Kuberanikan diri mengintip dari balik selimut, hanya mata yang menyembul ke luar menyusuri pandang menelisik keadaan ruangan kamar inap.
Tepatnya kira-kira setengah jam yang lalu, saat baru saja aku terlelap dalam mimpi. Kurasakan sentuhan kasar di ujung kaki, membuatku berjingkat terbangun. Mataku membelalak ketika menemukan sebuah tangan pucat meraih kakiku dengan rasa yang begitu dingin.
Sontak kugoyangkan kaki kasar mencoba membuatnya lenyap, dan ... berhasil! Tangan itu hilang. Entah, apa itu bisa menghalaunya untuk kembali? Namun, kurasa ia telah berhasil memacu ketakutan dalam diriku.
Dinginnya hembusan AC tak mampu membendung luruhan keringat yang mengucur deras. Berulang kali kucoba memencet tombol nurse call di sebelah ranjang, tetapi hingga detik ini tak ada seorang pun suster atau pegawai rumah sakit yang melihat keadaanku.
Sial! Karena kecerobohanku mengiyakan ajakan kawan ikut balap motor liar, membuat kaki kiriku patah. Taruhan seorang gadis cantik yang kusuka, membuatku bersemangat tanpa berpikir panjang. Aldo ... Aldo ... betapa bodohnya diriku!
Kini, dengan keadaan cacat seperti ini. Mana ada gadis yang akan melirik padaku? Bahkan untuk beranjak dari ranjang ini pun sulit.
Tak adakah yang berhasil menghubungi keluargaku? Sejak kecelakaan sore tadi, tak kulihat Ibu atau kakak yang melihat atau mencari tau keadaanku.
Tak khawatirkah mereka? Hanya kawan-kawan yang membantuku ke sini sebab kebingungan melihatku yang berteriak kesakitan. Jarak rumah sakit yang tak begitu jauh dari lokasi adu balap, membuat mereka bergegas menyeretku kemari agar segera mendapat penanganan.
Aku sendiri bahkan tak tahu bila ada sebuah rumah sakit kecil di daerah sini. Padahal hampir tiap hari aku melewati jalanan di depannya, saat perjalanan ke kampus.
Aku hampir kehilangan oksigen karena menutup sekujur tubuh dengan selimut. Napas semakin tersengal ketika lampu tetiba berkedip mati nyala seperti sedang dimainkan.
Kuarahkan netra pada saklar lampu yang berada di sebelah pintu, astagaaa! Tangan itu lagi!! Kini aku bisa melihat dengan jelas bentuknya, sepotong tangan pucat menghitam sebatas siku, dengan kuku panjang dan runcing. Tepat di potongan siku mengalir darah kental kehitaman.
"Hwaaaa ...!!" Aku tengkurap meringkuk, semakin mempererat dekapan selimut.
Apa yang harus kulakukan? Kucoba kembali meraih dan menekan tombol panggil dengan tangan gemetar. Sembari mata terus awas pada sepotong tangan yang asyik bermain saklar.
Kulihat bagian atas lemari besi pasien, di mana ponselku? Mungkin, Roni lupa meninggalkannya saat berpamit pulang tadi.
Ranjang sedikit berderit, mengikuti irama tubuhku yang tak henti bergoyang refleks menahan kengerian.
Sedapatnya aku berusaha mengurangi gerakan tubuh, tetapi percuma.
Aku ingin berteriak. Namun, takut mengusik potongan tubuh itu kembali menggangguku. Napas semakin memburu, di dalam selimut ini aku telah bermandikan keringat. Kupejamkan mata erat mencoba menenangkan diri.
Ketika membuka mata, aku kehilangan sosok tangan mengerikan itu. Ke mana dia? Kusapukan pandangan ke seluruh sudut kamar berukuran 3x4 ini.
Tetiba aroma hangus menelisik hidungku. Aku mengendus, lampu yang sedari tadi berkedip,
mati begitu saja menimbulkan suara percikan kabel yang beradu. Gelap seketika!
Selimut lembut yang kupakai menutup tubuh, terasa begitu kasar dan tak lagi nyaman. Apa yang terjadi? Aku tak bisa melihat apa-apa di tengah kegelapan seperti ini?
Hanya sedikit sorotan cahaya masuk melalui sela-sela pintu dan jendela yang menjadi penerangku saat ini.
Kembali bau gosong itu menyeruak memenuhi hidungku, kuenduskan lagi indra penciumanku untuk mencari tahu.
Aku baru menyadari, ternyata aroma hangus ini berasal dari selimut yang sedang kudekap. Kuelus perlahan kain lebar ini, benar saja! Terdapat banyak lubang kasar seperti habis dilalap api. Sontak kubuang cepat pelindungku itu.
Rasa panas terasa begitu cepat membuat badanku gerah, kukibaskan baju bagian dada untuk mengurangi kegerahan ini.
Dari bawah ranjang, kudengar suara gemeletak mengusik telinga, seperti suara kuku yang mengetuk. Kuseret tubuh memojok menghimpit dinding,
ah! Kaki patah ini membatasi gerakku.
Perlahan ketukan di bawah ranjang bergerak naik, meski dengan minim cahaya aku bisa melihat kuku-kuku runcing itu mulai menarik kasur.
Roni ... Alex ... dimana kalian? Bukankah kalian hanya berpamit untuk membeli makanan dan beberapa kebutuhan, juga menghubungi keluargaku?
Sprei kasur mulai terasa ditarik ke bawah dengan kasar, menggigilkan tubuh yang hanya bisa meringkuk.
Aku tak bisa hanya menunggu begini, Lari Aldo! Pecutan semangat berbisik dalam otak, kutarik serampangan selang infus yang menempel pada tangan, lantas bersiap melompat dari atas kasur.
Potongan tangan itu, kini sudah melambai di depanku, seakan bersiap menerkam. Aku terdiam sesaat, ia pun begitu, seolah sedang memandangku lekat meski tanpa bola mata.
Benar saja! Tangan itu bergerak cepat mengintai leherku, sigap aku menepisnya.
Ia menggelepar seperti ikan tanpa air lalu kembali bergerak. Kuhempaskan tubuh ke bawah untuk menghindar. Aku terduduk bersimpuh.
"Aahh!" Rasa sakit di kaki semakin terasa.
Kuseret tubuh cepat meraih gagang pintu, yes! Pintu terbuka! Namun, asap mengepul menghalangi pandang. Kukibaskan tangan sambil terbatuk-batuk merasakan asap yang menggelitik tenggorokan.
Tidak! Tangan itu sudah meraih kakiku lagi ... tepatnya di kaki yang patah, sial! kutarik dan kutendang-tendangkan kaki kanan untuk mengusirnya.
Pandangan semakin terganggu asap yang memekat, aku tak bisa melihat potongan tangan itu.
Tetiba napasku tercekat, tangan itu sudah berada di leher mencekik erat.
"Aldo ...." Itu suara Roni, aku ingin membalas panggilannya,
tetapi cekikan di leher hanya membuatku menganga tanpa suara.
Pergolakan hebat terjadi antara aku dan sepotong tangan itu, tidak! Kurasakan darah mulai merembes dari leher, kutarik kasar tangan pucat itu.
Tanpa kusadari beberapa tangan lain sedang membantuku melepaskan jeratan ini. Kuarahkan pandang pada wajah-wajah pemilik tangan.
Alex, Roni, wajah-wajah itu terlihat mengernyit mengikuti tarikan tangannya. Terima kasih Tuhan! Kau hadirkan penolong di saat genting seperti ini.
Roni memberi kode agar bersama menarik potongan tangan ini, dalam hitungan ketiga lepaslah sudah jeratan menyiksa ini. Kedua sahabatku segera memapahku berdiri, mereka menyeret tubuh dengan kaki pincang ini menjauh dari bangunan gelap penuh asap.
Sampai di depan pintu gerbang, kami berhenti. Menoleh kembali pada gedung rumah sakit.
Tak kupercaya, sore tadi bangunan yang terlihat bersih dengan cahaya terang, telah berubah menjadi gedung usang dan rusak.
Pintu gerbangnya telah berkarat dipenuhi tumbuhan rambat yang menjalar.
Kami saling berpandang, ingatanku kembali pada kisah yang pernah diceritakan Ibu beberapa tahun silam.
Tentang ditemukannya sepotong tangan yang menjulur ke luar dari kaca jendela, sedang tubuhnya hangus terbakar di dalam kamar rumah sakit.
Tahun ketiga pernikahan, pertanyaan 'kapan hamil' terasa menjadi momok seram bagiku. Berbagai hal telah kulakukan untuk mendapatkan keturunan.
Mulai dari meminum jamu-jamuan herbal, kurma muda, meminum air tetesan embun yang ditampung di bawah genteng, hingga berbagai dokter dan bidan telah kudatangi untuk konsultasi.
Hari ini, saat senja menampakkan keindahan warnanya, gabungan indah antara oranye dan kelabunya awan menjadi saksi pernyataan kisah cintaku dengan Mas Dharma. Diiringi dingin angin semilir pegunungan Kani, menambah kesan dramatis peristiwa ini.
Kami dalam perjalanan pulang dari Pesarean gunung Kani. Di dalam mobil sport putih aku duduk di kursi depan sebelah kemudi, menopang daguku memandang keindahan kota Madang, hijab unguku berkibar mengalun-alun seiring hembusan angin, menerpa wajahku yang hitam manis.
👨 : "Bro, kenapa ya akhir-akhir ini aku merasa istriku tak lagi secantik dulu, tak sexy, tak menggairahkan."
👦 : "Jangan-jangan kamu ada main sama wanita lain, ya?"
👨 : "Nggak lah, cuman aku merasa lebih bergairah jika melihat wanita lain, tuh istri tetangga baru kita beniiing banget, beruntung banget lah itu suaminya."
👦 : "Itu karena kamu tiap hari melihat istrimu, secantik dan setampan apa pun pasangan, bila disuguhkan pandangan yang sama setiap hari pasti akan terasa pudar."
👨 : "Ah, masak sih? Padahal istriku udah kupenuhi dengan segala make up dan skin care yang bagus loh.
Kutertawa sendiri memandangi layar ponsel di genggaman tangan. Membaca komen dari kawan-kawan di grup aplikasi hijau, saling berbalas dengan candaan yang semakin seru. Mood-ku tetiba hilang saat Fitri, anak semata wayangku
yang berusia tiga tahun merengek di sebelahku. Ia meminta makan, padahal baru sejam yang lalu aku baru menyuapinya. Dengan wajah kesal kuambil roti sobek cokelat di atas nakas sebelah ranjang.
Lantas, melanjutkan aktivitasku mengintip obrolan. Sebab, aku tak mau ketinggalan jauh, sembari kembali merebahkan diri di kasur.
Tiga bulan sejak di PHK dari pabrik kemasan, aku mulai berusaha mencari pekerjaan baru. Namun, hingga sampai saat ini aku masih juga menjadi pengangguran. Uang pesangon yang hanya 15 juta nyatanya sudah hampir habis.
Namaku Fendy, lelaki 30 tahun. Istriku adalah seorang guru sekolah swasta yang gajinya nggak sampai sejuta. Aku tak mempermasalahkannya, karena bagiku menjadi seorang guru adalah sebuah tugas mulia, apalagi istriku sangat menyukai anak-anak.