, 144 tweets, 21 min read
- JEJAK -

A Horror Story

@bacahorror @ceritaht
#bacahorror #bacaht
Selamat malam,

Malam ini saya kembali ingin berbagi sebuah cerita yg saya dapatkan beberapa tahun lalu.

Cerita ini diceritakan oleh Ibu dari teman saya.

Seperti biasa, untuk nama orang, jalan, dan instansi-instansi terkait akan saya samarkan.
Cerita berawal pada tahun 1995.
Di sebuah sudut perumahan di bagian Timur Bekasi, terdapat sebuah rumah besar yg dihuni oleh sebuah keluarga beranggotakan 3 anggota inti dan 2 anggota pelengkap. Ayah, Ibu, putri mereka yg masih berusia 5 tahun dan 2 asisten rumah tangga.
Sang ayah memiliki sebuah perusahaan percetakan yg cukup besar pada masa itu.

Beberapa klien besar berhasil dirangkulnya. Mulai dari klien yg bergerak di industri makanan, sampai yg berkecimpung dalam bidang manufaktur.
Namun, pada penghujung tahun itu, entah bagaimana kronologis kejadiannya, perusahaannya mengalami kebangkrutan yg memaksanya menjual sebagian besar saham-saham miliknya.

Tak hanya itu, kejadian demi kejadian yg tragis pun menimpa keluarga itu.
Mulai dari meninggalnya salah satu asisten rumah tangga mereka secara tidak wajar, yg kemudian digantikan oleh asisten rumah tangga yg baru, sampai sang istri yg tiba-tiba mengidap penyakit yg cukup aneh hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya beberapa bulan kemudian.
Cerita yg akan saya tuliskan kembali, bukan cerita tentang apa yg menimpa keluarga tersebut. Namun kejadian-kejadian aneh selepas kepergian mereka dari rumah yg mereka tinggalkan begitu saja pada akhirnya.

Tanpa panjang lebar lg, mari kita mulai ceritanya.
Sepeninggal istrinya di akhir tahun 1995, pak Surya memutuskan untuk pindah dari rumah yg telah ditempatinya selama 8 tahun.

Ia tak lg memiliki hasrat untuk mengarungi derasnya ombak Ibukota, dan berniat kembali ke kampung halamannya memulai hidup baru bersama putri tercintanya.
Mengingat banyaknya kenangan yg telah dibangunnya bersama keluarga kecilnya itu, membuat Pak Surya merasa sayang untuk menjual rumah tersebut. Sekalipun di sisi lain, kenangan-kenangan pahit di akhir tahun itu masih membekas dalam benaknya.
Sebelum berpulang ke kampung halamannya, Pak Surya menitipkan rumah tersebut kepada salah seorang kepercayaannya yg tinggal beberapa gang dari rumahnya.

Sebut saja namanya, Pak Darso.

Pak Darso merupakan salah seorang karyawan di perusahaan percetakan milik Pak Surya.
Berbekal latar belakang pendidikan yg hanya lulusan SD kala itu, dan pengalaman kerja sebatas tukang bersih-bersih percetakan membuat Pak Darso kesulitan mencari pekerjaan lain yg lebih baik, membuat Pak Darso tidak memiliki pilihan selain menjaga rumah peninggalan Pak Surya itu.
Dengan janji upah sebesar Rp.50.000 seminggu dan sembako bulanan rutin kala itu, tentunya membuat Pak Darso merasa senang luar biasa dengan tawaran Pak Surya.

Tanpa ia sadari hal apa yg akan dihadapinya...
5 bulan sudah sejak kepergian Pak Surya kembali ke kampung halamannya. Pak Darso secara rutin, 3 kali dalam seminggu datang ke rumah yg dititipkan untuk bersih-bersih dan merapihkan tanaman.
Kadang bahkan, dengan uang upah yg cukup lumayan, Pak Darso menyisihkan sebagian...
...untuk membeli cat tembok dan mengecat nya sendiri.

Pak Darso memiliki seorang putri berusia 16 tahun. Dahlia namanya. Ia sering kali ikut membantu Pak Darso membersihkan rumah tersebut di akhir pekan.

Terkadang bahkan, di asaat Pak Darso tidak sempat datang ke rumah itu...
Dahlia lah yg menggantikan Ayahnya membersihkan rumah besar tersebut.

Sayangnya, minggu sebelumnya, mereka sama sekali tidak sempat untuk mengunjungi rumah tiipan Pak Surya karena mereka harus berpulang ke kampung halaman, mengunjungi orang tua Pak Darso.
Sepulang dari kampung halaman, minggu ini, baru lah mereka berniat kembali mengunjungi rumah tersebut.

Namun aneh...
Siang itu, Pak Darso dan Dahlia menemukan hal yg tidak biasa.
Banyak jejak kaki anak kecil di ubin teras depan rumah.
Masih dengan pikiran yg positif, Pak Darso pun langsung berlari ke arah pintu samping rumah yg berbatasan dengan tanah kosong di sebelahnya, khawatir ada kaca jendela yg pecah terkena bola dari arah tanah kosong tersebut.

Memang, tanah kosong di samping rumah Pak Surya,
selalu digunakan oleh anak-anak kecil di perumahan itu sebagai tempat bermain. Kadang sepak bola, kadang perang-perangan, atau bahkan bola gebok.

Dilihatnya satu per satu jendela samping rumah, namun tidak ada bekas pecahan, retakan, atau bahkan jejak bola yg menempel di tembok.
"Alhamdulillaah... Untung gak ada yg pecah.",
Ucap Pak Darso lega.

Ia pun kembali ke arah pintu depan rumah. Sesampainya di pintu depan, Pak Darso tidak menemukan putrinya, Dahlia.

Ditengoknya sekeliling, tapi tak ada tanda-tanda keberadaan Dahlia.
"Lii... Liaaa...!!!",
Pak Darso berseru memanggil-manggil nama putrinya tersebut.

"Dimana kamu Nak?!!",
kekhawatiran mulai menyelimuti pikiran Pak Darso.

Ia berjalan mengitari rumah itu dari dalam pagar, namun tak kunjung terlihat jg batang hidung sang anak.
Pak Darso segera keluar dari pagar rumah, berlari ke sebuah warung kecil di ujung perempatan jalan.

"Bu... Ibu liat Dahlia gak?",
tanya nya kepada sang pemilik warung.

"Eeh, Pak Darso... Lho, bukannya tadi bareng sama Bapak ya ke rumah Pak Surya?",
jawab si Ibu warung.
"Iya Bu, tadi bareng sama saya... Tapi tadi saya timggal sebentar, tau-tau udah gak ada...", sambung Pak Darso dengan nada panik.

"Laah... Gak ada Pak, Gak lewat sini dari tadi Dahlia..."

Mendengar jawaban itu Pak Darso semakin panik.
Pasalnya, tidak mungkin si Ibu warung tidak melihat Dahlia lewat kalau memang Ia pergi meninggalkan rumah tersebut. Karena itu adalah satu-satunya jalan yg tersedia bagi rumah besar tersebut untuk pergi ke jalanan utama.

Dan menurut si Ibu warung. Ia sudah duduk di situ selama..
..2 jam lebih. Sedangkan Pak Darso hanya meninggalkan Dahlia sekitar 15 menit lamanya.

Bingung dan panik. Itulah yg dirasakan Pak Darso saat ini.
Tanpa berfikir panjang lg, Pak Darso kembali ke rumah tsb memastikan sekali lg keberadaan Dahlia putrinya.

Ia berlari secepat mungkin, sampai di depan pagar rumah Pak Surya, Pak Darso tiba-tiba menghentikan langkahnya.

Betapa terkejutnya Pak Darso melihat putrinya...
...berdiri di depan pintu pagar, seakan sedang menunggunya.

"Bapak dari mana sih...?!",
tanya Dahlia dengan nada sedikit meninggi, seolah kesal karena merasa ditinggal.

"Kamu...", Pak Darso terbata

"Kamu... Dari mana... Nak...?",
tanya Pak Darso bingung.
"Aku dari tadi di sini Pak!"

Pak Darso bingung bukan main mendengar jawaban Dahlia. Namun apa yg dikatakan putrinya berikutnya, semakin membuat Pak Darso tak bisa berkata apa-apa.

"Aku tuh dari tadi nungguin Bapak gak balik-balik. Akhirnya aku susul ke samping rumah, tapi...
...Bapak gak ada!"
"Bapak kemana tadi, Pak...?!",
tanya Dahlia yg tedengar masih sedikit kesal.

Pak Darso hanya terdiam.
Ia mencoba menemukan alasan yg logis dari kejadian itu.

"Pak... Pak... ?!",
Dahlia yg melihat ayahnya terdiam mematung seolah mengerti...
...ada hal yg tidak beres baru saja menimpa ayahnya.

"Bapak... Kita pulang aja yok.",
ajak Dahlia mencoba mengalihkan pikiran Pak Darso.

"Hah...?? Iya... Iya Nak, iya...",
Pak Darso yg tersentak mencoba menjernihkan pikirannya pun mengikuti ajakan putrinya.
Pak Darso berbalik, Dahlia pun mengikuti di belakangnya. Mereka berdua melangkah pergi, menjauh dari rumah Pak Surya.

Setibanya di warung yg berada di ujung perempatan tadi, terdengar suara Ibu warung berseru kepada Pak Darso,

"Paak... Dahlia nya udah ketemu?!"
Mendengar seruan ibu warung itu, Pak Darso menoleh ke arah Ibu warung.

"Iya bu, ini...",
Pak Darso tiba-tiba terdiam tak bisa berkata apa-apa. Ketika ia menoleh ke belakang mencoba menunjukan anaknya kepada si Ibu warung, tak dilihatnya siapa pun di belakangnya.
"Dah... Dahlia...??", gumamnya terbata-bata,
"Dahlia... Kemana...??",
Ia kembali mematung, bingung, tak mengerti.

Melihat hal itu si ibu warung menghampiri Pak Darso dan menepuk bahunya.

"Pak! Bapak kenapa?!", tanya ibu warung

"Dahlia nya udah belum ketemu?"
Pak Darso menoleh ke arah ibu warung, tatapan bingungnya seakan menjelaskan sesuatu kepada ibu warung tersebut.

"Hilang LAGI ya Dahlianya?",
pertanyaan itu membuat Pak Darso semakin bingung. Pasalnya, kata "lagi" yg diucapkan ibu warung seolah menegaskan bahwa iatahu sesuatu.
"Koq... Ibu tahu...?", tanya Pak Darso

"Pak... Bapak kan sudah lama toh ikut Pak Surya. Masa sih blm paham jg setelah kejadian-kejadian aneh yg terjadi di keluarga beliau...?",
Kalimat itu seakan membuka pintu kenangan di otak Pak Darso.
Seperti adegan slide show,
memori demi memori tentang kejadian-kejadian yg menimpa keluarga Pak Surya seolah muncul kembali dalam ingatannya.

Sampai pada sebuah titik. Ingatannya terhenti pada sebuah adegan. Adegan yg akhirnya menyadarkannya dan membuatnya berlari sekencang-kencang, kembali ke rumah itu.
Pak Darso masih ingat betul semua kejadian yg meninpa keluarga Pak Surya.
Tragedi-tragedi tersebut masih hangat diingatannya.

Ia teringat akan pesan Pak Surya sebelum pergi.

"Pak, kamar kerja saya jangan sampe lupa dibersihkan ya...",
Sebuah pesan singkat biasa.
Namun pesan berikutnya lah yg membuat pesan itu menjadi sebuah wasiat bagi Pak Darso.

"Jangan lupa untuk menaburkan garam setiap 3 hari sekali disekeliling lantai kamarnya ya Pak...!"

Dan kini ia sadar. Sudah 5 hari ia tidak menjalankan pesan itu karena pulang kampung!
Kamar kerja Pak Surya merupakan sebuah ruang kerja kecil biasa. Di dalamnya hanya terdapat satu set meja dan bangku kerja, sebuah rak buku besar lengkap buku-buku bacaan milik Pak Surya.

Tidak ada yg aneh dari ruangan tersebut.
Hanya saja, tidak ada satupun karyawan Pak Surya yg boleh memasuki ruangan tersebut, selain Pak Darso tentunya.

Bahkan, asisten rumah tangganya pun tidak boleh membersihkan ruangan tersebut.

Ada apa sebenarnya dengan ruang kerja Pak Surya?
Sesampainya di depan rumah, Pak Darso menghentikan langkahnya.

Ia menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya panjang, mencoba menenangkan degupan jantungnya yg cepat.

Ia pun mulai kembali melangkahkan kakinya selangkah demi selangkah menuju pintu depan.
Pak Darso merogoh kunci pintu di kantong kanan celananya. Memasukannya ke slot pintu dan membukanya perlahan.

"Kriiieett...."

Suara pintu kayu yg sering ia dengar, kali ini terasa asing di telinganya.
Perasaannya aneh.
Tekanan udara di rumah itu seakan menurun drastis,
membuat Pak Darso sedikit sulit bernafas.
Diperhatikannya sekeliling, tidak ada yg aneh.

Namun suasana ruang tamu di rumah itu agak berbeda hari ini.

Sedikit lebih... Mencekam.

Langkah demi langkah ditapakannya. Pak Darso kini mulai memasuki ruang tengah dari rumah tersebut.
Di sisi kirinya terdapat tv besar lengkap dengan lemari kayu nya, sofa dengan sandaran tangan kayu layaknya sofa-sofa mahal pada jaman itu. Merupakan sebuah cerminan ruang tamu dari keluarga berada kala itu. Di sisi kanannya, 2 buah pintu yg berjarak cukup jauh.
Di antaranya terdapat lemari kaca dengan pajangan-pajangan dan foto keluarga Pak surya di dalamnya. Pintu pertama merupakan pintu dari kamar mandi untuk tamu yg datang berkunjung. Sedangkan pintu berikutnya adalah kamar tidur untuk tamu yg menginap, lengkap dengan kamar mandinya.
Ia melangkah masuk lebih dalam, sambil memperhatikan sekeliling. Tidak ada yg aneh.

Melewati are tersebut, sebuah meja makan besar dengan 6 bangku yg tertata rapih melintang di tengah dapur yg dilengkapi dengan kitchen set jaman itu. Di antara dapur dan ruang tv, berjajar...
...jendela-jendela besar dengan pemandangan halaman samping yg berbatasan dengan tanah kosong.
Pak Darso pun menoleh ke kanan, menghadap pada sebuah anak tangga menuju ke lantai 2.

Di sini lah keanehan terjadi.
Diperhatikannya satu demi satu anak tangga tersebut. Dilihatnya ada jejak-jejak kaki anak kecil yg dilihatnya di teras depan rumah. Perasaan aneh dan merinding mulai menyelimuti pikiran dan hati Pak Darso.

Ia pun mengikuti arah jejak tersebut ke lantai 2.
Perlahan, langkah demi langkah, jejak tersebut menuntun Pak Darso menuju ruang kerja Pak Surya.

Tanpa disadari, ia pun kini telah berdiri tepat di depan ruangan tersebut.

Pak Darso mengangkat tangannya perlahan, mencoba meraih knop pintunya.
"Tok... Tok... Tok..."
Belum sempat ia menyentuh knop pintu, tiba-tiba terdengar suara ketukan dari dalam ruang tersebut.

Pak Darso yg terkejut segera berbalik, mencoba berlari.
Namun, setelah baru 2 langkah, ia berhenti.
Pak Darso kembali membalikan badannya.
Sambil mencoba menguatkan diri dan menghiraukan rasa takutnya, ia pun kembali mendekati ruang tersebut. Tapi...

"Tok... Tok... Tok...!!"
Suara ketukan itu kembali terdengar. Dan kali ini sedikit lebih keras.
masih mencoba menghiraukan rasa takutnya, Pak Darso terus mendekati ruangan itu, sampai...

"TOK... TOK... TOK...!!!"
"Bapaaaak...!!! Bapaaaak...!!!"
"Bapak buka Paaaak...!!!"

Betapa terkejutnya ia mendengar suara putrinya dari dalam ruang kerja Pak Surya.
Tanpa berfikir panjang, ia pun segera meraih gagan pintu dan membukanya.
Dilihatnya Dahlia tersungkur di sisi sebaliknya. Matanya sembab, berlinang penuh air mata.

"Kamu dari mana aja Naak...?", tanyanya sambil menghampiri memeluk putri kesayangannya.
"Kamu gak apa apa Nak?"
Dilihatnya wajah putrinya yg memerah kelelahan menangis.

"Lia... Lia...", sambil terbata-bata Dahlia mencoba berbicara

"Udah Nak, gak apa apa..."

"Lia takuut Pak...", suara tangisnya semakin menderu pilu terdengar.

"Iya Nak, iyaa... Bapak di sini..."
Pak Darso hanya bisa mengusap air mata putrinya, membelai lembut rambutnya, mencoba menenangkannya. Ia tidak tahu apa yg telah menimpa putri kesayangannya, dan ia tidak ingin membahasnya saat itu.

Yg ia tahu hanya, Putrinya telah ia temukan.
Mereka pun beranjak pergi meninggalkan rumah Pak Surya tanpa sepatah kata pun membahas mengenai kejadian barusan.
Dahlia terlihat masih sedikit terguncang, dan Pak Darso pun seakan menghindar untuk menanyakan, sampai diujung perempatan, di warung itu lagi...
"Pak... Pak...!!!",
suara si ibu warung kembali terdengar di telinga Pak Darso. Kali ini ia mencoba tidak menggubris suara tersebut, khawatir muncul pertanyaan-pertanyaan yg bisa membuat putrinya kembali terguncang.

"Pak... Eyalah si Bapak...",
suara itu pun menghampiri mereka.
Tak begitu lama, si ibu warung sudah berdiri di depan mereka berdua.

"Ini Pak, minum dulu. Kasian Dahlianya...", ucap si ibu warung sambil menyodorkan sebotol minuman dingin kepada mereka.

Merasa tidak sopan bila ditolak, Pak Darso pun menerimanya.
"Iya Bu, terima kasih banyak...", Pak Darso pun mengambil botol minum itu, memberikannya kepada Dahlia.

"Mari Pak, duduk dulu aja di warung saya. Kasian toh kalo Dahlia masih harus jalan ke rumah dengan kondisi begitu."

Mengingat kondisi putrinya yg masih terpukul...
...Pak Darso pun mengikuti si ibu ke warungnya.

Mereka pun duduk pada sebuah bangku kayu panjang yg memang disediakan untuk para pembeli di warung tersebut. Dahlia terlihat masih terdiam tidak bicara.

"Saya Darminah, Pak...",
Pak Darso menoleh kepada si ibu.
"Tapi orang-orang sini sih manggil saya Bu Min... Yaah, biar gampang gitu hehehe", ucap bu Min memperkenalkan diri.

Pak Darso masih diam memperhatikan.

"Pak Darso pasti gak inget saya yaa?",
tanya Bu Min pada Pak Darso.
Pak Darso hanya bisa menatap Bu Min bingung. Seingatnya dia belum pernah berbincang dengan Bu Min seperti ini sebelumnya.

"Kita... Pernah ketemu sebelumnya Bu?", tanya Pak Darso.

"Laah ya kan Bapak sering lewat sini...", ujar Bu Min sambil tertawa kecil.
"Maksud saya, jauh sebelum ini apa kita pernah bertemu Bu...?", tanya Pak Darso penasaran

Bu Min hanya tersenyum. Ia berdiri, berpindah tempat duduk ke sebelah Dahlia. sambil mengusap bahu kiri Dahlia, ia berkata,

"Namanya Dahlia Bunga Sudarsono..."
"Putri pertama dari Sudarsono Malik... Yg seharusnya merupakan putri kedua.",
mendengar hal itu Pak Darso tersentak. Bagaimana mungkin seseorang yg tidak pernah ia kenal baik sebelumnya mengetahui sesuatu yg sama sekali tidak pernah ia ceritakan pada orang banyak?
Bu Min hanya tersenyum melihat reaksi Pak Darso.

"Tenang. Saya tidak akan bilang ini kepada siapa-siapa.", ucap Bu Min.

"Tapi, sudah waktunya Dahlia mengetahui kebenarannya.", lanjutnya.

Dahlia yg mendengar itu pun menoleh ke arah Bu Min,
"Mengetahui apa Bu?
Ia kemudian menoleh ke arah ayahnya,
"Pak... Mengetahui apa Pak?"

Pak Darso hanya bisa terdiam, tak berkata sepatah pun.

"Sudah waktunya Darso. Kamu harus jujur pada anak ini!", tiba-tiba suara Bu Min menegas.

Pak Darso yg masih kebingungan, terduduk lesu.
"Kenapa Pak? Ada apa sebenarnya ini Pak?", tanya Dahlia yg tidak tahu kemana arah percakapan mereka berjalan.

"Ibu adalah orang yg membantu persalinan Ibu mu Nak... Dan Ibu yg menyematkan nama Bunga ditengah namamu.", ucap Bu Min sambil tersenyum kepada Dahlia.
Pak Darso yg mendengar hal itu pun menoleh ke arah Bu Min. Matanya terbelalak seolah tidak percaya dengan apa yg ia dengar.

"Bu Min...?", ucap Pak Darso terbata-bata..

"Iya, ini saya."

"Bukannya... Harusnya... Koq...??",
Kali ini Pak Darso benar-benar tidak percaya dengan...
...apa yg ia dengar.

"Saya masih hidup Darso.", lanjut Bu Min

"Tapi... Saya... Saya lihat sendiri..."

"Kamu dan Pak Surya... Kalian hanya melihat apa yg ingin kalian lihat."

"Bapak mau mencoba membunuh Bu Min??!!", tiba-tiba suara Dahlia memecah kebingungan Pak Darso.
Namun Pak Darso tidak bisa berkata apa-apa.

"Tidak Nak. Bapak mu ini orang baik.", ucap Bu Min menegaskan.
"Bahkan terlalu baik sampai ia mau diperalat tanpa sadar oleh si Surya bangsat itu!"

"Gimana maksudnya Bu...?"

"Nanti kamu akan tahu semuanya. Tapi buat saat ini, kita...
...harus membersihkan raga kamu dulu Nak.?"

"Memang Dahlia kenapa Bu Min...?", tanya Pak Darso khawatir.

"Saat ini ditubuhnya ada bekas aroma alam ghoib. Khawatir mereka menganggap Dahlia adalah bagian dari mereka."
"Hah, aroma alam Ghoib??!", tanya Pak Darso terkejut.

"Kamu pikir Dahlia kemana saja dari tadi Darso... Tidak mungkin kan dia akan menghilang begitu saja dan tiba-tiba muncul!", seru Bu Min kepada Pak Darso.

Dahlia terdiam. Tubuh nya kaku dan tatapan matanya kosong.
Seakan ia kembali terguncang mengingat kejadian yg tadi menimpanya.

Melihat kondisi putrinya Pak Darso menjadi panik.

"Sudah, ayok kita bawa Dahlia pulang ke rumahmu!"

Mereka pun bangkit, beranjak dari warung itu dan membawa Dahlia pulang.
Hari mulai petang. Sampai lah mereka di rumah Pak Darso.

"Assalamu 'alaikum...!!"

"Wa 'alaikum salam warahmatullaah wa barakaatuh...",
terdengar suara lembut seorang perempuan dari dalam rumah.

"Lhoo... Dahlia kenapa Pak?!", tanya sang perempuan kepada Pak Darso.
Perempuan itu adalah Bu Ani, istri Pak Darso, dan ibu dari Dahlia.

Bu Ani tiba-tiba terkejut melihat seseorang lg yg masuk ke rumahnya.

"Bu... Min...?", tanyanya

Bu Min hanya tersenyum melihat Bu Ani.

"Sehat mba Ani?", sahut Bu Min sembari menanyakan kabar bu Ani.
"... Alhamdulillah... Sehat...", jawab Bu Ani seraya mempersilahkan mereka masuk.

Pak Darso dan Bu Min mendudukan Dahlia di sofa ruang tamu. Pak Darso bergegas ke dapur mempersiapkan baskom yg diisikan air. Bu Ani pergi ke kamar mengambil baju ganti untuk Dahlia.
Sesuai arahan Bu Min, mereka harus menunggu sampai setelah adzan Isya dikumandangkan.

Sore pun berganti malam. Mereka baru saja menunaikan sholat Isya berjama'ah, dan berkumpul kembali di ruang tamu.

"Bismillaahi rahmaan nirrahiim..."
"Kita mulai ya sekarang...", ucap Bu Min.
"Dahlia, Ibu minta tolong... Walaupun berat, kamu harus ingat-ingat kejadian tadi siang waktu kamu masuk ke alam mereka."

Ucapan Bu Min membuat Pak Darso dan Bu Ani terkejut bukan main. Pasalnya mereka sama sekali tidak diberitahu apa sebenarnya yg menimpa putrinya.
"Tapi... Bu Min yakin ini bakal berhasil...?", tanya Dahlia ragu.

"InsyaAllah Nak. Atas izin Allah Subhana wa ta'ala, dan selama kita berpegang teguh pada keimanan kita. Mereka jg makhluk Allah kan.", ucap Bu Min meyakinkan Dahlia.

"Iya Bu...", sahut Dahlia.
Dahlia pun menutup matanya, mencoba mengilas balik apa yg terjadi tadi siang.
Dahlia dan Pak Darso tiba di depan pintu rumah Pak Surya setelah satu minggu lamanya mereka tidak kesana karena harus berpulang ke kampung halaman.

Namun apa yg mereka temukan di teras depan rumah merupakan hal yg tidak biasa. Banyak jejak kaki anak kecil di sana.
Pak Darso yg khawatir bila ada anak-anak kecil yg masuk dan bermain di pekarangan samping rumah, segera berlari ke pekarangan samping, memastikan tidak ada jendela atau pot bunga yg dirusak oleh mereka.
Sesuai arahan ayahnya, Dahlia pun menunggu di depan pintu depan rumah.
Tak berselang lama, Dahlia mendengar suara ketukan di jendela depan rumah yg berada tepat di belakangnya.
Ia pun menoleh ke arah jendela. Betapa kagetnya Dahlia melihat seorang anak kecil perempuan dengan wajah yg sangat cantik sedang berdiri di dalam rumah.
Anak itu memegang boneka beruang warna putih sambil melambaikan tangannya kepada Dahlia.
Dahlia yg terkejut segera membuka pintu depan rumah dan berlari ke dalam. Ia tak habis pikir bagaimana anak itu bisa masuk ke dalam rumah. Ia pun berlari mengejar anak itu.
Dahlia kini berada di ruang tengah, tempat berkumpulnya keluarga Pak Surya dulu.

"Dek... Dek... Kamu di manaa...", seru Dahlia sambil melihat sekeliling mencoba memastikan keberadaan anak itu.

Tiba-tiba terdengar suara tawa dari bawah tangga tepat di samping dapur. Dahlia...
...segera menuju arah suara tawa itu. Dicarinya di bawah tangga, tapi tak ditemukannya sumber suara itu.

Sesaat, suara tawa itu terdengar lg. Sekarang arah suara itu berasal dari atas tangga. Diliriknya ke atas melalui sela-sela pembatas tangga.
Di pembatas tangga di lantai 2, ia melihat anak kecil perempuan itu mengintip ke arahnya dan langsung berlari menghilang lg. Dahlia pun kembali mengejar si anak kecil tersebut.
Sesampainya di penghujung anak tangga terakhir, Dahlia melihat anak itu berlari masuk ke dalam...
...ruang kerja Pak Surya. Dahlia tahu betul ruang apa itu. Ia tahu bagaimana ayahnya sangat menjaga ruangan itu agar tidak ada yg memasukinya. Hanya ayahnya lah yg diizinkan oleh Pak Surya masuk ke dalam ruang kerjanya.
Dengan langkah sedikit ragu, Dahlia mencoba memberanikan diri memasuki ruang kerja Pak Surya.

Ia membuka pintu ruangan itu dengan perlahan,

"Dek... Dek... Kamu di dalem..?",
tanya Dahlia kepada si anak kecil.

Ia mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan tersebut.
Dilihatnya sekeliling, tidak ditemukannya si anak. Matanya terus mencari sekitar, sampai akhirnya pandangannya terhenti pada sebuah buku tua di atas meja kerja Pak Surya.

Penasaran, Dahlia pun mencoba melihat buku tersebut. Sebuah buku yg terlihat sudah lapuk dan berdebu.
Sampulnya terbuat dari bahan seperti kulit sapi, dan lembaran-lembarannya terbuat dari serat-serat kayu yg halus tidak beraturan. Seperti sebuah kitab kuno.

Dibukanya sampul buku itu. Lembar demi lembar ia perhatikan, tanpa menemukan adanya keanehan.
Hanya tulisan-tulisan dan simbol-simbol yg tidak ia pahami artinya.

Sampai pada sebuah halaman, tangannya terhenti membuka lembar berikutnya. Matanya terpaku pada sebuah gambar seperti lukisan yg terukir cantik dengan sketsa pensil.

Sketsa lukisan seseorang.
Dahlia tiba-tiba tersentak. Ia menyadari sesuatu.

Lukisan tersebut mirip sekali dengan paras si anak kecil yg tadi ia lihat di jendela depan rumah.

Ya... Anak kecil yg menuntunya memasuki ruang kerja Pak Surya.

Di bawah lukisan itu, tertulis sebuah nama...

"Dara - 07/07/'77"
"Dara...?"
Tanpa sengaja, Dahlia menyebutkan nama itu.

Tiba-tiba Dahlia merasakan seakan ada sesuatu yg datang mendekat kepadanya dari belakang. Namun perasaan tidak nyaman itu membuat Dahlia tidak berani menoleh ke belakang.

Perlahan, ia merasakan seperti ada sesuatu yg...
...menyentuh punggung bagian bawahnya. Merayap pelan menuju perutnya. Seakan sebuah tangan kecil berusaha merangkul pinggangnya.

Sampai akhirnya, diliriknya sedikit ke arah perutnya. Ia melihat sepasang tangan kecil dengan kulit yg sangat pucat berusaha memeluknya.
Merinding dan takut. Itulah yg dirasakannya saat itu. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Seakan sesuatu menahan tubuhnya untuk bergerak.

Ia merasakan tangan-tangan itu perlahan merayap naik ke atas tubuhnya. Seakan sosok pemilik tangan itu sedang memanjatnya.
Tubuhnya masih terpaku. Ia tak mampu bergerak barang sedikit pun. Sampai akhirnya sepasang tangan tersebut melingkar di pundaknya.

Ia merasakan sesuatu mendekat, menghembuskan nafas yg begitu dingin di telinga belakangnya. Lalu dengan nada lirih, berkata,

"Kakak..."
Dahlia hanya bisa terdiam dan menutup matanya takut. Dalam hatinya hanya doa dan dzikir yg ia terus panjatkan.

"Kakak... Manggil aku...?",
suara itu terdengar lg.

Mendengar itu, seperti mendapatkan kekuatannya kembali, Dahlia berbalik dan melepaskan tubuhnya dari tangan itu.
Ia bergegas berlari menuju pintu.
Namun sialnya, tiba-tiba pintu ruangan kerja tersebut terbanting dengan keras menutup rapat.
Dahlia mencoba membuka pintu itu dengan keras. Digedor ya pintu ruangan Pak Surya dari dalam berharap mendapatkan pertolongan.
"Paaak... Bapaaaak...!!!"
"Tolong Paaak...!!!",
hanya Allah dan ayahnya yg Dahlia ingat saat itu. Mengharapkan keajaiban dari Allah.

Dan tiba-tiba pintu terbuka keras, menghempaskan tubuhnya ke lantai.
"Sudah, cukup", ucap Bu Min.
"Setidaknya kita tau siapa yg bawa kamu ke sana."

Pak Darso dan Bu Ani hanya terdiam mendengar cerita Dahlia.

"Kenapa Pak, Bu...?", tanya Dahlia bingung.

"Dara... Adalah putri pertama Pak Surya.", Bu Min melanjutkan.
"Putri Pak Surya...??", Dahlia semakin tidak paham dengan apa yg terjadi.

"Iya... Tapi sekarang sudah tidak ada.", Pak Darso menjelaskan.

"Dara lahir pada tanggal 7 Juli tahun 1977. 10 tahun sebelum mereka pindah ke sini.", Lanjutnya.
"Dara meninggal saat masih berusia 7 tahun. Itulah yg membuat Pak Surya sekeluarga pindah ke perumahan kita."

"Lhoo... Kenapa Pak?", tanya Dahlia lg.

"Katanya sih untuk menenangkan hati Bu Cahya, istrinya.", timpal Bu Ani.

"Tapi sepertinya, bukan itu alasan sebenarnya...",
Lanjut Bu Ani.

"Ibu udah curiga dari awal mereka pindah. Masa pindahan cuma bawa tas 2 gembol."

"Emang dasar Bapak mu aja yg gampang banget percaya sama orang!"
"Apalagi kalo mereka ngaku-ngaku lg kesusahan... Halah!", tegas Bu Ani dengan nada sedikit emosi.
"Ya gak gitu jg Bu... Mereka kan memang butuh bantuan waktu itu.", timpal Pak Darso mencoba menjelaskan.

"Iya... Tapi Bapak liat sendiri kan apa yg terjadi di keluarga mereka!", sahut Bu Ani masih dengan nada meninggi.

"Sudah.. Sudah..", Bu Min memotong, mencoba menetralkan.
"Sekarang yg penting adalah kondisi Dahlia", lanjutnya.

Mereka semua terdiam. Masing-masing mencoba menenangkan diri.

"Jadi aku harus gmn Bu?", tanya Dahlia.

Bu Min hanya tersenyum sembari berkata,
"Tenang Nak. Kamu hanya bersentuhan, belum sampai terkontaminasi"
"Jadi Bu...?", tanyanya lg

"Mandi wajib dan sholat taubat.", tegas Bu Min.

"Itu aja Bu?", sahut Dahlia penasaran.

"Ya gak sampai situ.", sahut Bu Min.
"Kamu tau bacaan dzikir pagi-petang?", lanjutnya.

Dahlia hanya menggeleng.

Bu Min pun meminta kertas dan bulpen,
Bu Ani segera memberikan apa yg Bu Min minta.

Di kertas itu, Bu Min menuliskan,

"Al-Baqoroh 5 ayat pertama"
"Ayat kursi"
"Al-Baqoroh 5 ayat terakhir"
"Al-Ikhlas 3x"
"Al-Falaq"
"An-Naas"

Dahlia yg melihat itu pun bertanya,
"Sebanyak ini Bu...?"
"Itu belum semua... Tapi itu saja dulu yg penting kamu amalkan.", ucap Bu Min sambil tersenyum kepada Dahlia.

Ia pun segera memalingkan tatapannya pada Pak Darso dan Bu Ani. Tersenyum hangat sam il berkata,

"Tidak ada dendam yg saya pendam. Kalian tidak bersalah..."
"...Jadi jangan terus menerus larut dalam rasa bersalah kalian."

Pak Darso dan Bu Ani hanya bisa tertunduk, membisu mendengar perkataan Bu Min.

"Kalian ini orang baik Pak Darso, mba Ani...", lanjutnya.
"Kalian harus bisa saling menjaga satu sama lain."
"Lalu Bu, soal yg tadi Bu Min bilang tentang saya sebenarnya putri kedua Bapak dan Ibu...?", tanya Dahlia tiba-tiba

Pak Darso terdiam mendengar itu. Sedangkan Bu Ani seolah terkejut, tak menyangka akan mendengar hal itu dari mulut putrinya.

"Kamu sudah tau Nak..?", tanya Bu Ani
"Saya yg tadi bilang", timpal Bu Min lg.
"Sudah waktunya Dahlia tau semua mba."

"Iyaa.. Tapi...", Bu Ani terlihat gelisah.

"Tolong Bu.. Kalo emang aku harus tau, biarin aku tau. Supaya aku bisa paham situasinya...", tegas Dahlia kepada Ibunya.
"Dara itu meninggal belum tepat usia 7 tahun...", Bu Min menjelaskan.

Dahlia pun menoleh, mencoba menyimak penjelasannya.

"7 Mei 1984... Tanggal kematian Dara."

Semua terdiam mendengar hal itu. Namun Dahlia seolah teperanjat kaget.

"7 Mei?!!!", seru Dahlia.
Bu Min hanya bisa mengangguk, seolah paham kenapa Dahlia terkejut.

Dahlia segera berlari ke kamarnya. Tak lama, ia kembali dengan sebuah buku note kecil.
Dahlia meletakan buku itu di tengah-tengah mereka duduk.

"Aku nemuin buku ini di laci kamar..."
"Padahal...
...seingetku, aku gak pernah beli buku ini..."

Pak Darso dan Bu Ani seolah terkejut melihat buku tersebut.

"Nak...", ucap Pak Darso.

"Tapi bukan itu yg aneh...", sela Dahlia.
Ia membuka sebuah halaman pada buku tersebut, dan menunjukan sebuah tulisan.
"Memori Gadis 7 Mei 1989"

Tak bisa berkata apa-apa, Bu Ani tiba-tiba menangis.

Dahlia tidak mengerti apa yg sebenarnya terjadi.

"Gadis... Adalah kakak perempuan mu Nak.", jelas Pak Darso kepada Dahlia.
Dahlia yg mendengar itu benar-benar terperanjat kali ini.

"Kakak... perempuan ku?"

"Tanggal kematian Gadis, sama persis dengan tanggal kematian Dara.", sela Bu Min

"Ketika itu Gadis berusia 17 tahun.", lanjutnya.

"Tapi kan...", sela Dahlia bingung.
"Iya, 1989. Kamu sudah lahir. 10 tahun ya kalo gak salah...", sambung Bu Min.

"Kakak mu waktu itu berusaha menarik kamu yg terpeleset dari lantai 2 rumah Pak Surya. Kalian berdua akhirnya terjatuh ke pekarangan samping. Waktu itu di sana belum ditanami rumput seperti sekarang."
Dahlia bingung mendengar penjelasan Bu Min tersebut. Bu Min pun melanjutkan,

"Kakak mu jatuh membentur batu besar tepat di kepala belakangnya. Kamu selamat. Hanya saja...", perkataan Bu Min terputus. Ia menatap ke arah Pak Darso dan Bu Ani, berharap salah satu dari mereka...
...yg melanjutkannya.

"...Kamu kehilangan ingatan Nak.", lanjut Pak Darso menyambung penjelasan Bu Min.

"Kenapa gak pernah ada yg..."

"Karena kami sendiri tidak ingin mengingat kejadian itu...!!", seru Bu Ani yg memotong pertanyaan Dahlia.
"Sakit Nak... Sakit rasanya...
...kalo harus mengingat kejadian itu. Apalagi kalo harus mengingat penyebabnya...", lanjut Bu Ani seraya menderu tangis.

"Bukannya mba Gadis jatuh karena berusaha menyelamatkan aku Bu?"

"Bukan...", sela Bu Min.

"Bukan apa yg menyebabkan Gadis meninggal..."
Dahlia menoleh ke arah Bu Min, mencoba mencari jawaban dari maksud perkataannya.

"...Tapi peyebab kamu terpeleset di lantai 2 itu. Atau lebih tepatnya... Apa yg mendorong kamu waktu itu."

Mendengar hal itu Dahlia semakin terkejut. Penjelasan yg seolah menuding sesuatu...
...atau seseorang lah yg menyebabkan kejadian tragis tersebut.

"Bu Cahya...", lanjut Bu Min.

Nama yg tidak asing lg bagi Dahlia. Ya, nama dari istri Pak Darso.

"Bu Cahya yg mendorong kamu Nak.", tegas Bu Min.

Betapa terkejutnya Dahlia mendengar hal itu. Bu Cahya, istri dari..
..atasan ayahnya berusaha membunuhnya.

"Dan saya menyaksikan kejadian itu. Itulah kenapa Pak Surya berusaha membungkam saya dengan menyingkirkan saya.", lanjut Bu Min.

"Beberapa malam setelah kejadian itu, Pak Surya manggil Bapak ke rumahnya...", sambung Pak Darso.
"Pak Surya meminta Bapak untuk mengantarnya ke suatu tempat. Ternyata Pak Surya ke sebuah gubuk kecil..."

"Dukun santet.", tegas Bu Min.

"Pak Surya mau nyantet saya. Alhamdulillaah Allah masih baik sama Ibu, makanya Ibu bisa selamat dengan pura-pura meninggal...
...sewaktu diobati di kampung dan gak balik-balik lg ke Ibukota."
"Bapak mu adalah orang yg selalu datang ke kampung selama Ibu diobatin. Dia yg selalu ngecek kondisi saya, sampai akhirnya keluarga saya memutuskan untuk membuat seolah-olah saya udah gak ada lg.", ucap Bu Min menjelaskan kepada Dahlia.

"Saya gak nyangka, ternyata Bu Min...
...masih hidup. Bahkan masih sehat walafiat...", sambung Pak Darso.

"Tapi kenapa sekarang Bu Min balik dan menemui kami?", tanya Bu Ani pada Bu Min.

Bu Min tersenyum,
"Saya ingin memastikan kalo keluarga kalian baik-baik aja. Dahlia kan saya yg bantu persalianannya...
...dulu, jadi udah terasa seperti anak sendiri.", lanjut Bu Min sembari tertawa ringan.

"Sebenarnya, istri Pak Surya itu orang yg sangat baik...", sambung Bu Min.

"Ketika dia mendorong kamu, bukan atas kehendaknya sendiri. Waktu itu, ada yg mempengaruhinya..."
"Dara...?", sela Dahlia seolah mengerti.

Bu Min hanya mengangguk.

"Kamu inget Pak, setelah kejadian itu, Bu Cahya sama sekali gak pernah keluar kamar...", tanya Bu Min pada Pak Darso. Pak Darso pun hanya mengangguk, namun tetap menyimak seakan tidak paham arah penjelasannya.
"Sebenarnya bukan karena sakit. Melainkan... Bu Cahya diganggu arwah putrinya sendiri!"

Mandengar hal itu, semua yg ada di situ terdiam. Seolah tak percaya dengan apa yg dijelaskan oleh Bu Min. Begitu halnya dengan Dahlia. Namun, karena ia pun mengalaminya, rasanya sulit untuk..
..tidak mempercayai penjelasan Bu Min.

"Sampai akhirnya meninggal...?", tanya Dahlia menyambung penjelasan itu.

"Iya.", jawab Bu Min.

"Tapi kenapa aku Bu? Kenapa Dara mau bunuh aku?"

"Kamu lahir kapan?", tanya Bu Min.

"7 Juli 1979", jawab Dahlia.
Tiba-tiba Dahlia terdiam usai mengucapkannya. Ia teringat akan sesuatu...

"_Dara, 7/7/'77"

Matanya terbelalak, seolah mengerti.
"Tanggal lahirnya...", ucap Dahlia terbata.

"Iya... Tanggal lahir kalian sama.", tegas Bu Min

"Seakan ingin membuat mu bernasib sama, Dara jg merasuki tubuh Bu Cahya untuk mendorong kamu dari lantai 2.."

"Mungkin kamu jg tidak ingat... Kalian terjatuh dari jendela di...
...ruang kerja Pak Surya."

Dahlia terdiam, seolah mulai memahami arah cerita ini.

"Itu makanya, kenapa tadi siang Dara nuntun aku ke ruangan itu?", tanyanya.

Bu Min hanya mengangguk.

"Tapi kenapa aku Bu...?"
"Apa karena tanggal lahir kami sama...?"

"Gak juga...",
"Yg Dara ganggu sebenarnya bukan kamu. Melainkan Ibu nya, Bu Cahya.", jawab Bu Min.

"Lhoo... Buat apa dia mengganggu Ibu nya sendiri?", tanya Bu Ani tidak paham.

"Putri mereka yg kedua, Raras, sebenarnya bukan putri kandung mereka. Raras itu adalah anak adopsi mereka."
Pak Darso, Bu Ani dan Dahlia terkejut mendengar itu. Pasalnya, baru kali ini mereka mendengar cerita itu.

"Dara meninggal karena kecelakaan. Ia jg terjatuh dari lantai 2 rumah mereka yg lama. Dan hal itu disebabkan karena temperamen Bu Cahya yg tanpa disengaja memukul Dara...
...terlalu keras, sampai terjatuh di tangga.", ucap Bu Min menjelaskan.

Bu Min memang mengetahui banyak hal dan rahasia mengenai keluarga Pak Surya. Pasalnya, Bu Min telah bekerja untuk keluarga Pak Surya selama 19 tahun, tepat sebelum lahirnya Dara.
Terlebih, Bu Min pun mengetahui sumber kekayaan keluarga mereka tidak lah di dapat melalui jalur yg halal dan normal.

Bu Min pun menjelaskan semua yg ia ketahui mengenai keluarga Pak Surya kepada Pak Darso dan keluarganya.

Mereka pun terdiam, tak mengira di balik...
...keluarga Pak Surya yg begitu baik terlihat, ternyata menyimpan rahasia yg begitu gelap.

"Lalu apa yg harus kami lakukan sekarang Bu Min...?",
tanya Pak Darso bingung.

"Gak apa-apa, Pak Darso tetap membersihkan rumah itu sesuai pesan Pak Surya. Saya akan menemani Bapak."
"Bagaimana dengan Dahlia...?",tanya Bu Ani

"InsyaAllah gak kenapa-kenapa...", jawab Bu Min.

"Tapi tetap amalkan apa yg sudah saya kasih tau sebelumnya yaa Nak."

Dahlia hanya bisa mengangguk mengikuti arahan Bu Min.
Sampai terakhir kali saya main ke rumah teman saya di daerah timur Bekasi pun, Pak Darso yg sudah tua masih rajin ke rumah Pak Surya untuk membersihkan rumah itu. Pak Surya sepertinya jg blm berniat menjual rumah tersebut.

Dahlia, putri Pak Darso sudah menikah dan...
...menetap di Jakarta bersama suaminya.

Bu Ani kini sudah tiada. Ia wafat pada tahun 2010 karena penyakit yg sudah lama dideritanya.

Bu Min, entah kemana...

Beberapa tahun setelah kejadian, ia menutup warungnya dan pergi tanpa kabar sampai saat saya mendengar cerita ini.
Untuk semua teman-teman Twitter yg membaca cerita ini, tidak perlua menanyakan lokasi tepatnya di mana.

Karena seperti yg sudah saya sampaikan di awal, saya hanya ingin berbagi. Bukan untuk menguji nyali teman-teman semua.

Ambil lah yg bisa diambil...
Tepikan yg memang tidak baik dicontoh.

Saya pamit,
Assalamu 'alaikum wr wb.

Salam hangat,
bonkioong
Missing some Tweet in this thread?
You can try to force a refresh.

Like this thread? Get email updates or save it to PDF!

Subscribe to bonkioong
Profile picture

Get real-time email alerts when new unrolls are available from this author!

This content may be removed anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!