Aku melihatnya, hampir di setiap malam. Duduk bersimpuh begitu anggun, dalam balutan kebaya cokelat dan jarik batik. Rambutnya lurus sepunggung tergerai indah, dengan selipan bunga kamboja di telinga sebelah kanan.
Ia tak melakukan apa-apa, hanya tersenyum berdiam diri di antara barang-barang antik kesayangan Kakek.
***
Tiga malam sudah aku berada di rumah Kakek, untuk menikmati liburan semester tahun ini. Tugas-tugas dari dosen terasa menjemukkan dan sukses membelitkan otakku. Aku butuh me-refresh diri dari segala hiruk pikuk aktivitas kuliah.
Desa Kakek yang asri, adalah tujuan terbaik untuk menenangkan diri. Apalagi, aku tak pernah menginjakkan kaki ke sini semenjak lulus SMP.
Kunikmati udara segar sore ini dengan menyeruput secangkir kopi di teras rumah Kakek. Cicitan suara burung yang menari-nari di atas pepohonan rindang di halaman rumah, disertai gemerasak dedaunan yang beradu diterpa angin. Mampu merileks-kan tubuh dari segala kepenatan.
Kepulan asap kopi panas sengaja kudekatkan pada wajah untuk aromatherapy. Kuhirup perlahan aromanya. Rasa kopi dari perkebunan Kakek memang juara, tak salah jika kopi ini terkenal dan mampu bersaing dengan merk kopi nasional lainnya.
"Enak to, Le?" Sapaan Kakek dari dalam rumah mengagetkanku. Ia berjalan mendekat dan duduk pada kursi sebelah meja, di sampingku.
"Mantap, Kek. The best-lah!" Kuacungkan jempol padanya. Ia terkekeh pelan, mungkin tak tahu arti bahasa inggris yang kulontarkan.
"Wes sak karepmu, pokok intine wenak to?" Kami terkikik berdua.
"Piye kuliahmu? Kakek senang kamu ambil jurusan seni itu, bisa melestarikan budaya bangsa. Sudah berapa banyak karyamu?" Ia berbicara sembari menyalakan sebatang rokok kretek, lalu menyodorkan bungkusnya padaku.
Kuambil sebatang dan turut menyulut.
"Karya apa, Kek. Wong Catur masih belajar, kog." Kuembuskan kepulan asap rokok ke udara.
"Kakek lihat di ruang tamu ibumu, ada patung kayu penari wanita. Apa itu bukan karyamu?" Aku tergelak, menyesap kembali rokok dalam selipan tangan.
"Enggeh, itu karya pertama Catur. Kakek suka?" Kulirik wajah keriputnya yang sedang mengembuskan asap. "Apa mau ditukar sama salah satu punya Kakek?" tambahku. Ia membalas lirikanku, terkekeh lagi.
"Boleh, asal jangan keris kesayangan Kakek. Itu keramat!" Kedua alisku seketika naik, menatap pemilik wajah sendu itu penuh penasaran. Menanti lanjutan kalimatnya.
Anehnya ia terdiam, lalu mematikan rokok dengan menancapkan puntung rokok pada asbak di atas meja. Ia hanya tersenyum, lalu berdiri dan meninggalkanku tanpa penjelasan lebih pasti.
***
Tengah malam, kurasakan dorongan di kandung kemih membuatku terbangun. Buru-buru aku berjalan menuju kamar mandi, untuk mengeluarkan air tubuh yang semakin mendesak.
Setelah menuntaskan hajat, kembali aku berjalan menuju kamar untuk melanjutkan mimpi. Saat melewati ruangan khusus barang antik Kakek, aku terkesiap. Menghentikan langkah ketika melihat sekelebat bayangan dari pintu yang sedikit terbuka.
Kudorong perlahan pintu itu. Sontak aku berjingkat, menemukan seorang perempuan cantik duduk bersimpuh layaknya seorang sinden. Aku terperangah memandang sosoknya, begitu ayu khas gadis desa.
Perlahan ia menatap wajahku yang menyembul di balik pintu. Aku hanya mematung, bibirnya melengkungkan senyuman indah dan sedikit mengangguk sopan untuk menyapa. Kubalas sapaannya dengan mengangguk kembali.
"Kamu ngapain, Le?" Suara Kakek dari belakang mengagetkanku. Aku menoleh cepat padanya.
"Ng-nggak, Kek. Catur habis pipis tadi." Tergagap aku menjawabnya, entah kenapa ada perasaan bersalah karena sudah lancang mengintip kamar khususnya.
"Sini tak kasih tahu." Ia mendorong pintu di depanku, membuka lebar pemandangan dalam kamar. Aku mengernyit, ke mana perempuan cantik tadi? Kuedarkan sorot mata ke sekeliling.
Rasanya tak mungkin ada tempat untuk bersembunyi. Aneh. Beragam guci antik, cincin dengan batu akik besar, serta lukisan dan patung menghiasi isi kamar.
Kakek mengambil sebuah keris dalam kotak kaca yang berbalut rampaian melati, wangi sekali.
"Ini keris yang tadi kuceritakan. Namanya Cundrik Ayu." Ia menyerahkannya padaku. Kedua tangan ini bersiap begitu saja menerima keris indah itu.
dengan menengadahkan tangan layaknya sikap berdoa. Kupandang keris ini dengan perasaan aneh, aku merasa bahagia. Haru sekali. Bahkan mataku sampai berkaca-kaca melihat warangka keris dengan ukiran bunga indah, syahdu sekali. Rasanya tak ingin aku melepasnya.
"Sudah, Le. Sekarang kamu sudah tahu kalau ini barang kesayangan Kakek. Jangan sekali-kali kamu memintanya dariku!" Ia mengambil cepat keris itu lalu kembali memasukkan dan merebahkannya pada kain beludru merah dalam kotak kaca. Aku hanya mengangguk mengerti.
Kakek menarikku ke luar kamar yang masih bergeming. Bahkan saat langkah ini sudah berada di luar kamar, mataku tak henti ingin selalu menatap keris itu. Aku pun tersadar ketika Kakek menutup kasar pintu ruangan.
"Sudah, Kakek mau tidur." Aku menunduk dan mengangguk membiarkannya berlalu. Kupandang kembali pintu kamar itu. Kenapa ada perasaan kuat untuk memiliki keris keramat itu? Aku mendesah, menggelengkan kepala untuk membuyarkan keinginan salah ini. Aku tak boleh begini.
Kulangkahkan kaki cepat menuju kamar kembali.
***
Malam-malam berikutnya, aku selalu terbangun hanya untuk sekadar mengintip sosok perempuan itu. Kini aku mulai paham, bahwa ia bukan manusia. Ia hanyalah sosok penghuni keris keramat milik Kakek.
Aku tak peduli, perasaan ini tak bisa dibohongi. Aku telah jatuh cinta padanya. Padahal, kami tak pernah berbicara sepatah kata pun. Aku pun tak tahu bagaimana cara berbincang dengan makhluk seperti itu, apa ia bisa bahasa manusia?
Aku tahu, ia juga merasakan hal yang sama denganku, terlihat dari sorot matanya yang penuh dengan binar cinta.
Hingga suatu malam, aku bermimpi sedang duduk berdua dengan Cundrik Ayu.
Kuselipkan rambut panjangnya yang terempas angin dalam sela telinganya. Meski malu-malu ia tak henti memandangku. Kami benar-benar di mabuk asmara.
Sebuah sentuhan dingin pada ujung kaki membangunkanku. Tatkala kubuka kelopak mata ini, aku terperangah. Melihat sosok Cundrik Ayu duduk di ujung tepi kasur, menatapku dengan mata bulat indahnya. Kududukkan tubuh ini memandangnya.
"Cundrik Ayu! Apa yang kamu lakukan di sini? Bagaimana kalau Kakek sampai tahu?" Ia tak menjawab apa pun. Masih memandangku dengan senyuman mengembang. Apa ia tak mengerti bahasaku?
"Hei ... kembalilah! Aku tak ingin Kakek salah paham dengan ini." Sebuah tarikan pada gagang pintu membuatku menoleh cepat. Kutemukan Kakek berdiri menatapku dengan pandangan geram.
"Catur! Bocah semprul, sudah kubilang jangan berani menyentuh Cundrik Ayu, malah dikeloni kayak gitu!" Aku bingung, apa maksud Kakek? Kulihat sosok Cundrik Ayu sudah tak ada di sana. Namun, anehnya keris kesayangan kakek sudah ada dalam genggaman tanganku. Bagaimana bisa?
Kakek berjalan mengentak dan merebut paksa keris Cundrik Ayu dariku.
"Kek, sumpah! Catur tak tahu kenapa tiba-tiba keris itu ada di sini!" Ia melotot tajam penuh amarah.
"Kamu tahu, Kakek membeli keris ini dengan mahar separuh kebun kopi Kakek. Ini barang berharga! Ini adalah keris peninggalan almarhumah Nenek kamu, dan aku sudah menganggapnya sebagai pengganti nenekmu, tega-teganya kamu seperti ini!"
Kuempaskan tubuh ini turun dari kasur, berlutut memohon di bawah Kakek.
"Ngapunten, Kek. Catur benar-benar tak melakukannya. Ini salah paham!" Kupandang wajah wibawanya dari bawah, ia membuang muka. Tenggorokannya bergetar-getar seolah menahan emosi yang kian memuncak.
"Baiklah, Kek. Malam ini juga Catur akan pulang. Agar Kakek tak terganggu lagi dengan keberadaan Catur di sini. Aku minta maaf." Kutundukkan wajah menghindari wajah murkanya. Ia tak menjawab apa pun. Segera berlalu meninggalkanku dalam keadaan bersalah.
***
Dalam bus malam, kupandang jalanan gelap dari kaca sebelahku dengan tatapan kosong. Aku begitu menyesal, harus pergi dari rumah Kakek dengan masalah seperti ini. Bagaimana jika orang tuaku tahu? Aku tak mau dianggap anak durhaka, ini sungguh salah.
Tetapi apa aku salah jatuh cinta? Ini benar-benar tak adil.
Getaran ponsel dalam tas membuyarkan lamunanku. Kubuka perlahan tas di atas pangkuan untuk mengambilnya. Mataku membulat, menemukan keris Cundrik Ayu berada di dalamnya.
Kuteguk ludah dan mengusapnya, ada perasaan takut namun begitu sayang. Dering ponsel masih menyala, kulihat nama Kakek tertera pada layar. Kutata hati terlebih dulu untuk bersiap menerima panggilannya. Kutempelkan benda pipih ini pada telinga.
"Catur, maafkan Kakek. Sepertinya, ia lebih memilihmu untuk menjadi pendampingmu. Kakek ikhlas, rawat dan jaga baik-baik keris itu untuk Kakek." Aku hanya membisu mendengar tuturnya. Tanpa menunggu balasan dariku, Kakek segera mengakhiri panggilan.
Sentuhan halus di tangan, menggerakkan kepalaku untuk menoleh ke samping. Kutemukan Cundrik Ayu, duduk sumringah lalu menyenderkan kepalanya pada bahuku. Tak bisa kurasakan tubuhnya.
Hanya hawa dingin terasa menelusup dalam kulit. Aku bahagia, memejamkan mata dan mendekatkan tubuh pada sosok dingin yang tak bisa kusentuh. Cundrik Ayu, kekasihku.
Sekian
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Asing, itulah yang kurasakan saat ini. Aku memandang ranjang besi yang tertutup kelambu ini bersama lamunanku. Aku gadis kota yang terpaksa harus tinggal di desa dengan segala
keheningannya.
Orang bilang tidur itu mudah, tinggal pejamkan mata saja. Tapi nyatanya bagiku ini sulit, ditambah lagi decitan suara bambu yang bergesekan dan gaungan suara binatang malam yang beradu. Seakan menjadi backsound kengerian suasana malam ini.
Ini sebuah kisah nyata, dari seorang Ibu paruh baya yang bertempat tinggal di daerah kota S. Sebut saja namanya Mbak Ibah.
***
Suara mesin jahit yang berisik, memenuhi ruang tamu Mbak Ibah, ia sedang sibuk menyelesaikan pekerjaannya membuat tali untuk sandal. Tatkala berisik mesin beradu dengan lantunan azan isya yang syahdu, Mbak Ibah segera menghentikan aktivitasnya.
Kuberanikan diri mengintip dari balik selimut, hanya mata yang menyembul ke luar menyusuri pandang menelisik keadaan ruangan kamar inap.
Tepatnya kira-kira setengah jam yang lalu, saat baru saja aku terlelap dalam mimpi. Kurasakan sentuhan kasar di ujung kaki, membuatku berjingkat terbangun. Mataku membelalak ketika menemukan sebuah tangan pucat meraih kakiku dengan rasa yang begitu dingin.
Tahun ketiga pernikahan, pertanyaan 'kapan hamil' terasa menjadi momok seram bagiku. Berbagai hal telah kulakukan untuk mendapatkan keturunan.
Mulai dari meminum jamu-jamuan herbal, kurma muda, meminum air tetesan embun yang ditampung di bawah genteng, hingga berbagai dokter dan bidan telah kudatangi untuk konsultasi.
Hari ini, saat senja menampakkan keindahan warnanya, gabungan indah antara oranye dan kelabunya awan menjadi saksi pernyataan kisah cintaku dengan Mas Dharma. Diiringi dingin angin semilir pegunungan Kani, menambah kesan dramatis peristiwa ini.
Kami dalam perjalanan pulang dari Pesarean gunung Kani. Di dalam mobil sport putih aku duduk di kursi depan sebelah kemudi, menopang daguku memandang keindahan kota Madang, hijab unguku berkibar mengalun-alun seiring hembusan angin, menerpa wajahku yang hitam manis.