Gadis dengan kucir kuda berkacamata duduk tertunduk dilingkari lima gadis lainnya. Sesekali badannya didorong ke kiri, kanan, belakang.
Satu orang gadis dengan rambut blonde meneriakinya, menuding dan berucap kasar. Namun, ia masih bergeming, tak melakukan perlawanan apa pun, pasrah.
Hanya membetulkan kacamatanya yang sebentar-sebentar melorot, sebab guncangan kasar dari tangan-tangan lima remaja jahil itu.
Tak hanya sekali. Bahkan hampir setiap hari ia mendapatkan perundungan seperti itu, sejak ia menginjakkan kaki di sekolah barunya. Alika namanya, gadis polos dengan kelemahan minder luar biasa.
Sebab ketidakpercayaan dirinya itu, kawan-kawannya menggunakan kesempatan untuk selalu membully. Padahal, ia gadis yang cukup cerdas.
Ia bisa saja balik mengerjai mereka dengan kepintaran yang dimiliki. Namun, mentalnya tak cukup kuat untuk melakukannya.
“Kalau kamu berani lagi membantah perintahku, hukumanmu bakalan lebih berat!” Gadis blonde kembali berteriak, kali ini tepat di wajah Alika yang masih menunduk. Alika hanya memejamkan mata sembari sedikit memundurkan tubuhnya.
Seorang gadis lain dengan name tag Agni, menarik bahu si blonde. “Sudahlah, Sya. Ayo kita pulang. Alika bakal kapok jika tak lagi nurut sama kita.” Marsya membuang napas kasar, memandang keempat kawannya.
Dengan sekali anggukan, keempatnya melangkah pergi mengikuti Marsya.
Ekor mata Alika hanya melirik kepergian lima teman sekelasnya itu. Memastikan jika mereka benar-benar telah pergi. Suara dentuman sepatu-sepatu itu perlahan menjauh, hilang.
Alika mengembuskan napas lega, menyenderkan tubuh pada bangku belakang. Sorot matanya sendu menatap tas di atas bangku. Keadaannya mengenaskan, robek dan tersayat di mana-mana. Ulah geng Marsya yang marah sebab Alika tak mau mengerjakan tugas mereka.
Selalu saja seperti ini. Alika bagai kisah bawang putih yang hanya bisa menangis tanpa berani membantah. Bibirnya mulai melengkung ke bawah, matanya berkaca-kaca.
Kedua tangannya kini berada di atas kepala, menjambak rambutnya sendiri. Ia mulai berteriak, melampiaskan segala amarah. Membuang kasar tas yang sudah tak berbentuk, hingga isinya berhamburan ke lantai.
Kini kedua tangannya menangkup dalam wajah, menyembunyikan tangisan dalam sesenggukan. Isak tangisnya mulai terdengar patah-patah. Sekuat hati ia menahan, tetapi air matanya tak bisa lagi terbendung, tumpah begitu saja sebab hati yang tersakiti.
Sebuah tangan menyentuh bahunya. Ia terlonjak kaget dan membuka tangan cepat, menoleh ke pemilik sentuhan. Tangisnya terhenti begitu saja, ketika menatap sesosok gadis asing berdiri di sampingnya.
“Hai ...,” ucapnya.
Alika mulai menyusuri pandang. Menatap perawakan sosok itu dari atas ke bawah. Gadis itu berseragam SMA seperti dirinya, rambutnya panjang sepunggung dengan baju yang sedikit kebesaran.
Mirip seragam yang dipakai ibunya dalam bingkai foto di kamar sang ibu. Gaya khas gadis pada masanya. Alika mulai melihat name tag di dada gadis itu. Seruni, nama itu yang tertera di sana.
“Ha-hai juga.” Terbata ia menjawab, secepatnya mengusap buliran bening yang membasahi pipi. Berusaha tersenyum.
“Boleh aku duduk?” pintanya lembut. Ia hanya mengangguk, membiarkan gadis itu menempatkan diri di sampingnya.
Mata Alika tak beranjak sedikit pun dari sosok yang dirasa begitu misterius. Seruni terlihat seperti gadis 90-an. Dandanan rambutnya, gaya pakaiannya, bahkan nama dan wajahnya. Sungguh mirip dengan gambar-gambar yang ia lihat pada album foto milik ibunya.
“Apa kamu murid di sekolah ini juga?” Pertanyaan itu muncul begitu saja pada bibir Alika, ia terlihat semakin penasaran. Seruni mengangguk dengan mengulas senyum simpul.
“Aku tahu, kamu sedih karena perlakuan dari teman-temanmu. Aku bisa menolongmu.” Tangan Seruni meraih jemari Alika, menggenggamnya lembut.
Seketika Alika menariknya kaget, sebab usapan Seruni terlihat begitu dingin. Dadanya mulai kembang kempis. Ia melirik jam dinding di atas papan tulis, pukul 14.00. Tergopoh ia berdiri, melangkah dan membereskan alat sekolahnya yang berceceran.
“Ma-maaf, aku harus pulang. Ibuku bakal marah kalau aku pulang terlambat,” ucap Alika sembari sibuk menata buku dan mengamitnya di dada. Ia mengibaskan tas yang sudah tak layak dengan wajah kesal.
“Cukup sebut namaku tiga kali, jika kamu ingin membalas mereka.” Alika menoleh seketika, mendapati wajah datar Seruni yang menatap tajam tas dalam genggamannya.
Tenggorokannya bergerak pelan menelan ludah, melihat wajah pucat Seruni tanpa ekspresi. Ia berdiri dan membetulkan gagang kacamatanya.
“Tak perlu, aku sudah cukup terbiasa dengan semua ini. Terima kasih.”
Terburu gadis berkucir itu melangkah meninggalkan Seruni yang bergeming dengan tatapan kosong. Ia bergidik. Mempercepat langkah ke luar kelas, membuang tasnya dalam sampah depan kelas.
Alika kembali menengok keadaan kelas melalui jendela kaca, ia mengernyit. Tak ada lagi sosok Seruni di sana. Ia semakin celingukan. Namun, ia terenyak kaget melihat wajah seram Seruni tiba-tiba menempel pada kaca yang ia tatap sembari berteriak, “Sebut namaku tiga kali!”
Alika tercekat, mulutnya menganga dan memundurkan tubuhnya cepat.
Tunggang langgang gadis itu berlari menjauh, mendekap erat semua peralatan sekolah dalam genggaman. Napasnya memburu ketakutan, berharap secepatnya ke luar dari gedung sekolah.
Namun, tubuhnya jatuh terjengkang, saat bertabrakan dengan seseorang di halaman depan sekolah. Buku-bukunya kembali berserakan.
“Heh, dasar manusia culun! Nggak punya mata ya?” Alika masih bersimpuh melihat sosok yang ditabraknya. Tias, salah satu geng Marsya.
Ia mengibaskan bajunya yang tersiram minumannya sendiri.
“Kamu harus cuci bajuku sekarang juga! Kalo enggak bersih, kamu harus ganti yang baru!” Gadis berkacamata itu masih terdiam tanpa menjawab apa pun.
“Malah melongo! Denger nggak, sih? Ayo ke toilet sekarang juga!” Tias menarik lengan Alika kasar, membuat gadis itu secepatnya berdiri mengikuti.
“Sebentar, Tias. Buku-bukuku ....”
“Nggak usah kebanyakan alasan, cepat!” Kasar ia menyeret tubuh lemah Alika, membawanya dalam toilet belakang sekolah.
Tias menutup pintu dan mengunci, membuka kancing bajunya dan menyerahkannya pada Alika. “Cepetan!” Bentaknya lagi.
“I-iya.” Alika menunduk dan mulai membasuh bagian baju yang tersiram jus alpukat pada wastafel. Mengusapkan sedikit sabun mandi untuk menghilangkan noda. Sedang Tias berdiri depan kaca menyilangkan dada.
“Yang bersih,” katanya sembari mendorong tubuh Alika. Ia terlihat semakin kesal dengan perlakuan Tias, menatap geram wajah Tias pada kaca. Tanpa sengaja mulutnya bergumam sendiri, “Seruni, Seruni, Seruni.”
“Eh, ngomong apaan? Nggak terima?” Alika hanya diam. Terus mengucek baju Tias, menundukkan wajah semakin dalam.
Ketika dirasa telah bersih, ia memberikannya pada Tias. Lantas pergi meninggalkannya tanpa berbicara sepatah kata pun.
Ia seolah berharap, semoga Seruni benar-benar bisa membalaskan dendamnya.
***
Suara ayam berkokok tanda pagi menjelang. Alika membuka mata saat merasakan sorot cahaya matahari yang menembus kaca jendela. Ia mengulas senyum dan memeluk gulingnya erat.
Gedoran kasar pada pintu, tak membuatnya kesal seperti biasa. Omelan ibunya pun, ia anggap angin lalu. Perlahan ia bangkit dari tidurnya, menggeliat ke kanan dan kiri, mengeretakan tulang-tulang tubuhnya.
Ia menatap wajahnya pada pantulan cermin lemari di depannya. Dahinya mengernyit, tersenyum sendiri.
Celoteh sang ibu membuatnya beranjak dari kasur dan memersiapkan diri menuju sekolah. Tanpa bantah ia bergegas.
Seperti biasa, karena jarak sekolah yang tak cukup jauh. Ia berjalan kaki sendiri, melewati gang-gang sempit dan kos-kosan kumuh, untuk menyingkat jarak.
“Neng cantik, sendirian aja nih. Boleh abang temenin?” Kalimat seperti itu selalu mengiringi langkahnya yang terbirit. Takut, ngeri, acap kali membuatnya tak tenang.
Beruntung kali ini ia hanya ditegur, kadang ia mendapati lelaki-lelaki usil yang berusaha mendekati. Jurusnya hanya berlari sekencang mungkin untuk menghindar.
Sampai di depan gerbang sekolah, gemuruh siswa dan orang-orang membuatnya penasaran. Ia mendesak masuk di antara kerumunan manusia yang celingukan seperti dirinya.
Dilihatnya beberapa mobil polisi dan ambulance dalam halaman sekolah. Tak ada yang boleh masuk kelas. Halaman sekolah kini serupa lautan manusia linglung tanpa penjelasan. Semua siswa bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi?
Dilihatnya Marsya and the gank di pojok gedung. Mereka saling peluk, menangis tersedu. Bibirnya mulai bergumam menghitung, “Satu, dua, tiga, empat. Di mana si Tias?” Ia terlonjak kaget ketika mendapati petugas berseragam putih menarik brankar dari belakang gedung.
Di atasnya, tubuh Tias terbaring dengan keadaan pucat membeku. Alika membungkam mulut, menggelengkan kepala tak percaya.
Suara jeritan Marsya dan kawan-kawannya kini menjadi tontonan tunggal seluruh siswa.
Wajah semua orang terlihat sendu, antara ngeri dan haru. Sekali lagi ia bergumam sendiri, “Kaukah itu, Seruni?”
Alika berjalan terhuyung pada sebuah bangku depan kelas, perlahan duduk dan menyenderkan tubuh di tembok. Raut wajahnya masih saja bingung.
Benarkah apa yang terjadi dengan Tias akibat lidahnya yang sembarangan menyebut Seruni? Ia seakan merasa ini terlalu berlebihan. Gadis itu terus melamun dengan tatapan kosong, seolah menyesali perbuatannya.
Suara pada speaker sekolah mengagetkannya. Sebuah pengumuman bahwa hari ini sekolah diliburkan. Dalam sekejap, gerombolan siswa pada halaman sekolah kini telah menyusut pergi.
Meninggalkannya sendiri menatap gerakan petugas polisi, rumah sakit, serta guru-guru yang bercakap pada ketiga sahabat Tias. Seperti mengulas keterangan tentang kejadian hari ini.
Dilihatnya Marsya dan tiga gadis itu yang tengah diinterogasi polisi. Gerakan tubuhnya kini semakin tak tenang, seolah takut jika ia akan dihujani pertanyaan seperti mereka. Ia mulai berdiri cepat, melangkah pergi berharap lari dari kenyataan.
Namun, sebuah suara menghentikannya. Ia tercekat, tak berani memalingkan wajah.
“Alika, kemari sebentar!” Ia memejamkan mata mendengar suara Pak Haris, sang wali kelas. Perlahan ia memutar badan.
Mendapati Pak Haris, ibu kantin, bersama dua orang polisi di belakangnya.
“I-iya, Pak.” Tangannya gelisah memilin-milin tali tasnya.
“Benar sekali, Pak. Dia yang kulihat terakhir kali bersama Tias.” Suara ibu kantin membuatnya melongo.
“Mari, ikut kami.” Seorang polisi mengangguk menatapnya. Alika masih terdiam tak berkutik.
“Bu-bukan saya, Pak. Suer! Saya hanya mencuci bajunya saja.” Pak Haris mendekat padanya, menarik bahunya lembut dan membawanya menuju kantor.
Setelah menjalani beberapa pertanyaan, Alika sudah boleh pulang. Ia lega ketika mendapatkan keterangan, bahwa Tias meninggal karena penyakit asma yang dideritanya. Ia terkunci pada bilik toilet.
Mungkin terlalu lama ia berteriak, hingga asmanya kambuh tanpa ada yang menolongnya.
Ketika keluar dari pintu kantor, wajah keempat sahabat Tias sudah menatapnya tajam. Alika menunduk dan melewati mereka begitu saja.
Sosok Marsya seketika menghadang jalannya. Ia membelokkan badan ke kiri, kini Agni yang berdiri di depannya. Ia memutar tubuh ke belakang, dua teman lainnya menyilangkan dada.
“Apa yang kamu lakukan pada Tias?” Sorot tajam Marsya mengintimidasi, membuatnya gemetaran.
Suara Pak Haris dalam kantor membuat keempatnya celingukan. Agni segera menyeret tangan Alika keluar gedung sekolah.
Di depan gerbang, tangannya diempaskan kasar. Alika mengernyit mengusap-usap bekas cengkeraman Agni.
“Dasar pembunuh!” Semprotan Marsya mengejutkannya. Ia mulai didorong bergantian oleh Marsya and the gank ke segala arah. Kepalanya terlihat mulai pusing. Ia berteriak kencang.
“Kamu ngomong apaan? Dasar gadis nggak jelas!” Wajah Marsya terlihat sedikit ngeri memandang tatapan tajam Alika tanpa berkedip padanya. Pun dengan ketiga gadis lainnya. Dahi mereka mengernyit sebab tak paham.
“Ayo kita pulang!” Ajaknya pada teman-temannya. Marsya mendahului melangkah pada jalanan. Seketika sebuah truk dengan kecepatan tinggi menyambar tubuh Marsya.
Braakkk!
Ketiga wajah sahabat Marsya melongo tanpa bersuara. Pakaian mereka bertiga juga Alika, terciprat darah segar Marsya. Agni menoleh pada Alika, “Apa yang sudah kamu lakukan, dasar penyihir!” Alika mendekat pada Agni. Menengadahkan wajah yang penuh noda darah.
“Apa kamu mau bernasib sama seperti kedua temanmu?” Agni dan kedua gadis itu menggeleng.
Seketika depan sekolah menjadi ramai, teriakan histeris orang-orang menggema mengiringi kematian Marsya.
Guru, polisi, juga petugas rumah sakit yang masih berada di sekolah, segera mengevakuasi mayat Marsya.
Tanpa ada yang tahu, Alika berjalan cepat meninggalkan TKP untuk pulang. Di tengah jalan sempit. Ia kembali bertemu dengan para pria penggoda.
“Apa yang terjadi denganmu, Neng? Sini abang bantuin bersihin” Seorang pria penuh tatto menarik lengannya.
Tajam mata Alika menatap pria itu lalu berucap, “Seruni, Seruni, Seruni.” Pria yang lain keheranan melihat Alika. Sedang lelaki di depannya tertawa geli.
Gadis SMA itu mengibaskan tangan si lelaki.
Tiba-tiba seekor anjing berlari kencang menghujani pria bertatto dengan gigitan dan cakaran. Pria lainnya mencoba membantu tapi tak ada yang bisa melawan keganasan anjing gila tersebut.
Alika menyilangkan dada melihat pemandangan mengerikan itu. Pria-pria itu kini bergidik ngeri melihat Alika. Ia mulai berjalan pelan meninggalkan para pria yang sibuk menolong kawannya.
Hingga ketika beberapa meter, ia mendengar suara salah satu pria.
“Gun, jangan tinggalkan kami!” Alika menyungging.
***
Di depan teras rumah, ibu Alika yang sedang mengupas bawang, memandang tubuh anaknya yang penuh bercak merah. Ia menggeleng dan berkacak pinggang.
“Habis ngapain? Ngebunuh orang?” Alika mengangguk. Ibunya mendelik tajam, “Gimana caranya kamu bunuh orang?” tanya sang ibu.
“Seruni, Seruni, Seruni,” jawabnya polos tanpa bersalah. Sang ibu keheranan.
Alika berjalan masuk dengan gontai, baru saja ia membuka sebelah sepatunya, ia terkaget mendengar suara terjatuh dan teriakan tertahan sang ibu. Alika membalikkan badan seketika.
Ia membungkam mulut menemukan ibunya jatuh telungkup, dengan pisau yang menancap pada dadanya.
“Ibuuu ...!” Alika membalik tubuh gempal ibunya dan menangis jejeritan.
Menarik pisau perlahan, semburan darah seketika mengucur deras. Ia semakin jejeritan mendapati jantung sang ibu yang tak lagi berdetak, matanya terbuka dengan mulut menganga.
“Ini semua gara-gara kamu, Seruni. Lidah ini dan namamu adalah pembunuh!” Ia terus terisak memangku kepala ibunya.
Hingga matanya kini menatap pisau dalam genggamannya. Ia menjulurkan lidah, mengacungkan pisau dan menyabet kasar lidahnya sendiri.
Kucuran darah kental menderas dari bibirnya. Beberapa tetangga mulai berdatangan dan saling teriak, mulai menolong Alika dan ibunya.
Ia tak pernah tahu, jika Seruni adalah gadis korban perundungan 20 tahun lalu. Yang bunuh diri di sekolahnya sebab tak kuat setiap hari mendapatkan bully-an.
Alika masih tetap hidup hingga kini. Hanya saja, tanpa lidah.
Timit 😜😜
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Aku melihatnya, hampir di setiap malam. Duduk bersimpuh begitu anggun, dalam balutan kebaya cokelat dan jarik batik. Rambutnya lurus sepunggung tergerai indah, dengan selipan bunga kamboja di telinga sebelah kanan.
Ia tak melakukan apa-apa, hanya tersenyum berdiam diri di antara barang-barang antik kesayangan Kakek.
Asing, itulah yang kurasakan saat ini. Aku memandang ranjang besi yang tertutup kelambu ini bersama lamunanku. Aku gadis kota yang terpaksa harus tinggal di desa dengan segala
keheningannya.
Orang bilang tidur itu mudah, tinggal pejamkan mata saja. Tapi nyatanya bagiku ini sulit, ditambah lagi decitan suara bambu yang bergesekan dan gaungan suara binatang malam yang beradu. Seakan menjadi backsound kengerian suasana malam ini.
Ini sebuah kisah nyata, dari seorang Ibu paruh baya yang bertempat tinggal di daerah kota S. Sebut saja namanya Mbak Ibah.
***
Suara mesin jahit yang berisik, memenuhi ruang tamu Mbak Ibah, ia sedang sibuk menyelesaikan pekerjaannya membuat tali untuk sandal. Tatkala berisik mesin beradu dengan lantunan azan isya yang syahdu, Mbak Ibah segera menghentikan aktivitasnya.
Kuberanikan diri mengintip dari balik selimut, hanya mata yang menyembul ke luar menyusuri pandang menelisik keadaan ruangan kamar inap.
Tepatnya kira-kira setengah jam yang lalu, saat baru saja aku terlelap dalam mimpi. Kurasakan sentuhan kasar di ujung kaki, membuatku berjingkat terbangun. Mataku membelalak ketika menemukan sebuah tangan pucat meraih kakiku dengan rasa yang begitu dingin.
Tahun ketiga pernikahan, pertanyaan 'kapan hamil' terasa menjadi momok seram bagiku. Berbagai hal telah kulakukan untuk mendapatkan keturunan.
Mulai dari meminum jamu-jamuan herbal, kurma muda, meminum air tetesan embun yang ditampung di bawah genteng, hingga berbagai dokter dan bidan telah kudatangi untuk konsultasi.