Sehari setelah sampai di Jakarta dari neraka Eropa, saya kembali bekerja dan langsung dapat shift malam. Hari hampir memasuki waktu tengah malam. Suasana
IGD tenang sekali. Hanya terdengar suara goresan pulpen perawat yang sedang mengisi data pasien.
Hipotensi.. engga
Aritmia.. engga
Hipoglikemia.. engga
Dehidrasi.. engga
Anemia... engga
Ini... engga
Itu... engga juga, Engga semua!
Berarti hanya ada satu kemungkinan!
Dia tidak Pingsan!
Saya trsenyum tipis.
Matanya lgs terbuka lebar. Kepalanya celingukan ke kiri dan kanan mencari sesuatu. “Mrka di luar,” jelas saya, Anak itu terlihat lega dan tnang kembali. Saya pun bertanya dengan lembut, “Knp km pura-pura pingsan?"
“Dek, mens kamu lancar selama ini?” dia mengangguk dgn sesegukan.“Skrg mens kamu telat?”Tangisnya mengencang. Saya menarik napas panjang.
Dia sesenggukan, seperti sulit menghentikan tangisnya. Terbata2 dia berkata, “Enggga... aku enggak punya pacar!"
“Sama Bapaaak ...” dia menunjuk sosok laki2 yang membopongnya tadi, yang tampak dari balik jendela IGD sedang berdiri di luar dengan istrinya.
Saya menghela napas sekali lagi.
“Oh God, please help me ...”
hak tinggi. Pakaian kantor ... jam segini?
“Lalu, kenapa dia pingsan?” kata si istri..
Sang istri, meski mengangguk terlihat tak mengerti. Sementara wajah suaminya berubah warna jd merah kuning hijau.
Mereka menurut.
Saya meminta mereka segera pulang karena pertama, hamil bukan penyakit, hamil adalah kondisi sehat yang normal. Kedua, ini IGD yang berisi berbagai macam ‘senjata’ seperti pisau, gunting, suntikan, dll.