Kali ini, Zeya akan menceritakan tentang pengalamannya dengan 'mereka' yang tak sengaja ikut menempel sampai ke rumah. Itu semua karena kesalahan Zeya sendiri. Zeya yang selalu menuruti egonya dan membuat semua orang takut.
Hingga temannya pun, tidak bisa membantu banyak. Sampai akhirnya ia tau, kalau dia sedang di kerjai oleh sesosok hantu! Lagi-lagi bukan hantu cantik bak Cinderella, melainkan hantu yang memiliki paras diatas rata-rata.
So? Happy reading gais💙💙
Jangan lupa Rep, Like dan rtnya ya!!!!💙💙💙💙
—🌻—
Sore itu, ketika langit sudah menunjukan jingganya yang indah, aku masih berpacu dengan hiruk pikuk jalan raya, mengendarai motor untuk pulang setalah lelah seharian berada di sekolah yang terlihat sederhana namun menyimpan banyak teka-teki di dalamnya.
Aku sengaja mengambil rute perjalanan yang sedikit jauh, melewati sawah-sawah dan juga melewati jalan yang sedikit rusak.
Sepanjang perjalanan, kerjaanku hanya melamun. Tak terlalu memperhatikan jalanan karena memang suasana jalan sore itu sangat sepi.
Saat itu pikiranku sedang kalut, ingin rasanya aku menabrakan diri dengan truk atau kereta yang sedang melintas, agar aku menghilang dari dunia, agar takkan lagi ada masalah. Karena sejak awal aku tau, aku lah titik permasalahan yang membuat keadaan menjadi kacau.
Namun dengan cepat, ku tepis pikiran itu jauh-jauh. Jika aku melakukannya sama saja aku menyerahkan hidupku secara cuma-cuma, itu semua tak berguna dan hanya menyusahkan orang lain saja. Pikirku dalam hati.
Tak lama kemudian, aku mencium aroma bunga melati yang sangat menyengat, aku mengerjapkan mata sejenak, lebih memperlambat laju motorku dan memperhatikan sekitar.
Deg!
Jantungku seakan berhenti berdetak, hingga beberapa detik lamanya aku tak bisa memalingkan pandangan dari sisi kanan jalan tersebut. Tepatnya, di depan gapura yang bertuliskan 'Tempat Pemakaman Umum.' Mataku seakan-akan di buat hanya untuk melihatnya, bukan yang lain.
Bahkan kini, aku pun tidak bisa melihat jalan raya yang sedang ku lewati, seakan waktu berhenti, aku hanya bisa melihat sosok itu berdiri bungkuk tepat di depan gapura pemakaman. Sosok itu terus menatapku dengan tatapan yang sangat sulit di artikan.
Sosok Nenek tua bungkuk yang mengenakan baju lusuh berwarna hitam, dengan sedikit motif bunga-bunga. Tak lupa dengan kain warna coklat yang membalut kakinya yang sudah tak lagi jenjang, mungkin itu adalah rok.
Setelah melewati Nenek tua itu, aku kembali mengerjapkan mata sejenak dan kembali fokus kepada jalanan, aku merasakan ada sesuatu yang janggal. Badanku tiba-tiba saja menjadi berat dan terasa sedikit nyeri.
Merasa ada kejanggalan, akhirnya aku pun memeriksa keberadaan Nenek itu dari kaca spion, terlihat Nenek bungkuk itu tengah menyebrang jalan. Namun, saat sedang berada di tengah jalan, ada motor dari arah berlawanan yang menabrakannya dengan tubuh Nenek tua itu.
Wushhhh!!
"Hah apa?! Kok bisa?!" Pekikku sembari terdiam dan berfikir sejenak.
Aneh, Tidak terjadi kecelakaan, sang Nenek masih terus berjalan, dan motor yang hendak menabraknya tadi masih melaju dengan kencang. Motor itu bisa menembus badan Nenek tua itu.
Ia masih terbunkuk-bukngkuk menyebrang jalan dengan sesekali melihatkan wajahnya ke arahku, sedikit tersenyum masam kepadaku. Bersamaan dengan itu, aku mendengar adzan Maghrib yang tengah berkumandang.
Dan aku tertegun, menyadari bahwa sekarang sudah sandekala, lalu Nenek bungkuk yang ku lihat tadi bukanlah manusia! Sialan. Tanpa pikir panjang, aku lantas memacu motorku dengan kecepatan tinggi. Kali ini, rasanya aku ingin sekali cepat-cepat tiba di rumah.
Aku tak menghiraukan berbagai macam mahluk yang mulai 'Ramai' berlalu lalang. Dalam hati aku terus merapalkan surat-surat pendek yang aku bisa, di tambah dengan ayat kursi. Rasanya aku ingin memejamkan mata dan menangis saja, karena sesungguhnya aku sangat ketakutan sekarang.
Sejenak aku berpikir dan ingin tertawa. Ternyata ada gunanya juga aku mengaji walaupun sangat jarang, setidaknya aku bisa hafal sedikit surat-surat untuk mengusir para hantu receh yang sangat jail kepadaku. Tampang mereka sangat menyeramkan, jauh dari kata sempurna.
Hingga beberapa menit kemudian, akhirnya aku sampai di rumah, memarkirkan motor, melepaskan sepatu dan kini masuk ke dalam rumahku. Oh tidak, lebih tepatnya, langsung masuk dan menutup pintu kamarku.
Aku lantas melemparkan tasku kesembarang arah, terduduk di tepi ranjang kemudian mencoba memanggil Mara dalam hati. Rasanya kini aku ingin sekali berteriak karena merasakan kepala dan badan yang terasa nyeri.
"Ada apa dengan dirimu Ze?" Terlihat Mara sudah berdiri tegak di depanku. Dengan wajah cantiknya dengan sedikit senyum yang nyaris tak terlihat.
"Gak tau, aku merasa ada yang aneh Mara."
"Makanya jangan suka melamun!" Mara sedikit menaikan intonasi bicaranya.
"Entahlah Mara, melamun di jalan raya mungkin jadi hobi baruku Mara." Aku mengedikan bahu acuh dan memalingkan wajah dari Mara. "Jangan seperti itu Ze, apa kamu sudah mau menjadi sepertiku?" Aku menggeleng cepat.
"Aku belum punya cukup bekal untuk menemui sang pencipta, Mara." Aku lantas merebahkan tubuhku dan memejamkan mata sejenak. "Aku tak bisa menahanya, Ze. Ada yang mengikutimu."
"Apa?!" Aku langsung bangun dari tidurku. "Jangan bercanda Mara! Tidak lucu membuatku merasa takut di saat seperti ini."
Mara tersenyum tipis. "Sudahlah, bersihkan dirimu. Jangan lupakan Ze, mereka suka darahmu, kamu sedang tidak bersihkan?" Aku hanya mengangguk.
"Hati-hati Ze, nanti dia akan datang lagi hihi!!" Setelah itu Mara melayang meninggalkan Zeya di dalam kamar yang sedang merasa ketakutan. "Mara! Bercandamu tidak lucu! Aku marah sama kamu sampai besok malam!"
Detik berikutnya, aku lantas mengambil handukku, bukan untuk menuju ke kamar mandi tapi tujuanku kali ini adalah kamar Mamah. Malam ini, aku akan memintanya untuk menemaniku mandi seperti biasa.
Haha! Mau sebesar apapun juga, aku hanyalah seorang Zeya yang manja dan penakut. Tapi tak apa, setidaknya jika ada Mamah yang menemaniku mandi di luar sana aku merasa lebih tenang. Walau aku tau, sikapku seperti anak TK.
—🌻—
Hingga keesokan harinya, badanku semakin bertambah berat rasanya. Di sekolah pun aku menjadi sangat pemarah. Rasanya aku tak ingin berbicara dan berinteraksi dengan siapapun. Aku hanya ingin diam dan melamun.
Tapi, hal itu urung aku lakukan. Ya, karena hari ini ketiga temanku selalu berusaha membuatku untuk bicara, walau akhirnya hanya ku balas dengan anggukan atau tatapan mata yang tajam saja.
Dan sore ini, setelah pulang sekolah, aku tak langsung pulang kerumah. Farah mengajakku dan yang lain untuk mampir kerumahnya. Tentu saja aku tidak menolak, aku rasa aku akan menceritakan kejanggalan yang aku alami kepada mereka.
"Lo kenapa sih? Dari pagi sensi banget Ze?" tanya Farah yang membuat lamunanku menjadi buyar. "Gak tau, bingung gue juga," jawabku.
"Lah kok gak tau si? Lo lagi bohong ya?" Selia kini memincingkan matanya. "Tau ih, makanya jangan suka ngelamun!" Kini gantian Adin yang bersuara.
Aku menghembuskan napas kasar, dan memejamkan mata sebentar. "Jadi, dari kemarin sore waktu otw pulang, badan gue kerasa berat banget. Parah si, gue berasa kayak lagi gendong orang tau. Nyeri banget tulang gue nih," ujarku sembari menepuk-nepuk kedua bahu."
"Lah emang lu abis ngapain?" tanya Selia.
"Gue? Gue gak ngapa-ngapain Sel, gue cuma ngelamun di sepanjang jalan kan, terus gue lewat tpu yang di deket rusun itu loh, nah disitu gue liat ada nenek tua, dan waktu gue papasan sama dia, pas banget lagi adzan maghrib."
"APA?!" Pekik mereka bertiga bersamaan. Reflek, aku pun menutup telingaku dengan kedua tangan. "Aduh woy! Brisik banget sih!"
"Udah tau pulang pas mau maghrib, kenapa lewat rute jalan yang jauh dan serem sih Ze?! Gak habis pikir gue," gerutu Farah.
"Ya gue pengen aja lama-lama di jalan. Kemarin pikiran gue buntu banget." Aku lantas menghembuskan napas, menyilakan kedua tangaku di depan dada, lalu menyandarkan tubuh ke tembok.
"Lo liat ga nenek itu wujudnya gimana?" tanya Adin mengintrogasi. Aku mengangguk cepat dan menegakkan dudukku. "Nenek itu bungkuk, kurus pake atasan warna item lusuh banget dan ada motif bunga-bunganya. Sama pake kain warna coklat." Jelasku.
"Muka atau badannya gak ancur Ze?" Farah mendekatkan tubuhnya ke arahku. Aku menggeleng. "Mukanya biasa aja sih."
"Yakin nih nenek tua? Bukan bentuk lain?" tanya Selia tak yakin. Aku hanya mengangguk lagi. "Mara bilang apa sama lo?" tanya Adin menyelidik.
"Dia bilang ga bisa nyegah, dan ada yang ngikutin gue gitu," Jawabku sangat yakin. "Menurut lo, kenapa Mara gak mau bantuin lo Ze?" tanya Farah yang kini semakin penasaran.
"Mungkin karena dia mau gue belajar ngadepin ini sendiri?" jawabku rag-ragu. Selia tersnyum masam. "Gak ngerasa ada yang aneh gitu?" Aku terdiam.
Kini Adin berpindah posisi, duduk persis di sebelahku dan menatapku penuh arti. Ia lantas menarik napasnya panjang.
"Fokusin sama apa yang lo liat, jangan takut, lo harus lawan." Adin menutup mataku dengan satu tangannya. Seketika aku terdiam. Tak hanya ada kegelapan disana, melainkan ada satu sosok yang sangat mengerikan.
Seketika tubuhku menegang, keringat dingin mengucur deras dan ritme jantungku sangat tak beraturan. Samar-samar aku juga merasakan tangan Farah yang menggenggamku erat, serta suara Selia yang samar-samar ku dengar. "Ingat Ze, cuma liat. Jangan bolehin masuk ke badan lo."
"Adin! Bisa udahan gak? Gue takut!" Seruku. Bagaimana tidak takut? Di sana aku melihat sosok menyerupai kuntil anak yang dua kali lipat lebih menyeramkan dari pada biasanya. Dengan cairan warna hitam yang bau, mengalir deras dari mulutnya.
Dengan rambut yang menjuntai ke lantai dengan sangat kusut dan bau, jari tangannya yang amat panjang dan runcing, bola mata yang hanya tampak warna hitam sebesar telur ayam.
Tak puas karena hanya mengeluarkan banyak cairan hitam, mahluk itu lantas tertawa. Menampilkan deretan giginya yang jauh dari kata rapih, bentuknya sangat runcing dan panjang, tertawa hingga membuat kupingku terasa nyeri. Hingga akhirnya, ia menjulurkan lidanya yang amat panjang.
"Adin! Please stop! Hiks udah gue takut! Hiks!" ujarku. Tak lama kemudian, Adin melepaskan tangannya dari mataku, aku lantas memeluknya erat dan menangis di pundaknya. "Udah, gak ada apa-apa kok. Jangan nangis ya? Sorry."
Adin melepaskan pelukannya denganku, memegang pundaku erat, dan mengusap bulir air mata yang baru saja turun sambil tersenyum. Sedangkan Farah, ia memberikan ku segelas air dengan raut wajah yang sedikit panik.
Selia berjalan di belakang ku, menekan bagian pundakku yang tadinya terasa sangat berat, setelah itu merangkulku dan menoel hidungku jahil. "Udah gak kerasa berat lagi kan?" Aku menggeleng.
"Jadiin ini pelajaran Ze, jangan sampe kaya gini lagi. Diikutin sama demit cosplay haha," kata Adin dengan tawa khasnya. "Iya Ze, gue takut lo kenapa-kenapa tau!" Timpal Farah.
"Kok bisa ya gue ketipu gitu?" tanyaku heran. "Ya bisalah namanya juga demit, punya banyak cara untuk merubah bentuk Ze," jelas Selia.
"Makanya Zeya, jangan suka ngelamun. Susah banget sih di bilanginya," kesal Farah.
"Iya, maaf, nanti gak kaya gitu lagi kok."
"Oh iya, btw gue gak liat Mara tuh dari pagi. Kemana dia?" tanya Adin. Aku menepuk dahi reflek. "Astaga! Gue lupa! Gue lagi marahan sama dia sampe ntar malem. Padahal kan dia gak salah ya?"
"HAH?!" Pekik mereka bersamaan lagi.
"Lo ada-ada aja sih Ze, ngapain coba marah sama Mara sampe ntar malem?" bingung Farah.
"Tau ya, orang mah kalo mau marah yang lama aja sekalian! Biar Maranya ilang!" ketus Selia.
"Eh! Jangalah. Kalo Mara ilang, gak punya temen gue ntar di rumah ih!" elakku.
Tuk!
Satu jitakan mendarat mulus di dahiku, tidak meninggalkan bekas namun bisa membuatku meringgis kesakitan. "Awsh! Sakit Adin!" kesalku, sembali mengusap bagian dahi yang terjitak oleh Adin tadi.
"Ya lagian kaya anak kecil sumpah, marah aja di waktu! Heran gue sama lo." Aku tersenyum jahil dan menatap mereka bertiga secara bergantian. "Gue ngeselin, tapi kalo gue ilang dari bumi pasti kalian sedih."
"Iya! Karena gak ada lagi spesies sahabat bobrok kaya lo di bumi haha!" ujar Farah sembari menyubit pipi kananku. "Ih! Farah! Sakit oncom!"
"Kalo lo ga ada di bumi, gue gak akan bisa ketemu orang sepenakut lo Ze! Lebih penakut dari gue haha!" ujar Selia.
"Bully aku sepuasmu Sel!" kesalku. "Emang kan, lo di ciptain buat gue bully hahaha."
Dan, Tuk!
Satu jitakan dari tangan Adin mendarat lagi dengan mulus di dahi Zeya. "Bahagia gue kalo liat lo kesel gini hahaha!" tambah Adin.
Aku menatap ketiga temanku, aku merasa sangat bahagia. Karena, tuhan telah memberikan sedikit kebaikannya dengan memberiku teman seperti mereka. "Makasih ya, kalian udah mau jadi temen gue."
Adin kini merangkulku, diikuti dengan Selia dan Farah. Mereka saling tatap dan tersenyum senang. "Gak ada kata makasih diantara kita." Kompak mereka bertiga.
Kami tertawa, tertawa bahagia sejenak. Berusaha untuk melupakan sebentar dunia seberang yang membuat tenaga kami terkuras banyak. Berusaha menjadi manusia normal, tanpa membicarakan mereka yang selalu berada di sekitar kita semua.
Mungkin, terkadang kita tidak melihat, namun mereka pasti ada. Berdiam disuatu tempat yang mereka suka, memperhatikan kita beraktivitas atau bahkan, selalu ikut kemana pun kita menginjakan kaki disuatu tempat.
—TBC—
Halo gaisss💙💙
Gimana ceritanya? Garing ya? Huhu!
Maaf ya gais kalo ada typo di atas sana🤧
Jangan lupa Like, rt dan juga repnya gaisss!!!💙💙
Sampai sini dulu ya cerita tentang Zeyanya.
See u in the next part gais💙💙💙
Iiiiii llllooooovvveee uuuuu gaisss💙💙
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kembali lagi nih sama Zeya setwlah sekian lama gak up! Huhu🤧
Oke kali ini, Zeya akan berbagi cerita tentang kisah yang di alami oleh salah satu keluarga Zeya. Tentang perempuan cantik yang mempunyai perjalanan hidup yang sangat kelam.