Halo semuanya Thread kali ini akan membahas tentang Zeya. Tentang bagaimana Zeya yang selalu berusaha untuk mengakhiri semua masalahnya, merasa bahwa dirinya yang palimg menderita dan melakukan hal bodoh yang hampir mencelakakan nyawanya.
Thread kali ini mungkin tidak seram namun bisa membuat kalian penasaran...
Semoga kalian suka ya! Jangan lupa Rep, rt dan like nya!!!💙💙💙
So Happy Reading Gaissss!!!!!!! 💙💙💙
Apa yang kalian lakukan jika sedang merasa ridak baik-baik saja? Bersungut menyalahkan keadaan? Menjauhi semua orang yang ada di sekitarmu? Atau bahkan merutuki tuhan karena memberikan garis hidup yang terlalu berliku tajam?
Semua orang pasti pernah merasakan yang namanya putus asa, termasuk Zeya. Malam ini ia sedang berkecamuk dengan pikirannya yang amat kacau, matanya berair serta menatap dengan tatapan yang kosong.
Berkali-kali ia mendekap mulutnya dengan bantal, lalu menangis, hingga dadanya terasa sesak. Sangat sesak sampai rasanya ia ingin berteriak sekeras yang ia bisa.
Rentetan peristiwa pun kini menghiasi isi kepala Zeya, semua peristiwa yang terjadi beberapa bulan terakhir yang sudah merubah hidupnya secara drastis.
Dari mulai gangguan tak masuk akal, di jauhi oleh banyak orang, dan menjadi bahan omongan oleh seantero warga sekolah. Semua mengenal Zeya sebagai anak aneh yang sering dirasuki oleh mereka yang tak terlihat.
Zeya tak tau harus bagaimana menyikapi ini, orang bilang yang di miliki Zeya adalah kelebihan. Namun bagi Zeya sendiri, itu adalah titik permasalahan dari semua kejadian yang dialaminya.
Merasa lelah terus menangis dan semakin tergulung emosi, akhirnya Zeya bangkit dari kasurnya. Ia menyeka air matanya kasar dan berjalan menuju laci tempat meja belajarnya berada.
Diambilnya beda kecil berwarna kuning, lalu jempolnya mendorong bulatan kecil yang berada di sudut benda itu hingga menimbulkan bunyi.
Krettttt!!!!
Kemudian Zeya berjalan lunglai menuju kasurnya, terduduk di tepi kasur, lalu tersenyum tipis. "Kayaknya gue harus lakuin ini lagi, buat yang kesekian kali."
Srekkk!!!
"Awsh!"
Perlahan, Zeya menyayatkan benda kecil itu ke pergelangan tangan miliknya, hingga meinggalkan luka yang tak terlalu dalam dan hanya mengeluarkan sedikit darah.
Benda itu tak lain adalah sebuah kater kecil yang sengaja ia beli tempo hari, untuk menyayat pergelangan tanganya sendiri.
Matanya terus terpejam dan mengeluarkan air mata, lalu dengan tangan gemetar ia mengusap darah yang perlahan mengalir.
Merasa belum puas, Zeya kembali mengambil ancang-ancang untuk menyayatkan kater mungil itu ke bagian lainnya.
"Mending gue kesakitan, daripada liat mereka terus yang terus ngeledek dan ngerendahin gue! Kenapa tuhan gak adil sama gue?!"
Sreekk!! Srekk!! Srekk!!
Zeya begitu menikmati tiap goresan yang ia buat di pergelangan tangannya, dengan satu tangan yang lain sesekali menyeka air mata atau mengusap darah yang mengalir dengan sedikit gemetar.
Entah dorongan dari mana Zeya melakukan hal konyol seperti itu. Yang jelas, ada kepuasan tersendiri yang Zeya rasakan. Terkesan gila namun memang itu kenyataanya.
Merasa puas dengan sayatan yang sudah tercetak di pergelangan tanganya, Zeya pun melemparkan kater itu kesembarang arah. Ia mengacak rambutnya frustasi.
Lalu diambilnya ponsel pintar yang ada diatas nakas miliknya. Ia menggambar pola untuk membuka kunci, dan jarinya meng-klik ikon google. Jarinya kini lincah menari-nari diatas keybord, mengetikan sesuatu di kolom pencarian.
'Cara menutup mata batin yang sudah terbuka.'
Kira-kira seperti itu kata yang ia ketikan pada kolom pencarian, setelah menunggu beberapa detik, akhirnya muncul beberapa hasil dan Zeya mengklik hasil pencarian yang paling atas.
"Hah apa?! Yakali gila! Ini cara ngaco semua!" Zeya terus menggulir layar ponsel dengan raut wajah yang sedikit kesal. "Membaca amalan, Meditasi, Mandi kembang tengah malem—" Zeya menjeda ucapannya dan mulai memincingkan matanya pada layar ponsel.
"Dan wait! Pergi ke dukun?! Yakali gue harus ke dukun! Musyrik dong gue? Shalat aja masih bolong-bolong, suka ngelawan orang tua, dosa gue udah banyak! Masa harus ke dukun?!" Monolog Zeya.
Merasa kesal, Zeya akhirnya melemparkan ponsel pintar nya kesembarang arah. "Gak guna!" Zeya lantas memegangi kepalanya yang sedikit terasa nyeri.
"Kamu yang bodoh mudah terbawa emosi." Zeya terdiam, terdengar sebuah suara yang familiar ditelinganya, dan ia yakin itu bukanlah manusia.
Perlahan Zeya mendongakkan kepalanya dan menatap lurus ke depan. Tebakan Zeya kali ini benar, suara yang di dengarnya tadi adalah suara Mara. Salah satu 'teman' Zeya.
"Mara? Sejak kapan kamu ada disini?"
"Sejak kamu menggoreskan benda tajam itu." Mara melirik tangan Zeya yang sudah penuh dengan goresan. Raut wajah nya berubah, tetap cantik namun tak se-anggun biasanya.
Tatapanya kini sangat tajam, raut mukanya terlihat sangat garang. Menandakan ia sangat marah kepada Zeya sekarang. Zeya memilin ujung piyamanya dan meneguk salivanya kasar dengan sedikit menggigit bibir mungil miliknya.
"Sepertinya kamu sudah tidak takut dengan darah ya?"
Zeya menggeleng cepat mendengar ucapan mara. Ritme jantungnya mendadak tak beraturan. "Aduh mampus! Jangan sampe Mara nunjukin wujud nya yang penuh sama darah please!" batin Zeya.
Mara tersenyum sinis ke arah Zeya dengan wajah pucat pasi miliknya. Sepertinya Zeya sudah lupa kalau hantu bisa mendengarkan apapun yang di ucapkannya di dalam hati.
"Aku akan tunjukan bentuk lain dari diriku, karena kamu memintanya." ujar Mara penuh kemenangan.
"Eh?! Jangan. Mara please jangan, kamu kan tau aku takut darah, lagi pula bentuk dirimu yang penuh darah itu sangat menakutkan Mara," elak Zeya. Tak bisa di pungkiri, keringat dingin kini sudah mengalir ke sekujur tubuh Zeya.
"Lalu, mengapa kamu membuat luka itu? Apa kamu mau menjadi seperti ku?" Lagi Zeya hanya menggeleng, ia terlalu bingung harus menjawab pertanyaan Mara dengan kalimat seperti apa.
"Kenapa kamu melakukan hal bodoh seperti ini lagi Ze?" tanya Mara. "A-aku hanya merasa sedih Mara, kenapa tuhan tidak berlaku adil denganku?" Jawab Zeya.
Mara tersenyum tipis dan mengubah posisi duduknya menjadi semakin dekat dengan Zeya. "Bukan tuhan yang tidak adil, tapi kamu yang tidak pernah mengingat tuhan."
"Aku tidak melupakannya Mara."
"Sungguh? Bahkan kamu ibadah pun jarang. Bisa ku hitung dengan jari setiap harinya. Kamu hanya bisa mengeluh dan menyalahkan keadaan, bukan mencari jalan keluar!" Zeya terdiam mendengar perkataan Mara yang semuanya benar.
"Tapi aku hanya berusaha menutup dan mengakhiri ini semua Mara, mengerti lah."
Mara menggelengkan kepalanya pelan. "Kamu harus ingat, sesuatu yang sudah terbuka dengan sendirinya tak akan bisa di tutup rapat. Mau bagaimana pun caranya itu tidak akan berhasil."
"Tapi kenapa harus aku? Masih banyak manusia di luar sana Mara, tak hanya ada diriku!" ujar Zeya dengan suara yang begitu menggebu-gebu.
"Aku yakin tuhan selalu punya rencana indah. Dan bukan tanpa sebab kamu menjadi istimewa seperti ini."
Zeya berdecih, memalingkan muka nya dan tertawa hambar. "Di jauhi teman, dianggap aneh, merasa terasingkan, selalu mendengar dan melihat yang orang lain tidak lihat dan dianggap gila kamu bilang istimewa? Apanya yang istimewa?!"
"Percayalah, kamu hanya tidak menikmati apa yang tuhan beri. Coba berdamai dengan dirimu sendiri, tak usah pedulikan orang lain. Perbanyak ibadah, bukannya menyayat tanganmu." Mara beranjak dari duduknya dan kini berdiri membelakangi Zeya.
"Kelak kamu akan mengerti Ze. Tidurlah, jangan terus sakiti dirimu." Setelah mengatakan itu, Mara pun melayang, menembus tembok dan menghilang dari penglihatan Zeya.
Sedangkan Zeya? Dengan perasaan yang campur aduk, dengan kasar ia merebahkan diri dan menarik selimut tebal miliknya. Lantas ia memejamkan mata, dan berjumpa dengan alam mimpinya yang Fana.
—🌻—
Keesokan harinya, tepat pukul 6.55 pagi, Zeya sudah berada di sekolah tercintanya. Ia terus berjalan menyusuri koridor untuk menuju ruang kelasnya.
Suasana sekolah sudah ramai dengan lalu lalang para murid, namun hanya satu sosok yang menarik perhatian Zeya.
Ya, dia adalah Melinda sosok gadis belanda nan anggun yang sedang berdiri tegak di ujung tangga dengan senyum yang samar. Oh tidak, senyum yang hampir saja tidak terlihat.
"Selamat pagi Mel," sapa Zeya saat berjalan menaiki anak tangga tempat melinda berdiri. "Pagi," balasnya.
Dan sesampainya Zeya di dalam kelas, ia langsung terduduk diam dan menatap Farah. "Kenapa Ze?" tanya nya. Zeya hanya mengedikan bahu acuh.
Keduanya pun kini fokus mengerjakan tugas dari salah seorang guru yang berhalangan untuk mengajar pagi ini.
Hingga 5 menit sebelum bel istirahat berbunyi, Zeya mulai merasakan ada sesuatu yang aneh pada dirinya. Samar-samar ia mendengar suara anak kecil yang sedang tertawa. Akhirnya Zeya memutuskan untuk menutup buku, lalu menelungkupkan kepalanya di atas meja.
Niat hati ingin melihat, siapa yang mengganggu Zeya di kala seperti ini. Namun sialnya, sosok yang muncul di kepala Zeya kian berjalan mendekat. Sosok anak kecil yang tempo hari mengganggunya hingga hampir membuat Zeya kehilangan nyawa. Tak lain, ia adalah Nia.
Dalam hitungan detik, tubuh Zeya mulai menegang. Tanganya sangat dingin seperti habis tercebur dalam kolam.
"Hai, main yuk!" ujar Nia dengan lantangnya, sontak kini Zeya pun menjadi pusat perhatian seisi kelas. Ada beberapa dari mereka yang mendekat.
Farah yang terkejut pun, dengan sigap menutup buku miliknya. "Dina, tolong panggilin Selia sama Adin cepet!" Perintahnya yang diangguki oleh Dina-sang pemilik nama.
"Loh ini Nia ya?" tanya Farah yang hanya di hadiahi tawa dan anggukan kepala dari Nia. "Kok kamu bisa lepas dari botol itu?"
"Tentu bisa hihi." Sombong Nia.
"Keluar ya? Mainnya nanti aja kalo Zeya udah di rumah. Sekarang, Zeya mau belajar dulu."
Nia menggeleng kuat, melipat tanganya di depan dada dan memasang wajah cemberut yang mengesalkan miiknya. "Zeya tidak pernah mau bermain denganku! Dimana pun dia berada!"
"Itu karena Nia jahat sama Zeya," ujar Tika-salah seorang teman Zeya. "Tidak! Nia hanya ingin terus bersama Zeya." Keukeuh Nia.
"Nama panjangnya siapa sih, Tika pengen tau deh," ujar Tika lagi. "Hanya Nia."
Dan tak lama kemudian, Selia dan Adin pun tiba. Mereka kini berdiri tepat di hadapan tubuh Zeya—yang sedang di pinjam oleh Nia.
"Nia, alam kamu Zeya dan sudah berbeda, kamu gak boleh gangguin Zeya ya?" Kata Farah mencoba membujuk Nia yang keras kepala. Namun Nia hanya menggeleng tanpa sepatah kata.
"Kamu menghasut Zeya untuk bunuh diri ya Nia?" Tanya Adin. "Tidak!" Jawab Nia kesal.
"Lalu ini apa?" tanya Selia, ia memegang luka sayatan yang tersusun rapih di pergelangan tangan Zeya. "Sakit gak ini?"
Lagi Nia menggeleng. "Tidak, Nia tidak merasa sakit di sana."
"Sel, Din, kayaknya itu emang Zeya sendiri deh yang bikin." Timpal Farah.
"Hah?! Kumat lagi dia?" Tanya Adin, dan Farah hanya mengangguk saja. "Soalnya dari pagi dia diem doang, kaya banyak pikiran gitu."
"Dan lo gak bilang sama kita?!" Kesal Selia. "Ya gak gitu, gue mau bilang sama kalian istirahat ini. Tapi keburu Zeya nya teateran nih."
Adin menggaruk tengkuknya yang tak terasa gatal. "Bisa gak sih ributnya nanti? Ini Nia gimana?!"
"Eh iya!" Selia semakin mendekatkan tubuhnya dan menatap Nia tajam. "Kamu mau aku bakar atau keluar?"
"Aku ingin main!" jawab Nia. "Atau permen dan boneka!" Adin berdecak kesal melihat kelakuan Nia. "Kami tidak akan beri apa yang kamu mau bodoh!"
"Aku tidak bodoh!"
"Kalo kamu anak baik, ayo keluar jangan ganggu Zeya!" Nada bicara Selia kini makin meninggi.
"Tak akan!"
Farah kini pun mendengus kesal. Selalu saja Nia membuat dirinya merasa murka dan ingin menghantamkan kepala Nia ke tembok yang ada. "Udah keluarin aja lah! Susah banget nih bocil."
Selia dan Adin pun mengangguk setuju. Dan seperti biasa Selia pun memulai aksinya untuk mengeluarkan Nia dari tubuh milik Zeya. Lagi-lagi mereka menjadi pusat perhatian karena hal seperti ini, sangat membosankan.
Tak lama kemudian, Nia berhasil di keluarkan dari tubuh Zeya. Kesadaran Zeya kini sudah pulih sepenuhnya. Para murid di kelas Zeya pun sudah tak mengerubung dan keluar menuju kantin sekolah. Suasana kelas kini sngat sepi, hanya ada mereka berempat saja di dalamnya.
Zeya pun bingung, melirik kearah ketiga temannya yang kini sudah menatap tajam ke arahnya. "Kalian kenapa?" tanya nya.
"Masih bisa bilang kenapa sama kita? Lo yang kenapa Ze." Farah menatap Zeya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Lo ada masalah apa sih sebenarnya Ze?" tanya Adin. Zeya hanya menggeleng dengan muka datarnya. "Terus, kenapa lagi tangan lo hm?" ujar Selia sembari mengangkat sedikit pergelangan tangan Zeya yang sudah penuh sayatan.
Zeya dengan cepat mengibaskan tanganya. "Gak ada apa-apa lagi pengen aja."
Farah meraih bahu Zeya, di tatapnya temannya itu lamat-lamat. "Lo ada masalah apa sih? Kenapa gak cerita?"
Selia pun kini menepuk bahu Zeya pelan. "Kenapa lo kayak gini?" Zeya menggeleng perlahan.
"Gu-gue gak kuat. Gue mau ini berakhir," ujar Zeya dengan suara paraunya. Bisa di tebak sekarang ia sedang menahan agar tangisnya tidak pecah.
"Terus lo mau nyoba nutup mata batin lo lagi?" Kata Adin yang masih setia berkacak pinggang di depan Zeya.
Zeya hanya mengangguk pelan. "Astaga Zeya!" Pekik Farah. "Lo pergi ke pakdhe lo lagi?" Zeya menggeleng perlahan. "Terus kemana lo? Pergi ke dukun?" tanya Selia dengan nada sinisnya.
"Gak, gu-gue cari di google, gimana cara nutup mata batin tapi yang keluar aneh-aneh." Aku Zeya.
"Apa?!" Pekik mereka berempat bersamaan. Zeya tertunduk, Selia dan Farah kompak memegangi kepalanya yang tak terasa nyeri. Sedangkan Adin, tersenyum smirk ke arah Zeya.
"Ze, berapa kali gue bilang sih, mau berusaha kaya apapun, kalo udah kodratnya kebuka yaudah. Semakin lo paksa tutup bakal kebuka makin lebar Zeya." Jelas Adin panjang lebar.
"Gue gak bisa, gue gak kuat kaya kalian," elak Zeya.
"Lo harus yakin lo bisa ngelewatin ini. Asah terus apa yang lo punya. Emang susah, tapi lo bakal bisa kendaliin diri lo nanti. Semua butuh proses Ze." Tambah Selia. Sedangkan Zeya, kini ia sudah tak bisa membendung air matanya. Ia kini terisak hebat.
"Ze, harusnya lo kuatin iman lo. Shalat lima waktunya jangan bolong, doa sama tuhan biar di kasih jalannya. Bukan malah lo maksa gini, lo salah Ze." Farah berusaha memberi kekuatan kepada Zeya.
"Ma-maafin gue ya hiks." Zeya menyeka air matanya dan beralih menatap ketiga temannya. "Gue bakal usaha buat nerima ini semua, gue ga akan lakuin hal bodoh lagi," ujarnya.
"Jangan nyayat tangan lagi ya, ga baik kaya gitu." Selia mengulum senyum tipis di bibirnya dan kini membawa Zeya dalam dekapannya. "Nah ini baru Zeya yang gue kenal." Tambah Farah kemudian ikut memeluk Zeya dan Selia.
"Ish menye-menye banget sih kalian! Kan gue juga pengen ikut peluk-peluk kaya teletabis!" Celoteh Adin sembari menghamburkan pelukan dengan mereka. "Udah yuk! Laper nih kita ke kantin aja, hari ini gue yang traktir!"
Mereka berempat saling melemparkan senyum dan tatapan berbinar "Gas!!" Teriak mereka bersamaan.
"Idih giliran gratisan aja semngat!" Gerutu Adin. Detik selanjutnya mereka pun berjalan menuju kantin untuk mengisi perut mereka.
Mereka duduk di bangku kantin paling pojok, tempat favorit mereka. Menyantap hidangan yang sudah tertata rapih diatas meja. Tertawa bahagia, melupakan sejenak masalah yang sedang mereka hadapi.
Masalah yang mungkin akan semakin bertambah besar di kemudian hari, atau mungkin bukan persoalan hantu lagi, melainkan tentang pertemanan mereka yang akan berada di ambang kehancuran.
—TBC—
Halooo gaissss💙💙
Sampai sini dulu ya ceritanya hihi :v
Gimana? Feel nya dapet ga? Atau garing? Huhu!
Jangan lupa like, rep dan rt nya ya gaisss!!!!💙💙💙
See u in the next partt!!💙 💙
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kali ini, Zeya akan menceritakan tentang pengalamannya dengan 'mereka' yang tak sengaja ikut menempel sampai ke rumah. Itu semua karena kesalahan Zeya sendiri. Zeya yang selalu menuruti egonya dan membuat semua orang takut.
Kembali lagi nih sama Zeya setwlah sekian lama gak up! Huhu🤧
Oke kali ini, Zeya akan berbagi cerita tentang kisah yang di alami oleh salah satu keluarga Zeya. Tentang perempuan cantik yang mempunyai perjalanan hidup yang sangat kelam.