Di jalan masuk area makam, bambu apus tumbuh rimbun, seperti pintu gerbang untuk mereka yg hendak masuk, entah ziarah atau justru dikuburkan.
Dulu warga sempat heboh karena beberapa makam hanyut ke sungai lantaran tanahnya longsor diterjang banjir.
Konon tak ada yg berani memindahkannya, sehingga lambat laun batu nisan itu terkubur di dasar sungai yg semakin dalam.
Inilah yg sebenarnya membuatku tak terlalu takut dengan kesan2 seram kuburan tua itu.
Tapi agaknya lain cerita dengan teman2ku yg pernah kuajak menginap di rumahku.
Senangnya hati sampai di rumah, setelah hampir 2 tahun di perantauan. Rindu keluarga dan kampung halaman langsung terobati.
“Hush ngawur aja. Aku kurus memang sengaja, diet,” kataku. “Huu bilang aja ngirit,” kata adikku menimpali.
“Yasudah bersihkan badanmu dulu, terus langsung makan, adikmu tadi masak sayur bayam sama tempe goreng,” kata Ibu.
Aku tertawa lebar, mendengar celotehnya. Sedangkan Ibu hanya tersenyum melihat kelakuan kami.
Aku pun bergegas ke kamar mandi. Di belakang rumah sudah ada Bapak yg menimba air. Beliau rupanya sudah pulang.
Aku segera mandi, sedang Bapak masih mengisi padasan [tong air] untuk keperluan bersuci.
Ya, setelah lulus kuliah aku merantau. Saat itu adikku masih SMA, karena memang kami lahir terpaut agak jauh. Dia tinggal di rumah bersama Bapak & Ibu.
“Itu mau dipakai lagi mesin jahitnya Pak?” tanyaku pada Bapak. “Bukan, mau dipakai sama bulekmu,” kata Ibu menimpali.
Aku pun mengangguk dan tak bertanya lagi.
Dulu Bapak membelinya biar lebih mudah menambal pakaian kami kalau robek. Malah kadang Ibuku juga menjahit baju2 sehari2 untuk aku dan adikku.
Akhirnya mesin jahit itu masuk gudang, dan sepertinya baru kali ini kembali dibersihkan.
Aku kaget mendengarnya. “Maksudnya bocah siapa Dik?” tanyaku. “Ya itu bocah ireng,” katanya sambil tersenyum.
Aku pun hanya mengangguk, meski kalimat adikku itu benar2 membuatku penasaran. Bocah ireng? Siapa maksudnya?
Dia tau persis kalau aku suka mendengar cerita seram, meskipun faktanya lumayan penakut.
“Lha iya terus maksudmu bocah ireng itu siapa?” tanyaku lagi.
“Halah bilang aja kamu takut to Mas?” ledek adikku. “Yee ngawur aja masak gitu aja aku takut. Sudah ayo ke dalam rumah saja,” balasku.
Saat itu dia sedang berada di ruang belakang tempat kami sekeluarga biasa makan bersama.
Sore itu Ibu agak repot, karena harus pergi kondangan. Maka beliau sekalian bersiap-siap. Menurut adikku aku sendiri sedang pergi dengan Bapak.
Begitu keluar rumah sekali lagi dia melihat bayangan itu mengintip dari sudut tembok rumah.
Adikku pun segera berlari ke dalam rumah dan mengunci pintu.
“Ah ada2 saja, makanya segera wudu, magriban,” kata Adikku menirukan perkataan Ibuku.
Bahkan sampai aku dewasa pun sepertinya baru sekali aku mendengar Ibu membahas makhluk tak kasat mata.
“Kenapa to Bu,” tanya Bapak. “Ada orangtua wajahnya hitam bawa bungkusan kain sarung dipanggul seperti mau masuk halaman rumah, tapi lalu menghilang,” jawab Ibu.
Pantas saja tiba2 dia selalu minta ditemani kalau hendak ke kamar mandi malam2. Aku sendiri selalu ngomel2 kalau dia membangunkanku.
Kali ini adikku yg sedang nonton tv terhenyak ketika seperti ada angin yg bertiup kencang di belakangnya. Lagi2 arahnya dari pintu belakang.
Pastilah aku tak mau lagi tidur di kamarku sendiri. Malah mungkin aku akan minta tinggal di rumah kakek nenek di kota lain.
Sesampainya di kampung halaman keluarga itu pun segera membersihkan rumah yang kotor lantaran lama tak dirawat.
Keluarga itu bersih2 rumah sampai sore. Adapun anak mereka yg masih kecil sejak siang sudah langsung berbaur bermain dengan anak2 kecil lain di dusun.
Anak sulung keluarga itu, Mbak Ayu, akhirnya pergi mencari di sekitar rumah sambil memanggil2 nama adiknya. Tapi ternyata tak ditemuinya anak itu.
Mbak Ayu yg semakin khawatir pun pulang untuk memberitahu orangtuanya.
Tertawa2, kadang terdengar suara2 air di selokan berkecipak. Saat itu memang musim hujan jadi air selokan pun mengalir deras.
“Edi, kamu itu main2 saja, sampai sore begini, ayo masuk!” katanya jengkel.
Namun mulutnya lebar dengan lidah menjulur2 panjang. Makhluk2 itu tiba2 tertawa semakin keras, seperti terbahak lalu raib.
Salah satu tetangga mengatakan mungkin makhluk itu merasa punya teman bermain karena ada anak2 di rumah mereka.