kisah ini saya ambil dari kejadian yg menimpa salah satu tetangga yg masih memiliki hubungan keluarga dg saya. Sampai hari ini saya berpikir, kenapa sebuah kesalahan kecil berujung kematian. Saya tulis singkat.
Bismillah
Kumandang suara adzan terdengar kencang Jumat siang itu. Memanggil semua laki2 baik yg sudah dewasa maupun yg belum baligh untuk segera datang ke masjid. Beberapa pria tampak tergopoh2 berlari ke arah masjid sambil menyampirkan sarungnya.
Wak Majid, salah satu warga yg rumahnya cukup jauh dari masjid terlihat menjadi salah satu bagian dari orang yg buru2 berlari. Rumahnya ada di seberang area persawahan. Untuk sampai ke masjid, Wak Majid harus melalui belasan petak sawah dan sebuah sungai yang membelah desa
Ketika melalui sungai, tak sengaja Wak Majid melihat seorang anak yg asik memegang seser (jaring kecil) sambil mencelupkan setengah tubuhnya di labak (genangan air saluran sungai). Wak Majid mengenali anak itu lalu menyapanya.
"Lek, sing Jumatan (Nak, tidak jumatan) "
Anak itu menoleh sebentar. Tubuhnya berdiri tegak menghadap Wak Majid.
"Mboten Wak, mage golet lele (tidak wak, masih mencari ikan lele) " sahut anak itu.
Wak Majid mengamati anak itu. Pendik namanya, mungkin masih 11 tahun usianya saat itu. Anak seorang tukang kayu
"Ayo mentaso, jumat2 (ayo keluar dari air. Ini hari Jumat) " kata Wak Majid lagi sambil melompati batu pengganti jembatan.
Wak Majid yg sudah terburu2 akhirnya memilih pergi
Sebaliknya, Pendik semakin bersemangat mengeruk labak kecil yang berada di sekeliling pohon sukun itu. Siang itu, seser kecilnya berhasil mencakup 3 ekor ikan lele dan 2 ekor wader seukuran jempol orang dewasa. Pendik sudah tak sabar membayangkan Lauk yg akan disantapnya nanti.
Sekitar jam 1 siang, Pendik baru pulang ke rumahnya. Dua ekor ikan wader dan satu lele dilepasnya di ember kecil yang ada di depan rumahnya. Meski masih kecil,Pendik cukup lihai membersihkan lele dari patil dan jeroanya. Tak sampai 20 menit, lele sudah bersih dan langsung dimasak
Wati, ibu Pendik yg baru datang dari sawah hanya melirik kelakuan anaknya siang itu.
"Ojo lali kunir ambe uyah (jangab lupa kunir dan garam) " kata Wati sambil melewati anaknya.
Singkat cerita, dua ekor lele menjadi menu makan Pendik siang itu.
Sampai hanya tersisa tulang belulangnya. Setelah makan, Pendik kemudian keluar lagi dan bermain dengan teman2nya yg baru pulang Jumatan.
Malam harinya, badan pendik tiba2 demam. Karena menganggapnya demam biasa, Wati hanya menyuruh anaknya tidur
Tapi semakin malam panas ditubuh Pendik semakin tinggi. Tubuhnya sampai mengigil menahan panas. Wati sempat tidak terlalu peduli, dia berpikir mungkin anaknya kelelahan karena banyak bermain siang harinya.
"Makane kadung memengan ojo kesel2 (makanya kalau main jangan capek2"
Sekitar pukul 2 pagi, Pendik mulai menggigau. Dia memanggil2 nama Wati.
dengan setengah mengantuk, Wati mendatangi kamar Pendik. Dia melihat anak bungsunya itu mendelik tapi hanya bola mata putihnya yg terlihat.
Wati berteriak, lalu memegangi tubuh Pendik yg masih demam tinggi
Suara teriakan Wati membangunkan Basuni suaminya, dan anak sulungnya Salman. Mereka berdua kemudian ikut masuk ke dalam kamar Pendik.
Salman yg melihat jika sakit adiknya tidak wajar lalu berinisiatif memanggil Wak Abdul. Salah satu orang pintar di desa itu.
Malam2 buta Salman berlari mendatangi rumah Wak Abdul yg berjarak sekitar 100 meter dari rumahnya.
"Assalamualaikum, Wak Wak.. " Salman mengetuk rumah Wak Abdul.
Pria yg dicari di dalam rumah sepertinya belum tidur. Wak Abdul langsung keluar menemui Salman
"Ono paran Man?(ada apa man)"tanya Wak Abdul kepada Salman. Akhirnya Salman pun menceritakan jika adiknya mendadak demam sejak bermain di Labak.Sekarang kondisinya semakin parah.
Tak menunggu lama,Wak Abdul langsung mengikat sarungnya. Dia mengikuti langkah Salman menuju rumahnya
Di rumah, Wati sudah mulai menangis. Mata Pendik tak lagi putih semua, tapi masih panas dan menggigau.
Wak Abdul langsung duduk di samping Pendik. Dirabanya dada Pendik sambil membacakan doa-doa. Sekejap kemudian, Wak Abdul seperti sedang berdialog dengan seseorang.
Suaranya menggumam tak jelas. Wati masih menangis di sampingnya, dia tiba2 ingat sore tadi anak bungsunya itu meminta disuapi makanan tapi malah ditolaknya.
Wak Abdul masih duduk bersila disamping Pendik. Keringat bercucuran dari sela dahi dan peci yang dipakainya.
Salman datang membawa secangkir air putih untuk Wak Abdul. Setelah diminum sedikit, Wak Abdul kembali memejamkan mata.
Tak lama Wak Abdul berdiri, dia memanggil Basuni ke luar rumah.
Kata Wak Abdul, Pendik sudah melakukan kesalahan. Dia mengambil hewan peliharaan dari lelembut penunggu Labak itu. yaitu tiga ekor ikan lele yang tadi siang dijaring Pendik. Penunggu itu marah, sehingga melampiaskanya kepada Pendik
"Terus kepundi Wak (terus bagaimana Wak)?" Basuni mulai kawatir.
Wak Abdul sedikit bingung. Penunggu Labak menurutnya dari Bangsa Wong Abang. Sejenis lelembut yang jaman dulu digunakan orang kaya untuk menjaga ladang2 mereka.
Wong abang terkenal cukup sulit untuk diajak bernegoisasi. Konon orang yang tidak sengaja melihat mereka saja, bisa mendadak sakit panas berhari2.
"Wis sun omongi, iwake dibalekaken. Tapi sing gelem wonge. Mage ngamuk (Saya sudah bilang, ikan yang ada akan saya kembalikan. Tapi
orangnya tidak mau. Masih marah)" kata Wak Abdul kepada Basuni.
Di tengah kondisi itu, tiba2 datang Gofar, salah satu paman Pendik. Dia lalu menyarankan agar Pendik dibawa ke Rumah Sakit. Basuni yang sudah tidak punya pilihan lagi, akhirnya mengiyakan.
Selepas subuh, Pendik yang masih dalam kondisi demam dibawa menggunakan mobil ke rumah sakit. Wati terus menangis sepanjang jalan sambil memeluk anaknya. Disampingnya Basuni terus berdoa agar anaknya bisa sembuh.
Tinggal satu kilometer sebelum sampai rumah sakit, Wati merasakan tubuh anaknya tak bergerak. Wati mencoba memanggil2 Pendik, tapi tak ada jawaban. Basuni meminta Gofar yang membawa mobil untuk mempercepat kendaraan. Tapi sepertinya Pendik tak bisa diselamatkan.
Pihak rumah sakit menyatakan Pendik sudah meninggal sebelum sampai di ruang UGD. Mendengar itu, Wati langsung lemas. Dia pingsan di depan rumah sakit.
Siang itu juga, setelah dimandikan dan di solati, Pendik diakamkan di pemakaman keluarga. Dan kebetulan kuburanya tak jauh
Dari labak tempatnya mencari ikan. Sore hari, setelah semua proses pemakaman selesai, Salman seorang diri pergi ke makam adiknya. Dia membawa ember berisi dua ikan wader dan satu lele. Setelah berdoa dan menangis, Salman lalu datang ke Labak. Dia melepaskan semua ikan itu
Di hatinya, Salman merasakan dendam yang sangat dalam. Dia berjanji akan mencari cara untuk melakukan perhitungan dengan penjaga labak.
Selesai
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Asap dupa yang mengepul di sudut2 angker menjadi hal yang umum kala itu. Meski belum legal, judi Togel seolah menjadi sendi kesibukan warga di Desa Pinang yang ada di kaki Gunung Raung.
Hampir setiap malam, entah sendiri entah bergerumbul warga akan mendatangi
tempat2 angker. Meletakan sesaji, lalu membakar dupa untuk mencari 'petunjuk' . kira2 angka berapa yg akan keluar esok harinya
Di tengah hiruk pikuk masyarakat yg tengah kecanduan Togel. Ada seorang pria yang tampak kesal dengan aktifitas mencari nomor di tempat angker
Selamat Malam. semoga masih ada yg menunggu cerita saya. Kl tdk ada biarkan saya bercerita sendiri.
ini kisah pengalaman kakak ipar saya saat berkuliah di Jember. sebuah pengalaman pendeknya ketika pertama kali bersinggungan dengan mahluk ghaib.
2012
Hari2 terakhir di penghujung semester tiba. Semua mahasiswa sedang bersiap2 kembali ke kampung halamanya. Termasuk Juni. Mahasiswi semester tiga salah satu Kampus Perawat di Kota Jember itu juga sedang mempersiapkan diri untuk pulang kampung.
kejadian ini sebagian sudah diberitakan oleh media lokal dan media online. Saya mendapatkan sisi lain dari kisah pencarian seorang kakek yg hilang selama 2 minggu di dalam hutan. seperti biasa hanya narasumber yg sudah mengizinkan yg saya tulis nama aslinya, sisanya nama rekaan
saya tidak berjanji cerita ini selesai satu hari. Tapi insyAllah tidak akan saya buat menggantung lama. Secepatnya saya selesaikan. Semoga mereka yg bisa membaca tapi tak terlihat tdk menghentikan saya.
cerita kali ini sedikit pendek, mungkin seperti kisah Saula kemarin. yang jelas cerita yg saya buat semuanya benar2 terjadi. Dengan detil yang sedikit saya kaburkan untuk melindungi sumber cerita.
2009.
Seorang pemuda bernama Yanto yang tinggal di Desa Lemah saat itu tengah jatuh hati kepada seorang wanita bernama Sinta.
Yanto tertarik melihat Sinta yang setiap hari sering melintas di depan kantornya
cerita ditemukanya relief ini sempat diulas beberapa media lokal dan media online. Lokasinya ada di Desa Segobang, Banyuwangi. saya sempat berbincang dengan warga sekitar. Berikut saya ceritakan kembali bagaimana rangkaian cerita warga tentang asal usul relief misterius itu
Sekitar pertengahan tahun 2019 warga di sekitar Desa Segobang diramaikan dengan penemuan sebuah relief di tengah area perkebunan warga. kala itu, warga yang tengah membersihkan kawasan itu untuk dibuat jalur sepeda BMX menemukan tebing cadas yang memiliki pola unik
Cerita ini terjadi sekitar pertengahan tahun 98. Waktu itu saya masih kecil. Tapi cerita ini saya rangkai dengan beberapa memori orang yang sudah dewasa saat itu. Lagi2 untuk lokasi saya tulis secara fiksi. Untuk melindungi mereka yg terlibat di cerita ini
Bismillah.
Kasiyanto adalah seorang pendatang di kampung Mojo. Tapi berbeda dengan pendatang lainya yg biasanya menjaga jarak dengan warga asli, Kasiyanto justru sangat baik dengan para tetangga. Karena belum menikah dan tak punya anak, Kasiyanto sering membagikan rejekinya..