Hallo, kali ini gw ingin berbagi mengenai pengalaman seseorang yg bisa dibilang "sensitif" terhadap hal-hal ghoib.
Cerita ini gw dapatkan langsung dari narasumbernya yg tidak ingin disebutkan nama aslinya.
Oh iya, sebelumnya gw mau minta maaf buat teman-teman kalo sudut pandang penulisan cerita gw agak sedikit membingungkan.
Supaya gak terlalu lama, kita mulai aja ceritanya.
***
Suara seruan tukang parkir itu tiba-tiba memecah fokus ku.
"Jangan bengong mas... Nanti kesambet!"
Seru si tukang parkir
"Lagian ngeliatin apa sih, serius amat??"
"Hahaha... Gak mas, gak liat apa-apa... Lg bengong aja."
Sahut ku sembari pergi.
Aneh... Pikirku dalam hati. Aku seperti merasa ada yg memperhatikan, namun seketika aku sadar dan menoleh tidak ada apa-apa di sana.
Sayangnya, ini bukan pertama kalinya.
Dari mulai merasa ada yg memperhatikan, sampai terkadang aku suka mendengar suara-suara lirih seakan memanggil ku.
Untungnya, aku blm pernah sekali pun...
Yaah... Selain di dalam film tentunya.
Lucunya, pacarku justru menganggap itu adalah sesuatu yg "keren" di matanya.
"Tunggu saja sampai mereka menampakan diri di depan mu!",
Jawab ku setiap kali matanya berbinar-binar mendengar cerita ku.
Karena sejujurnya, tidak seseru itu.
Apa yg terjadi di dunia nyata tidak se-dramatis adegan film horror.
"Nanti kalo lo udah kebuka mata batinnya Bray, lo liat daah..!"
Well, duuh... Sepertinya bukan menjadi tujuan...
***
Aku merogoh saku kanan celana ku, mengambil kunci kamar kostan, membuka pintu kamar dan meletakan barang-barang belanjaan di atas kasur kemudian kembali ke luar untuk menghisap rokok.
"Lhoo... Udah balik Bray?!"
Terdengar suara...
"Iya Bray, baru bangun lau?"
Sahut ku pada Ferdi, teman satu kostan ku.
"Iyee... Ketiduran gw tadi, jadi gak masuk kelas Jiwa..."
Kebetulan kami jg teman satu kampus di Fakultas Kedokteran Gigi Univ. Sulaiman.
Tak berselang lama, terlihat Risa, pacarnya menaiki tangga kostan.
"Bang...!"
Sapanya begitu melihat ku yg duduk telat di samping Ferdi.
Sapa ku kembali pada nya
"Udah bang... Dokternya mau rapat, jadi balik lebih cepet."
"Oalah..."
"Trus lo ke sini bawain titipan gw gak?"
Selak Ferdi
"Iyaa bawain... Nih!"
Risa menyodorkan kantong plastik bening dari tangannya, di dalamnya...
"Bray, makan Bray..."
Ajak Ferdi padaku
"Sikat Bray, gw udah beli tadi... Gw masuk kamar dulu deh, ngantuk banget mata..."
Sambungku sembari bangkit dari tempat duduk
"Siap Bray... Tar gw bangunin ya sore"
***
Dengan perlahan aku meraih hp ku di sudut kasur untuk melihat jam.
"Anjiir... Setengah tujuh!!!"
Aku bergegas bangkit beranjak ke kamar mandi untuk mengambil wudhu.
Waktu sudah menunjukan pukul 18:37 WIB,
Tanpa membuang-buang waktu aku langsung memakai sarung dan membentangkan sajadah ke arah kiblat, setelah tentunya aku kembali melihat jam, memastikan waktu Maghrib belum lewat.
"Masih 18:44, aman..."
Ucapku
***
Aku merasa bisa lebih khusyuk ketika menutup kedua mataku, dan baru membukanya saat duduk akhir.
Kali itu pun sama. Hanya saja yg berbeda adalah pemandangan yg ku lihat ketika...
Aku sadar satu hal.
Pemandangan ini bukanlah kamar kostan ku.
Aku coba mengedipkan mata ku, sekali, dua kali, sampai ketiga kali, masih tidak berubah.
Aku mulai panik.
Tapi anehnya, aku tidak merasa takut saat itu... Justru, ada perasaan haru yg muncul.
Wajah-wajah yg sama sekali tidak ku kenal. Sampai akhirnya tatapan ku tertuju pada...
Seketika, sosok itu membentangkan kedua tangannya seakan menyambut ku, meminta ku bangkit dari posisi ku.
"Tok... Took...!!"
"Braay... Braay... Warkop gak? Hayook!!!"
Suara ketukan pintu kamar dan suara menggelegar Ferdi seketika memecah semua pemandangan yg kusaksikan.
Mungkin dia khawatir terjadi sesuatu dengan ku.
Sahutku pada Ferdi yg masih saja mengetuk di depan pintu kamar ku.
"Buseet... Tumben rajin jam 8 udah Isya lo Bray! Biasanya sekalian Tahajjud..."
Betapa terkejutnya aku mendengar respon Ferdi.
Jam 8??!!
Tapi masih hangat dipikiranku, terakhir aku melihat jam sebelum takbir adalah pukul 18:47.
Bagaimana mungkin aku menghabiskan waktu 1 jam lebih untuk 3 rakaat sholat Maghrib?!
Namun anehnya, di hp ku pun menunjukan pukul 20:14...
1 jam lebih aku sholat Maghrib?!
***
Tak jauh dari sana, ada sebuah warkop kecil tempat langganan kami biasa berkumpul.
Malam itu, pasukan kami lengkap. Aku, Ferdi dan Kevin, salah seorang anak kostan kami yg tidak satu kampus dgn...
Di warkop sudah menunggu Akbar dan bang Iyus, salah satu senior kami di kampus. Kalo Akbar, sama seperti Kevin, berbeda kampus dgn kami bertiga.
Dipenghujung gang, kami berjalan ke arah kanan menuju warkop yg berjarak 1 rumah dari gang kostan kami.
Tubuhku secara spontan berputar, dan mataku tanpa disengaja terpaku pada sesuatu yg ada di dalam sebuah mobil yg sedang parkir di depan rumah, tepat di sisi kiri gang kostan kami.
Iya, aku tau aku tak bisa melihat. Itu hanya imajinasi ku saja tentunya.
Suara Ferdi kembali memecah fokus ku pada mobil tersebut.
Aku pun kembali melangkahkan kakik ku menuju warkop Babeh langganan kami.
"Assalamu 'alaikum...",
Sapa ku saat masuk ke dalam warkop.
"Wa 'alaikum salam...",
Sahut beberapa orang di sana.
Aku berjalan ke depan Babeh, si pemilik warkop yg duduk di sisi dalam meja sambil asyik membaca koran.
Babeh menurunkan lembaran koran dari tangannya, melipat kedua tangannya di atas meja, kemudian mengajukan sebuah pertanyaan yg membuat ku terdiam tak bisa berkata apa-apa.
"Habis liat apa bang?",
Tanya Babeh sambil tersenyum menatap ku.
Tanyaku tergagap
"Gak tau... Kan abang yg liat hahaha..."
Jawab Babeh santai sambil tertawa.
Mungkin ekspresi wajah ku yg kebingungan membuat geli Babeh, dia pun melanjutkan mengangkat lembaran koran yg sebelumnya diletakan dihadapannya.
Ucap Babeh sambil tertawa kecil
Aku semakin bingung dengan sikap Babeh.
Dari mana Babeh tau saya baru saja melihat sesuatu? Dari mana beliau tau yg saya lihat membutuhkan penjelasan?
"Beh..."
Aku mencoba membuka pembicaraan.
Sahut Babeh sembari meletakan kembali lembaran koran yg dia baca, sambil sekali lg tertawa kecil seolah memahami situasi "awkward" yg sedang ku hadapi.
Aku mulai menceritakan semua apa yg ku alami belakangan ini, semuanya.
***
Spontan, ku tarik tangan kanan ku.
"Apaan sih Beh...?!"
Seru ku dengan nada sedikit tinggi karena terkejut dgn sikap Babeh.
"Ngapa lu?!"
Tanya bang Iyus
"Ngagetin aja lo Bray..."
Ferdi pun menyahut
Tak lama, mereka pun kembali ke kesibukannya masing-masing.
"Jangan gitu apa Beh..."
Bisik ku melanjutkan.
Jawaban Babeh pun jelas membuat ku semakin bingung.
"Itu tandanya bang Ifan udah waktunya balik..."
Jelas Babeh
"Balik kemana Beh?"
Tanya ku
"Balik ke jalur yg seharusnya..."
"Maksudnya gmn Beh?"
"Itu tanda bang... Tanda buat bang Ifan"
"Gini bang, ada orang-orang yg emang punya sesuatu yg orang lain gak punya... Nah kalo pribadi, dari pertama dulu ngeliat bang Ifan, itu kayak ada Nur nya bang. Tapi waktu itu redup."
"Hah? Nur apaan Beh?"
"Nur... Cahaya... Gak semua orang punya Nur."
"Terus untungnya buat saya apa Beh?"
"Tergantung..."
"Tergantung gmn Beh?"
"Tergantung kebaikannya mau dipake buat abang sendiri atau buat orang banyak."
Jawaban ku sepertinya membuat Babeh tersadar bahwa aku belum cukup matang menyambut "waktu" yg sudah ditetapkan untuk menurut Babeh tadi.
"Mas permisi..."
Tiba-tiba seseorang yg tidak kami kenal muncul...
"Boleh minta bantuannya gak mas? Mobil temen saya ngejeblos sebagian di selokan..."
Ucap sosok anak muda dengan beberapa tindikan di telinga dan bibirnya dan sebuah tatto yg terukir rapih di lengan kanannya.
Seru Ferdi pada org itu sembari bangkit dari duduknya dan beranjak keluar dari warkop.
Kami semua pun beranjak dari duduk kami, dan bergegas menuju ke tempat yg dibicarakan.
Namun tiba-tiba Babeh meraih tangan ku sambil berkata,
"Baca Basmallah..."
Babeh hanya tersenyum dan melepaskan genggamannya dari tangan ku. Aku pun bergegas menyusul teman-teman ku.
Ada sekitar 11 orang berkumpul di sana mencoba mengangkat mobil sedan tua yg dimodifikasi dengan nuansa jaman sekarang.
Ban sebelah kiri depannya terjerembab masuk ke selokan, dan ada sekitar 7 orang laki-laki berbadan besar yg berusaha mengangkat mobil tersebut.
Anehnya, mobil itu tidak bergeming sedikit pun.
Dan, yah... Betul. Itu adalah mobil yg ku lihat di depan gang tepat sebelum aku menuju warkop.
Mobil yg di dalamnya berisi kan 3 sosok aneh dan 2 sosok...
Lucunya, anjing si pemilik rumah yg kebetulan sedang berada di rangkulan si pemilik, menggonggong tiada henti ke arahkaca belakang mobil. Bahkan kadamg sesekali dia melompat dari pelukam si majikan, dan mencakar-cakar pintu belakang mobil.
Namun bagi ku, adalah yg terasa amat janggal. Sekelibatan bayangan beberapa sosok di dalam dan di atas mobil, gonggongan anjing si pemilik rumah, sampai setelah mobil itu berhasil...
Cukup jauh jaraknya dari tempat aku berdiri. Mungkin sekitar 300 meter.
Sosok itu melintas dari sisi kiri jalan, menyebrang...
Jelas diimajinasi ku bagaimana caranya memandang ku. Seolah tak suka dan tak ingin manusia menyadari keberadaannya. Tatapannya penuh emosi.
Baru kali itu aku merasakan keberadaan makhluk ghoib yg membuatku merasa tidak nyaman.
Aku segera berpaling membalikan badan ku dan bergegas kembali ke warkop.
***
Bahkan hubungan ku asmara ku pun menjadi renggang. Tidak ada hubungannya memang, hanya saja aku yg menjadi kurang fokus menjalani hari-hari.
Reyhan tiba-tiba mengacungkan telunjuknya ke arah langit-langit sudut di teras kostan sambil sesekali tertawa.
Sempat juga ketika pacarku berteriak dari arah...
"Yaang... Ada darah sama rambut panjaaaang banget di salurang buangan di kamar mandi kamu!"
Aku dan Ferdi yg mendengar itu saling melihat dan kemudian kami bertiga pun...
Bahkan Ferdi pun sempat bercerita tentang Risa yg sedang bercermin di kamar kost Ferdi, dan tiba-tiba ada anak kecil melintas berlari dari arah kamar mandi Ferdi menuju keluar kamar. Dan itu tampak...
Sampai akhirnya aku memutuskan untuk pindah kostan.
Tidak terlalu jauh dari kostan ku sebelumnya, namun kostan ku yg baru terbilang cukup nyaman dan layak untuk ditempati.
***
Saat ini aku menjalin hubungan dgn seorang adik tingkat ku. Namanya Inay.
Dia banyak membantu ku dalam urusan akademik. Aku akhirnya bisa mengambil skripsi yg tertunda beberapa lama.
Malam itu Papa kandung ku menelpon. Beliau meminta ku untuk datang besok, hari Kamis ke rumah Papa. Ada yg ingin dibicarakan katanya.
Tapi sayangnya, aku sudah terlanjur janji dgn Bunda untuk pulang ke Sentul hari Jumat.
Kebetulan, Bunda adalah kakak sepupu Mama ku. Dan aku bersyukur, karena sejak kecil Bunda sudah menanamkan kepadaku...
Untungnya, ketika ku jelaskan kepada Papa bahwa aku telah memiliki janji lebih dulu untuk pulang ke Sentul, beliau memahaminya.
"Tumben...", pikir ku saat itu.
Memang Mama dan Papa cukup sering meminta ku berkunjung ke rumah.
***
Satu setengah tahun berselang, kehidupan ku mengalami banyak perubahan. Inay sudah menjalin hubungan dengan pria lain, aku masih menikmati kesendirian ku menghabiskan waktu bersama dgn teman-teman baru yg kutemui di media sosial.
Lucunya, kini aku tergabung...
Sesuai dgn nama groupnya, percakapan kami tidak jauh dari hal-hal berbau supranatural.
Pembahasan mengenai benda-benda pusaka dan khodam seakan menjadi makan sehari-hari ku kini.
"Gokil Bray... Lo tau?! Udah gw duga lo beda..."
Entah, aku pun merasa blm pernah ada yg menduga sama seperti ku, dan aku pun memang blm pernah mengutarakan apa yg ku lihat.
Perbincangan yg unik pun berlanjut antara aku dan Rio. Perbincangan yg perlahan membuka pintu tanda tanya besar ku.
Ucap Rio pada ku
"Lo kan cuma senyum-senyum sama nyimak doang tuh tiap orang-orang ngebaca lo...",
lanjutnya lg
Aku hanya tertawa kecil sambil berbisik kepadanya, mencoba menghindari...
"Sejujurnya Yo... Gw sendiri gak tau apa yg di samping gw..."
"Laah... Serius lo?! Belom pernah sekali pun lo cari tau??",
"Blom... Dan emang belom niat..."
"Gak bisa... Yaa, bisa sih... Cuma kayak bukan asli aja yg bakal gw liat."
"Maksudnya gmn?"
"Yaa... Bisa liat. Tapi kayaknya apa yg ada di samping lo itu gak mau orang lain bisa liat apa dan siapa lo sebenernya...
"Serius lo?"
"Ya itu sih yg gw liat yaa... Emang nih, lo tuh lahir tanggal berapa dah?"
"29"
"Yee... Yg lengkap ngapa! Tanggal, bulan, tahun...!"
"Oooh... Bilang doong! 29 Juli 1987"
Rio seakan mulai menghitung dgn jarinya.
"Serius lo...??!", dgn nada seperti terkejut.
"Iya. Emang kenapa Yo?"
"Hmmm... Gini Bray... Lo pernah dgr istilah Pinuju gak? Atau Pitu?"
"Gak... Emang kenapa?"
"Pitu itu kependekan dari Pitulungan atau pertolongan... Nah, Pitu diambil dari angka tujuh. Sedangkan orang-orang yg disebut Pinuju itu biasa berhubungan bgt sama angka 7 dalam kehidupannya..."
"Masa sih...?",
"Yeee... Itu katanya"
"Bray... Lo lahir 29 Juli 1987. Pernah dgr istilah numerologi gak?"
"Iyaa, penomoran..."
"Yoi... Dan segala sesuatu yg dijabarkan dgn angka. Iya kan?"
"Iya... Terus?"
"Coba itung tanggal lahir lo!"
"2 ke 9, jaraknya berapa?"
"Tujuh..."
"Ok. Juli bulan ke berapa?"
"Tujuh..."
"Nah, lo lahir di tahun ke 7, di era 80'an. Bener?"
"Iya.. ok... Terus?"
"Maksudnya gmn?"
"Sini gw itungin... 2+9+0+7+1+9+8+7 = 43. Bener?"
Aku langsung menghitung dgn kalkulator di hp ku.
"Iya." , jawabku
"4+3 = 7. Bener?"
"Iya..."
Aku terdiam.
Ya kalo aku pikir-pikir ada benarnya jg apa yg dikatakan Rio.
"Bray... Kalo urutan anak ada hubungannya jg?",
tanyaku menyambung.
"Kalo gw bilang, gw anak ke-7 dari 8 bersaudara?"
"Nah itu...!"
"Bunda jg..."
"Kenapa Bunda lo?"
"Gw di angkat anak sama Bunda. Bunda anak ke-7 dari 13 bersaudara..."
"Nah, FIX...! Emang lo Pinuju!"
"Iya..."
"Nama kedua lo berapa huruf?"
Aku coba menghitung,
"Tujuh..."
"Cakep kan! Coba deh ko hitung jumlah abjad nama lengkap lo kalo dikonversi ke angka..."
Aku mulai menghitung lg,
"8 ke 1 berapa Braay?"
"Tujuh..."
Aku terdiam. Aku melihat ekspresi Rio yg hanya tersenyum seolah berkata, "Apa gw bilang..."
***
Tanpa ku sadari aku bahkan sering kali mengaitkan perjalan hidup ku dgn angka tersebut.
Bukan tanpa alasan, tapi bila dihubungkan dgn teori "cocoklogi" semua terasa "inter-connected".
Di satu sisi, rasa tidak percaya ku akan eksistensi manusia dgn kemampuan-kemampuan supranatural bagaikan superhero mementalkan hampir...
Aku berusaha keras melepaskan diriku dari "ikatan" ini. Sampai pada penghujung tahun 2013, aku bertemu...
Faktor usia dan kesamaan hobby membuat kami mudah beradaptasi satu sama lain. Dia bahkan menjelaskan mengenai hal-hal ghoib dgn analogi...
Sampai pada suatu titik di mana...
Lana menyimak dan mencermati semua yg ku ceritakan, sampai akhirnya dia mulai berkomentar,
"Iya, serius Bray!",
jawabku dgn sangat percaya diri.
"Koq rasanya gak gitu ya... Lo yakin lo gak lupa dgn hal-hal lain yg dulu mungkin pernah lo alamin... Pas lo masih kecil mungkin?"
Mendengar pertanyaan...
lanjutku merespon pertanyaan Lana sebelumnya.
"Bray, kadang emang masa lalu yg kurang berkenan di hati dan memori itu tanpa kita sadarin bakal pelan-pelan dilupain sama alam bawah sadar... Tapi gw ngerasa, lo pernah ngalamin hal yg bikin lo trauma."
"Santai Bray... Tapi apa ya? Gw sih ngerasa gw emang gak asing dgn kejadian-kejadian seperti ini, tapi koq yg gw inget ya cuma belakangan aja..."
jawab ku merespon dgn bingung.
tanya Lana pada ku.
"Nyari tau apaan Bray?"
"Yaa semacam ngebuka memori pelan-pelan... Napak tilas laah..."
Napak tilas? Aku? Tapi buat apa? Kalo memang itu adalah memori yg tidak menyenangkan seperti yg Lana bilang buat apa aku ingin mengingat.
"Bray, terkadang ya, apa yg lo takutin itu gak sepenuhnya menakutkan koq. Malah mungkin lo emang harus paham dulu tentang proses perjalanan hidup lo selama ini supaya lo bisa mengerti tujuan lo..."
Namun aku kembali bertanya,
"Apa untungnya kalo gw nginget hal-hal yg sebeneranya gak mau gw inget Bray?"
"Tergantung...", jawabnya.
"Tergantung sebijak apa nanti lo nyikapin semua memori itu..."
"Trus kalo ternyata gw gak sebijak itu, gimana...?"
"Hahahaha... Bray, lo, dari sekian banyak org seumuran kita, di mata gw, adalah org yg punya pemikiran pailng bijak."
"Tapi gw ragu Bray...", sambungku.
"Laah gpp Bray, kan gw gak nyuruh lo... Gw kan cuma nanya, lo mau apa gak itu terserah lo."
"Gini, suatu saat lo tetap akan tau semuanya. Tapi ketika lo tau karena sudah gak bisa ditahan lg, biasanya bakal jd pressure berat buat lo. Gw takutnya malah "impact" nya lo gak kuat..."
"Gw gak tau lo bakal kuat apa gak, tapi senggaknya bisa dikontrol supaya yg "kebuka" ke lo itu datengnya bertahap, gak secara serentak tiba-tiba tau semua gitu..."
sambungnya...
"Koq nanya Bokap gw...? Emang Bokap gw tau soal ini??"
Betapa terkejutnya aku mendengar masukan dari Lana.
Aku tau Papa (kandung ku) memang mengerti dan sempat mempelajari hal-hal seperti ini, tapi aku tak...
Aku hampir tak pernah menghabiskan waktu yg cukup lama dgn Papa mengobrol mengenai hal-hal semacam ini, kami justru lebih banyak membahas mengenai keluarga, pendidikan ku, rencana hidup ku.
"Kalo dgr cerita lo, ada kemungkinan Bokap punya tujuan yg ada hubungannya sama ini waktu minta lo dateng ke rumah pas deket sama ulang tahun lo ke 24. Atau waktu ngebahas soal "signal" di rumah Sentul lo dulu."
Papa dan aku memang pernah duduk berdua ketika Papa dan Mama bermalam di rumah kami sewaktu masih di Sentul. Ada satu perkataan Papa yg masih membekas diingatanku sampai saat ini.
~
~
"Gw aja gak paham Bray maksud omongan Bokap soal signal...", jawabku pada Lana
"Hahaha... Ya sikap lo yg kayak gini yg dimaksud Bokap lo Bray!"
"Gak tau jg ya... Dibilang gw tau sih gak jg, tp yaa mungkin ada sedikit terlintas di pikiran gw maknanya."
"Nah itu...!"
"Hmm... Apa gw coba konsul dulu aja ya sama bokap?"
"Nah iya, lo ngobrol dulu aja sama Bokap Bray."
***
Aku melirik jam di hp ku,
00:12WIB
Spontan aku menekan tombol dial, terdengar suara nada sambung dari hp ku. Pikiranku kembali tidak tenang. Apa yg harus aku tanyakan kepada Papa?
Tiba-tiba terdengar suara yg familiar dari sisi telepon satunya.
"Halo... Assalamu 'alaikum...", terdengar suara Papa dfn nadanya yg sangat khas.
"Wa 'alaikum salam, Pah...", sahutku
"Belum tidur Nak?"
"Kenapa Nak? Kepikiran apa kamu?"
Papa memang selalu perhatian dgn cara yg sangat menenangkan bagiku. Beliau satu-satunya (dari banyak mungkin) orang Sumatera Selatan yg tidak pernah ku dgr berbicara dgn nada tinggi, sekali pun dalam kondisi marah.
"Pah, Papa lg apa...?", tanyaku tak enak mengganggu waktu istirahatnya.
"Lagi nonton aja ini, tadi abis ada tamu ngobrol-ngobrol sebentar... Kenapa, kenapa?"
Papa hanya merespon dgn tawa-tawa kecil di setiap cerita-cerita ku, sampai akhirnya aku menutup cerita ku dan beliau mulai merespon.
"Aku masih gak yakin Pah"
"Soal apa?"
"Banyak... Semua."
Papa hanya tertawa kecil sambil berkata,
"Kamu gak harus tau semua sekarang."
"Yah, cukup hanya sebatas bahwa kamu berbeda. Dan setiap org yg berbeda, pasti punya tujuan tertentu."
"Ya tugas apa? Aku beda dari segi apa? Ghoib? Mistis? Aku takut org-org bakal nganggap aku aneh Pah..."
"Kamu harus amanah. Gak semua org harus tau ttg kamu...
"Tapi terlalu banyak yg aku gak ngerti Pah..."
"Nanti Nak. Nanti akan ada waktu dan masanya kamu akan tau semuanya...
"Jadi aku harus gmn?"
"Jalanin aja hidup kamu seperti biasanya. Gak perlu berlebihan masuk ke dalam sesuatu yg kamu blm pahami."
"Iya, Papa tau. Teman kamu org yg baik. Dan saat ini, mungkin, dia org yg tepat buat ngebantu kamu "membuka pintu" yg selama ini tertutup."
"Jadi aku gpp coba buat "ngebuka" pandangan aku dari dia?"
Itu saja pesan Papa yg kuingat. Namun sayangnya, aku lupa untuk menyampaikan keoada Lana.
***
Kemarin, prosesi pertama untuk "membersihkan" diri ku dari hal-hal "negatif" yg bersifat resisten dalam diri ku sudah dilakukan.
Setelah itu, Lana membantuku dengan mengusap tubuh bagian belakangku, mulai dari bahu kanan, bahu kiri dan punggung tengah. Menurut Lana, di situlah "mereka" melekat.
Teman kami sang pemilik rumah, mba Diana, mengalami kerasukan parsial. Sesuatu yg berada di dalam rumahnya seolah menolak maksud keberadaan kami.
Prosesi kedua ini sebenarnya tidak terlalu panjang, bahkan aku tidak bisa mengingat dgn baik apa yg terjadi saat prosesi.
Di warung nasi kami membahas banyak hal, dan seperti biasa, Naruto selalu jd topik yg seru untuk kami bahas.
***
Prosesi kedua pun dimulai dgn Lana yg meminta ku duduk bersila, persis seperti posisiku ketika dibersihkan kemarin. Tapi kali ini, ketika aku menutup mataku, aku merasakan sesuatu yg memperhatikanku dari kejauhan seakan perlahan mendekat.
"Fokus ya Bray..."
Aku mendengar suara Lana memberiku instruksi. Aku tetap membaca sholawat dan berdzikir di dalam hati, mencoba untuk tetap fokus
"Ucap salam Bray... Fokus buat komunikasi aja..."
Aku mengikuti apa yg Lana instruksikan.
°Assalamu 'alaikum warrahmatullah wabaraktuh...°
Sapa ku dalam hati
sosok itu menjawab dgn suaranya yg sangat berat namun sangat lembut.
°Boleh saya tau nama anda?°
tanyaku kepada sosok itu.
Beliau tidak menjawab dan hanya tersenyum. Tapi entah bagaimana, aku seolah mengerti arti senyumnya itu.
Beliau lah yg hadir dalam pemandangan "aneh"...
°Kenapa Anda selalu hadir dalam kehidupan saya? Apakah kita memang memiliki suatu hubungan silsilah?°,
Beberapa kali aku lontarkan pertanyaan yg selalu dijawab dgn senyuman. Dan untuk kesekian kalinya, senyumannya tidak memiliki arti.
Seketika aku membuka mataku. Aku terdiam. Tanpa kusadari, air mataku mulai menetes.
Kalimat itu betul-betul menusuk dalam ke hati ku.
Bang Ryo yg melihat ku menangis, segera bangkit dari duduknya mencoba menghampiriku. Namun Lana menahan.
Seketika aku menyesali banyak dosa yg telah kuperbuat selama ini. Aku tau aku tidak mengerti arti kalimat itu secara harfiah, namun aku seolah memahami maknanya.
Hasil pencarianku tertuju pada surat Al A'laa, dengan sebuah ayat yg berbunyi,
"Tsumma laa yamuutu fiiha walaa yahya"
Namun itu tidak menjelaskan artinya.
Aku mencoba membuka...
"Allah tidak pernah dihidupkan dan dimatikan."
***
Beberapa hari berlalu, kalimat itu masih tetap terngiang dalam hati, ingatan dan pikiranku.
Menurut Papa, kalimat itu memiliki makna untuk memberikan teguran dan mengingatkan ku kembali kepada Allah SWT.
Tidak ada yg hidup dan mati tanpa kehendak-Nya.
Sebelumnya saya sudah meminta izin terlebih dulu kepada narasumber untuk menuliskan cerita ini dalam thread saya, dan alhamdulillah...
Cerita ini saya tuangkan di sini dgn tujuan dan harapan teman-teman dapat mengambil hikmah yg benar-benar mendasar bagi kehidupan kita, terutama yg beragama Islam.
Semoga di thread-thread berikutnya akan ada beberapa penjelasan untuk teman-teman yg kurang mengerti cerita ini...
Sekian dari saya, mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan dan pernyataan yg sekiranya kurang pantas.
Saya mohon pamit, wassalamu 'alaikum warrahmatullaah wabarakatuh.
#bonkioongpamit