Ini sebuah kisah nyata, dari seorang Ibu paruh baya yang bertempat tinggal di daerah kota S. Sebut saja namanya Mbak Ibah.
***
Suara mesin jahit yang berisik, memenuhi ruang tamu Mbak Ibah, ia sedang sibuk menyelesaikan pekerjaannya membuat tali untuk sandal. Tatkala berisik mesin beradu dengan lantunan azan isya yang syahdu, Mbak Ibah segera menghentikan aktivitasnya.
Mematikan mesin yang menemani hari-harinya mengais rezeki, kemudian bersiap wudu untuk melaksanakan salat jemaah di masjid.
Ia memang sudah terbiasa melaksanakan salat dengan berjemaah. Jarak dengan masjid yang tak begitu jauh, menjadikan alasannya. Ditambah didikan dari keluarga yang religius, membuatnya menjadi seorang ahli ibadah dan santun.
Ia selalu ingat bahwa pahala orang yang yang berjemaah adalah 27 derajat, sungguh sayang jika sampai ia meninggalkan.
Gemuruh suara petir mulai bersahutan, pertanda akan turunnya hujan. Mbak Ibah telah memakai mukena lengkap lalu berdiri di luar rumah, memandang ke atas langit. Kilatan cahaya petir menghiasi mendungnya angkasa malam itu.
"Buk, bawa payung," ujar Fiki, anak bungsu Mbak Ibah, remaja 16 tahun. Ketika mendapati sang Ibu akan beranjak pergi.
"Nggak usah, Nak. Jemaah di masjid paling cuma 15-20 menit saja, kan. Insya Allah masih aman," elaknya sembari menggunakan sandal jepit.
Fiki adalah anak yang sedikit bandel, selalu malas jika disuruh berjemaah. Namun, ia begitu sayang dengan ibunya. Seperti saat ini, ketika mbak Ibah mengajaknya ke masjid. Ia malah beringsut masuk ke dalam rumah tak memedulikan. Mbak Ibah hanya berdecak menggelengkan kepalanya.
Angin mulai terasa dingin berembus, bau tawar air sudah terasa ingin turun. Sebenarnya, jika melewati jalur selatan dari rumahnya, Mbak Ibah hanya memerlukan jarak kurang lebih 50 meter saja.
Namun, jalur itu harus melalui gang selebar satu meter, kemudian di dalamnya ada tanah kosong luas yang hanya bercahayakan beberapa lampu penerang kekuningan yang begitu redup.
Jika siang hari, tempat itu begitu ramai oleh anak-anak yang bermain hingga sore. Banyak sekali pepohonan tumbuh dan berbuah. Beberapa anak senang memanjat dan bergelantungan di pohon-pohon besar yang ada di sana.
Ada mangga, belimbing, jambu, srikaya, juwet, juga beberapa tanaman sayuran dan cabe yang biasa dipetik ibu-ibu untuk dimasak.
Namun, ketika menjelang senja, kebun kosong itu berubah menjadi tempat yang mencekam.
Tak ada suara dan pergerakan apa pun yang akan ditemukan di sana. Kisah dan cerita orang-orang tentang sosok Mbah Rasimah, menjadikan kebun itu tempat yang paling dihindari ketika beralihnya waktu hingga menjelang pagi.
Di pojok tanah, tepatnya di belakang masjid. Terdapat sebuah rumah kosong yang hampir rubuh, rumah milik Mbah Rasimah, seorang dukun pijat. Dulu, Ia hidup sebatang kara, rumah itu pun dibangun atas kerelaan sang pemilik tanah sebab rasa kasihan.
Dengan bantuan warga, didirikanlah sepetak rumah semi permanen. Setengah temboknya terbuat dari bata, bagian atasnya berupa dinding dari anyaman bambu.
Kala itu, beberapa hari ia tak nampak batang hidungnya, ada yang bilang ia memang sakit-sakitan. Namun, tak pernah ada yang menjenguknya. Maklum tak ada saudara atau kawan yang mengenalnya.
Anak-anak yang bermain di sekitar rumahnya, sudah mencium aroma busuk bangkai, tetapi tidak ada yang menggubris. Mereka mengira itu adalah bangkai tikus, sebab memang sering ada.
Hingga suatu sore, saat seorang ibu mencari Mbah Rasimah untuk memijatkan anaknya. Barulah ketahuan dari mana asal aroma tak sedap itu. Ibu itu berteriak, tatkala menemukan tubuh Mbah Rasimah tergeletak di dalam rumahnya dengan bau yang begitu menyengat.
Entah, sudah berapa hari ia meninggal, tak ada yang tahu. Warga pun melakukan kewajiban untuk memakamkan jasadnya secara layak.
Setelah kematiannya, sering kali orang mendengar ada suara khas batuk Mbah Rasimah di dalam rumah itu.
Kadang pula seolah ada suara gerakan sapu lidi di sekitar rumahnya. Seperti aktivitas Mbah Rasimah tiap pagi dan sore hari, maklum, rumahnya masih beralaskan tanah. Suara orang menimba di sumur juga tak kalah seram.
Namun, sejauh ini. Belum ada seorang pun yang melihat penampakannya. Hanya suara-suara aktivitasnya saja.
Meski begitu, warga sekitar sudah merasa resah melewati rumah yang hampir rubuh itu. Apalagi membiarkan anak-anaknya bermain di sekitar sana.
***
Mbak Ibah selalu memilih jalur timur saat jemaah subuh, magrib dan isya. Menghindari rumah Mbah Rasimah, melewati rumah-rumah warga. Meski jaraknya menjadi tiga kali lipat dari jalur selatan tadi, tak mengapa baginya.
Daripada harus dihadapkan dengan tanah kosong yang mengerikan itu.
Sesampainya di masjid, imam sudah mengucap takbir, pertanda salat sudah dimulai. Bergegas ia menggelar sajadah dan mengikuti gerakan imam.
Ketika bacaan zikir sudah hampir selesai, hujan mulai bergemericik turun. Angin bertiup kencang menggoyangkan kelambu-kelambu masjid. Semua menoleh ke arah luar, sedikit cemas takut semakin deras.
Ada beberapa makmum yang segera meninggalkan masjid, tanpa menunggu doa dari sang imam.
Ibu-ibu masih setia duduk mengangkat kedua tangan, mengamini doa imam, tanpa ada yang beranjak pergi. Sedang barisan makmum laki-laki hanya tinggal deretan saf depan saja.
Setelah imam membaca salawat, beberapa ibu mulai membubarkan diri. Menyisakan Mbak Ibah, Lina, Mbak Lasmi dan Mbah Ijah saja.
"Mbak Ibah, kita lewat selatan saja, ya! Biar cepet, takut tambah deras," tutur Lina, ibu muda tetangga sebelah rumahnya.
"Eh, nggak takut apa? Kalau aku sih ogah, kebayang tangannya Mbah Rasimah yang keriput dan lembut saat mijat aku dulu bikin merinding ... hiiihh!" sahut Mbak Lasmi menanggapi Lina sembari bergidik.
Mbak Ibah terlihat sedikit bimbang, antara takut dan setuju, tetapi melihat keadaan hujan yang bertambah deras, membuatnya seperti berpikir kembali.
"Mending lewat timur saja, Bah. Cari selamat, wong hujan air saja, kog. Basah dikit nggak papa, daripada uji nyali." Mbah Ijah berbicara sembari melipat mukenah dan sajadahnya, bersiap pulang.
Keempatnya sudah berdiri di ambang pagar, menutup kepala dengan sajadah. Rumah Mbak Lasmi dan Mbah Ijah yang berada di depan masjid, membuat mereka pamit berjalan duluan.
Mbak Ibah merentangkan tangannya ke depan, merasakan seberapa deras air yang turun. Namun, Lina tak peduli seberapa deras tetesan air langit itu. Ia segera memakai sandalnya. Seakan takut ketinggalan, Mbak Ibah pun mengikuti.
"Mbak, aku kepikiran anakku kuatir nangis. Aku lewat selatan saja, ya. Kalo sampean mau bareng ya, ayo! Tapi agak cepet, ya!" ujar Lina yang diterima anggukan oleh Mbak Ibah.
"Aku juga lupa punya jemuran yang belum kuangkat, Lin. Fiki pasti nggak mau tahu," jawabnya cepat.
Lina mulai berjalan dengan langkah cepat, Mbak Ibah yang usianya tak lagi muda, agak kewalahan mengikuti jejak Lina. Bahkan, Lina seakan tak mau tahu dan tak menoleh sedikit pun ke belakang.
Baru beberapa langkah berjalan cepat, sialnya mukena Mbak Ibah melorot, membuatnya terjungkal ke depan. Ia jatuh, berteriak memanggil nama Lina. Namun, sepertinya Lina sudah terlalu jauh, ditambah suara derasnya hujan, mungkin Lina tak mendengar panggilan Mbak Ibah.
Ia mengedarkan pandangan ke sekitar, tubuhnya berjingkat, menemukan dirinya terduduk tepat di samping rumah Mbah Rasimah. Badannya mulai gemetar hebat, perlahan ia mencoba berdiri, mukenanya sudah kotor dan basah oleh hujan dan tanah.
Mbak Ibah mengibas-ibaskan sajadah di kakinya untuk membersihkan dari tanah yang menempel.
"Mbak Ibah ...."
Sontak ia menoleh ke belakang, mencari sumber suara. Tak ada siapa pun, hanya kegelapan yang menyelimuti tempatnya berdiri saat itu. Napasnya mulai memburu,
ia bergerak cepat melangkah. Akan tetapi, naas ia terjerembab tersandung akar pohon.
Ia mengaduh, tak terasa air matanya mulai merembes begitu saja. Isakkan mulai terdengar dari bibirnya, ketika melihat betis kakinya mengucurkan darah.
"Mbak Ibah ...." Sekali lagi ia terdiam, mendengarkan suara seseorang memanggil namanya lagi. Ia meneguk ludah, berusaha menahan isakkan tangis. Ekor matanya bergerak menyusuri sekitar jarak pandang. Ia terkesiap, mendengar suara derit dan gesekan di sampingnya.
Perlahan, ia menoleh ke samping kanan, tepat di tembok bagian atas, ditemukannya satu per satu jemari pucat menempel dalam lubang-lubang dinding bambu. Dari ujungnya terlihat tetesan darah mengucur, menyatu dengan genangan hujan di bawah tembok.
Napasnya mulai kembang kempis. Ia terlihat lemas, tak mampu lagi berdiri. Berteriak kencang saat itu juga. Kemudian jatuh pingsan di bawah guyuran hujan yang semakin deras.
***
Hampir satu jam, Fiki mulai celingukan di teras rumahnya menanti kedatangan Ibunya. Ia mulai cemas, berkali-kali melirik jam dinding di ruang tamunya. Hujan sudah mulai mereda, tetapi sang ibu belum juga muncul.
Deru motor terdengar mendekat, berhenti di depan rumahnya. Bergegas Fiki mendekat pada sosok di atas motor yang ternyata adalah Kakaknya, Syafik. Baru pulang dari bekerja.
"Mas, susulin Ibu, dong! Udah satu jam tapi belum pulang juga dari masjid!" tuturnya menjelaskan. Syafik mengernyit, memandang adiknya seakan penuh tanya. Ia terdiam sejenak, lalu memberikan tas slempang yang dikenakannya pada Fiki.
Tanpa menjawab, Syafik mengangguk dan segera melajukan motornya cepat menuju masjid.
Sesampainya depan masjid, ia terlihat celingukan melihat keadaan masjid yang sudah gelap bagian dalamnya. Hanya lampu-lampu depan yang menyala mengitari masjid.
Mbak Lasmi yang melihat sosok Syafik, ke luar rumah dan menanyainya.
"Fik, cari apa?"
"Ibuk, Mbak Las. Katanya Fiki belum pulang dari masjid."
"Loh, kog, bisa? Sudah pulang bareng saya tadi. Coba kamu tanya Lina, dia tadi yang mengajak ibukmu pulang bareng."
Alis Syafik bertaut, mencerna omongan Mbak Lasmi. Mungkin ia mulai kepikiran keadaan ibunya. Ia pun berterima kasih dan berpamit setelah mendapat penjelasan dari Mbak Lasmi, kemudian bergegas pulang untuk menemui Lina.
Fiki yang melihat Kakaknya pulang, bergegas berdiri dari kursi kayu di teras rumahnya. Akan tetapi, sang kakak malah berbelok ke rumah sebelah. Segera ia berlari kecil mendekatinya.
"Ibuk mana, Mas?"
"Nggak tahu, makanya ini mau tanya Mbak Lina," jawab Syafik.
"Lah, apa hubungannya sama Mbak Lina?"
Belum sempat Syafik menjawab, Lina dan suaminya yang mendengar suara orang di depan rumah, ke luar untuk mencari tahu.
"Mbak Lina, ngapunten. Ibu di mana? Kog, belum pulang?"
Lina terlihat celingukan sambil menggendong bayinya.
"Loh, masak? Tadi berjalan di belakang saya, kog! Lewat rumah Mbah Rasimah," jelasnya yang membuat suami dan kedua lelaki bujang di depannya tercengang.
"Astaghfirullah ... kenapa lewat situ, sih, Dek?" tanya suaminya, Lina terlihat merasa bersalah,
menunduk dan mengembuskan napas pelan.
"Maaf banget, loh, Mas. Tadi hujannya makin deras, aku buru-buru tanpa melihat belakang, takut anakku bangun."
Fiki dan Syafik hanya mengangguk, ada siratan kecewa di wajah keduanya.
Kemudian tanpa mengucap kata apa pun, keduanya berjalan cepat menyusuri jalur selatan rumahnya.
Wajah keduanya terlihat emosi, berjalan cepat sembari menghentakkan kaki, mencari keberadaan sang ibu di bawah rintikan kecil hujan.
Syafik menyorotkan senter ponselnya pada jalanan gelap yang dilalui keduanya.
Betapa terkejutnya kedua pemuda itu, tatkala menemukan Ibunya tergeletak dengan luka di kaki yang menganga, darahnya merembes. Mukenanya sudah tak lagi putih, bercampur dengan lumpur.
Wajahnya pucat membiru, sebab terlalu lama terguyur hujan.
"Ya Allah, Ibuukk ...!" Suara Fiki meninggi, tetapi raut wajahnya penuh kecemasan. Segera ia berjongkok dan mengusap wajah ibunya dari dinginnya air hujan.
Syafik mengisyaratkan Fiki untuk menarik tubuh ibunya bersama-sama. Fiki mengangguk. Tubuh Mbak Ibah segera dibopong kedua anaknya pulang.
Para tetangga yang melihat mereka berjalan kesusahan, bergegas menghampiri dan membantu keduanya.
Kalimat-kalimat tanya tak henti bersahutan dari warga yang kaget melihat keadaan Mbak Ibah. Warga mulai bergerumun memenuhi rumahnya. Seakan ingin tahu apa yang terjadi.
Setelah dibersihkan dan diganti baju. Fiki segera membalurkan kayu putih di sekujur tubuh Mbak Ibah. Beberapa menit kemudian ia tersadar, semua orang berucap hamdalah.
Mbak Ibah celingukan, melihat rumahnya dipenuhi orang. Ia ditanyai beribu pertanyaan oleh kedua anaknya.
Ia menjelaskan segala apa yg terjadi dengan mulut gemetar. Semua terlihat bergidik menerima penjelasannya. Lina mengucap maaf dan bersimpuh di hadapan Mbak Ibah, menyesal. Detik itu juga, ia berjanji tak akan pernah melewati jalanan itu lagi saat malam hari. Begitu pun Mbak Ibah.
Setelah kejadian itu, hingga kini. Warga masih sering menakut-nakuti anak mereka jika tak pulang saat senja dengan menyebut,
Kuberanikan diri mengintip dari balik selimut, hanya mata yang menyembul ke luar menyusuri pandang menelisik keadaan ruangan kamar inap.
Tepatnya kira-kira setengah jam yang lalu, saat baru saja aku terlelap dalam mimpi. Kurasakan sentuhan kasar di ujung kaki, membuatku berjingkat terbangun. Mataku membelalak ketika menemukan sebuah tangan pucat meraih kakiku dengan rasa yang begitu dingin.
Tahun ketiga pernikahan, pertanyaan 'kapan hamil' terasa menjadi momok seram bagiku. Berbagai hal telah kulakukan untuk mendapatkan keturunan.
Mulai dari meminum jamu-jamuan herbal, kurma muda, meminum air tetesan embun yang ditampung di bawah genteng, hingga berbagai dokter dan bidan telah kudatangi untuk konsultasi.
Hari ini, saat senja menampakkan keindahan warnanya, gabungan indah antara oranye dan kelabunya awan menjadi saksi pernyataan kisah cintaku dengan Mas Dharma. Diiringi dingin angin semilir pegunungan Kani, menambah kesan dramatis peristiwa ini.
Kami dalam perjalanan pulang dari Pesarean gunung Kani. Di dalam mobil sport putih aku duduk di kursi depan sebelah kemudi, menopang daguku memandang keindahan kota Madang, hijab unguku berkibar mengalun-alun seiring hembusan angin, menerpa wajahku yang hitam manis.
👨 : "Bro, kenapa ya akhir-akhir ini aku merasa istriku tak lagi secantik dulu, tak sexy, tak menggairahkan."
👦 : "Jangan-jangan kamu ada main sama wanita lain, ya?"
👨 : "Nggak lah, cuman aku merasa lebih bergairah jika melihat wanita lain, tuh istri tetangga baru kita beniiing banget, beruntung banget lah itu suaminya."
👦 : "Itu karena kamu tiap hari melihat istrimu, secantik dan setampan apa pun pasangan, bila disuguhkan pandangan yang sama setiap hari pasti akan terasa pudar."
👨 : "Ah, masak sih? Padahal istriku udah kupenuhi dengan segala make up dan skin care yang bagus loh.
Kutertawa sendiri memandangi layar ponsel di genggaman tangan. Membaca komen dari kawan-kawan di grup aplikasi hijau, saling berbalas dengan candaan yang semakin seru. Mood-ku tetiba hilang saat Fitri, anak semata wayangku
yang berusia tiga tahun merengek di sebelahku. Ia meminta makan, padahal baru sejam yang lalu aku baru menyuapinya. Dengan wajah kesal kuambil roti sobek cokelat di atas nakas sebelah ranjang.
Lantas, melanjutkan aktivitasku mengintip obrolan. Sebab, aku tak mau ketinggalan jauh, sembari kembali merebahkan diri di kasur.