Tentang janin umur 3 bulan dan jabang bayi yang mati (keguguran), sari patinya dimanfaatkan untuk pesugihan......
SEBUAH UTAS!!!
"Ada apa pak?" tanyaku
Penasaran. Aku nyusul bapak. Sedang ibuku tetap di rumah. Tak aman buat org hamil
"Astaghfirullah" ucap bapak di tengah galian kubur, dikeruk paksa oleh seseorang. Galian ini, jelas bukan dgn pacul. Tapi tangan biadab, tegas bapak
Tapi....
Semua orang pada nyebut, puja puji. Ada juga yg ketakutan, kesal, marah gak ketulungan. Apalagi bapak dari jabang bayi itu, sedih ngeliatnya.
"TUYUL!!!"
lahwlawalakuataillabillah. Cuma itu yg aku inget.
"ada yg jail sama bapak" katanya.
"Jurig utan alas nu ngagawean" (setan hutan alas yang ngikut ke bapak).
Aku liat jam udh pukul 04.00 subuh. Dibarengin dgn pengumuman di toak mushola. Dua tetangga meninggal dunia.
Sebelumnya terima kasih bgt sudah mau kesal dgn secarik utasku. Terima kasih juga sudah meninggalkan jejak, kenangan, makian, sandal dan sempak.
Sedang Abah Yai masih merapal. Dan, Ibu perlahan menggenggam jemari bapak. Tangisnya tak terbendung, "Pak.."
Siapa yang harus bertanggung jawab?!
Saat itu juga aku turuti saran abah.
"Bu..." gumam bapak.
Perlahan jemari kanannya mencari jabang bayi yg masih setia bersama kasih sayang ibu. Dielusnya perut ibu, penuh kerinduan.
Bangsat. Dalam kondisi ngeri masih aja ada orang tolol ngegedor pintu sembarangan.
"Abah Yai. Abah Yai.... Abah...!??" seru mang ujang (penjaga kuburan) dibanjiri keringat sekujur tubuh.
"Mana abah a. Penting iyeu teh. Mana?" tagih Mang Ujang.
"Eta di jero. Keur ngeubaran bapak. Naon?" pungkasku.
"Cik sakedap nyak" pesan Abah Yai, seolah tahu betul maksud kedatangan Mang Ujang.
Sedang ibu, tengah mengelus rambut bapak dgn lembut.
Abah masih heran. "Pei anu gawe di pabrik sepatu tea?" tanya abah.
"Samuhun bah. Asa na teh tadi bareng jeung Bapak Agus (bapakku), naha jalma ngilang," kata Mamang.
"Kumpulkeun jalma di mesjid. Beres subuhan urang sadayana musyawarah," tukas Abah Yai.
Mang ujang segera balik ke mesjid.
Ibu pun, kusuruh untuk rehat sejenak. Tak lama, ibu terlelap dalam satu risbang dengan kelambu yg manahan nyamuk tolol menghisap darah mereka.
dan @gojekindonesia. Bahkan sampai saat ini pun kabarnya di kabupaten kami belum banyak ojol yang beroperasi di tengah kebutuhan masyarakat sekarang.
Tiba di sana. Pasca subuh, abah memberi arahan untuk memandikan terlebih dahulu jenazah Pak Bewok dan Pak Ado (bukan nama sebenarnya).
Baru kemudian telusur jejak Pe'i. Abah membagi regu.
Dalam hati, rasanya ingin sekali memaki. Andai saja aku tahu bahwa JEMBOT bisa akrab dalam makian kultur masyarakat jawa ingin rasanya, ingin kutambahkan kata tersebut dalam vocab makianku.
"JEMBOT BAGONG! SAPA YG BIKIN ONAR KAMPUNG, KU SANTET KAU BEDEBAH!?" makiku.
Bagi keluarga korban, mereka menuntut balik atas kematian suaminya kepada Bapak dari jabang bayi itu. Sebagian lagi, memilih pindah kampung.
Saat itu juga aku marah ke Mang Ujang. Anjing.
...
"Di mana abah a. Penting ini. Di mana abah?" tagih Mang Ujang.
"Itu di dalem, lagi ngobatin bapak. Kenapa?" pungkasku.
"Abah... Itu si Pe'i hilang di hutan?!" ujar Mang Ujang sambil mengajak tubuhnya bangkit dari ketakutan.
Abah masih heran. "Pe'i yg kerja di pabrik sepatu itu?"
"Betul bgt bah. Rasanya tadi bareng dgn bapak agus (bapakku), kenapa orgnya malah jadi ilang," kata
"Ajak masyarakat kumpul di mesjid. Setelah subuh, kita musyawarah bersama," tukas Abah Yai.
"Jembut Babik.... "
:(
1. Klik utas berbasa sunda
2. Lihat bagian bawah utas, di situ ada alih bahasa
3. Tanya teman
4. Tanya ke aku lagi boleh, asal jgn tanya jodoh dan nikah kapan?
Tuyul, harus diperlakukan sama seperti manusia. Jika ada orang melihara tuyul, dia harus mampu merawat seperti anaknya sendiri.
Ia tercipta dari sari pati janin dan jabang bayi yang gagal terlahir di dunia. Dagingnya mati, tapi tidak untuk sari patinya.
Kami tampak khidmat di dalam bilik Bik Turah di temani secangkir teh. Lampu damar, kuning temaram berhasil menyulap malam semakin mencekam.
Tak ada angin segar. Udara seolah habis diserap pepohonan di sekitar kebun Bik Turah.
Tak jarang, katanya, jika ada salah satu calon pilkades datang untuk mengadopsi tuyul. Mereka siap merawatnya demi, mendapat modal lebih besar. Kampanye
"Gak cuma itu, jika musim pilkades tiba. Perang santet pun akan digencarkan," kata Bik Turah (dalam bahasa sunda yg sudah dialihbahsakan).
Rasa penasaranku semakin memuncak. Daripada Bik Turah bisa memiliki itu? Kecil ukurannya, Janin 3 bulan? Dari mana?
"Terus? Kok Bibik.....?" heranku segera dilibas dgn pernyataan menohok.
"Bibik menawarkan diri untuk merawatnya. Memang semua yang hidup dan mati, balik ka Gusti," jelas Bik Turah.
Bangsat. Bulu kudukku merinding. Setengah takut. Setengah pengen berak. Tapi Bik Turah gak punya toilet. Adanya kebon. Taeklah. Terpaksa harus duduk dengan seksama.
Tapi yg harus kamu tahu, jika ia berhasil hidup di antara kita, dan ia meminta asi, maka harus diberi. Jika tak ada. Sembelih ayam jago kampung, warna hitam. Tadahkan daranya.
Api damar tiba-tiba mati. Mengisap seluruh dahaga di bilik Bik Turah. Hening.
Mbooot jembot apa lagi ini Gusti. "Nah kan, ini bocahnya suka sama kamu. Emang kek anal kecil. Suka jail," kata Bik Turah.
"Setan alas" makiku cukup lugu dalam hati kecilku.
(GIMANA SIH? JADI TUYUL PATUT DIMUSNAHKAN ATAU ENGGAK? KONTOL!!!)
Demi menghargai Bik Turah, kudengarkan dgn seksama.
"Yang harus kamu ingat, tidak ada yang menakdirkan dia hidup atau mati. Gusti hanya memberi Ruh. Tergantung bagaimana orang tuanya," katanya.
Justru lebih sial lagi kalau mereka digunakan untuk hal yang tolol. Masih mending buat ngobatin orang sakit di tengah kondisi masyarakat yg minim adanya puskesmas. Kampanye Pilkades!?
Setelah beres memakamkan 2 jenazah tetangga kampung.
Pasca pengobatan bapak dan ibu terlelap. Aku, mencuri kesempatan untuk ngobrol lebih jauh dgn Bik Turah.
Masyarakat dirundung ketakutan. Bukan main. Tapi hanya Abah Yai yg turun. Kita punya satu tugas. Telusur jejak Pe'i.
"Bisa dipake untuk pesugihan. Biasanya dilakukan 3 atau 7 hari setelah pemakaman. Darahnya masih kental," lanjut Bik Turah.
Tapi, sekali lagi. Hendak dikata apa jika bumi yg dipijak adalah tanah jawara, tanah gudangnya santet, sekaligus tanah santri lengkap dengan politik dinasti!
1. Ikhlaskan, jangan buat perkara baru. Lebih baik berupaya menguatkan keamanan kampung. Rajin-rajin, musyawarah, dateng ke langgar sembahyang tepat waktu. Hindari perkara.
"Kematian, salah satunya," tandanya.
Lupakan sejanak perkara tuyul dan sari pati. Kabarnya, Abah Yai, sudah punya rencana matang pasca Jumat ini.
Dugaku, yang sok tau itu. Hahaha meski Pe'i sering malak duit jajanku. Bagaimana pun, Pe'i tetep tetangga kampung.
Gak sekalian aja pacarku diambil a?
Kesel aku tu :(
"Duka euy, asa na mah dibawa ku bapak agus pas kamari teh." jelas Mang Ujang.
Hmmm
Bapak adalah saksi mata tepat di kejadian hilangnya Pe'i dan kematian dua tetangga.
Kedua matanya seolah menyimpan segudang rahasia
Katanya untuk mengambil sedikit jejak yang tersisa di utan. Warga kampung masih siaga di jam lima sore.
Senter, obor, bekal nasi timbul, dan sayur-mayur disiapkan. Untuk peranti di jalan.
Warga yang ikut hanya sedikit. 12 orang. Tidak lebih. Termasuk aku di dalamnya.
Ingat, yang kita hadapi bukan kota. Ini utan. Sarang dari segala demit.
DEMI DEMIT!!
Kejadian ini bikin repot semua orang. Lupa dengan tanggung jawabnya. Bahkan aku sendiri lupa dgn PR matematika yg menjengkelkan itu.
Bunyinya, "Kuk kuo deruk. Kuk kuk deruk," sambut burung kepada kami.
Burungku ciut. Tidak berani membalas sapanya :(
Deg-degan.
Saat itu lah, aku dan Abah Yai berpisah. Bagaimana pun, kita gak boleh bergantung sama orang. Aku beranikan diriku.
Bangsat. Kalau makan gimana minumnya? Iya kalau bapak2 juga masih ada air. Kalau enggak? Terus kalau pengen berak? Selepet daun?
Kami masih menyisir utan larangan. Modal jejaknya hanya satu, cari bau hanyir sedekat mungkin. Itu pesan Abah.
KONTOL BAGONG!!
Lazimnya batang pisang tumbuh bersama kawanannya. Kalau sendokir, itu yang jadi kawanan Jurig!!
HAHAHAHAHAHA
Senter Mad Maghrib sengaja dialihkan dari pusat perhatiannya. Tapi kedua matanya kriyep2. Seolah ingin memastikan sekitar batang pisang.
Dua langkah kakinya berani, menginjak dedaunan. Senternya kini tepat diarahkan.
"GOBLOG. HEEH JURIG ETA BAGONG," maki Mang Ujang
"SETAN ALAS" lirih kata si bapak tua.
Bangsat. Kututup mataku. Ogah liat. Anjir. Takut. Liat!!? Gak!? Liat?!??!!! 7
Hitam. Besar. Lagi jongkok. Rambutnya gak karuan. Muka? Gak jelas.
Buruan lari. Buruaaaannnn. Taik!!! Kaku sekujur tubuh. Bapak tua berhasil lari. Yang lain kaku.
Ayooo buruan laaaaarrriiiii!!
BAAABBIIIKKKK
"ETA JURIG MEUNI AANGKER ANJINGGGGG" malah makian yg keluar. Fak fak fak fak.
Oh Tuhan, demi segala kelemahan beri hamba kekuatan.
Di antara mereka, mungkin aku yang masih perjaka. Tapi, mataku telah disetubuhi Jurig Cau!?! Setan.
"Cik. Bentar lagi ujan," sambil mengenakan plastik bekas onde-onde. Sambil memberi komando agar lekas beranjak.
Asli, bau gorengan dah itu kepala Pak Tua :(
Syukur2 kalau bau hanyir itu benar2 adalah pentanda baik. Jika darah manusia?
Draaaamaaaaa terusssss hidupnya.
Tubuh semakin menggigil kedinginan. Burumg deruk tak lagi menyapa. Burungku, mati rasa.
"Hooooeeeeekkkkssss Cuhhh" ludahnya mengagetkan lamunan. "Udah jam segini masih aja blm ada pertanda," kesal Mad Maghrib.
Aku?
"Hooooeeekkk uhuk uhuk" atit :(
Ada-ada saja. Udh beres jurig, sekarang dijailin sama bocah. Tingginya setengah meter. Kain putih membalut selangkangannya, kata Mang Ujang.
Cekikin. Cocok banget buat dibedil di tempat. Sayang, kami gak bawa senapan.
Justru, kami yakin betul. Dari tadi dia mengikuti jejak kami.
Tapi tubuhku sudah tak sanggup. Rasanya ingin ambrug. Berat sekali untuk melangkah. Mata mulai tak awas.
Jangan-jangan? Wah wah waaaaahhh mau dibunuh di tempat kali aku? Fak
Dibukanya tutup botol air. Kepedesan? Gak tau.
"Weh weh wehh pa apaaaann ini?" kataku.
"MINGGAT DIA (KAMU) GENDURUWO" Pekik Pak Tua di gendang telinga.
Dari tadi, kata Pak Tua, aku ngegendong Genduruwo.
Ya Rabb, bercandanya gak lucu amat sih setan!?!
Fak!!!
Tamat
Tamat
Tamat
Buruan kelar ni kasus!! Babiklah.
Mad Maghrib merapal doa, meniupkan ke dengkulnya.
"Bismillah..." bisik Mad Magrib sambil memaksa tempurung itu kembali seperti semula.
Mad Maghrib tak menggrubis. Yang penting tempurung itu kembali sedia kala. Dengan segera Mad Maghrib membalutnya dgn kain.
Sial
Jeritnya malah semakin kencang. Kepalanya masih menengadag. Jarinya menunjuk ke atas.
"TUYUUUULLLLLL MAD TUYUUUULLL," tunjuk Pak Anton.
Demit tengil bergelayut di akar pohon beringin. Kukunya panjang. Tajam. Giginya bertaring.
Najis. Amit-amit tu bocah. Gak ada lucu2nya jadi anak :(
Berjalan lunglai. Tatapannya kosong. Menghampiri kami. Tapi ia tak membawa sedikit pun batang pohoh.
Sedang Mang Ujang hanya memberi kepalan yang berisi kafan.
Haaaahhh!? Kafan? Kafan apa nih?
Hehe
Di pukulan ke 17, Mang Ujang dan Pak RT ambrug pasca transaksi satu barang, kafan. Tak ada yang dijual maupun dibeli. Mereka, seolah hanya bertukar nyawa dan pergi.
INI SUDAH PAGI.... !??!!
Aku? Tak pernah dapat rengking di sekolah. Selalu 30 besar dari 40 siswa. Fak.
"Kamu gak pernah sendiri. Kakang dan adikmu akan selalu ada. Mereka anak amba yang ditakdirkan untuk menjadi Sang Penjaga. Bangun," bisik Ibu.
Sebelumnya terima kasih untuk teman-teman dari generasi 2 RT + 2 Like dan 0 komen yang setia hingga pada akhirnya utas ini hadir di kegelisahan banyak pembaca. Sama aku juga.
Salam Literasi,
Tebo
UTAS INI, TAK LAYAK UNTUK KAMU YANG SOMBONG. RT UTAS INI JIKA KAMU KESAL DAN SAYANG DENGANKU. LUV