, 64 tweets, 10 min read Read on Twitter
Sensor film itu adalah produk usang ketakutan penguasa, mau politik ataupun moral, terhadap masyarakatnya (dalam hal ini berarti penonton film).

Dulu pernah mau bikin skripsi tentang sensor tapi ganti waktu itu hehehe
Konon kata sensor itu asalnya dari bahasa latin yaitu Censere, yang berarti to give as one's opinion.

Kalau KBBI bilangnya "pengawasan dan pemeriksaan surat-surat atau sesuatu yang akan disiarkan atau diterima (berita, majalah, buku, dan sebagainya)"
Lembaga sensor pertama kali ada di Roma pada 443 SM. Tahu gak buat apa? Buat sensus penduduk dan sekalian periksa moral warga.

Kalau Undang-undang sensor film pertama kali di Inggris tahun 1909.
Di Indonesia baru ada kebijakan ini tahun 1916 dan yang buat adalah pemerintahan Hindia Belanda.

Tahun 2016 bahkan ada acaranya lho 100 tahun Sensor Film Indonesia.
Kenapa bisa ada sih kebijakan sensor ini? Karena film barat waktu itu muncul dan beberapa ada adegan seks dan kekerasan. Sebagai orang Barat (maksudnya Eropa ya bukan Jelambar) mereka khawatir nih citra mereka yang terlihat beradab, punya sopan santun, rasional lenyap.
Di tahun berikutnya, Komisi Sensor Film sudah ada di Batavia alias Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Medan. Katanya sih 3 kota awal itu dipilih karena punya pelabuhan yang jadi tempat distribusi film impor. Medan biasanya memanfaatkan film buat hiburanpara pekerja biar betah.
Jadi biar bisa diputar film-film ini, mereka kudu dapat surat bukti lulus dari Komisi Sensor Film daerah. Surat ini biar jadi bukti kepada Polisi.

Nah kriteria sensornya ada tiga: Lulus, Lulus Sementara, Tidak Lulus.
Apaan tuh Lulus Sementara? Artinya filmnya boleh ditayangkan di satu daerah tapi gak bisa ditayangkan di daerah lain kalau filmnya gak sesuai budaya masyarakat setempat.
Persoalannya waktu itu adalah tidak dikenakan biaya sensor ke pemilik film. Imbasnya filmnya banyak tapi anggota Komisi Sensor kerjanya sesuka hati.

Waktu pengerjaan doi doi ini bisa setahun bahkan sampai dua tahun.

"Wkwkwk suka suka w"
Di buku Sejarah Film 1900-1950, potongan film yang tidak lulus sensor bisa diambil lagi oleh pemilik film. Mereka biasanya gabungin potongan dan diputar di bioskop kecil. Biasanya kompilasi ini dinamakan sortie.

Ceritanya berantakan tapi menguntungkan.

Menarik juga nih idenya
Skip kita langsung ke zaman penjajahan Jepang.

Film dijadikan alat propaganda pas zaman penjajahan Jepang. Sensor ada gak? Ya masa gak ada, bosque.

Pokoknya film harus ngasih lihat dukungan & kepercayaan terhadap pemerintahan Jepang.

Film bahasa Inggris sama Belanda gak bole
Sudah merdeka, Indonesia punya Panitia Pemeriksaan Film. Panitia ini ada di bawah Departemen Penerangan. Panitia Pemeriksaan Film lalu berganti menjadi Panitia Sensor Film.

Salah dua yang kena Panitia Sensor Film ini adalah Usmar Ismail dan Armijn Pane.
Darah dan Doa kena sensor karena muncul tekanan dari masyarakat sama tentara karena filmnya menggambarkan DI/TII sebagai pengkhianat dan pasukan Siliwangi terlalu ditonjolkan.
Antara Bumi dan Langit kena sensor setelah protes komunitas muslim, pelajar, dan masyarakat karena ada berita dan foto adegan ciuman tokoh utama perempuan. Mereka menuntut film itu disensor agar sesuai dengan kebudayaan Indonesia.
Kebudayaan Indonesia itu seperti apakah?
Menurut Usmar Ismail dan Armijn Pane, sensor hanya menjauhkan perfilman nasional yang menggambarkan realitas sosial Indonesia.
Beberapa film kemudian biasanya diminta untuk disensor dari beberapa kalangan masyarakat, entah organisasi atau insitusi dan sebagainya.

Apa kabar penonton lainnya coba ya?

Bibit penyakit berupa merasa golongannya paling benar dan harus dituruti ternyata sudah ada.
Lantas apa yang menyelamatkan film-film tersebut sehingga bisa tetap diputar?

Salah satunya adalah Presiden Soekarno turun tangan.
Tahun 1964 ada Penetapan Presiden no.1 tentang Pembinaan Perfilman. Film kemudian berpindah tanggung jawab dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ke Departemen Penerangan.
Sejak Mei 1965, Badan Sensor Film didirikan. Sejak Januari 1967, film yang tidak punya surat izin dari BSF dan Menteri Penerangan bakal disita dan dimusnahkan.

Orde Baru ada sensor gak, Bang?
Yah dek. Orang aja bisa hilang apalagi film.
Kalau bahas soal perjalanan sensor di masa Orde Baru, wah bisa panjang.

Intinya masih setipe dengan yang sekarang yaitu film tidak boleh mengandung beberapa hal yang dapat memicu penontonnya. Perlindungan moral, sosial, dan negara lah pokoknya.

Kita bahas nanti lagi soal ini.
Dulu, film yang sudah diperiksa dan lulus sensor akan diberikan Surat Tanda Lulus Sensor. Masih ada sampai sekarang ya.

Lulus sensor itu bisa ada potongan atau tanpa potongan.

Ada batas umur juga: Semua Umur, 13 tahun ke atas, hingga 21 tahun ke atas.
Potongan filmnya kali ini diapakan? Dikembalikan lagi ke pemilik filmnya gak?

Jawabannya adalah Tidak.

Terus diapain?

Dibakar. Ada tulisan yang mencatat bahwa sejak 1973-1994 ada 8 kali pembakaran dan disaksikan Menkopolkam.
Ada catatan menarik ketika film Bermalam di Solo dijadikan uji coba penerimaan film kepada masyarakat. Waktu itu di filmnya ada adegan berciuman.

Apa respons masyarakat?

Masyarakat menerima film, termasuk adegannya.

(Halo halo masyarakat, makin mundur apa gimana kita?)
Setelah ini mari kita lihat kasus yang pernah ada secara singkat film yang pernah kena guntingan tajam Lembaga Sensor Film ya agar supaya kita dapat gambaran perjalanan kita sebagai penonton film di Indonesia
Hidup, Tjinta, dan Airmata (1970).

-> Banyak mengandung adegan porno
Romusha (1972)

-> Lulus sensor oleh Badan Sensor Film tapi dilarang oleh Departemen Penerangan. Mereka khawatir pemerintah Jepang bakal marah.
Bumi Makin Panas (1973)

-> Lulus Badan Sensor Film tapi dilarang beredar di wilayah Cianjur oleh Badan Pertimbangan Film Daerah Cianjur

Pengakuan Seorang Perempuan (1974)

-> Lulus Badan Sensor Film tapi dilarang Badan Pertimbangan Film Daerah Yogyakarta karena banyak erotika
Si Mamad (1973)

-> judul: Matinya Seorang Pegawai Negeri (ditolak)
-> judul: Renungkanlah Si Mamad (bole)

Judul awal bisa kasih gambaran yang keliru tentang pegawai negeri
Tiada Jalan Lain (1972)

-> Ditarik oleh Kejaksaan Agung karena tidak mencerminkan kepribadian bangsa yang menonjolkan kemewahan seperti penggambaran mobil mewah.

Nyoh nyoh nyoh, sobat misqueen
Max Havelaar (Saijah dan Adinda) (1975)

-> Bisa mendorong masyarakat membenci bupati, membenci belanda, menggambarkan kolonialisme baik, memancing permusuhan agama.

Baru rilis 10 tahun kemudian setelah dipotong.
Yang Muda Yang Bercinta (1977)

-> Dipotong 18 menit. Dilarang beredar pada bulan Mei 1978 di wilayah hukum Kodam Jaya, karena dinilai ada unsur propaganda, agitasi dan menghasut masyarakat, khususnya generasi muda.

Baru rilis di Jakarta tahun 1993 (16 tahun kemudian)
Perawan Desa (1978)

-> Dapat memicu ketegangan sosial dan bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Mengingatkan luka lama. Disensor sebanyak 16 kali dan tertahan selama setahun.
Bung Kecil (1978)

-> Disensor karena mempertentangkan kelas sosial. Baru bisa rilis tahun 1983 (5 tahun setelahnya).
Petualang-Petualang (1978)

-> judul awal: Koruptor-Koruptor (ganti!)
-> Bisa menimbulkan gambaran keliru tentang pejabat pemerintah
-> Disensor banyak dan baru bisa rilis 6 tahun kemudian.
Nyoman Cinta Merah Putih (1989)

-> Judul awal: Nyoman dan Presiden (ganti! Presiden itu lembaga terhormat. Jangan digunakan sembarangan)

Kanan Kiri OK (1989)
-> Judul awal: Kiri Kanan OK (ganti! masa kiri duluan!)
Apa kabar sobat mikrolet, metromini, kopaja sama patas?
Itu tadi beberapa film yang terkena sandungan sensor masa Orde Baru. Bisa dilihat juga tidak hanya dari Badan Sensor yang berperan, tapi terkadang dari beberapa kelompok juga.

Masa ini juga beberapa kali terlihat bahwa keputusan sensor tidak konsisten
Pasca Orde Baru, sensor ternyata masih hidup.

Masih ingat poster 9 Naga yang udelnya ditutup lakban? atau 3 Hari untuk Selamanya dan Berbagi Suami yang dipotong? atau Pocong yang dilarang tayang?

Belum lagi Buruan Cium Gue yang didemo
Sekarang mari kita telaah Lembaga Sensor Film beberapa waktu terakhir.
Setidaknya ada dua perangkat hukum terkait keberadaan Lembaga Sensor Film: UU no. 33 tahun 2009 dan PP nomor 18 tahun 2014.
Ini adalah cara memasukkan film ke Lembaga Sensor Film. Pertanyaannya: dimana ruang diskusi?
Jika menilik film Potongan, diskusi yang terjadi di Lembaga Sensor Film tidak berjalan. Yang ada bukan diskusi tapi pemaparan.

Entah apa sekarang sudah berbeda atau tidak.
Oo iya sebelum lupa, pekerja Lembaga Sensor Film itu digaji negara lho. Ketuanya mendapat honorarium 24 juta/bulan, Wakil Ketua 22,8 juta/bulan, dan anggotanya 20,4 juta/bulan.

Proses seleksi dilakukan di Kemendikbud, lalu ada proses fit and proper test oleh Komisi I DPR
Menurut Peraturan Pemerintah, LSF itu harus beranggotakan 17 orang yang terdiri dari 12 orang unsur masyarakat (pendidikan, perfilman, kebudayaan, hukum, teknologi informasi, pertahanan keamanan, bahasa, agama, dan/atau kepakaran lain) + 5 orang unsur pemerintah
Yang dilarang menurut UU Perfilman. Terlihat masih abstrak ya tapi nanti kita coba cek PP tentang Lembaga Sensor Filmnya.
Kriteria film untuk Semua Umur
Kriteria film untuk 13 tahun ke atas
Kriteria film untuk 17 tahun ke atas
Kriteria film untuk 21 tahun ke atas
Penggolongan umur di atas terlihat lebih detil meskipun ada beberapa pertanyaan yang kemudian bisa kita gali, misalnya:
- Bagaimana mendefinisikan tema dan permasalahan keluarga (Pasal 36 ayat b tentang penonton 21 tahun ke atas)?
- Bagaimana mengelaborasi kesesuaian dengan usia?
Kita kembali ke pelarangan isi. Ini juga menjadi standar yang tidak jelas. Bagaimana mendefinisikan dan memprediksi ayat ini? Bukankah penonton itu terdiri dari beragam pikiran dan pengalaman?
Justru itu kita mencegah biar tidak ada kekerasan, pertentangan antar kelompok, dsb

Emangnya kalau nonton Hellboy, orang langsung baku hantam dalam bioskop? Emangnya kalau lihat adegan telanjang di Blade Runner 2049, orang langsung pengen ngews sehingga maksa orang lain?
Gak nonton film aja juga ada tuh pertentangan antar kelompok.

Jadi harus gimana dong, fren?
Sebagai penonton, kita harus terus menyuarakan pendapat kita. Kita punya hak untuk itu. Masa pekerja produksi film sudah susah payah menelurkan imajinasinya, menata sedemikian rupa, bekerja keras, dipangkas kreativitas dan jerih payahnya.
Tapi kita sebagai penonton juga kudu cerdas. Jangan main asal tunjuk semua salah juga. Kita kritisi supaya lebih baik. Cara paling sederhana adalah bertanya setiap merasa ada kejanggalan dan bawa regulasinya.

Kok film ini dipotong? Kok penggolongan usianya segini? Dasarnya apa?
Kenapa penonton perlu demikian? Karena penonton kan juga bagian penting dari ekosistem perfilman.
Kita juga minta akses informasi terbuka lebar. Tidak hanya sensor dong tapi juga jumlah penonton yang bisa terupdate, jadwal rilis perdana, dsb.

Khusus LSF, kita juga dorong terus untuk terbuka yang masih tertutup. Proses seleksi anggota hingga catatan penggolongan usia.
Kalau perlu sampai daftar absen untuk memantau proses kerja mereka.

Kan kita juga kurang tahu ya pemirsa kalau mereka nonton apa gak, nonton utuh apa gak.
Dan juga perangkat hukumnya harus dikritisi. Seempet-empetnya sama sensor kalau mau teriak juga sampai suara lo kayak Lupita Nyong'o di Us juga kaga bakal bisa.

Sensor itu ada karena perangkat hukumnya ada.
Wah gak ada sensor amburadul dong?

Kita dorong penggunaan klasifikasi film. Mirip dengan penggolongan usia tapi dengan kriteria operasional yang lebih konkrit dan detil.
Misalnya: adegan telanjang. Setelanjang apa yang menjadi check list. Kelihatan bagian belakangnya saja di usia berapa, alat kelamin terlihat di usia berapa, dan sebagainya.

Jadi kita bisa semakin kritis, oh film ini ada adegan ini. Sesuai dengan kriteria usia sekian.
"Masyarakat belum siap dan cerdas, Mas. Gampang terpengaruh."

Kasih tunjuk riset yang ada soal pengaruh. Sampai kapan sih siap dan cerdas? Apa indikatornya?

Justru kita harus mendorong pendidikan literasi media dan berpikir kritis dong.

Masa dari 1916, masih di titik yang sama
Terakhir tentu peran serta bioskop juga dalam disiplin dan mengedukasi penontonnya.

Kalau ada ibu-ibu hebring bawa bocah nonton film brutal, kasih tangan dan bilang "cannot"
Jika semua berjalan dengan baik, niscaya semua gembira dan sehat kok. Kan kita gak mau, film kayak The Night Comes for Us jadi film pendek.

Kiranya begitu lah.
Missing some Tweet in this thread?
You can try to force a refresh.

Like this thread? Get email updates or save it to PDF!

Subscribe to Alexander Matius
Profile picture

Get real-time email alerts when new unrolls are available from this author!

This content may be removed anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!