Ronda malam sudah lazim dan rutin digelar krn masih bnyk pencurian, beberapa kali rumah warga disatroni maling, termasuk rumah bapakku yg ikut digasak
Setiap kepala keluarga di dusun kami kebagian tugas meronda, selain anak2 muda yg sukarela ikut, hampir tiap hari malah. Jam 9 mlm, biasanya pos ronda mulai ramai
Bagi kmi, nongkrong di pos adl hiburan, stlh mgkin sharian membantu orgtua bertani atau pkerjaan lain. Tak pduli besok skolah
Kalau tdk, ya harus pasrah mnikmati suara alam, jangkrik, codot, burung hantu, dan kdg suara2 aneh yg aku ga tau apa sumbernya.
Makanya kalau ronda mlm kami slalu membuat perapian untuk menghangatkan bdn. Kdg ada juga warga yg membawa singkong atau jagung yg bisa kami bakar dan santap ramai2
Bpk2 peronda itu biasanya melarang kami ke ladang mlm2, krn gelap dn srg ada ular berbisa. Tp kmi selalu bs mencari alasan
Dia trkenal pemberani. Srg laku prihatin dan berguru ilmu bela diri dan kebatinan di bbrp daerah. Tp jstru kdg2 mlh jd bencana buat kami yg nyalinya stengah2
“Males ah, ke ladang, jauh. Mkn yg lain sj,” kata Pras. “Lha trus apa? Buat lek-lekan (begadang) ini,” tanya Joko. “Godril piye? Cocok bisa lama makannya,” kataku usul. “Yowes, ayo kita cari,” jawab Joko.
Cuma kelemahannya adl hbs mkn godril bau kentut biasanya bertambah busuk berkali-kali lipat.
Sbnarnya kami agk bergidik kalau hrs mencari godril mlm2. Krn phon2 itu ada di ladang yg banyak belukar
Di blkg sumur itu ada rmh lgi, bks rmh slah satu wrga. Dinding bambunya sdh bolong sana sini.
“Mbahmu kuwi, kamu itu yg suka mkn & kentut ga punya toto kromo, sampai wedhus (kambing) aja semaput,” balas Wanto. Kami pun terbahak2 karenanya.
Kontur tanah di kbon itu mmg agk tinggi, jadi rmh ksong di sisi timur posisinya agak di bwh kbon.
“Jgnlah. Wedhi (takut) aku,” kataku. Tp Joko tak mnggubris.
Joko ini mmg sdkt bandel. Dia lebih tua bbrp thn dariku. Tp sbnarnya dia pnakut juga. Lain ksempatan akn kuceritakan.
Trbayang kalo tiba2 mncul hantu berambut panjang memanggil2, atau pocong yg mengintip dari balik tiang sumur. Hiii, tak berani lagi aku membayangkan
Tp br kami akn naik ke undhak2an kebon itu, tiba2 Wanto triak, “Opo kae?!!!” Mnunjuk ke sebuah arah. Mukanya pucat pasi. Kami pun spontan mengikuti arah yg dia tunjuk
Sekonyong2 kmi tunggang langgang, mnabraj semak2 dan tanaman2 lainnya, tak pduli godril yg kmi kumpulkan brhamburan. “Huaaaaa..!!!” kami lari dan berteriak2
“Walah sing bner? Ojo ngapusi (bohong)!” “Bener Dhe, lha ini Wanto yg lihat pertama,” kt Joko. “Iya Dhe, mboten ngapusi,” timpal Wanto.
Sebelum belok ke jalan kecil menuju kebon itu kami bertemu Lek Lar, salah satu warga.
“Wah msok Dhe, perlu dikentongi biar warga tau? Jgn2 mlh maling itu,” kata Lek Lar. “Aku jg curiga, tp jgn pkul kntongan dl,” kt Pakdhe.
Rumah bapakku sdh 2 kali disatroni. Kehilangan ayam dan sjumlah uang. Warga pun kini jd lbih waspada.
Kjadian yg smpt mbuat org2 tua mlarang anknya kluar bermain saat petang tiba. Baiknya aku ceritakan dulu soal ini.
Tp hari itu hbs magrib aku blm plg. Bapakku masih ngobrol dg bbrp pngurus msjd. Akhirnya aku dan tmn2 maen di sktr msjd tak jauh dri kebon
Saat itulah tiba2 ada tmanku yg bilang, “Kae ono geni mabur/itu ada api terbang!”
Baru membelok ke tikungan sblm jalan lurus ke kebon dan ke rumah kosong itu, kami melihat org sdg duduk jongkok di bwh lampu penerangan jalan.
“Iki golek (cari) gangsir,” jawabnya pendek.
Mencari gangsir lazim bagi warga, selain bisa jd pakan burung, juga berguna untuk umpan memancing.
”Ora. Ora enek opo2. Itu aku tadi lewat omah kosong itu, rasah repot nggoleki,” jawab Mas Maryo. “Wis dho bali wae,” tambahnya.
“Dudu [bukan] maling. Kui mau aku sing liwat kono,” kata Mas Maryo.
“Tapi aku masih ingin ngecek Dhi, memastikan saja,” kata Lek Lar.
Jadi kalo soal keberanian, rasanya dia 11-12 dg Mas Maryo.
Mbah Man adl salah satu sesepuh di kampung kami. Setiap upacara adat beliaulah yg biasanya memimpin.
Jadi apa yg disampaikan Mbah Man itu pastilah didengar dan dipatuhi. Aku sendiri krg tau cerita soal beliau, yg jelas belio dihormati.
“Yowes, mengko nek drg ngantuk mampiro pos,” kata Dhe Suk. Mas Maryo hanya mengangguk.
Setelah itu mereka larut dlm obrolan dg bpk2 lain, sdg kami mulai membakar godril yg sempat trbawa walau sdkt. Lumayanlah daripada tdk ada...
Biasanya peronda akn menyisir sisi selatan terlebih dahulu dan selanjutnya mengitari dusun ke utara dan melewati jalan2 yg ada rumah warga.
Meski hby sejimpit (sgenggam) tiap rmh, tetapi jmlhnya jd bnyk krn dilakukan tiap hri
Penerangan jalan pun jg berjauhan. Alhasil kawasan ini gelap gulita shg paling rawan disatroni maling...
Benda ini memang sarana komunikasi yg andal. Memberi isyarat kpd warga apa yg sdg terjadi.
Di pos ronda ada satu kentongan besar yg jadi smcm pusat informasi. Nantinya info akn ditransmisikan lewat kentongan2 lain yg ada di rumah warga. Sambung mnyambung.
Ada lagu yg dibuat untuk memudahkan menghapal. “Siji siji rajapati yo mas yo, loro loro kemalingan yo mas yo...dst”
Hendak kami beranjak. Dari arah utara samar2 terlihat org bersepeda. Semakin dekat barulah kami tau ternyata Mas Maryo.
“Iyo Mar. Lha koe tak tunggu, godrile wis dientekne cah2 iki,” jawab Dhe Suk seperti agak aneh menatap Mas Maryo. “Wis entuk gangsir okeh?” tanya Lek Dhi.
“Lha bukane tadi km cari gangsir di jalan dkt kebon pojokan?” tanya Lek Lar. “Wah aku ini baru plg dari sanakku yg mau mantu,” jwbnya mkn bingung.
Kami yg mendengar penjelasannya kaget bukan main. Bibit2 ketakutanku mulai tumbuh, sepertinya anak2 pemburu godril itu jg sama denganku.
“Iya Lek, aku memang bener habis dari rumah sdrku dekat kecamatan. Ada apa to Lek sebenarnya?” Mas Maryo bertanya balik.
Sesaat kami yg berada di situ saling pandang. Hanya Mbah Man yg sepertinya sjk td tampak tenang saja.
“Wis wis, tdk usah pada ribut. Aku percaya dengan yg dibilang Maryo itu. Ayo kita lanjut mubeng dusun saja,” kata beliau santai. Seperti tidak terjadi apa2.
Dalam kondisi serba membingungkan semacam itu, rasanya wajar jika Lek Lar msh sedikit ngeyel.
Kalimat beliau ini kesannya spt kakek yg sdg menenangkan cucu2nya yg sdg gelisah.
”Iya baiknya memang begitu. Yg paling penting skrg keamanan dusun kita dulu. Aku manut Mbah Man saja,” kata Dhe Suk.
Agaknya Dhe Suk sdh paham dg maksud Mbah Man. Meski mungkin jg penasaran tp terlihat dia tak ingin suasana jd kacau.
Pikiran kami sdh tdk tenang. Teman2ku itu pun hanya diam. Cuma sesekali mereka saling pandang.
Rasanya aku pun sama, pucat dan ketakutan juga.
Antara dipukul smbrgan dan tak bertenaga, atau sesungguhnya mmg sngaja biar tak gaduh? Kaki2 jg rasanya segan hendak brjlan, spt mnolak krn ada sesuatu yg buruk menanti di dpn.
Bapak2 itu seperti memikirkan sesuatu yang serius dan menghindari obrolan.
Memang benar kata Lek Lar. Baru aku sadar, memang hampir2 senyap malam itu. Suara jangkrik atau kadang kinjeng yg biasanya ramai sama sekali tak terdengar.
Suara burung di malam hari sepertinya lazim diyakini sebagai pertanda sesuatu yg buruk bakal terjadi. Paling tidak ada hal yg harus diwaspadai.
Sayang rumah bapakku masih agak jauh. Hampir sampai di batas dusun sisi selatan.
Di samping lahan kuburan itu, rumpun bambu menjulang.
Dulu saat banjir beberapa makam malah sempat hanyut karena tanah kuburan ambrol ke sungai. Kejadian itu sempat membuat warga heboh.
Walau rupanya itu semua karena aku tidak peka. Setelah bertahun2, barulah aku tau dari adikku bahwa ada makhluk lain beberapa kali berkeliaran di rumah kami.
Berikutnya giliranku, Yanto dan Joko yang pulang diantar bapak2 peronda, maklum rumah kami berdekatan.
Dari ceritanya, ada saja keapesan bertemu lelembut
Aku meminta Mbah Man dan Lek Dhi menungguiku sebentar untuk bersih2 di padasan (gentong air) depan rumah.
Kulihat Mbah Man tersenyum, seperti ingin menenangkanku untuk tidak khawatir. “Ya sudah sana, jangan bangunkan Bapakmu,” kata Lek Dhi. Aku pun mengangguk dan segera masum rumah.
Aku sendiri awalnya berniat tidur di kamarku, tapi rasanya hal itu tak mungkin kulakukan mengingat peristiwa yg baru kualami.
Jadilah aku tidur semakin mendekat Bapak. Kalau beliau bangun pastilah akan menyindirku “Kenapa tidak tidur di kamar? Takut?”
Tapi kuurungkan niatku. Toh ada Bapak, dan di rumah sendiri.
“Iya Lek, maaf membangunkan. Aku disuruh Mbah Man mengantarkan ini,” katanya sambil menyerahkan bungkusan plastik.
Bapakku sepertinya langsung dapat menangkap maksud Mbah Man. Aku sendiri tak paham maksud semua itu.
Mas Maryo pun pergi menaiki sepedanya. Syukurlah lega hatiku, berarti dia Mas Maryo yg td datang ke pos ronda. Setelah mengunci pintu Bapak menaruh plastik itu begitu saja di atas meja.
Tapi setahuku Bapak memang tidak terlalu peduli dengan hal2 seperti itu. Baginya yg paling penting adalah berserah diri pada Tuhan. Minta perlindungan.
Aku pun kembali tidur, kali ini lebih nyaman rasanya dan akhirnya pulas sampai esok tiba.
“Semalem itu Wan, wah medeni [menakutkan],” katanya dengan wajah serius. “Memang ada apa Pras?” tanyaku penasaran.
Menurutnya, kejadian itu serba cepat. Makhluk yg dikejar Mas Maryo itu pun serta merta hilang sebelum sempat mendekat. Tapi setelah itu terdengar suara2 aneh dari atas pohon randu.
“Iya disuruh Mbah Man. Setelah kejadian itu, mereka mampir di rumahku. Bapak2 itu menenangkan Mas Maryo dulu.”
“Iya. Katanya untuk jaga2, boleh percaya boleh tidak, yg penting sudah usaha,” kata Pras.
Termasuk siapa sebenarnya orang yg mengaku Mas Maryo di dekat kebon yg sedang mencari gangsir itu.
“Kalau kalian lihat lebih teliti dia itu sebenarnya tidak benar2 jongkok. Tapi memang tidak ada kakinya. Dan kalau kalian peka, maka pasti akan mencium bau tak sedap,” kata Mbah Man
“Selebihnya pasrahkan semua pada Yang Maha Kuasa,” kata beliau.
Sudah pasti malam ini dan malam2 berikutnya nanti tak berani lagi aku keluar nongkrong sama teman2ku itu, apalagi ikut meronda keliling dusun.
“Iya, kata Mbah Man walaupun sebenarnya sudah tidak ada apa2 tapi lebih baik diam di rumah dulu kalau malam datang. Syukur2 beribadah,” jawabnya.
Pemilik rumah kosong dekat kebon itu dihubungi, diminta pulang kampung sebentar untuk membersihkan rumahnya bersama warga.
Kuburan tua di belakang rumahku itu juga dibersihkan dan dipagari di semua sisi. Intinya membuat semua lebih tertata.