My Authors
Read all threads
Mau nyimak cerita paling menjijikan gak? Yang bikin hati nyeseg gak kepalang. Yang ngebuat relung hati lu dikoyak habis-habisan. Babak belur digebug kenyataan yang menyakitkan.

- SEMUA INI TENTANG PEREMPUAN -
Dulu, paling gak suka kalau lagi ada masalah keuangan, emakku selalu bawa masa lalunya. Cerita tentang perjuangannya menjadi pedagang, buruh, tukang jahit serabutan, menikah, dan akhirnya melahirkan.

"Jadi perempuan itu gak gampang." kata emakku.
Kenapa aku gak suka? Ya jelas, dulu pikiranku gampang banget. Perempuan/laki-laki pasti beda beban. Menjadi laki-laki juga gak gampang.

Tapi kenapa masalah keuangan, emak selalu ngebawa masa lalu itu?
Emak cuma bilang, "Mama pernah kerja di pabrik. Mama tau rasanya bertahan dan mempertahankan kehormatan cuma karena buat bertahan hidup. Mama tau semua. Mama cuma..."

Stoooppp, aku udh gak mau denger lagi. Tapi, waktu berlalu cerita itu diungkap lagi ketika umurku 20 tahun.
Dulu, mungkin cerita emakku gak begitu ngefek ke apapun. Gak ada pengaruhnya juga. Mama pasti cuma pengen anaknya bisa ngargain kerja keras orang tua. Sudah hanya sekadar itu.

Ternyata tidak. Aku menyadarinya ketika kali pertama turun ke lapangan, di Jakarta.
Aku bertemu dengan perempuan berumur 30 tahunan dalam sesi wawancara eksklusif. Bicara tentang buruh pabrik, asal Tangerang.

Ada hal yang sangat pelik, menjijikan, begitu biadabnya kehidupan untuk perempuan. Aku mendengar dengan seksama.
"Mas ibu masih ada?" perempuan itu memulai dengan pertanyaan.

Lebih tepatnya menghindar dari sekelumit pertanyaanku tentang menjadi buruh perempuan di pabrik.

"Masih." aku jawab.

"Seorang ibu pasti tau mas. Alasan bertahan jadi buruh ya untuk ngidupin anak. Bantu suami."
"Saya punya 3 anak. Yg gadis, kerja di Merak, jarang pulang. Jadi lonte kali dia. Tapi ya gimana pun itu anak saya. Adiknya, putus sekolah sejak SMA. Kerjanya, ngamen. Yang bungsu masih SD. Saya jadi buruh sudah 5 tahunan lebih. Ya ginilah."
Suami kerja tapi mbak?

"Saya udah gak urus lagi. Setahun dua tahun saya bantu suami buat nyukupin kebutuhan rumah. Tapi tetep aja merasa kurang. Sekarang malah udh dua tahun gak pulang."
Loh kemana?

"Gak ngurus mas. Mau nikah lagi juga udah gak ngurus saya. Udah capek. Saya cuma mau perjuangin anak saya yg paling kecil."
Kalau inget dulu, katanya, dia cuma pedagang asongan. Sampe akhirnya kenal sama orang pabrik, bekerja, dibayar 2 juta.

"Itu gaji pertama. Karena 1 jutanya harus dibayar ke pihak pt. Ke orang yg masukin saya. Hhh gak nyukup buat biaya ini itu. Saya nanggung beban sendiri."
Terus mbak ke Jakarta dalam agenda aksi untuk menaikkan upah buruh?

"Enggak mas, gaji saya sekarang sudah UMR. Saya turun aksi untuk melindungi kehormatan saya sebagai perempuan."

Maksudnya?
"Mas jangan pura-pura gak tau. Di pabrik itu keras. Apalagi buat perempuan yg statusnya gak jelas seperti saya. Org nganggep saya mungkin janda. Kurang perhatian, bisa dipake. Kontol emang orang-orang," katanya sambil menggali memori silam.

Aku cuma mengangguk, mendengarkan.
Dia menghela nafas, terik matahari membakar hati yang penuh dendam.

"Saya pernah, minta izin cuti mendadak saat bekerja, karena saya lagi datang bulan. Hari pertama. Sakitnya gak maen2. Saya izin ke supervisi. Saya malah disuruh ke dokter buat bukti. Saya turuti."
"Mas tahu, jaraknya dari ujung keujung. Cukup jauh. Saya harus berjalan nahan rasa nyeuri. Ketika saya turuti, saya balik lagi dan izin ke supervisi saya. Apa yang terjadi? Katanya surat itu gak berlaku. Saya disuruh ngasih bukti."

Lah kan sudah ada surat dokter? Bukti apa lagi
"Bukti kalau saya lagi merah!! Saya digiring ke sebuah tempat. Di sela2 mesin. Di sana sudah ada 2 supervisi lainnya. Lengan saya dicengkram kuat. Badan udh lemes. Rasa sakitnya makin jadi. Saya marah."
Di situ aku udah bener2 ngerasain sakitnya pasti bukan main. Panik. Sesak sekali dadaku. Aku hanya menahan kesal, membakar amarah yang tertahan. Aku masih mendengarkan.
"Tiga supervisiku itu langsung menarik celana. Dua tanganku diganggam kuat. Satu orang menyentuh celana dalamku, penuh bercak darah. Aku berontak. Aku teriak. Tapi suara mesin begitu kuat. Rasanya ingin kubunuh saja mereka."
Deeeegggg anjeeeeeeeenggg. Rasanya pengen teriak denger cerita begitu.
Mbaaaakk...

"Gak ada orang. Cuma mereka bertiga. Laki2 sialan itu langsung membalikkan badanku menghadap mesin. Jemariku diancam untuk masuk ke dalam mesin, jika tidak dituruti. Aku gak berkutik, gak bisa ngelawan lagi, rasa sakit sudah diujung tanduk. Tapi kontol mereka... "
"Tolol. Cuma orang2 tolol yang pengen ngentot pas lagi merah. Anjing. Supervisi goblog. Aku mas, cuma bisa nahan sakit. Sambil ngeliat tanganku yang diancem masuk ke mesin. Anjing!!"
Gak nutup di situ. Masih banyak kisah pelik buruh perempuan lainnya. Dia hanya salah satu korban, pemiskinan struktural. Kehormatannya sebagai perempuan, direnggut. Apakah tidak berujung konflik? Jelas ada. Setiap pekerjaan menanggung risiko besar.
"Saya bukannya gak berani untuk melapor. Saya cuma gak tau harus melapor ke siapa. Ya lulusan SMP mas, saya gak ngerti apa-apa. Yang ada dipikiran saya waktu itu, cuma anak. Kalau bukan karena anak. Saya gak mau bertahan di sana," tukasnya.
Sesi wawancara itu berlanjut. Ada banyak hal yg kudapat. Pertama kali yang harus dilakukan adalah melawan dengan cara menulis. Menutupi identitas korban dan menjadikan isu ini adalah milik bersama.
Lebih sialnya, ketika tulisan yang jelas keberpihakannya kepada korban, kepada buruh perempuan di sektor industri sekalipun, ternyata mesti rela untuk dibuang, disingkarkan dari meja redaksi hanya karena dianggap "tidak menjual".
Rasa kesal pasti ada. Muak. Marah sejadi-jadinya. Karena tentu saja, menulis cerita pelik harus disertai bukti dan analisis yang tajam. Narasumber yang berimbang. Meski sudah tuntas sekalipun, cengkraman media kapital akan selalu ngehek di hadapan korban.
Tapi jauh di balik gelisahnya kawan-kawan buruh setidaknya aku memetik kebenaran.

"Menjadi perempuan tidaklah mudah."

Jakarta, 2018.
Satu lagi, ini yang harus benar-benar dengan serius kita kawal hingga tuntas. Tidak hanya dampak pekerja, lingkungan tetapi dampak ekonomi juga.

Sudah saatnya, kita saling jaga merawat solidaritas kaum pekerja.

#OmnibusLaw
#RUUcilakaBikinCelaka

Baca juga utas berikut. Penting untuk disimak.

Kita sudah sepatutnya menjadi buruh yang sadar terhadap bentuk pemiskinan yang mencengkram.
Tidak ada tempat aman bagi kita, tapi kita berhak untuk melawan hidup yang penuh kecemasan.
Kesalah kita hanya merasa perlu untuk terlibat di tengah-tengah ketidakadilan. Jika gagal, atau bahkan menjadi korban, kita akan menyimpan banyak memori yang telah tertanam, tumbuh menjadi dendam menuai luka berkepanjangan.
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with T E B O

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!