Cuaca Amsterdam mirip London. Jarang cerah kalau musim gugur. Sering kali mendung, berangin,
atau malah hujan deras. Saat itu, dalam perjalanan ke Amsterdam, cuacanya benar-benar serasi dengan cuaca hati saya.
Saya brjalan kaki smbil menunduk mengasihani diri sendiri, mengutuk kebodohan diri.
Saya truskan langkah kaki mnuju Dam Square yg mmbosankan skaligus kerap mmbuat saya rindu.
Tnpa sngaja, saya mngarah ke suatu tmpt yg blm prnh saya hampiri.
ini yang dinamakan Red Light District yang terkenal itu. Kok, saya bisa tersasar di sini?
Saya melirik ke dalam museum, ada banyak patung-patung dengan beragam posisi hubungan intim..
terluka?
Perlahan saya susuri kawasan itu dgn jantung yg berdebar agak kencang.
Ktika saya msk ke jln Oudezijds Voorburgwal dan Oudezijds Achterburgwal, mata saya terbelalak.
yg tampil dgn pakaian super minim,
Mereka berlenggak-lenggok dngn luwes nan genit, memberikan kiss bye, dan memanggil pengunjung dengan kode tarikan jari telunjuknya. Mereka jelas sdng
tdk menawarkan dagangan berupa barang. Mereka sdg menawarkan diri mrka sendiri!
Pemandangannya pun smakin aneh dan menyeramkan. Jendela2 itu bkn hnya brada di jalanan besar, melainkan juga di gang2 kecilnya. Lampunya ada yg merah, ada jg beberapa yg biru.
juga menjual sex toys dan hal-hal lain yang bahkan tak pernah mampir dalam imajinasi terliar saya.
Kedua Payudaranya menempel di tangan saya, “Only sixty euro, Darling. You can get everything.”
Saya merinding. Suaranya mirip Edna, desainer Mr. Incredible.
jawab, tanpa drama, tanpa ribet, tanpa resepsi pernikahan, dan sejenisnya, bahkan tanpa sakit hati. Terlintas dalam ingatan saya omongan seorang sopir bus antarnegara Eropa.
juicy steak?”
"Kamu aneh bila terlalu mengagungkan pernikahan.Kenapa mesti memelihara sapi, bila bisa
membeli steak daging yang lezat?"
Bersambung di buku #Berhentidikamu