Stay tune 👻
.
.
"TEROR TUKANG SANTET 2"
.
-A Thread-
Ini bukan dongeng. Tapi sebuah kisah teror kelam yang pernah terjadi di sebuah desa.
@bacahorror #bacahoror #ceritaht #threadhorror
MANA JARI KELINGKING SAYA?
Pagi itu Nuri main ke rumah Fitri. Namun ia malah bertemu ayah Fitri di depan rumah. Matanya menangkap sesuatu yang sdkit ganjil. Pak Madi sedang memegang seekor ayam jago bersama anak laki-lakinya. Sepertinya mereka akan menyembelih si ayam.
“Loh kok di sembelih, biasanya kan diadu?”
“Iya sih Nur, tapi karena sakit parah. Dari pada mati, disembelih aja.” Jawab Mas Danu, kakak Fitri.
Saat itu Danu curhat soal ayam jago kesayangan bapaknya.
Pak Madi yang saat itu mendengar, mencoba menengok kondisi Gawung, namun tak menemukan keanehan. Kejadian itu berlangsung selama seminggu, hingga ayam itu jadi sakit karena kurang istirahat.
Lima hari kemudian tiba-tiba Danu mendatangi Nuri dan Nilam di tanah lapang, tempat mereka biasa bermain.
“Nilam ..mas mau ngomong sesuatu, boleh?”
Nilam menoleh pada Nuri “Nuri ikut ya tapi.”
“Iya boleh. Kita bicara ke dhurung rumah mas ya.”
Nilam mengangguk. Mas Danu mulai menceritakan permasalahannya.
Jadi setelah Gawung di sembelih, kandangnya dibiarkan kosong. Malam setelah disembelih, pintu rumahnya diketuk-ketuk.
Orang lewatpun agak mustahil, karena sebelah timur dan barat rumah Danu hanya rimbunan pohon bambu yang dibawahnya langsung menjorok sungai.
Malam itu habis isya’, si Anwar ini duduk sendiri di dekat surau.
“Woi War! Maaf kalau nunggu lama. Aku tadi habis mampir dulu ke tempat Hasim.” Sapa Danu
“Dan! Jangan pulang ke rumahmu dulu. Gawat!” Ujar Anwar dengan wajah pucat.
“Lha kenapa War?” Tanya Hasim.
“Boleh lihat kandang ayamnya?” Tanya Nilam
“Boleh. “
Danu mengantar Nilam ke depan kandang si Gawung. Nilam tampak berdiam diri sejenak di depan kandang.
“Mas Danu tahu dari mana kalau Nilam ngerti hal-hal beginian?” Tanya Nuri tiba-tiba.
Entah sudah berapa kali Nilam bolak balik memasukkan kepalanya, sesekali mimik mukanya mengkerut dan sering memencet batang hidungnya.
“Bau banget mas.” Keluh Nilam kemudian
“Nggak. Bukan bau prengus atau tahi ayam. Tapi kayak bau busuk bangkai.”
“Hah? Masa sih?”
Danu yang penasaran ikut-ikutan memasukkan kepalanya ke dalam kandang. Meskipun lubang pintu kandang lumayan sempit untuk ukuran kepalanya.
“Lah, aku kok mencium bau bangkai ya mas? Nur coba kamu cium deh.” Pinta Nilam
Sebenarnya Nuri enggan karena merasa sedikit jijik. Tapi dia juga-
“Minggir!” Pinta Nuri sambil memasukkan kepalanya ke dalam kandang.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Eh Damar, ngapain ke sini?” Tanya Danu. Yang datang ternyata Damar salah satu kerabat Nuri.
“Ini lagi pada ngapain?”
“Nyiumin bau kandang mas.” Jawab Nilam
“Ini mah bau prengus ayam. Bukan bangkai.” Jawabnya lantang. “ Eh mas Damar.” Nuri berdiri dan langsung salim sama mas Damar.
Nilam kembali terdiam sambil mengamati kandang gawung.
“Hah? Kenapa Nil?” Tanya Danu penasaran
“Kayaknya ini emang dapat ‘kiriman’.”
“Kiriman?” Kali ini Damar berjongkok dan ikut-ikutan memasukkan kepalanya. “Bau bangkai.” Gumamnya.
“Masa sih mar?” Danu kembali memastikan.
Damar mengangguk. “Bener kata Nilam. Coba kamu bongkar kandang si Gawung. Ini bukan bau bangkai biasa.”
“Aku bilang bapak dulu deh.”
Tak lama kemudian Pak Madi keluar dari rumah dengan raut wajah serius. Akhirnya kandang si Gawung-
“Coba ambil mangkok, trus isi dengan air garam. Sekalian kain berwarna gelap kalau ada.”
“Pak Madi boleh nanya. Apa bapak sempat ada masalah dengan orang-orang di sabung ayam sebelumnya?” Tanya Nilam kemudian.
Tiba-tiba ia ingat cerita Danu tentang keanehan si Gawung sebelum disembelih.
Suara peraduan ayam jago terdengar riuh disertai sorak sorai para penontonnya. Seekor ayam jago berwarna njlagem (hitam legam) dengan rawis lehernya yang merah keemasan, tampak unggul-
“Yakin aku Gawung bakal menang lagi.”
“Tapi Blawuh jarang kalah.”
Blawuh, ayam berwarna wiring putih itu tampak bertahan meskipun Gawung menyerangnya secara bertubi-tubi. Hingga akhirnya Blawuh menyerah dan berlari keluar arena.
“Terima kasih mbah. Blawuh juga hebat. Gawung tadi sempat kewalahan loh. Hahaha.” Jawab Pak Madi menyembunyikan kegugupannya.
“Penawaran apa ya mbah?”
“Gawungmu mau saya beli dengan harga ….. (tinggi).”
Pak Madi terkesiap. “Maaf mbah. Gawung tidak saya jual.”
“Hmm.. Kenapa? Harganya kurang bagus? Saya naikkan lagi harganya jadi …. (makin tinggi).”
Akhirnya mbah Darso meninggalkan Pak Madi dengan perasaan tak nyaman.
Tiba-tiba tubuh Pak Madi bergetar mengingat peristiwa itu. Siapa yang tidak kenal mbah Darso? Pasalnya siapapun yang berurusan tak enak dengan-
“Mar… Jangan-jangan aku nanti disantet mbah Darso. Gimana ini?”
“Tenang pak tenang. Inshaa Allah tak akan terjadi apa-apa. Gaman hanya menyerang hewan bukan manusia.” Ucap Damar menenangkan.
“Ini Mar.”
Damar pun memasukkan jari itu ke dalam air mangkok lalu membacakan doa-doa. Setelahnya ia menutup atas mangkok tersebut dengan kain hitam.
“Untuk sementara ini saya bawa dulu.”
“Haus sekali.”
Ditengoknya Bu Yanti masih terlelap. Akhirnya Pak Madi berdiri, membetulkan sarung, dan mulai berjalan ke arah dapur. Saat akan menuangkan air ceret di gelas Pak Madi mendengar suara ‘Brukkk’ dibelakangnya.
“Mana Jari kelingking saya?”
Pak Madi tercekat.
“Mana Jari kelingking saya?”
Esok paginya Danu langsung mengunjungi rumah Damar dan menceritakan kejadian yang telah menimpa bapaknya semalam. Danu tampak berpikir sejenak.
“Kita ke pantai terdekat Dan.” Tegasnya kemudian.
Danu sempat sedikit kebingungan namun ia lebih memilih menuruti ucapan Damar yang lebih mengerti.
GANTUNG WARIS
Sore itu tepat di pelataran, Nuri terlihat sibuk menyapu halaman rumahnya. Sapu lidi yang ia genggam terus bergerak membersihkan daun-daun kering, yang rencananya nanti akan ia bakar setelah terkumpul.
Belum selesai Nuri menyelesaikan pekerjaannya-
"Loh? Loh? Kok lari-lari. Kayak habis lihat setan saja." Tegur Hajjah Aminah. Nenek Nuri.
Hafizah dan Nyi Nimas Ayu ikut memalingkan pandangan dimana mata Aminah sempat terpaku.
"Ji, saya pamit pulang dulu." Ucapnya kaku.
Aminah yang sudah paham tersenyum ramah pada Nimas Ayu.
"Baik Ji. Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam."
Nimas Ayu segera melangkah pergi begitu saja melewati mbah Darso yang sempat meliriknya.
Intro dulu ya ...
"Ji, bulan depan sawahmu aku garap lagi ya?"
Hajjah Aminah tersenyum simpul "Iya boleh."
Mbah Darso tampak mengamati kebun buah milik nenek Nuri.
Hajjah Aminah tampak terdiam sesaat, Hafizah memandang ibunya dengan raut tak suka.
"Baiklah. Kalau sudah panen buahnya, saya akan suruh cucu saya antar ke rumahmu."
"Ya sudah kalau begitu. Aku pamit dulu ya Ji."
Kemudian lelaki tua itu berbalik meninggalkan rumah nenek Nuri.
"Umi, kenapa menuruti permintaan mbah Darso begitu saja? Umi kan tau, kalau buah merra kita-
Hafizah tau, ibunya senang2 saja jika sawahnya di garap mbah Darso. Karena setiap sawah yg digarap mbah Darso selalu subur dengan panen yg banyak. Tapi ntah kenapa ibunya selalu menuruti hampir semua permintaan mbah Darso.
"Oh iya umi, kenapa ya Nyi Nimas terlihat benci sekali dengan mbah Darso?"
(Di jaman dahulu usia dibawah 20 tahun dianggap sangat produktif-
Hingga suatu hari desa mereka kedatangan pendatang baru. Sepasang suami istri beserta 3 orang anaknya. Mereka berasal dari jawa timur.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Semakin sering Darso bertemu Nimas, semakin menggila hasratnya pada gadis belia itu. Ia pun tahu bahwa banyak laki-laki yg juga berusaha mendapatkan Nimas.
"Nyi, boleh mas Darso ngomong sebentar?"
(*kala itu Nimas dipanggil dengan tambahan 'nyi' karena kedudukannya yang terpandang).
"Iya silahkan. Tapi ngomong di sini saja ya."
"Maksudnya apa ya?" tanya Nimas tak suka.
"Saya mencintai kamu nyi. Saya berniat melamar dan menikahimu." ucap Darso penuh percaya diri.
"Lalu bagaimana dengan mbak Ratih?"
"Jangan khawatirkan Ratih. Dia tidak akan menolak kalaupun saya menikah untuk yg kedua kalinya."
"Jadi maksudnya. Saya akan dijadikan istri kedua?"
Gila! Gila! Lelaki ini benar-benar gila! Pikirnya.
Nimas Ayu meninggalkan Darso dengan kemurkaan yg membumbung tinggi di kepala.
Hening.
"TOKK TOKK TOKK"
Suara ketukan itu cukup mengganggu. Arahnya terasa dekat sekali seolah berasal dari depan pintu kamarnya.
Tapi siapa?
Lagi?
Dengan malas akhirnya Nimas membuat tubuhnya beranjak dari tempat tidur. Suara ketukan pintu masih berbunyi. Nimas pun membuka pintu kamar, namun tak ada siapapun.
Nimas mengintip dibalik daun pintu dan mengedarkan pandangan di luar ruangan. Sepertinya suara itu dari pintu depan rumah. Tapi kenapa ia bisa mendengar jelas sekali, padahal jarak kamar dan pintu utama cukup jauh.
"TOKK TOKK TOKK"
Karena sepertinya tidak ada seorang pun yang mendengar, Nimas memutuskan untuk memeriksanya.
"TOKK TOKK"
"Uhukk uhuk."
Nimas mendengar suara berat seorang lelaki yang cukup familiar ditelinga.
"Abah?"
Nimas langsung menutup pintu serampangan. Perasaan takut mulai menggelayutinya.
"Kalau bukan abah lalu siapa?"
“Sabar ya Nyi.” Ucap Aminah teman baiknya.
Aminah memandang iba gadis cantik dihadapannya. Nimas masih cantik, hanya saja aura wajahnya memang sudah tak secerah dulu. Mata belonya yang indah terlihat kuyu. Mungkin terlalu banyak kesedihan yang diterimanya. Wanita yang lebih-
“Rambut kamu kok rontok?”
Setahu Aminah, Nimas selalu menjaga dengan baik aset miliknya yang satu ini.
Fadhil memandang wajah lelap Nimas Ayu sambil menelusupkan jari-jari diantara rambut istrinya. Lelaki tampan itu tersenyum tatkala mata hitamnya menyusuri kesempurnaan wajah wanita cantik itu. Sudah satu bulan-
“Nimas Ayu?” Gumamnya meyakinkan.
Ia yakin itu istrinya meski ruang dapur bercahayakan temaram. Sedikit ragu-ragu Fadhil mulai mendekati sosok itu.
“Dik? Kok bangun?”
Nimas ayu terdiam dan berhenti menggoyangkan kaki. Fadhil sedikit gelisah melihatnya.
‘Ini istriku atau bukan ya?’ batinnya.
‘BRUK’
Wajahnya tertutup rambut karena posisi kepalanya masih menunduk. Tiba-tiba terdengar suara tawa lirih yang menyayat. Tampak siluet senyum diwajahnya, hanya saja senyum itu membentuk garis panjang dari-
‘KRAKKK’ ‘KRATAK’ ‘KRATAKKK’
Tiba-tiba Nimas Ayu membuat gerakan aneh, seolah tulang-tulangnya patah begitu saja.
“Dik?” panggil Fadhil dengan suara bergetar.
‘KRATAKK’ ‘KRATAKK'
“Aaaaaaaaaaarrrrgggghhhh!!!”
“Aaaarrrgghhh… Arrrrgghhhh! “
“Kak Fadhil?”
“Kak? Kak Fadhil?”
“Pergi! Pergi! Jangan dekati aku.” Usirnya. Nimas masih berusaha menenangkan sang suami.
“Kak Fadhil. Ini Nimas. Kakak kenapa?”
“Dik… dik.. Ini benar kamu kan? Bukan setan?” ucapnya bergetar.
“Iya kak ini Nimas Ayu. Istighfar kak … istighfar.”
Akhirnya Nimas mencoba menenangkan suaminya dengan memeluknya.
“Apa aku tak bisa ikut kakak saja?” bujuk Nimas.
Nimas terlihat sedih, namun bagaimanapun ia harus mengerti posisi suaminya. Satu bulan setelah kepergian Fadhil, Nimas tak menerima surat-
‘Mungkin kak Fadhil lupa karena terlalu sibuk.’ Batinnya meyakinkan.
Satu bulan kemudian Nimas menunggu, namun tak ada surat balasan apapun dari negeri seberang.
‘Apakah suratnya tidak sampai?’
“Dik, ada yang mau kenalan nih.” Ucap Ali sambil tersenyum penuh arti.
Nimas melirik sekilas “Oh, iya.”
“Hmmm..”
Ali memberi isyarat pada Nimas Ayu agar bersikap ramah pada Azzam. Namun Nimas mengabaikannya.
“Ini teman sekolah kakak dulu dik. Dia sekarang seorang pedagang obat yang sukses-
Selama beberapa minggu, Azzam terlihat sering mengunjungi Nimas dengan Ali sebagai pendamping. Awalnya Nimas Ayu masih tak peduli,
Dua tahun pernikahan, akhirnya Nimas Ayu merasakan kebahagiaan pernikahan yang sebenarnya bersama Azzam. Menurutnya, Azzam adalah lelaki paling sabar dan baik yang pernah dikenalnya.
Hari kemenangan telah tiba. Keluarga Haji Mustafa mendapat kunjungan dari para sanak saudara. Bahkan yang dari luar pulau pun datang bertandang ke rumahnya. Saat itu Nimas Ayu tampak berbincang-bincang dengan beberapa
“Kak Nimas boleh ngomong sebentar?”
Nimas sempat menoleh ke saudara-saudara yang lain. “Iya boleh.”
“Berdua saja tapi ya.”
“Kak, maaf sebelumnya kalau Hisyam mengganggu. Tapi Hisyam harus memberi tahu sesuatu yang penting .. uhmm…” Pemuda berambut gondrong itu sejenak tampak ragu.
“Ngomong aja dik.” Sahut Nimas penasaran.
“Tali?” Nimas Ayu spontan memeriksa seluruh tubuhnya yang memang terlihat tak ada apa-apa.
Tiba-tiba terselip rasa khawatir yang menggelayuti hati atas perkataan Hisyam. “Uhmm.. memang apa pengaruhnya kalau ada tali ghaib yang mengikat kita?”
Nimas tersentak. Awalnya ia hampir tidak mempercayai ucapan sepupunya. Namun ingatannya kembali menjelajah atas peristiwa-peristiwa yang telah ia alami beberapa tahun belakangan.
Kini Nimas Ayu, Ali, dan Hisyam memutuskan menyeberang ke pulau Jawa untuk menemui guru Hisyam.
Dibutuhkan waktu sehari semalam untuk menyeberang ke sana dengan kapal besar. Belum lagi mereka harus menempuh perjalanan darat selama lebih-
Ketiga orang itu akhirnya sampai di sebuah desa di salah satu wilayah timur Pulau Jawa. Desa itu juga tampak asri, tak jauh beda dengan topografi wilayah di pulau Boyan. Hisyam menghentikan sebuah delman di tengah keramaian pasar.
Hisyam langsung mencium punggung tangan gurunya sebagai tanda penghormatan. Kesan pertama yg Nimas rasakan saat melihat guru Hisyam adalah segan.
Kini dihadapan mereka bertiga tersaji tiga cangkir kopi hitam.
"Silahkan diminum." sila Ki Agus Bisri
Nimas tampak ragu, karena dia bukan penikmat kopi. Namun Hisyam memberi isyarat agar-
'mungkin sedikit saja tak apa.' batinnya.
Satu sesap, ternyata rasanya diluar dugaan. Terasa enak sekali di indra perasanya. Tanpa sadar Nimas Ayu malah-
Ki Agus Bisri tampak tersenyum penuh arti. Akhirnya Ali mengungkap maksud dan tujuan kedatangan mereka pada-
"Kamu tahu nduk. Kenapa hanya kamu yang bisa menghabiskan kopi hitam ini?"
Nimas Ayu menggeleng tak mengerti. Apa yang salah dari kopi ini. Bukankah karena kopi ini memang terasa enak.
Nimas Ayu terlihat gelisah. "Apa benar sesuatu itu yang sudah menyebabkan saya mengalami kesulitan jodoh,
"Itu benar. Jika dibiarkan terlalu lama. Saya takut makhluk dari sihir ini akan menyatu dalam darah kamu. Dan akan lebih sulit untuk mengeluarkannya. "
Ki Agus Bisri tampak terdiam sejenak.
"Kamu terkena sihir Gantung Waris nduk." ucapnya kemudian.
"Akan saya usahakan".
Selama tiga hari berturut-turut Nimas diwajibkan puasa mutih dan tidur diatas jam tengah malam (12 malam). Tiba dihari penentuan, Ki Agus Bisri menyuruh Nimas untuk mandi besar sebelumnya,
Malam itu, mereka berempat berkumpul disebuah ruangan berdinding bilik bambu berukuran 3x4. Ki Agus yang kini tepat bersila dihadapan Nimas Ayu mulai memberikan arahan.
"Pejamkan matamu nduk."
Nimas memejamkan mata.
Nimas mulai merasakan ketegangan.
"Dengarkan baik-baik. Saat kau melihatnya, lawan rasa takutmu sengeri apapun wujudnya.
Nimas mengangguk.
"Dan untukmu cah bagus." Tunjuk Ki Agus pada Ali, "Apapun yang terjadi pada reaksi cah ayu ini. Jangan lakukan apa-apa. Tahan diri. Atau kau bisa merusak prosesi ruwatan. Paham?" Tegas Ki Agus Bisri yang kemudian dijawab dengan anggukan.
Tak lama setelahnya Nimas merasa tubuhnya seperti tersedot kuat sekali. Saat membuka mata, Nimas menyadari sudah berada di ruang kosong dan hampa. Tak jauh didepannya tampak dirinya yang lain berdiri, menatapnya marah-
Tak lama kemudian, terdengar gemuruh dan ledakan yang cukup dahsyat. Sosok yang menyerupai Nimas itu menggeram. Lalu terdengar suara lecutan yang keras, yang membuat makhluk itu semakin terlihat marah.
Di saat yang sama, sekelebat bayangan mulai terlihat. Di sana ia melihat sesosok lelaki dewasa yg cukup familiar, menanam sesuatu
"Kak, aku harus meninggalkan desa dan pulau ini menurut Ki Agus Bisri, demi-
Aminah tampak sedih mendengarnya namun juga mengerti.
"Kakak jangan khawatir, aku akan mengunjungi kakak .. saat pulang kampung suatu hari nanti." Ucapnya lembut kemudian.
-SELESAI-
On Process..
Stay Tune ya 🤗.