Terungkapnya Pemilik Tuyul

Misteri hilangnya uang, membuat warga curiga dan mencari tahu siapa sang majikan tuyul sebenarnya.

#terungkapnya_pemilik_tuyul
#bacahorror
@bacahorror Image
*Cerita ini berdasarkan gabungan kisah nyata dan sedikit dibumbui fiksi. Jika terdapat kesamaan alur dan ide cerita itu hanyalah kebetulan belaka*

—————————————————————————
Pagi itu teriakan Nek Ijah mengagetkan tetangga, beberapa warga mulai berkerumun mencari tahu apa yang terjadi.

Bu Mila, tetangga sebelah rumahnya menemukan Nek Ijah selonjoran di lantai kamarnya terisak.
Tangan kanannya memegang dompet coklat kusam yang terbuka, diliriknya dompet itu, kosong.

Cucunya, Indah. Yang berusia tujuh tahun, ikutan menangis di atas kasur, memandangi neneknya yang tersedu. Segera Bu Mila duduk mensejajari Nek Ijah.
"Nek Ijah, ada apa?" Ia merangkul dan mengusap bahu Nek Ijah,

"Hilang! Hilang semuanya .... " Nek Ijah kembali terisak, meracau tak jelas, memegang kepalanya dan menyenderkan tubuhnya di amben kasur.
Beberapa warga mulai memenuhi depan pintu, celingukan ingin tahu.

"Apanya yang hilang, Nek?" tanya Bu Mila kembali.

"Uangnya Nenek, Bude. Hiks ... Hiks ...," jawab sang cucu,

"Ya Allah, Nek. Kalian kemalingan?"
Mendengar tebakan Bu Mila warga mulai bergumam, banyak yang merasa iba. Nek Ijah adalah seorang janda tua yang hidup berdua dengan cucunya. Anaknya—ibunya cucu—merantau keluar kota untuk menghidupi mereka, sejak suaminya pergi meninggalkannya untuk wanita lain.
"Kog bisa, Nek? Semalem Nenek dirumah kan?" Isakan Nek Ijah terdengar melemah. Ia mulai bisa berkata.

"Semalam masih ada, utuh! Rencananya pagi ini mau saya pakai buat bayar listrik sama beli sembako, trus sekolah Indah, pas buka dompet lah kok sudah raib. Tak tersisa!"
Tenggorokannya mulai bergetar-getar lagi, menahan tangis. Sembari menunjukkan dompet di tangannya.

Indah mulai turun dari kasur, ikut menghambur disamping neneknya. Memeluk dan terisak.
"Padahal itu uang baru dikirim Surti tiga hari lalu, buat biaya sebulan. Gak mungkin saya minta lagi." Ia mengusap-usap kepala sang cucu, keduanya terlihat melas.

"Sabar ya, Nek. Nanti kita semua bakal bantu," tutur Bu Mila menenangkan.
"Iya, Nek Ijah. Mulai nanti malam kita semua bakal perketat jam siskamling, siapa tahu bisa ketemu malingnya," sahut Bang Mamad depan pintu.
Semua warga manggut-manggut mengiyakan. Pak RW mulai mengumpulkan warga di luar rumah Nek Ijah, lalu menyusun beberapa rencana, sumbangan untuk Nek Ijah dan jadwal jaga untuk nanti malam. Setelah semua beres warga mulai membubarkan diri.

****
Hari-hari berikutnya warga mulai resah, banyak yang kehilangan uang begitu saja, kali ini bukan dalam nominal besar, hanya selembar sampai beberapa lembar saja. Namun sudah mengusik kenyamanan warga.
Pak RW mulai bingung, sebab hampir tiap malam tak pernah ada laporan atau menemukan maling yang dimaksud. Keadaan kampung tetap aman-aman saja.
Hingga suatu malam, saat Bang Mamad yang terkenal punya indera keenam dapat jatah giliran jaga, saat itu ia sedang keliling kampung untuk ronda. Karena hawa yang dingin ia membelitkan sarung menutupi kepala dan tubuhnya.
Di suatu kebun pisang milik Pak RW, ia menemukan seorang anak kecil sedang meringkuk. Kepalanya botak, tak berpakaian, dan tubuhnya kurus kering.
"Dek, kamu ngapain disitu? Udah malam gini lo? Kamu anaknya siapa?" tanya Bang Mamad yang tak digubris oleh anak itu.

Keadaan waktu itu sangat gelap, anak itu terduduk diantara pohon pisang yang membuat Bang Mamad memicingkan pandangan.
Ia mulai merasa ada kejanggalan, perlahan ia menarik senter yang terselip di saku celana, menekan tombol 'on' dan menyorot wajah anak itu.
Seketika ia tercekat, melihat penampakan anak itu menyeringai dengan taring kecil, kantung mata hitam dan kulit pucat, ia berdiri. Terlihat di tangannya terselip kantong putih. Ia semakin yakin bahwa itu bukan manusia.
Anak itu mulai bergerak membuat Bang Mamad terjungkal ke belakang, ia mencoba berdiri namun terbelit sarungnya, membuatnya kembali terperosok.
Anak itu lari secepat kilat, hilang diantara pepohonan pisang, Bang Mamad celingukan sembari mengatur nafas, meski mata batinnya bisa melihat hal tak kasat mata, ia tak punya kemampuan khusus untuk mengendalikan. Takut sudah pasti.
Sejak saat itu warga mulai meyakini bahwa masalah kampung sekarang ini adalah akibat perbuatan tuyul, yang entah milik siapa.

Karena Bang Mamad bercerita bahwa menemukannya di kebun Pak RW, warga mulai curiga dan bergosip tak jelas.
Membuat Bu RW merasa malu untuk keluar rumah, warga semakin yakin melihat gelagat keluarganya yang semakin jarang berkumpul.

****
Pagi hari di sebuah toko kelontong milik Pak Hasyim, ibu-ibu yang sedang memilah peralatan rumah tangga berdesas-desus dengan semangat.

"Eh, iya. Bu RW itu sekarang semakin jarang ya ikut acara kampung. Kemarin aku undang jam'iyah di rumahku juga nggak datang lo,"
tutur Bu Ida, istri Pak Hasyim–Pemilik toko–Sedang duduk di kursi kasir, mengibaskan kipas tangan dengan renda berwarna pink.

"Aku jadi ngeri, bener nggak sih kabar itu?" sahut Bu Marni tanpa menoleh, tangannya sibuk memilih sapu ijuk.
"Jangan kayak Bu Tejo yang suka nyinyir gitu lah, Buk. Kita juga belum tahu pastinya kan? Nggak baik su'udzon," sahutan Bu Mila di depan toko yang sedang memilih pisau dapur.
"Ya ... Bukannya su'udzon gitu lah Bu Mila, lah kenyataannya gitu, saya sampai bingung mau naruh duit dimana lagi, pasti selalu berkurang. Siapa lagi kalau bukan ulah tuyulnya Bu RW!" cecar Bu Ida dengan nada kesal.
Bu Marni mendekat ke meja kasir, menaruh sapu ijuk disana. Langsung disambut begitu saja oleh Bu Ida.

"30 ribu."
"Loh biasanya kan 25 ribu Bu Ida? Jangan kayak tuyul dong, kita tiap hari udah kehilangan beberapa lembar masak masih dicekik juga disini!" sesal Bu Marni memonyongkan bibirnya.
"Biasanya kapan? Sampean aja beli sapu berbulan-bulan yang lalu, sekarang sudah beda harganya!" Meski kesal Bu Marni membuka dompet lalu menaruh uang pas dengan sedikit menggebrak. Bu Ida hanya nyengir kuda sembari terus mengibas kipas tangan.
Bu Marni keluar dari toko dengan perasaan dongkol, diikuti Bu Mila.

"Heh, Bu Mila! Nggak jadi beli?" teriak Bu Ida,

"Nggak jadi, pisau saya dirumah masih bagus. Nanti biar diasah sama suami saya!" jawabnya dengan nada tinggi.
Terlihat Bu Ida menggerutu tak jelas melihat kedua tetangganya berlalu.

Saat itu, Pak RW yang rumahnya berada di depan toko Bu Ida, terlihat membuka pintu pagar, sembari melipat tangan ke belakang punggungnya.
Setelah menutup pagar, kedua tangannya menyatu di belakang, layaknya menggendong sesuatu.

Dua ibu itu berjalan agak jauh di belakang Pak RW. Mengamati pergerakannya yang sedikit mencurigakan.
"Bu Mila, lihat tuh Pak RW. Kata Bapakku dulu kalo ada orang yang berjalan sambil melipat tangan di belakang, itu tandanya lagi gendong tuyul," bisik Bu Marni sambil terus berjalan.
"Aku juga mikir gitu, Bu! Jangan-jangan?" sahut Bu Mila mengerutkan kening, mereka beradu pandang.

"Coba kita ejek dari sini, katanya kalau kita olok-olok di belakang, tuyulnya bisa merajuk."
Bu Mila mengangguk, ia mempercepat langkah, mendekatkan jarak dengan Pak RW.
Tepat berselang satu meter, Bu Mila pasang muka jelek sambil menjulur-julurkan lidah seakan mengejek. Bu Marni terkikik, ia ikut mendekat memiringkan bibirnya ke samping sambil melotot. Seketika Pak RW berbalik, membuat dua ibu itu terdiam mematung.
"APA ...!!" Ia melotot geram, terlihat sekali muka kesal diwajahnya.

Tenggorokan Bu Mila bergerak, tertahan disana. Refleks Bu Marni menyeret tangannya menjauh, berbelok arah.

Ketika dirasa sudah jauh dan aman, keduanya baru bisa bernafas lega.
"Nggak salah lagi kayaknya, Bu. Tapi jangan ceroboh dulu, kita harus benar-benar tahu kebenarannya untuk dijadikan bukti," kata Bu Mila menggebu.

"Iya, Bu. Jangan sampai kita salah orang, biar nggak jadi fitnah. Saya juga nggak mau sembarangan nuduh orang."
Keduanya lalu berpisah di pertigaan gang, karena rumah mereka beda arah.

Sesampainya di rumah, kedua Ibu itu bercerita kepada suaminya masing-masing, geram menyelimuti.
Dengan susah payah mereka bekerja, tetapi seenaknya saja diambil paksa tuyul sialan itu.

"Nanti saya coba konfirmasi ke warga yang lain, biar kita cari jalan keluarnya," usul suami Bu Marni. Diikuti anggukan mantap istrinya.

****
Malam ini, kembali Bang Mamad dapat tugas jaga. Ia sudah diberitahu oleh suami Bu Marni untuk mengawasi rumah Pak RW, untuk memastikan tuyul itu keluar dari rumahnya atau tidak.
Karena baterei senternya habis, ia mampir ke toko Pak Hasyim untuk membeli.

"Pak, baterenya dua ya," kata Bang Mamad.

"Eh, iya Mad. Lagi tugas ya? Kalo saya besok," sahut Pak Hasyim sambil mengambil baterei dari kotak kardusnya.
"Kamu yang fokus kalau jaga, Mad. Hanya kamu harapan warga, karena cuma kamu yang bisa melihat tuyul itu," tambahnya sembari memberikan baterei pada Mamad.
Dari dalam toko terlihat Bu Ida mendekat ke arah Pak Hasyim dengan membawa selendang yang disampirkan di lehernya, kancing daster bagian atasnya pun terbuka beberapa.
Bang Mamad tertegun memandangnya, seperti habis menggendong dan menyusui bayi saja. Namun ia berpikir, mereka tak punya anak kecil, untuk apa Bu Ida bawa selendang? Cucunya pun ada di kota seberang.
Ia terdiam heran, bahkan berkali-kali Pak Hasyim memanggilnya tapi dia hanya diam memandang Bu Ida.

"Heh, Mad! Kog malah melamun sih?" Mamad tersadar lalu menggeleng.
"Eh, iya Pak. Maaf! Saya lagi heran saja liat Bu Ida. Ngapain istri Bapak pake selendang gitu? Apa cucunya lagi disini?" tanya Bang Mamad membuat Bu Ida buru-buru menutup kancing daster dan melemparkan selendang.
"A–anu, Mad. I–itu tadi habis senam sama latihan tari di dalam. Cari kesibukan, lumayan 'kan dapat bonus langsing pula. Hehe ...," jawab Bu Ida nyeleneh.

Bang Mamad seketika menatap tubuhnya dari atas ke bawah, aneh sekali.
Tubuh pendek dan gempal seperti itu dikata langsing dari mananya coba? Ia berdesah menyungging, lalu mengeluarkan uang dari kantong celana untuk membayar baterei. Kemudian berpamit.

****
Waktu menunjukkan pukul 01.00 wib. Kedua teman jaga Bang Mamad dapat giliran menyusuri kampung, sedang ia sendiri di dalam pos ronda. Ia mulai mengeraskan volume radio agar suasana jadi ramai.
[ Loss ... dool ... Ndang lanjut leh mu wasapan, cek paket datane yen entek tak tukokne ... tenan dek elingo yen mantan nakokno kabarmu tandane ... iku ora rindu ... Nanging kangen keringet bareng awakmu ....]
Keras ia bersenandung untuk mengusir sepi, sembari sedikit bergoyang menikmati alunan lagu. Angin dingin tiba-tiba menerpa, ia melirik awan yang mulai bergemuruh, bergelayut dan menggelantung seakan siap untuk menumpahkan air langit.
Kilatan petir mulai menyala-nyala, ia mempererat balutan sarung di tubuhnya, meringkuk di pojok pos menahan tusukan dingin angin malam. Celingukan ia mengedarkan pandang, berharap kedua temannya segera kembali menemani.
Samar-samar di kegelapan gang ia melihat sebuah bayangan, semakin lama semakin nampak jelas, sosok itu berlari kecil menuju kebun pisang Pak RW, awalnya Bang Mamad takut untuk melangkah, tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya.
Ia mulai berjalan cepat mencari keberadaan sosok itu.

Dengan bersenjatakan senter di tangan, ia menyusuri kebun pisang, meski gemetar dan dada berdegup kencang, ia tetap berusaha melawan. Hingga tepat di pojokan tembok ia menemukan sosok gundul berdiri menghadap pohon pisang,
ia mematikan senter agar tak ketahuan.

Perlahan dengan sedikit berjinjit agar tak menimbulkan suara ia mendekatinya. Tepat dibelakang sosok itu Bang Mamad mendekap dari belakang.
Namun, ia sedikit heran merasakan perawakan yang ada dalam pelukannya, ternyata tubuhnya lebih tinggi dari dirinya, seketika ia terkaget mendengar suara gemerisik air membasahi daun kering.
Bang Mamad melongokkan wajahnya ke depan bawah, ia terkesiap melihat sosok yang ia dekap sedang mengencingi pohon pisang. Wajah keduanya perlahan bertemu pandang.
"J*NC*K ASW!" teriaknya keras ketika menemukan wajah Sholeh teman rondanya. Seketika ia melepaskan pelukan itu.
Sholeh masih menatapnya lekat dengan tatapan tajam.
"Apa? Jangan mikir aneh-aneh! Kamu pikir aku homo?" Sholeh menganggukkan kepala cepat. Tangan Bang Mamad segera meluncur di kepala botaknya.

PLETAKK ...!!
"Aduh! Sakit, Mad." Ia bersungut lalu menarik kembali resleting celananya. Keduanya terkekeh.

"Tak kira tuyul kamu tadi, Leh. Aku liat penampakannya berlari kesini tadi," kata Bang Mamad. Keduanya lalu berjalan kembali menuju pos ronda.
"Masak? Udah dua kali lo kamu ketemu itu tuyul disini. Jangan-jangan bener kata warga kalau tuyul itu milik Pak RW yang Lagi pulang dari menjarah uang warga."
"Kayaknya kita mesti cari bantuan orang pintar, Leh. Besok kita diskusikan, asal jangan sampe ketahuan Pak RW, " usul Bang Mamad yang diterima anggukan dari Bang Sholeh.

****
Pagi hari warga dihebohkan oleh Pak Hasyim yang tiba-tiba membeli mobil baru.
Kasak-kusuk gumaman warga mulai terdengar. Nyatanya toko kelontong Pak Hasyim tidak begitu ramai. Namun dengan gampangnya membeli mobil baru yang nilainya ratusan juta.
Mereka membelokkan fakta dengan dalih bahwa itu hasil uang yang diberikan oleh anak semata wayangnya di kota seberang. Jelas tak ada yang percaya, sebab semua sudah tahu bila anaknya, Rizal. Hidup serba berkecukupan disana, kerjaannya tak tentu.
Dengan tiga anak yang masih kecil. Bahkan seringkali Pak Hasyim yang membantu perekonomian mereka lewat transferan darinya.
Beriringan dengan berita itu, warga dikejutkan kembali dengan kabar Pak RW sekeluarga yang akan pergi umroh. Bisa dibayangkan berapa nilai rupiah yang mereka keluarkan untuk empat orang. Sedangkan Pak RW sendiri hanyalah seorang guru PNS yang gajinya hanya sebatas UMR
Warga mulai menebak-nebak siapa diantara keluarga mereka yang memang pelihara tuyul. Beberapa warga yang ekonominya dibawah standar sudah geram, karena seringkali kehilangan uang yang bahkan tinggal selembar, malah raib begitu saja.
Bang Mamad dan Bang Sholeh tidak tinggal diam, mereka mulai beraksi dengan menyebarkan dari telinga ke telinga karena takut membuat Pak RW dan Pak Hasyim curiga.
Ada yang mengusulkan untuk mendatangkan Gus Ali dari desa seberang, yang terkenal sakti dalam hal ghaib dan mistis. Tanpa menunggu lagi, salah seorang warga sudah diutus untuk menghubungi Gus Ali agar bisa menyelesaikan masalah desa ini.

****
Di sebuah pengajian kampung, beberapa ibu sudah rapi duduk berjejer mengitari musholla. Di pojok gerbang terlihat Bu RW duduk bersimpuh dengan tangan yang bergemerincing perhiasan.
Tak ada yang duduk disebelahnya, ia sendiri. Menunduk dan hanya ikut merapal bacaan yang sedang dilantunkan Bu Nyai. Nyinyiran Ibu-ibu semakin menjadi ketika melirik gelang dan cincin yang terselip di tangan kirinya.
"Tuh! liat, Bu. Semakin kesini saya makin yakin kalau dia pelihara tuyul. Dulu kan Bu RW suka polosan, hanya pake cincin nikah doang. Tapi sekarang?" ujar Bu Ida dengan lirikan pedas. Sepedas bon cabe level 20.
"Eh, Bu Ida. Jangan menggiring opini publik buat nyinyirin Bu RW ya, sampean sendiri apa nggak mikir. Tiba-tiba beli mobil baru dengan gampangnya. Warga nggak hanya curiga sama Bu RW, sama sampean juga!" tutur Bu Marni gak kalah pedas.
Ia seperti ditampol ribuan tangan, mendelik melirik ibu-ibu yang melingkar mengitarinya. Wajahnya terlihat merah padam. Para ibu semakin memandangnya dengan tatapan cadas, ia menyerah. Berdiri dengan sewot lalu pergi meninggalkan majelis. Ibu-ibu cekikikan melihat Bu Ida merajuk.
"Bu Marni, mantep betul deh. Menohok sekali ucapannya," kata Bu Susi–istri Bang Sholeh–mengacungkan jempol.

"Biarin, salah sendiri suka banget nge-ghibah gak jelas, gak mikir sama kelakuannya sendiri. Biar kapok!" tambahnya terkekeh.
"Iya Bu, sekali-kali perlu dikasih pelajaran itu mulut," sahut seorang ibu di samping Bu Mila.

"Sssttt ... Ngaji Buk, jangan ngomong sendiri," tutur Mak Ijah di barisan depan.

Semuanya terdiam menahan tawa, lalu melanjutkan bacaan tahlil yang sempat tertunda.

****
Hari demi hari serangan tuyul semakin meresahkan warga, beruntung malam ini Gus Ali mau menyempatkan waktu untuk datang ke kampung. Ia segera bersiap saat dijemput oleh Bang Mamad.
Sesampainya di pos jaga, keduanya duduk di kursi panjang bersama beberapa warga lainnya, lalu fokus menatap kebun pisang Pak RW.

"Disitu, Gus. Biasanya saya sering lihat," ucap Bang Mamad sembari menunjuk ke arah kebun pisang.
Gus Ali mengangguk. Ia mengambil rokok dari dalam saku lalu menyulutnya dan sedikit berbincang untuk mengusir ketegangan.

Selang beberapa menit, yang ditunggu akhirnya muncul. Bang Mamad sedikit kaget, tapi berusaha tenang agar tuyul itu tidak menyadari jika sedang diuntit.
Ia hanya melirikkan bola mata pada Gus Ali untuk memberi kode.

Bibir Gus Ali seketika merapalkan bacaan yang entah apa, Bang Mamad terlihat tegang saat perlahan tuyul itu seperti terkena hipnotis, berjalan mendekat ke arah mereka.
Sedang warga lainnya hanya menampakkan wajah kebingungan karena tak bisa melihat apa yang terjadi.

Hingga jaraknya tinggal beberapa meter, Gus Ali mengambil sebuah botol dari dalam tasnya.
Dalam beberapa detik saja, tuyul itu dengan mudahnya masuk ke dalam botol tatkala Gus Ali membuka tutup botolnya.

Kepulan asap mengepul saat tuyul itu berhasil masuk ke dalamnya, Bang Mamad dan warga lainnya mulai terlihat tegang.
Bang Mamad menyeka buliran keringat di dahi dengan lengan bajunya. Ia mulai memperhatikan betul-betul sosok yang ada dalam botol itu sembari bergidik.

"I–itu beneran tuyulnya, Gus? Serem amat ya bentuknya! Loh ... loh ... Gus, dia gebrak-gebrak botol, pengen keluar sepertinya."
"Jangan khawatir, sudah saya kunci botolnya. Nggak mungkin bisa keluar kalau bukan saya yang buka," jelas Gus Ali yang membuat Bang Mamad dan warga lainnya terlihat sedikit tenang.
"Trus mau diapain ini tuyul, Gus? Biar dia ngaku siapa majikannya?"

"Tanya dia, Mad. Suruh ngaku!" kata seorang warga geram. Gus Ali mengangguk tanda memberi kesempatan.
"Heh ... tuyul si*lan! Siapa majikanmu?!" tanya Bang Mamad sembari menuding botol.

"Dia jawab apa, Mad?" Beberapa warga tak sabar ingin tahu.

"Katanya cuman Bapak, bapak, bapak!" jawab Bang Mamad geram.
"Disini semua juga bapak-bapak, Mad. Tanya namanya dong!" gerutu Bapak berkaus cokelat kesal.

"Tenang, saya ada cara tanpa membuat ia harus mengaku, dijamin efektif." sela Gus Ali menengahi keributan warga.
Semua hanya bisa mengangguk pasrah, menunggu hal apa yang akan dilakukan sang ustadz.

Ia menaruh botol di atas meja, lalu kembali merapal bacaan, matanya memejam dan jari telunjuknya di angkat setara dengan kepalanya.
Perlahan, Ia mulai membuka mata kemudian seperti sedang membentuk huruf 'X' di depan dinding botol.

"Wah ... bisa gitu ya!" Bang Mamad menatap botol dengan penuh keheranan.

"Apa yang terjadi?" Warga bersahut-sahutan bertanya kebingungan.
"Saya sudah memberi tanda 'X' di dahi sebelah kanan tuyul ini, dan ini akan langsung terjadi pula dengan pemilik si tuyul. Jadi, kalian tinggal melihat siapa di antara warga disini yang memiliki tanda itu di dahinya, dipastikan dialah pemilik sesungguhnya,"
tutur Gus Ali membuat warga manggut-manggut memahaminya.

Kini semua orang di pos ronda itu saling pandang, memastikan siapa di antara mereka yang dahinya terluka.
"Sepertinya semua orang yang disini tidak punya alibi. Besok pagi saja kita sebar berita ini biar segera ketahuan," ucap Bapak berkaus cokelat kepada semua orang.
"Terima kasih bantuannya, Gus. Semoga bisa segera terpecahkan semua misteri ini." Bang Mamad menjabat tangan Gus Ali dengan menyelipkan amplop yang berisi uang sumbangan warga.
Warga yang tidak bertugas jaga segera membubarkan diri masing-masing, mereka berjalan sambil bergumam membahas kejadian tadi.

****
Pagi hari, suasana kampung jadi sedikit aneh. Hampir tiap orang yang ketemu saling pandang jidat, bahkan ibu-ibu yang berkerudung diminta untuk sedikit membuka jilbab untuk memastikan.
Pak RW yang saat itu sedang menyiram tanaman jadi sedikit kepo melihat gelagat warganya. Ketika Nek Ijah berjalan di depan rumahnya, Pak RW mencegahnya untuk bertanya.
"Nek, itu ada apa'an kog pada liatin jidat?" Nek Ijah lalu mendekat ke arah suara pemanggil dan melihat lekat-lekat dahi Pak RW.

"Oh, jadi bukan Pak RW ya?" katanya seraya melototkan mata pada dahi Pak RW. Seketika Pak RW memegang jidatnya sendiri.
"Emang kenapa, sih?" tanya Pak RW semakin penasaran.

"Tadi malam tuyulnya sudah ketangkep, Pak. Kata orang-orang kalo liat seseorang yang jidatnya terluka dengan tanda 'X' itu berarti majikannya," jelas Nek Ijah menggebu-gebu.
Pak RW hanya manggut-manggut mendengarkan penuturan Nek Ijah.

Beberapa ibu-ibu mulai ikut berdatangan ke depan rumah Pak RW. Terlihat Bu Mila dan Bu Marni menatap Pak RW penuh malu.

"Maafkan kami ya, Pak. Karena hampir menuduh Pak RW."
Keduanya menekuk wajah mengalihkan pandang.

"Ndak apa-apa, Bu. Waktu itu sejak awal saya sudah tahu kalo sedang diikuti. Makanya sedikit kesal sama sampean berdua."

Bu RW yang mendengar cerita di depan rumahnya segera mendekat.
"Alhamdulillah kalo sudah ketangkep, semoga segera tuntas masalah ini, biar saya dan keluarga juga nggak kepikiran terus denger omongan warga tentang kita. Karena sebenarnya, kami sekeluarga bisa pergi umroh karena mendapat warisan dari Bapak saya."
"Iya, Bu RW. Sambil bantuin juga lihat jidatnya warga yang lewat. Biar kampung kita segera aman." Ucap Nek Ijah pada keduanya, lalu semua ibu yang berkumpul berpamit untuk pergi ke pasar.

****
Hampir dua hari, warga belum bisa menemukan si pemilik tuyul. Karena hampir semua warga tidak ada yang punya alibi, kali ini warga semakin yakin bahwa Pak Hasyim lah pelakunya, karena beberapa hari ini ia tak menampakkan diri keluar rumah.
Warga berbondong-bondong mengerumuni rumah Pak Hasyim. Bu Ida, istrinya, menjadi ketakutan saat melihat kerumunan warga datang dengan penuh emosi.
"Woi, Pak Hasyim! Keluar sini, tunjukkan wajahmu di depan kami semua kalau berani!!" seru Bang Mamad yang diikuti teriakan semua warga.

"Ayo keluar!!" sahut warga lainnya dengan nada tinggi dan kasar.
Karena takut bila warga sampai berlaku anarkis, Bu Ida memberanikan diri untuk ke luar rumah menemui warga yang mengamuk.
"Maaf, bapak dan ibu semua. Suami saya lagi sakit. Nggak bisa berdiri untuk keluar, badannya panas banget." ujarnya dengan suara bergetar-getar.

Pak RW mulai angkat suara,
"Kalo memang suami sampean nggak bersalah, coba buktikan sekarang. Papah suaminya keluar agar kami yakin!" Bu Ida terlihat mengangguk pasrah, masuk ke dalam rumah.

Perlahan namun pasti ia menuntun suaminya ke luar rumah.
Semua warga terlihat melongo menyaksikan Pak Hasyim dengan dahi yang baik-baik saja. Bu Ida mendudukkan suaminya di kursi teras rumah. Semua orang saling pandang, merasa tak enak hati sudah menuduh sembarang orang.
"Lihat! Apa yang kalian tuduhkan tentang saya dan suami tak ada yang benar. Kami membeli mobil benar-benar dari Rizal, anak kami yang sejak setahun yang lalu bekerja di luar negeri, awalnya dia membuka sebuah kedai kecil di sana,
ternyata makin lama kedainya berkembang pesat dengan untung 75 juta perbulan." Semua warga terlihat manggut-manggut atas penjelasan Bu Ida.

"Jadi sekarang siapa yang bersalah? Apa ada lagi yang perlu dicurigai?" tanya Pak RW, semua orang terlihat bergerumun tak jelas.
Hingga akhirnya ada yang baru menyadarai kalau Bang Sholeh tidak terlihat batang hidungnya sejak penangkapan tuyul malam itu. Ia memberitahu Bang Mamad sebelumnya jika istrinya sedang sakit, jadi tidak bisa ikut.
"Wah, bener-bener nih si Sholeh! Bisa jadi sih, rumahnya 'kan memang di samping Pak RW. Jadi selama ini tuyul itu melewati kebun pisang Pak RW untuk kembali ke rumah Sholeh," ucap Bang Mamad mengira-ngira.
Semua warga pun terlihat mengangguk mantap, lalu bersiap mendatangi rumah Bang Sholeh.

"Ayo kita buktikan!" seru Pak RW memimpin warganya.

Rumahnya terlihat sepi dan tertutup, warga yang tak sabar segera mengetuk keras pintu rumahnya.
Tok! tok! tok!!
Berulang kali ketukan dan teriakan warga menggema, tapi si pemilik rumah belum juga membuka pintu.

"Woii ... Bang Sholeh keluar sekarang!!"

Dengan perasaan emosi warga mulai mendobrak pintu rumahnya tanpa permisi.
Saat pintu benar-benar terbuka terlihat kedua orang pemilik rumah meringkuk di ruang tamu, dengan geram keduanya diseret paksa keluar rumah.

Tanpa dikomando warga membentuk lingkaran mengelilingi kedua pasangan tersebut.
Dahi Bang Sholeh terlihat membusuk dengan nanah yang bersiap muntah, membentuk huruf 'X' yang membiru di bagian pinggirnya.

Istrinya pun begitu, wajahnya terlihat pucat dan kering, seperti habis disedot paksa isi tubuhnya.
"Keterlaluan kamu, Leh. Selama ini aku percaya padamu ternyata kamu sendiri pelakunya!" ucap Bang Mamad geram.

"Istrimu pasti kecapekan karena harus menyusui tuyul itu 'kan? Lihat badannya sampe habis kayak gitu!" Bu Marni berseru menatap wanita di hadapannya.
"Sudah, sudah. Bapak Ibu sekalian, saya mohon agar kita jangan main hakim sendiri. Sebaiknya kita serahkan semua ini ke pihak yang berwajib, buktinya sudah ada 'kan? Kita kumpulkan semua bukti yang ada agar segera diproses," tutur Pak RW menutup emosi warga.
Akhirnya dengan menunjukkan bukti berupa tumpukan uang dan perhiasan milik warga yang disimpan di lemari dapurnya, keduanya ditangkap oleh polisi.

Kampung pun kembali aman seperti semula. Tanpa ada lagi kejadian yang meresahkan itu lagi.

TAMAT

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with lely rosyidah

lely rosyidah Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @lely_rosyidah

24 Dec 20
Gangguan Ummu Sibyan
———————————————

Sebuah kisah gangguan yang dialami ibu saat hamil sampai mempunyai bayi

@bacahorror @ceritaht #bacahoror #threadhorror

Sumber gambar : blogger gambar seram Image
Tahun ketiga pernikahan, pertanyaan 'kapan hamil' terasa menjadi momok seram bagiku. Berbagai hal telah kulakukan untuk mendapatkan keturunan.
Mulai dari meminum jamu-jamuan herbal, kurma muda, meminum air tetesan embun yang ditampung di bawah genteng, hingga berbagai dokter dan bidan telah kudatangi untuk konsultasi.
Read 79 tweets
13 Dec 20
Puspo Arum

Sepenggal kisah kuntilanak dalam keris.

@bacahorror @ceritaht
#bacahorror

Sumber gambar : jatim times
Hari ini, saat senja menampakkan keindahan warnanya, gabungan indah antara oranye dan kelabunya awan menjadi saksi pernyataan kisah cintaku dengan Mas Dharma. Diiringi dingin angin semilir pegunungan Kani, menambah kesan dramatis peristiwa ini.
Kami dalam perjalanan pulang dari Pesarean gunung Kani. Di dalam mobil sport putih aku duduk di kursi depan sebelah kemudi, menopang daguku memandang keindahan kota Madang, hijab unguku berkibar mengalun-alun seiring hembusan angin, menerpa wajahku yang hitam manis.
Read 104 tweets
13 Dec 20
👨 : "Bro, kenapa ya akhir-akhir ini aku merasa istriku tak lagi secantik dulu, tak sexy, tak menggairahkan."

👦 : "Jangan-jangan kamu ada main sama wanita lain, ya?"
👨 : "Nggak lah, cuman aku merasa lebih bergairah jika melihat wanita lain, tuh istri tetangga baru kita beniiing banget, beruntung banget lah itu suaminya."
👦 : "Itu karena kamu tiap hari melihat istrimu, secantik dan setampan apa pun pasangan, bila disuguhkan pandangan yang sama setiap hari pasti akan terasa pudar."

👨 : "Ah, masak sih? Padahal istriku udah kupenuhi dengan segala make up dan skin care yang bagus loh.
Read 6 tweets
30 Nov 20
Sesal Tiada Arti

*Short story*

Kutertawa sendiri memandangi layar ponsel di genggaman tangan. Membaca komen dari kawan-kawan di grup aplikasi hijau, saling berbalas dengan candaan yang semakin seru. Mood-ku tetiba hilang saat Fitri, anak semata wayangku
yang berusia tiga tahun merengek di sebelahku. Ia meminta makan, padahal baru sejam yang lalu aku baru menyuapinya. Dengan wajah kesal kuambil roti sobek cokelat di atas nakas sebelah ranjang.
Lantas, melanjutkan aktivitasku mengintip obrolan. Sebab, aku tak mau ketinggalan jauh, sembari kembali merebahkan diri di kasur.
Read 8 tweets
25 Nov 20
Penghuni Pabrik Rokok

Kisah gangguan yang dialami seorang security pabrik rokok
.
.
A thread

@bacahorror @ceritaht #bacahoror #bacahorror #threadhoror

*gambar hanya pemanis, comot dari google* Image
Tiga bulan sejak di PHK dari pabrik kemasan, aku mulai berusaha mencari pekerjaan baru. Namun, hingga sampai saat ini aku masih juga menjadi pengangguran. Uang pesangon yang hanya 15 juta nyatanya sudah hampir habis.
Namaku Fendy, lelaki 30 tahun. Istriku adalah seorang guru sekolah swasta yang gajinya nggak sampai sejuta. Aku tak mempermasalahkannya, karena bagiku menjadi seorang guru adalah sebuah tugas mulia, apalagi istriku sangat menyukai anak-anak.
Read 56 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!