Sebagai seorang bibliophile, saya paham kalau membaca adalah persoalan kebutuhan otak. Saya memulai perjalanan literasi saya kala TK dengan manga Doraemon dan lanjut pada Detektif Conan. Semasa SD, saya disupply berbagai judul manga. Namanya juga masa-masa bermain.
Tapi saat itu juga saya disupply buku-buku karya @helvy dan Gola Gong. Dulu, Ketika Mas Gagah Pergi itu adalah satu cerpen dalam satu buku dengan judul yang sama. Saya juga membaca buku-buku Lima Sekawan dan Trio Detektif.
Kala SMP, saya lebih rajin membaca buku-buku tentang programming dan web design karena ketertarikan saya. Buku Bermain-main Dengan Registry Windows karya Tri Amperiyanto pun saya lahap ketika itu.
Masa SMA, selera berubah. Saya masih suka membaca manga sebagai hiburan. Tapi di sisi lain, saya senang membaca karya-karya Sie Arthur Conan Doyle, Agatha Christie, dan Sidney Sheldon. Karya Lian Hearn pun habis saya baca.
Skip sedikit. Semenjak saya mesti membeli A World Without Islam dan beberapa karya Haruki Murakami beberapa tahun lalu, saya kecanduan buku-buku berbahasa Inggris. Mulai dari novel sampai buku-buku politik dan sejarah. Saya penasaran dengan sejarah Indonesia.
Dari sana saya mulai menyelami karya-karya para founding fathers kita. Bung Hatta, Sjahrir, Agus Salim, Buya HAMKA, Soekarno, dan lain sebagainya. Torehan tinta yang mereka curahkan di lembaran kertas itu sedikit banyak menggambarkan kehidupan mereka dan Indonesia.
Maka buku-buku sejarah dan biografi menjadi prioritas. Saya sadar kalau kondisi/posisi saya saat ini adalah memahami Narasi Indonesia, sebagai warga sipil muda dan meraba-raba soal nasionalisme.
Maka jangan aneh jika kemudian saya ditanya buku apa saja yang saya baca, saya bisa sebut banyak macam dan jenisnya. Mulai dari manga terbitan @elexmedia, buku sejarahnya @KomunitasBambu, sampai buku-buku terbitan @penguinrandom.
Keragaman itu akibat kebutuhan saya. Suatu kali saya ingin bisa menjadi programmer dan web designer, buku-buku terkaitlah yang saya baca. Karena kebutuhan pemahaman akan pendidikan dan politik, buku @resistbook utamanya karya Eko Prasetyo yang dibaca.
Apa yang mengherankan sekaligus membikin geli adalah ketika pucuk pimpinan tertinggi di negeri ini menyebut kalau bacaan favoritnya adalah Crayon Shinchan, Doraemon, dan sempat "selfie" dengan buku Si Juki.
Bukan tidak boleh, memang. Tapi agaknya tidak pada tempatnya bicara seperti itu di hadapan publik. Doraemon itu bacaan saya ketika TK. Dengan usia separuh abad dan mengatakan kalau buku-buku itu adalah bacaan favoritnya, diberi Detective Conan bisa pingsan.
Lebih aneh lagi pendukungnya. Ketika lawan politiknya mengutip Ghost Fleet, mereka ramai-ramai membully sang lawan politik dengan mengatakan bahwa beliau itu senang dengan karya fiksi dan dijadikan alasan untuk menakut-nakuti rakyat
Kalau Ghost Fleet itu fiksi, lantas Doraemon, Crayon Shinchan, dan Si Juki itu levelnya apa?
Secara logis, saya lebih takut ketika pucuk pimpinan tertinggi justru mencitrakan dirinya membaca komik Si Juki misalnya, ketika negeri sedang dilanda masalah. Kemudian tanpa malu mengakui kalau bacaan favoritnya adalah Doraemon dan Crayon Shinchan.
In retrospect, Doraemon itu punya sisi kelam: mengajarkan kita untuk menggampangkan masalah dan mendendam. Sedang Crayon Shinchan, kita sudah sama-sama tahu. Nalar begini dipakai mengurus Negara? Jelas bahaya.
"Buku adalah sebaik-baik penjaga akal sehat," begitu Bung Hatta mewanti-wanti kita. Beliau menjadi teladan kita semua ketika bagaimana ia mendalami cara membangun dan mengurus Negara dengan membaca buku-buku tentang politik dan tata negara.
Bahkan beliau masih mau untuk berkuliah lagi hanya untuk memersiapkan kemerdekaan Indonesia. Kurang apa beliau untuk kita teladani bagaimana integritasnya dalam membangun bangsa?
Maka, kesadaran literasi ini penting, dan seorang pemimpin mesti memilikinya. Literasi mengajarkan kita untuk berpikir terstruktur, bernarasi, dan memilih diksi. Orang yang sadar literasi tidak akan gagap dalam menjawab persoalan.
Mereka paham ke mana dan bagaimana mencari solusi untuk setiap persoalan. Tentu tidak akan gagu dan kabur ketika berhadapan dengan wartawan atau bergantung pada teks ketika bicara di depan.
Apalagi jika dihadapkan dengan persoalan kenegaraan yang salah satu tugasnya adalah memberantas buta huruf fungsional sesuai amanat UUD1945 yaitu mencerdaskan kehidupan berbangsa.
Missing some Tweet in this thread?
You can try to force a refresh.

Like this thread? Get email updates or save it to PDF!

Subscribe to ジャへヌヂンナチロでわない
Profile picture

Get real-time email alerts when new unrolls are available from this author!

This content may be removed anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member and get exclusive features!

Premium member ($3.00/month or $30.00/year)

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!