,
8 tweets,
2 min read
Read on Twitter
Sy sdg mmbaca soal konsepsi 'keadilan' dlm tradisi Mu'tazilah & Asy'ariyah. Otak diperas habis-habisan rasanya. Filosofi & teologinya begitu kompleks nan elegan. Hal itu mmbuat sy brpikir tntang betapa miskinnya kajian2 Islam populer yg kita dengar dari TV & internet saat ini.
Tak ada rasa keingintahuan soal konsepsi 'kebenaran', 'keadilan', 'pengetahuan', dll. Yang ada hanya aturan2 legalistik tentang mana yg halal & haram. Sungguh miskin, kering, & mengandung substansi kekerasan terutama bagi mereka yg sudah termarjinalkan dalam masyarakat.
Sy pikir, argumentasi bahwa kajian2 Islam populer itu hanya u/ orang awam, sementara kajian2 yg lebih kompleks tidak akan mampu dikaji oleh mereka adl pandangan yg tidak benar dlm hal ini.
Cara berIslam yg instant a la ustadz/ustadzah TV karbitan tidak muncul u/ menjawab tuntutan masy. awam (i.e., mereka yg tidak berpendidikan), melainkan muncul sebagai bagian dari paket komodifikasi Islam dimana ajaran2 Islam harus dibentuk berdasarkan logika konsumsi.
Banyak masy. awam di desa2 yg berIslam secara lebih khusyu' & jernih daripada mereka yg di kota2. Walaupun tak mengenal perbedaan antara Asy'ari, Mu'tazili, dll, penduduk desa berIslam dg menerapkan keterbukaan pemikiran & nurani.
Jadi, ini bukan soal pendidikan (awam/tidak awam), melainkan soal logika kapitalisme yg membelenggu etika Islam & menghisap habis kebijaksanaannya. Para da'i/da'iyah karbitan & konsumennya sama2 bertanggung jawab atas keringnya kehidupan berIslam di Indonesia saat ini.
U/ yg bertanya2 soal literatur, dlm bhs Indonesia sy tdk bisa menemukan literatur yg khusus mengkaji soal 'keadilan'. Namun u/ kalam scr umum bisa dilihat buku2 dari: Harun Nasution, Hamzah Harun, C.A. Qadir, Rosihan Anwar, Terj Nasr Hamid Abu Zayd, Sahilun Nasir, Cak Nur, dll.
U/ literatur dlm bhs Inggris, khusus u/ topik 'keadilan' dlm kalam, bisa dibaca buku2: Majid Khadduri, Lawrence Rosen, Margaretha Heemskerk, dll.
