, 206 tweets, 23 min read
Aku mau cerita,

Tentang janin umur 3 bulan dan jabang bayi yang mati (keguguran), sari patinya dimanfaatkan untuk pesugihan......

SEBUAH UTAS!!!
2002. Kabar itu masih hangat di telinga warga. Ya. Bermula dari desaku, Walantaka, Serang - Banten.
Pukul 02.00 pagi, Jumat Kliwon. Kampungku digegerkan suara kentungan ronda. Awalnya suara kentungan cuma ada di pos 3, dekat makam. Tapi kemudian, merambah kebeberapa pos. Satu persatu pintu rumah terbuka. Warga mulai heran. Termasuk aku.

"Ada apa pak?" tanyaku
Gak sepatah kata pun bapakku menjawab. Tatapannya awas kepada makam. Sekelibat bapak ngambil tasbeh di ruang ibadah kami. Sambil berlari, bapak bawa secarik kertas bertuliskan arab. Entah apa itu.

Penasaran. Aku nyusul bapak. Sedang ibuku tetap di rumah. Tak aman buat org hamil
Karena jarak rumah kami dgn makam cukup dekat, kuliat bapak seolah2 ingin menerobos kerumunan warga. Aku mencoba untuk mendekat.

"Astaghfirullah" ucap bapak di tengah galian kubur, dikeruk paksa oleh seseorang. Galian ini, jelas bukan dgn pacul. Tapi tangan biadab, tegas bapak
Sialnya. Kuburan yang disasar adalah makam jabang bayi 8 bulan dari Alm. Teh Rossa (bukan nama sebenarnya). Keduanya mati saat berusaha berjuang untuk mengemban amanah Gusti. Sayang, setelah jabang bayi itu lahir tak bernyawa, Alm juga meninggal dunia.
Suasana makam jadi hening. Bapak2 dan pemuda masih megang senternya masing2. Ada yang bawa obor juga. Makam seolah disulap jadi pertunjukan yg mencekam. Anyeb. Tapi herannya, kenapa kuburan jabang bayi yang disasar?
Dulu, agak takut sih. Tapi penasaran juga. Ya barangkali dipikiranku, jabang bayi itu dimakan guguk atau srigala. Hehehe kacau.

Tapi....
Ternyata. Cuma sisa setengah kain kafan, sobek2. Tengok ke liang. Anjir beneran gak ada tu jabang bayi.

Semua orang pada nyebut, puja puji. Ada juga yg ketakutan, kesal, marah gak ketulungan. Apalagi bapak dari jabang bayi itu, sedih ngeliatnya.
Karena semua warga kampung tahu. Kalau kuburan jabang bayi dibongkar, pasti bakal dijadiin PESUGIHAN.

"TUYUL!!!"
Suara kentungan mulai dibunyikan lagi. Riuh seluruh isi makam. Bapak bersama Pak RT bikin 3 regu. Per regu ada 4 orang. Gak boleh ganjil. Mereka diminta untuk nyisir sekitar makam. Gak jauh dari tempat itu, ada kebun yg tembus ke utan larangan. Bapak nyuruh aku pulang.
Sesampainya di rumah, aku masih nunggu bapak. Ibu masih melek. Saat itu, ibu hamil 5 bulan. Ibu juga nanya gimana tadi makam dan bla bla bla. Tapi aku gak habis pikir kenapa orang2 bisa bilang jabanh bayi itu bakal dijadiin tuyul? Tanyaku ke ibu.
Banyak jin yang suka sama getihnya jabang bayi. Seanyeb2nya getih orang mati, lebih "manis" getihnya jabang bayi. Makanya kalau ada jabang bayi meninggal, selama tujuh hari tujuh malam, makamnya kudu dijaga. Kalau enggak bakal dipake buat pesugihan, kata ibu.
Itulah kenapa suami itu harus lekeun sama istrinya, sayang sama jabang bayi. Setiap malam kalau bisa suami ngaji surat Al-kahfi, an-nisa dan surat yusuf. Setiap malem jumatnya yasin. Agar jabang bayi lahir dengan selamat.
Pun kalau emg belum rizekinya, suami harus lekeun. Nengok ke makam biar jabang bayinya. Gak diusik. Gak dicuri buat pesugihan, jelas ibu. Tapi ya semua kembali lagi sama Gusti, katanya.
Beres cerita sama ibu, gak lama bapak pulang. Dan gak ada hasil. Tapi, tiba-tiba bapak ambrug di depan pintu. Kubopong ke kasur. Kakinya dingin. Badannya menggigil. Feeling ibu sudah kuat. Gak beres katanya. Ibu nyuruh aku jemput abah yai (tokoh agamawan sekaligus tabib) ke rumah
Abah minta aku ambil air segelas. Dirapal air itu sambil ditiupin. Jari telunjuknya dicelupkan ke air itu. Tepat diulu hatinya, telunjuk abah kek lagi ngukir tulisan ALLAH.

lahwlawalakuataillabillah. Cuma itu yg aku inget.

"ada yg jail sama bapak" katanya.
Di situ aku deg2an. Ibu tak bergeming. Jemarinya lembut ngelus perutnya yang semakin membesar.

"Jurig utan alas nu ngagawean" (setan hutan alas yang ngikut ke bapak).

Aku liat jam udh pukul 04.00 subuh. Dibarengin dgn pengumuman di toak mushola. Dua tetangga meninggal dunia.
Masya allah, bener2 hari itu adalah hari yang buruk bagi warga. Karena gak cuma tetangga yg meninggal aja. Tapi satu orang pemuda kampung yg ikut di regu itu, hilang.
Yaaappp, hallo selamat pagi teman2. Maaf sebagian hariku tersita demi menjadi "tuyul Ibu Kota". Insya Allah barokah. Hehehe.

Sebelumnya terima kasih bgt sudah mau kesal dgn secarik utasku. Terima kasih juga sudah meninggalkan jejak, kenangan, makian, sandal dan sempak.
- Dari Mata yang Terbelalak -
Di risbang, bapak masih lunglai, tak berdaya. Hanya jantungnya yg terus berpacu waktu. Kedua matanya memejam seolah tak sedikit pun rahasia di balik utan itu terbongkar.

Sedang Abah Yai masih merapal. Dan, Ibu perlahan menggenggam jemari bapak. Tangisnya tak terbendung, "Pak.."
Sesak rasanya melihat bapak dan ibu dalam kondisi seperti ini. Siapa yg tega melihat ibu yg sedang mengandung harus menitihkan air matanya. Siapa yang rela melihat seorang bapak yang tak berdaya di hadapan nasib? Tidak ada!!

Siapa yang harus bertanggung jawab?!
"Ambil wudhu, baca syahadat dan sholawat 3 kali. Al-fatihah 7 kali. Yasin, 3 kali. Bantu abah nulungan bapak. Ruh bapak lagi dibawa jurig," kata Abah Yai.

Saat itu juga aku turuti saran abah.
Tiba di penghujung ayat, telunjuk bapak berdenyut. Diikuti genggaman ibu yg amat kuat. Tapi, kedua mata bapak tetap terpejam.

"Bu..." gumam bapak.

Perlahan jemari kanannya mencari jabang bayi yg masih setia bersama kasih sayang ibu. Dielusnya perut ibu, penuh kerinduan.
"Allaaaaaaahuuu akbar" Abah Yai tegak berdiri di hadapan bapak. Sontak tangan bapak yg semula lembut di perut ibu tampak hendak mencengkram diikuti dgn mata yang terbelalak, tajam.
"DOR... DOR... DOR....!?" suara pintu diketuk tiga kali tanpa permisi.

Bangsat. Dalam kondisi ngeri masih aja ada orang tolol ngegedor pintu sembarangan.

"Abah Yai. Abah Yai.... Abah...!??" seru mang ujang (penjaga kuburan) dibanjiri keringat sekujur tubuh.
Saat itu juga aing ngamuk ka si Mamang. Anjinglah. Gak kira2 ngagedor pintu orang. Tapi maksud Mang Ujang samar, lidahnya seperti kaku tersengal nafas yg memburu.

"Mana abah a. Penting iyeu teh. Mana?" tagih Mang Ujang.

"Eta di jero. Keur ngeubaran bapak. Naon?" pungkasku.
Aku suruh Mang Ujang duduk sebentar di tiker. Kutengok Abah Yai. Telapak kanannya tengah berada tepat di dahi bapak.

"Cik sakedap nyak" pesan Abah Yai, seolah tahu betul maksud kedatangan Mang Ujang.

Sedang ibu, tengah mengelus rambut bapak dgn lembut.
"Abah... Eta si Pe'i leungit di utan?!" ujar Mang Ujang sambil mengajak tubuhnya bangkit dari ketakutan.

Abah masih heran. "Pei anu gawe di pabrik sepatu tea?" tanya abah.

"Samuhun bah. Asa na teh tadi bareng jeung Bapak Agus (bapakku), naha jalma ngilang," kata Mamang.
Makin gak beres ini kampung. Pe'i adalah pemuda kampung yang dikabarkan sebelumnya telah hilang di utan. Tanpa jejak. Abah segera ngasih perintah.

"Kumpulkeun jalma di mesjid. Beres subuhan urang sadayana musyawarah," tukas Abah Yai.

Mang ujang segera balik ke mesjid.
Kata abah, bapak sudah aman. Tinggal nunggu sadarnya aja. Kalau sudah siuman, segera kasih air putih yg sudah didoakan.

Ibu pun, kusuruh untuk rehat sejenak. Tak lama, ibu terlelap dalam satu risbang dengan kelambu yg manahan nyamuk tolol menghisap darah mereka.
Jarak dari rumah ke mesjid utama agak jauh. Maklum, saat itu belum ada @GrabID
dan @gojekindonesia. Bahkan sampai saat ini pun kabarnya di kabupaten kami belum banyak ojol yang beroperasi di tengah kebutuhan masyarakat sekarang.
Aku mengajukan diri untuk mengantar abah sekaligus ikut rembug bareng warga.

Tiba di sana. Pasca subuh, abah memberi arahan untuk memandikan terlebih dahulu jenazah Pak Bewok dan Pak Ado (bukan nama sebenarnya).

Baru kemudian telusur jejak Pe'i. Abah membagi regu.
Sepakat.

Dalam hati, rasanya ingin sekali memaki. Andai saja aku tahu bahwa JEMBOT bisa akrab dalam makian kultur masyarakat jawa ingin rasanya, ingin kutambahkan kata tersebut dalam vocab makianku.

"JEMBOT BAGONG! SAPA YG BIKIN ONAR KAMPUNG, KU SANTET KAU BEDEBAH!?" makiku.
Sampai pagi tiba, jabang bayi belum jua ditemukan. Yang ada, rentetan korban di banjiri pilu. Warga kampung jadi tak lagi kondusif.

Bagi keluarga korban, mereka menuntut balik atas kematian suaminya kepada Bapak dari jabang bayi itu. Sebagian lagi, memilih pindah kampung.
Dan, mungkin bagi Sang Jabang Bayi, tak pernah sudi lahir ke dunia yang sial ini. Seolah enggan, menanggung beban dari setiap harapan, beban dari lugunya cinta di atas pernikahan. Siapa sudi diberi nyawa, sedang manusia tak lagi sanggup menghidupi dirinya.
- Sari Pati -
Alih bahasa:

Saat itu juga aku marah ke Mang Ujang. Anjing.
...

"Di mana abah a. Penting ini. Di mana abah?" tagih Mang Ujang.

"Itu di dalem, lagi ngobatin bapak. Kenapa?" pungkasku.
Alih bahasa:

"Abah... Itu si Pe'i hilang di hutan?!" ujar Mang Ujang sambil mengajak tubuhnya bangkit dari ketakutan.

Abah masih heran. "Pe'i yg kerja di pabrik sepatu itu?"

"Betul bgt bah. Rasanya tadi bareng dgn bapak agus (bapakku), kenapa orgnya malah jadi ilang," kata
Alih bahasa (dialog)

"Ajak masyarakat kumpul di mesjid. Setelah subuh, kita musyawarah bersama," tukas Abah Yai.
Alih bahasa makian:

"Jembut Babik.... "

:(
Hallo, buat kawan-kawan yang masih agak sulit memahami basa sunda yg tertulis, kamu bisa lakukan dgn cara ini.

1. Klik utas berbasa sunda
2. Lihat bagian bawah utas, di situ ada alih bahasa
3. Tanya teman
4. Tanya ke aku lagi boleh, asal jgn tanya jodoh dan nikah kapan?
Sebetulnya tidam bermaksud juga untuk menelantarkan teman2 dgn bahasa sunda. Selain karena pagi tadi sedang khusuk menggali memori, dialog tersebut amat kuat, sampai lupa harus dialihbahasakan. Selain itu? Cuma pengen kamu yg berbahasa sunda dan jawa bisa akur hehehe
- Sari Pati -

Tuyul, harus diperlakukan sama seperti manusia. Jika ada orang melihara tuyul, dia harus mampu merawat seperti anaknya sendiri.

Ia tercipta dari sari pati janin dan jabang bayi yang gagal terlahir di dunia. Dagingnya mati, tapi tidak untuk sari patinya.
Suara itu, keluar dari mulut Alm. Bik Turah (bukan nama sebenarnya) di sebuah bilik sederhana. Kamis malam, Pandeglang.

Kami tampak khidmat di dalam bilik Bik Turah di temani secangkir teh. Lampu damar, kuning temaram berhasil menyulap malam semakin mencekam.
Di luar, warga kampung di sebuh dusun area Pandeglang telah sunyi senyap. Hanya ada nyanyian jangkrik dan kodok yang terus berpadu rima mengisi kekosongan.

Tak ada angin segar. Udara seolah habis diserap pepohonan di sekitar kebun Bik Turah.
Wajar saja, dengan kebiasaan masyarakat yang berkebun dan bertani ketika malam tiba, mereka lebih memilih untuk diam bersama keluarga mengistirahatkan lekuk ototnya dan tertidur lelap. Berharap, esok masih diberi tenaga untuk menjemput rizeki di ladang sana.
Bik Turah, sekali lagi menegaskan. Perkara tuyul bakal ramai jika memasuki musim pilkades dan masa panen kebun dan tani tiba.

Tak jarang, katanya, jika ada salah satu calon pilkades datang untuk mengadopsi tuyul. Mereka siap merawatnya demi, mendapat modal lebih besar. Kampanye
Kok bisa? Seolah2 dana kampanye datang dari duit warganya sendiri untuk memenangkan pilkades.

"Gak cuma itu, jika musim pilkades tiba. Perang santet pun akan digencarkan," kata Bik Turah (dalam bahasa sunda yg sudah dialihbahsakan).
Tapi modal terbesarnya, dari tuyul ini, Kata Bik Turah sambil membuka kotak beranyam bambu. Kulihat di dalamnya ada secarik kafan yg membalut. Entah apa isinya.

Rasa penasaranku semakin memuncak. Daripada Bik Turah bisa memiliki itu? Kecil ukurannya, Janin 3 bulan? Dari mana?
"Orang kampung yg keguguran itu gak cukup punya uang untuk ke rumah sakit," kata Bik Turah.

"Terus? Kok Bibik.....?" heranku segera dilibas dgn pernyataan menohok.

"Bibik menawarkan diri untuk merawatnya. Memang semua yang hidup dan mati, balik ka Gusti," jelas Bik Turah.
"Balungan (tulang) janin atau jabang bayi itu sari pati hidup dan matinya makhluk ini," kata Bik Turah.

Bangsat. Bulu kudukku merinding. Setengah takut. Setengah pengen berak. Tapi Bik Turah gak punya toilet. Adanya kebon. Taeklah. Terpaksa harus duduk dengan seksama.
"Panjang prosesnya hingga janin atau jabang bayi ini bisa hidup di alam kasat mata," tegur Bik Turah.

Tapi yg harus kamu tahu, jika ia berhasil hidup di antara kita, dan ia meminta asi, maka harus diberi. Jika tak ada. Sembelih ayam jago kampung, warna hitam. Tadahkan daranya.
Darah itu sebagai pengganti asi. Jika ia lapar, maka harus diberi makan, kata Bik Turah. Hanya saja cara mereka makan berbeda dengan kita, tandasnya.
Sleeeebbbb

Api damar tiba-tiba mati. Mengisap seluruh dahaga di bilik Bik Turah. Hening.

Mbooot jembot apa lagi ini Gusti. "Nah kan, ini bocahnya suka sama kamu. Emang kek anal kecil. Suka jail," kata Bik Turah.

"Setan alas" makiku cukup lugu dalam hati kecilku.
Bermodal sebatang korek kayu, Bik Turah kembali menyalakan damar. Kisah berlanjut.
"Tapi jangan kamu anggap, bahwa semua tuyul bisa digunakan untuk pesugihan. Dia cukup baik. Dia bisa membantu Bibik menyembuhkan luka dalam," seru Bibik.

(GIMANA SIH? JADI TUYUL PATUT DIMUSNAHKAN ATAU ENGGAK? KONTOL!!!)

Demi menghargai Bik Turah, kudengarkan dgn seksama.
Pada malam jumat kliwon, terang bulan, adalah waktu yg tepat menjempur sari pati janin atau jabang bayi dari balungan, kata Bik Turah.

"Yang harus kamu ingat, tidak ada yang menakdirkan dia hidup atau mati. Gusti hanya memberi Ruh. Tergantung bagaimana orang tuanya," katanya.
Ruhnya, mungkin telah kembali kepada Sang Pemberi. Tapi benar sari pati itu tetap ada.

Justru lebih sial lagi kalau mereka digunakan untuk hal yang tolol. Masih mending buat ngobatin orang sakit di tengah kondisi masyarakat yg minim adanya puskesmas. Kampanye Pilkades!?
"Di tengah kondisi warga yang geger karena kabar duka. Kita spatutnya bertawaqal, beriman hanya kepada Allah SWT," lamunku yg tengah menggali ingatan kepada Bik Turah dibuyarkan oleh Khotib Jumat.

Setelah beres memakamkan 2 jenazah tetangga kampung.
Sebelum kejadian di kampungku ada, perkara tuyul dan pesugihan sebetulnya telah kudapatkan dari Bik Turah. Satu tahun sebelum kejadian, tepat di mana keluargaku sedang mampir ke biliknya.
Maksud kedatangan keluarga adalah menyembuhkan luka dalam. Sebab, di Serang membangun usaha sekacil apa pun, tetap banyak orang yg gak suka. Santet misalnya.

Pasca pengobatan bapak dan ibu terlelap. Aku, mencuri kesempatan untuk ngobrol lebih jauh dgn Bik Turah.
Kembali pada khotbau Jumat. Sialnya, Khotib masih bersikukuh dengan tawaqal di meja mimbar. Atas kejadian kampung? Sama sekali tak ada peran.

Masyarakat dirundung ketakutan. Bukan main. Tapi hanya Abah Yai yg turun. Kita punya satu tugas. Telusur jejak Pe'i.
"Jika ada orang nekat menggali kuburan jabang bayi, itu pertanda buruk," kata Bik Turah sambil nyeruput teh tubruknya.

"Bisa dipake untuk pesugihan. Biasanya dilakukan 3 atau 7 hari setelah pemakaman. Darahnya masih kental," lanjut Bik Turah.
Awalnya, sama sekali tidak kupercayai apa yang dikatakan Bik Turah. Tapi, hari di mana kejadian itu berlangsung, Ibu memberi penjelasan sebelum pada akhirnya bapak ambrug di depan pitu rumah, semuanya tepat sebagaimana Bik Turah katakan.
Dan kejadian di kampungku, semakin memperkuat dugaan. Bahwa hilangnya jabang bayi adalah bukti masih adanya pesugihan.

Tapi, sekali lagi. Hendak dikata apa jika bumi yg dipijak adalah tanah jawara, tanah gudangnya santet, sekaligus tanah santri lengkap dengan politik dinasti!
"Cuma ada dua cara jika terjadi pembongkaran jenazah Jabang Bayi," kata Bik Turah.

1. Ikhlaskan, jangan buat perkara baru. Lebih baik berupaya menguatkan keamanan kampung. Rajin-rajin, musyawarah, dateng ke langgar sembahyang tepat waktu. Hindari perkara.
Jika cara pertama tetap ditentang, maka akan memakan banyak korban, kata Bik Turah.

"Kematian, salah satunya," tandanya.
2. Ambil setengah kafan jabang bayi yang tersisa. Suruh orang pinter ngegawean (ngurusin dgn ilmu kebatinannya) buat bantu menemukan sari patinya.
Dua pesan itu masih terngiang hingga Sang Ikomah Jumat, komat. Tanda, harus "ngobrol" khusuk di hadapan Gusti.

Lupakan sejanak perkara tuyul dan sari pati. Kabarnya, Abah Yai, sudah punya rencana matang pasca Jumat ini.
- Malam yang Panjang -
Kunci dari perburuan ini hanya ada pada dua hal sepertinya. Pertama, balik ke makam, cari kain kafannya. Kedua, cari Pe'i sampe ketemu!!!

Dugaku, yang sok tau itu. Hahaha meski Pe'i sering malak duit jajanku. Bagaimana pun, Pe'i tetep tetangga kampung.
Iyalah. Dulu itu yah, suka bgt dia malak aku. Pas lagi nonton layar tancap misalnya. Duit yg harusnya bisa beli es cendol, cilok, atau es krim goyang demi berduaan dengan sang mantan eh malah diambil.

Gak sekalian aja pacarku diambil a?

Kesel aku tu :(
Lupakan masa lalu, kita hidup untuk hari ini. Menjemput Pe'i pulang barangkali juga dapat menjemput hubungan yang baik.
"Mang Ujang nyaho teu di mana kafan Jabang Bayi?" kata Abah Yai, sebelum membagi regu.

"Duka euy, asa na mah dibawa ku bapak agus pas kamari teh." jelas Mang Ujang.

Hmmm
Mungkin benar bapak, adalah satu-satunya orang yang megang kafan. Saat itu, di makam bapaj mengambil kafan, dan pergi bersama regunya ke utan.

Bapak adalah saksi mata tepat di kejadian hilangnya Pe'i dan kematian dua tetangga.

Kedua matanya seolah menyimpan segudang rahasia
Tapi kondisi bapak, masih tak berdaya. Abah Yai nyari siasat. Balik ke rumah dan "izin" untuk membuka kembali mata batinnya bapak.

Katanya untuk mengambil sedikit jejak yang tersisa di utan. Warga kampung masih siaga di jam lima sore.
Usai di rumah, Abah mengambil keputusan untuk telusur setelah maghrib.

Senter, obor, bekal nasi timbul, dan sayur-mayur disiapkan. Untuk peranti di jalan.

Warga yang ikut hanya sedikit. 12 orang. Tidak lebih. Termasuk aku di dalamnya.
Senjata ampuh saat pergi ke utan bukanlah belati, senapan, atau parang. Melainkan, kentungan. Hal itu digunakan untuk memberi tanda adanya bahaya, dan kode untuk meminta pertolongan antar regu.

Ingat, yang kita hadapi bukan kota. Ini utan. Sarang dari segala demit.
Pe'i mungkin saja ditemukan. Tapi tak ada yang menjamin nyawa seseorang.

DEMI DEMIT!!

Kejadian ini bikin repot semua orang. Lupa dengan tanggung jawabnya. Bahkan aku sendiri lupa dgn PR matematika yg menjengkelkan itu.
Ba'da maghrib 12 orang dikumpulkan. Dibagi menjadi 2 regu. Alasannya, ini terlalu berisiko kata Abah Yai. Tapi bismillah, semoga ada jalan.
Utan larangan. Pada tahun 2002 masih cukup angker. Belum ada pembangunan, belum ada perumahan. Ia hanya layak dihuni untuk para demit. Tak ada seorang pun yang berani meninggalkan jejak di utan tersebut.
Langkah ketiga masuk ke utan larangan, kami disambut dengan buruh deruk. Entah teman2 menyebutnya apa.

Bunyinya, "Kuk kuo deruk. Kuk kuk deruk," sambut burung kepada kami.

Burungku ciut. Tidak berani membalas sapanya :(
Hingga tiba di persimpangan jalan setapak. Abah Yai meminta regu berpisah. Sebelum perpisahan itu, Abah nitip, jangan pernah lupa untuk sholawat.

Deg-degan.

Saat itu lah, aku dan Abah Yai berpisah. Bagaimana pun, kita gak boleh bergantung sama orang. Aku beranikan diriku.
Jarak dari "pintu" utan ke persimpangan menghabiskan waktu kurang lebih 2 jam. Bekalku masih utuh. Belum juga habis. Tapi air minum yg kubawa ludes.

Bangsat. Kalau makan gimana minumnya? Iya kalau bapak2 juga masih ada air. Kalau enggak? Terus kalau pengen berak? Selepet daun?
Tahan Tebo tahan. Gak boleh panik. Gak boleh manja. Cukup sama pacar aja. Jangan di utan begini. Tahan. baiklaaa...

Kami masih menyisir utan larangan. Modal jejaknya hanya satu, cari bau hanyir sedekat mungkin. Itu pesan Abah.
Senter kami masih awas. Layaknya perburuan di sebuah kerajaan demit. Pohon albasyiah, mahoni, tangkil sudah kita lewati. Tapi kenapa ada batang pisang? Sendiri lagi.

KONTOL BAGONG!!

Lazimnya batang pisang tumbuh bersama kawanannya. Kalau sendokir, itu yang jadi kawanan Jurig!!
"SSSTTT" desis Mad Maghrib (jangan heran dgn namanya yah emg ada nama begitu. Jangan diketawain plissssss)

HAHAHAHAHAHA
"Knaun sih mang? Sat sut sat sut" kesal Mang Ujang.

Senter Mad Maghrib sengaja dialihkan dari pusat perhatiannya. Tapi kedua matanya kriyep2. Seolah ingin memastikan sekitar batang pisang.

Dua langkah kakinya berani, menginjak dedaunan. Senternya kini tepat diarahkan.
"JURIG ANJING!!!!" sontak Mad Maghrib.

"GOBLOG. HEEH JURIG ETA BAGONG," maki Mang Ujang

"SETAN ALAS" lirih kata si bapak tua.

Bangsat. Kututup mataku. Ogah liat. Anjir. Takut. Liat!!? Gak!? Liat?!??!!! 7

Hitam. Besar. Lagi jongkok. Rambutnya gak karuan. Muka? Gak jelas.
Pingin ngibrit rasanya. Tapi gak bisa. Badan kaku. Mang Ujang udh bau pesing aja. Setan. Gak jelas banget.

Buruan lari. Buruaaaannnn. Taik!!! Kaku sekujur tubuh. Bapak tua berhasil lari. Yang lain kaku.

Ayooo buruan laaaaarrriiiii!!
Gak bisa monyet!!! Makiku dalam hati. Kontol picek. Batok kepalanya gerak perlahan. Menoleh ke sebalah kiri. Tepat kami berdiri.

BAAABBIIIKKKK
Sholawat sholawat. Inget pesen abah. Sholawat!??

"ETA JURIG MEUNI AANGKER ANJINGGGGG" malah makian yg keluar. Fak fak fak fak.
Mata yang merah. Diam masih membisu. Tak ada harap yang keluar dari tubuh saat itu.
Pak Tua kembali. Memukul kentungan sebanyak 7 kali. Tanda kondisi tak aman.
Tapi dengan kentungan itu, kami segera sadar. Kuajak tubuhku bergerak, lari dari tempat sial ini.
Sedang langit masih pekat dengan hitamnya. Tak bintang, hanya sabit di ujung malam.

Oh Tuhan, demi segala kelemahan beri hamba kekuatan.
Nafas kami tersengal. Lelah. Layaknya suami-istri capek setelah berperang di atas ranjang.

Di antara mereka, mungkin aku yang masih perjaka. Tapi, mataku telah disetubuhi Jurig Cau!?! Setan.
Di saat kami sedang rehat sejenak menyantap Onde-onde, singkong dan ubi, langit tampak bising. Suara gemuruh mulai dikumandangkan. Pertanda akan hujan.
Di regu kami, sama sekali gak ada yang bawa jas hujan kelelawar (dulu musimnya itu). Jika hujan tiba, basahlah semua.
Kulihat Pak Tua tampak tenang. Dihabiskannya bekal dalam plastik itu.

"Cik. Bentar lagi ujan," sambil mengenakan plastik bekas onde-onde. Sambil memberi komando agar lekas beranjak.

Asli, bau gorengan dah itu kepala Pak Tua :(
Selang setengah jam penelusuran benar saja. Hujan tiba tak tepat waktu. Bau hanyir akan tercampur baur dengan bau tanah.

Syukur2 kalau bau hanyir itu benar2 adalah pentanda baik. Jika darah manusia?

Draaaamaaaaa terusssss hidupnya.
Kentungan dibunyikan sebanyak tiga kali. Tujuannya, memberi pesan bahwa penelusuran terhambat. Entah karena apa pun, bahkan untuk pertanda cuaca.
Masih belum ada pertanda baik. Putus asa rasanya. Di tengah utan lebat, akan sedikit udara yang bisa dihirup. Kami seolah berebut oksigen.

Tubuh semakin menggigil kedinginan. Burumg deruk tak lagi menyapa. Burungku, mati rasa.
Tanah merah, jeblog, banyak daun kering, hujan lebat. Tak sepatah kata yanh kami ucap. Hanya berjalan menyusuri bau hanyir. Juru kunci di regu kami adalah Pak Tua. Ia diberi kelebihan sama Abah untuk menyusuri bau tersebut.
Kita akan terus berjalan menjemput harapan
Akan selalu ada harapan, juga pengorbanan yang tak dapat dilupakan. Sekali lagi, kita akan tetap berjalan.
Pukul dua pagi :(
Pikirku, baru saja melewati satu kejadian angker. Tapi waktu terus bergerak maju. Tak terasa, hanya saja setiap langkah yang pupus di tengah hujan lebat, membuat kami lupa bahwa ada ketakutan yang masih tersimpan di balik misteri ini.
Satu hal saja, "Kami hanya ingin pulang dengan selamat. Memagut rindu dengan istri dan anak. Atau hanya sekadar bertukar cerita tentang keluh kedua orang tua di saat malam tiba," hanya itu.
Tapi kami juga tak ingin pulang dgn kabar bahwa kami telah menjadi korban. Tidak. Kami sama sekali tidak menginginkan itu.
Oh ibu, jika kau masih sembahyang, munajatkanlah doa kepada tuhan agar anakmu selamat sampai tujuan. Sebab kami, terkadang terlalu sering memaki Gusti. Lupa diri.
Tiga puluh lima meter dari keberadaan kami, suara air gemericik. Tanda riak sungai. Tapi Mad Maghrib

"Hooooeeeeekkkkssss Cuhhh" ludahnya mengagetkan lamunan. "Udah jam segini masih aja blm ada pertanda," kesal Mad Maghrib.

Aku?

"Hooooeeekkk uhuk uhuk" atit :(
Badanku meriang. Panas, dingin jadi satu. Bulu kuduk merinding lagi. Kali ini bukan karena ada setan. Bukan juga karena aku pengen berak. Tapi karena aku..... Atit :(
"Setorrrrr (Setan. Pisuhnya orang Serang)," Mang Ujang.

Ada-ada saja. Udh beres jurig, sekarang dijailin sama bocah. Tingginya setengah meter. Kain putih membalut selangkangannya, kata Mang Ujang.

Cekikin. Cocok banget buat dibedil di tempat. Sayang, kami gak bawa senapan.
Mang Ujang orang pertama yg melihat bocah alas itu. Tuyul? Belum bisa dipastikan. Tapi yg jelas, sisa bekal kami dicuri saat di perjalanan. Tak ada yg sadar.

Justru, kami yakin betul. Dari tadi dia mengikuti jejak kami.
Kami sengaja gak gubris tu bocah. Tengsin amat. Orang dewasa ngelawan bocah. Beuuuhhh. Gak kelas.
Kami masih terus menyisir utan. Abaikan bocah tengil. Demit ingusan.

Tapi tubuhku sudah tak sanggup. Rasanya ingin ambrug. Berat sekali untuk melangkah. Mata mulai tak awas.
Aku tertinggal beberapa meter dari regu. Kulihat Bapak Tua sedang berbisik ke Mad Maghrib. Entah, apa yang mereka bicarakan. Tapi tatapannya tertuju padaku.

Jangan-jangan? Wah wah waaaaahhh mau dibunuh di tempat kali aku? Fak
Gak mungkin. Pasti gak mungkin mereka bakal ngebunuhku. Ini terlalu sinetron namanyaaaaaaa!!!
Kulihat, Pak Tua membuka sleting tas pingganya. Diambilnya bawang putih satu siung. Yg diganggam hanya beberapa. Dia mengunyah bawang tersebut, sambil menatap tajam padaku seperti harimau yang hendak menerkam.

Dibukanya tutup botol air. Kepedesan? Gak tau.
Air yang ia minum masih tertahan di mulutnya. Sembari kumur-kumur, Pak Tua bergegas lari ke arahku.

"Weh weh wehh pa apaaaann ini?" kataku.
"BUURRHHH" semburan Pak Tua di sebelah telinga kiriku.

"MINGGAT DIA (KAMU) GENDURUWO" Pekik Pak Tua di gendang telinga.
Anjinglah ceuli aing Pakkk....

Dari tadi, kata Pak Tua, aku ngegendong Genduruwo.

Ya Rabb, bercandanya gak lucu amat sih setan!?!
Bulu kuduk merinding lagi, kek orang dewasa lagi sangek. Nah. Nah. Apa lagi ini?
Ternyata tangan Pak Tua, membelai di pundak belakang.

Fak!!!
"Hayuk lanjut lagi," ajak Pak Tua. Sambil membawa sedikit barang bawaanku.
Kami segera bergegas. Kata Pak Tua. Bau hanyir semakin jelas. Kami berlari layaknya serdadu di hutan belantara.
Terdengar suara kentungan dari regu sebelah. Kami semakin berpacu. Kentungan pun kami bunyikan tanpa henti, sedikit jeda.
Tamat
Tamat
Tamat
Tamat

Buruan kelar ni kasus!! Babiklah.
"Bruuuggg" Pak Anton dalam regu kami jatuh tersandung akar beringin. Suara kentungan dihentikan. Hujan masih mengguyur tanpa ampun. Kami merapat memberi pertolongan. Posisi seperti membentuk lingkaran tak beraturan.
Dengkul sebelah kanannya kegeser. Menghantam akar beringin. Aduh linu rasanya. Bisa mampus ini.
Mad Maghrib, spesialis tabib kelas bawah di regu kami. Pekerjaannya sebagai kang urut. Dia menawarkan diri untuk membantu.
Dioleskannya balsem otot geliga. Di tempurung dengkul yg tergeser. Linu. Pak Anton, sudah memekik kesakitan.

Mad Maghrib merapal doa, meniupkan ke dengkulnya.

"Bismillah..." bisik Mad Magrib sambil memaksa tempurung itu kembali seperti semula.
"ARRRRRHHHHGHHHHAHAHAAHAHAHA SAKIT MADDD SAKITTT" jeritnya setengah kesakitan, setengah menertawakan keadaan.

Mad Maghrib tak menggrubis. Yang penting tempurung itu kembali sedia kala. Dengan segera Mad Maghrib membalutnya dgn kain.
Kepala Pak Anton menengadah ke langit di tengah rasa sakit. Berharap ia, dapat segera sembuh total

Sial

Jeritnya malah semakin kencang. Kepalanya masih menengadag. Jarinya menunjuk ke atas.

"TUYUUUULLLLLL MAD TUYUUUULLL," tunjuk Pak Anton.
Bener saja.

Demit tengil bergelayut di akar pohon beringin. Kukunya panjang. Tajam. Giginya bertaring.
"BOCAH TENGIL!!" pekik Pak RT sambil ngelepak (Ngegampar) kepalanya. Reflek.

Najis. Amit-amit tu bocah. Gak ada lucu2nya jadi anak :(
Bocah itu ngibrit. Entah ke mana. Tapi diujung jalan ada anak kecil lagi. Berdiri, menunggu. Jarinya sambil menunjuk arah tujuan berikutnya. Kami segera membopong Pak Anton. Kemudian Mang Ujang ditugaskan untuk membuat tandu.
Sesegera mungkin Mang Ujang mencari batang pohon, di sekitaran. Plus dgn kulit atau akar beringin atau apa pun untuk mengikat batang.
Dia izin pamit mencari batang tersebut. Tak ada syarat, yang penting kuat untuk membopong Pak Anton.
Sedang Pak Tua berjalan menengok arah tujuan. Tepat di mana sang anak tadi beridiri. Herannya, suara kentungan dari regu sebelah sudah tak terdengar.
Kami menunggu di akar beringin. Pak Tua, menghilang dari pantauan mata. Sedang 20 menit berlalu, Mang Ujang tak juga kembali.
Gak beres.
Selang sejam, terdengar langkah kaki di antara dedaunan. Siapa itu?
Mang Ujang!?!

Berjalan lunglai. Tatapannya kosong. Menghampiri kami. Tapi ia tak membawa sedikit pun batang pohoh.
Jemarinya mengepal. Langkahnya semakin dekat. Pak RT berinisiatif untuk menegurnya. Ia bangkit dari tempatnnya. Bersiap menghajar Mang Ujang.
Keduanya seolah ingin duel adu kejantanan layaknya pasangan alay merebutkan mantan.
Jaraknya di antara keduanya semakin dekat. Pak RT siap memukul tepat di mata kanannya Mang Ujang akibat kesal yang terbantahkan.
Tapi Mang Ujang tetap lunglai. Hanya jemarinya saja yang kuat mengepal. Pak RT sudah siap memberi tinju mematikan.

Sedang Mang Ujang hanya memberi kepalan yang berisi kafan.

Haaaahhh!? Kafan? Kafan apa nih?
Kafaaaan kafaaaannnn kita berjumpa lagi :)

Hehe
Bik Turah pernah berpesan, tentang kafan jabang bayi, sisa tragedi kemanusiaan: pesugihan. Apakah yang berada dalam genggaman Mang Ujang adalah kafan jabang bayi?
Bedebah. Siatusi semakin ruwet. Butuh tempat sampah, membuang sumpah serapah.
Mad Maghrib, terlelap sejak sebelum Pak RT bangkit. Pak Anton menggigil. Mukanya pucat pasi, menahan sakit yang ia alami. Yang lainnya? Tidur mendengkur diiringi deru angin malam.
Kuberanikan diri memukul kentungan perlahan, tanpa henti. Tanda isyarat khusus kepada siapa pun di sana.

Di pukulan ke 17, Mang Ujang dan Pak RT ambrug pasca transaksi satu barang, kafan. Tak ada yang dijual maupun dibeli. Mereka, seolah hanya bertukar nyawa dan pergi.
Mati? Entahlah. Biar kuperiksa nanti. Langit sudah mulai merona, merah jingga. Seperti senja, tanpa kopi. Tapi hujan sudah tak ada lagi. Subuh telah tiba.
Sambil memukul kentungan, aku bangkit berjalan. "Memburu Pe'i berarti memburu sari pati jabang bayi," nyaliku wani!!
Tapi, apakah juga dapat memburu kabar miring tentang dana kampanye? Politik dan dinasti? Tidak. Sekarang, tak perlu melihara tuyul untuk mendapat dana yang besar. Cukup kuasai kiyai, tunggangi dengan kepentingan atas nama kepercayaan.
Di luar golongan kiyai, beri kuasa jabatan pada mereka yang hendak menjadi tuyul sungguhan. Biarkan mereka bekerja sebagaimana tuyul bekerja. Perlahan tapi pasti, yang penting demi merauk keuntungan dari jerit rakyatnya sendiri.
Semoga, hal itu tak terjadi di negeri yang fana ini. Semoga, saya salah. Dan kebenaran hanya milik Pe'i yang masih menjadi misteri  Btw di mana dia? 

INI SUDAH PAGI.... !??!!
- Jejak Luka -
Pak Tua menghilang. Mang Ujang dan Pak RT, tak sadarkan diri. Mad Maghrib dan Pak Anton juga masih terlelap. Begitupun yang lainnya, seolah utan larangan telah memberi sirep pada mereka.
Mau tak mau, suka tak suka, petuah kedua dari Bik Turah adalah kunci. Tapi regu sebelah, belum juga datang memberi tanda.
Hhhh. Terkadang kita merasa sendiri. Namun, keputusan harus segera diambil. Kuberanikan diri. Merayap perlahan hingga tiba di antara Mang Ujang dan Pak RT.
Kuambil kafan itu. Pagi, masih terlihat gelap. Matahari masih bersembunyi di balik dedaunan. Desir angin, menusuk tulang. Kita harus segera pulang.
Tiba-tiba suara kentungan kembali terdengar di kejauhan. Kali ini, tampak lebih ramai. Suara kentungan itu, bukan dari regu kami, maupun regu Abah Yai. Kentungan siapa ini? Seperti demit yg terusik menandakan adanya bahaya.
Persetan!
Tubuhku kembali menggigil. Kugenggam erat kafan itu. Pesan Bik Turah adalah suruh orang pinter yang mengurus kafan jabang bayi. Di utan ini, tak ada batang hidung manusia!? Apalagi orang pinter.

Aku? Tak pernah dapat rengking di sekolah. Selalu 30 besar dari 40 siswa. Fak.
Sedang suara kentungan itu masih ramai. Diikuti dengan tawa kecil bocah tengil. Cekikikan. Suara bising merambah ke otakku. Mereka berbisik. Cukup ramai, dalam keheningan.
Bangsat. Kembalikan Pe'iku bedebah!?
Rasanya seperti disiksa beribu kali. Rusukku, seolah dikeruk secara paksa menggunakan sendok warteg. Tak ada pelakunya. Biadab! Miskin sekali caramu.
"Tak ada seorang pun yang pantas untuk dimintai pertolongan. Kau harus bangkit dari ketakutan," tegasku.
Tanpa menoleh kebelakang. Kuhentakkan langkahku maju ke depan. Berlalari. Pergi meninggalkan regu, mencari titik terang.
Sekali lagi kutegaskan, dalam kondisi terhimpit sekalipun. Kau harus mengambil keputusan.
Bayang-bayang ibu dan bapak tampak akrab di depan mata. Tiba-tiba sosok Bik Turah muncul di ujung jalan.
Apalagi ini Bik? Kafan sudah kutemukan. Tapi sari pati jabang bayi itu, entah, tak ada satu pun orang yang menemukan. Dan Pe'iku, juga belum ditemukan.
Tangan Bik Turah menunjukkan arah. Kuikuti jejak tersebut. Aku masih terus berlari bahkan melewati Bik Turah. Aku tahu, dia telah mati. Tak mungkin hidup kembali.
Baaahh.. Mayat busuk menusuk. Mayat siapa ini? Sayangnya, hanya baunya saja yang hadir. Tubuhnya? Tak ada. Mungkin ini bau kentut jurig. Fak. Jurig Cau!!
Aku terus berlari. Kali ini, tak ada petunjuk apa pun. Bau hanyir? Sudah kudapatkan, tepat berada pada genggaman kafan jabang bayi ini.  Petunjukku hanya satu. Bik Turah.
Pagi yang sunyi, utan larangan tampak lebih ngeri. Langkah kakiku, terus berpacu seperti sedang diburu: ketakutan, harapan, dan kehampaan. Aaah. Gusti.
Maafkanlah kami yang lari dari tanggung jawab. Maafkanlah kami yang selalu mengutukmu, mengatasnamakan Dirimu di atas segala kepentingan, sambil lalu memohon ampun padamu. Maafkanlah kami yang tak berdaya ini. Di mana kudapatkan pertolonganmu? Cuuuiihhhh!!
Sesak rasanya. Pupus sudah semua harapan. Demi segala demit. Bunuhlah aku di tempat terkutuk ini.
Seketika tubuhku ambrug. Tak berdaya. Tersengal. Hendak mati sepertinya. Mataku setengah terpejam. Suara ibu membisik.

"Kamu gak pernah sendiri. Kakang dan adikmu akan selalu ada. Mereka anak amba yang ditakdirkan untuk menjadi Sang Penjaga. Bangun," bisik Ibu.
Apa daya, tubuh ini sudah mati tak bertenaga. Sebelah mataku mulai menutup. Kulihat, Pe'i menjabat lenganku, memikul hingga tiba di batas rel kereta.
Suara kereta bising menusuk telinga. Pe'i? Di mana dia (kamu)? Bedebah. Kali ini aku kehilangan jejak. Tapi aku sudah tiba di sebrang kampung. Kulihat Pak Rusdi tengah menggembala kambingnya.
Sesegera mungkin dia mengikat tali kambing itu di sebuah batang pohon tangkil. Menolongku. Sambil berteriak ke warga kampung bahwa aku telah kembali.
Tatapanku kosong. Air mata tak terbendung. Menjebol dinding kejantananku. Tak diduga, aku menangis di balik derita.
Dibopongnya aku hingga tiba di rumah. Bapak dan ibu tengah cemas dengan kedatanganku. "Kemana saja kamu nak, 7 hari 7 malam tak pulang?" tangis ibu, sambil membelai rambutku yg urakan.
Bapak tampak mengiba. Dia hanya duduk termangu tanpa banyak bicara. Air matanya pun ikut menetes di sudut mata.
"Aku berhasil menemukan Pe'i Bu, aku berhasil. Tapi jejaknya tak kutemukan lagi. Pak Tua, Mang Ujang, Mad Maghrib dan Pak RT dan yang lainnya kutinggal di utan larangan. Mereka kena sirep," jelasku.
Ibu tetap menatapku. Sambil menangis terisak pilu. "Lupakan Pe'i nak. Lupakan. Biarkan yang Berwajib mengusutnya," kata Ibu.
"Sejak pasca demo buruh, Pe'i tak pulang ke rumahnya. Dia hilang. Bahkan saat sebelum kejadian. Yang bapak dan warga lihat, itu bisa jadi bukan Pe'i. Polisi masih terus mengusut jejaknya," tandas ibu.
"Bangsat. Aku gak percaya mereka bu. Mereka tak akan pernah menuntaskan tanggung jawabnya sebagai penegak hukum. Sama sekali tidak. Jelas-jalas Pe'i menolongku di utan!!" bentakku.
Kau salah sangka. Pe'i adalah otak dari demo hak-hak buruh, pelanggaran ham, kasus kejahatan lainnya. Banyak orang yang mengincar dia. Dan sampai sekarang, Pe'i masih belum ditemukan. Hilang, pungkas Ibu.
- TAMAT -
- Permohonan Maaf dari Aku - 

Sebelumnya terima kasih untuk teman-teman dari generasi 2 RT + 2 Like dan 0 komen yang setia hingga pada akhirnya utas ini hadir di kegelisahan banyak pembaca. Sama aku juga.
Saya hanya orang yang beru belajar untuk menjadi penulis. Anak baru dari generasi milenial. Tapi dengan fakta dan kondisi lingkungan yang menjadi bumbu racik utas ini, tema pesugihan dipilih.
Saya cukup senang dengan respons teman-teman, beraneka rupa ternyata, memaki, kesal, kentang, bahakan ada yang mau nungguin saya berak, dan maraaaah semua campur aduk. Saya terima. Setidaknya, saya masih punya keyakinan bahwa dunia sastra masih bisa hidup di antara kita.
Harapan saya, teman-teman juga bisa menuliskan kondisi sosial-kultur di lingkungan kalian. Meramu kata, belajar menjadi penelusur sejati, bahkan untuk diri kita sendiri di tengah rezim hoaks dan politik yang menjemukan ini.
Jangan khawatir dengan mereka yang kukisahkan. Pesugihan kini telah berganti rupa menjadi kekuasaan. Utas ini, baru sedikitnya bagian dari novelet yang ingin saya terbitkan. Tentu dengan gaya penulisan yang berbeda. Tapi apa dikata masih belum jua diterima di meja redaksi. Hehe
Tak apa. Tapi, ada satu hal yang ingin kushare ke warga twitter. Teruslah hidup dan lahir dalam rahim literasi. Ada banyak hal yang bisa kita kulik di dalamnya.
Jika haus membaca serpihan sejarah sila mampir ke lapak kawan-kawan @KomunitasBambu atau jika ingin melihat problem kelas dan sosial- politik teman-teman bisa tengok @marjinkiri cek katalog mereka. Segera diburu untuk berguru pada buku.
Dan bilamana ingin berburu karya sastra mulai dari karya2 Pram, Ahmad Tohari, @ekakurniawan__ dan penulis-penulis Indonesia lainnya, bisa mampir ke lapak @mojokstore @BerdikariBook @bukuakik atau bisa cek store warung sastra di Instagaram dan lapak buku kesayangan anda.
Saya yakin, generasi kita, bisa hidup tanpa hujan dan kopi. Tanpa cinta yang tiada mati seperti aku dan Pe'i juga jabang bayi yang masih menjadi misteri.

Salam Literasi,

Tebo

UTAS INI, TAK LAYAK UNTUK KAMU YANG SOMBONG. RT UTAS INI JIKA KAMU KESAL DAN SAYANG DENGANKU. LUV
Dan sebarkan. Nanti kita maen gantung2an lagi hehehe
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with T E B O

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!