istrinya sembari berkacak pinggang
Ifah sang istri menangis tersedu sedu sambil menggendong anaknya yg masih berumur 2th
"lha prasamu aku yo gak usaha ta? Sambil nggendong aku mumeti kampung dolek permak an klambi" (lha pikirmu aku ya tidak usaha apa? Sambil nggendong aku keliling kampung cari permak an baju)
Read 77 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!