Thread by @elisa_jkt

Pertama thread dibawah ini bukan dan tidak pernah ditulis utk bandingkan naturalisasi vs betonisasi (normalisasi).
Kalau anda baca dari awal sampai akhir itu utk menunjukkan bahwa banjir (luapan) blm sampai pada lokasi. Tapi entah kenapa ditarik naturalisasi vs betonisasi?

https://twitter.com/adriandanarw/status/1212909011462344704

Betonisasi (normalisasinya KemenPU) itu dilakukan juga oleh Pemprov DKI Jakarta sampai sekarang di kanal2 dan kali, dengan perawatan2 kalinya. Perawatan tahunan dredging rutin (sejak ada program JCDS/JUFMP dan jd program lokal) dan perbaikan (+peninggian) turap kanal & pompa.

Untuk waduk di hulu yang masnya tanya, sudah saya bahas di thread lain, betapa dia terundur2 dari inisiatif DKI (Pak Jokowi) dan akhirnya diambil alih pusat per Mei 2017 dan proyeksi selesai 2021 (menurut web KPPIP).
DKI? 10 waduk:
wartakota.tribunnews.com/2019/11/14/dki…

Dan kalau masnya bandingkan dgn "NATURALISASI", dampak hujan ekstrim di seluruh wil Jakarta dan Bekasi itu persoalannya bukan naturalisasi vs normalisasi lagi.
80% wilayah Jakarta itu sdh beton, lari semua ke drainase dan RTB Jakarta (yg cuma 3%). Mau gimanapun gak akan cukup.

Dan sayangnya solusi atas Ciliwung itu beda dgn hujan ekstrim yg 31 Des-1Jan.

Terkait yg hujan "esktrim" saya sdh tulis panjang di thread #krisisiklim dan tdk pula saya banding2kan normalisasi vs naturalisasi.
Zero run off blm tentu sama dgn naturaliasi.

Saya tolak normalisasi Sungai Ciliwung (dan bisa juga sungai2 lain, selagi dia sungai alami dgn karakter tertentu).
Tp normalisasi bs diterapkan pada kanal & kali, tapi tidak utk sungai alami.
Bersamaan jg naturalisasi tdk bisa diterapkan di Jakarta Utara, krn tdk bisa meresap.

Kesimpulannya: utk banjir kiriman Ciliwung, mau normalisasi vs naturalisasi itu tdk akan pernah selesai jika hulunya tidak diurus.
Utk hujan ekstrim kemarin, mau naturaliasi dan normalisasi keduanya dijalankan pun tdk akan cukup kalau 80% wilayah Jakarta tdk lakukan zero run off.