, 172 tweets, 23 min read
My Authors
Read all threads
Hai saya 'Banana'. Ini adalah kelanjutan thread "Teror Tukang Santet" part 1.
Buat kalian yang belum baca part pertama. Silahkan kunjungi profil saya, cek tab 'likes'. Di sana sudah saya tandai thread2 ceritanya untuk memudahkan warga twitter yang mau membacanya.
Ini masih intro ya. Cerita akan saya upload nanti malam.
Stay tune 👻
(Based on True Story)
.
.
"TEROR TUKANG SANTET 2"
.
-A Thread-
Ini bukan dongeng. Tapi sebuah kisah teror kelam yang pernah terjadi di sebuah desa.

@bacahorror #bacahoror #ceritaht #threadhorror
@bacahorror ****
MANA JARI KELINGKING SAYA?

Pagi itu Nuri main ke rumah Fitri. Namun ia malah bertemu ayah Fitri di depan rumah. Matanya menangkap sesuatu yang sdkit ganjil. Pak Madi sedang memegang seekor ayam jago bersama anak laki-lakinya. Sepertinya mereka akan menyembelih si ayam.
Lalu Nuri pun mendekati keduanya.
“Loh kok di sembelih, biasanya kan diadu?”

“Iya sih Nur, tapi karena sakit parah. Dari pada mati, disembelih aja.” Jawab Mas Danu, kakak Fitri.

Saat itu Danu curhat soal ayam jago kesayangan bapaknya.
“Jadi si Gawung (*nama ayam jagonya) tiap malam kayak diganggu. Gaduh sendiri.”

Pak Madi yang saat itu mendengar, mencoba menengok kondisi Gawung, namun tak menemukan keanehan. Kejadian itu berlangsung selama seminggu, hingga ayam itu jadi sakit karena kurang istirahat.
Mulut mungil Nuri membentuk sebuah huruf ‘O’ tanda mengerti.

Lima hari kemudian tiba-tiba Danu mendatangi Nuri dan Nilam di tanah lapang, tempat mereka biasa bermain.
“Nilam ..mas mau ngomong sesuatu, boleh?”

Nilam menoleh pada Nuri “Nuri ikut ya tapi.”
Ntah kenapa si Nilam lengket banget sama Nuri.
“Iya boleh. Kita bicara ke dhurung rumah mas ya.”

Nilam mengangguk. Mas Danu mulai menceritakan permasalahannya.

Jadi setelah Gawung di sembelih, kandangnya dibiarkan kosong. Malam setelah disembelih, pintu rumahnya diketuk-ketuk.
Saat dilihat tak ada orang sama sekali. Malam kedua, Pak Madi (ayah Danu) pulang agak larut dari hajatan warga. Ketika melewati jalan setapak, ia memergoki ada orang berjongkok di depan kandang ayam. Saat di tegur, orang itu berlari kencang dan berbelok ke arah-
barat pagar bambu. Saat dikejar, orang itu lenyap begitu saja. Lalu pak Madi menceritakan hal ini pada keluarganya.

Orang lewatpun agak mustahil, karena sebelah timur dan barat rumah Danu hanya rimbunan pohon bambu yang dibawahnya langsung menjorok sungai.
Bahkan samping kiri kanannya, diberi pagar kayu sebagai batas. Umumnya orang sangat mustahil lewat sana apalagi malam hari karena pasti banyak ular. Satu-satunya rute, hanya jalan setapak lurus kurang lebih sejauh 15 meter yang langsung menuju rumahnya
Tak jauh dari rumahnya, ada tetangga yang juga gemar bermain sabung ayam. Sebut saja si Anwar, dia teman Danu juga. Anwar kerap mengajak Pak Madi berangkat bareng ke tempat sabung ayam.

Malam itu habis isya’, si Anwar ini duduk sendiri di dekat surau.
Saat itu Danu dan Hasim menghampirinya.

“Woi War! Maaf kalau nunggu lama. Aku tadi habis mampir dulu ke tempat Hasim.” Sapa Danu

“Dan! Jangan pulang ke rumahmu dulu. Gawat!” Ujar Anwar dengan wajah pucat.

“Lha kenapa War?” Tanya Hasim.
Lanjut ntar . Mo ikut rapat se RT dulu.
Akhirnya si Anwar cerita. Tadi dia mau langsung saja mampir ke rumah Danu. Saat tiba di lokasi. Ada orang jongkok di depan kandang kosong Gawung. Anwar mencoba menyapa orang itu, orang itu berdiri menghadap Anwar. Anwar pun mengarahkan lampu minyaknya sebagai penerangan.
Dan ternyata mata orang itu cekung dan gelap, alias tidak punya bola mata. Tampak rahang bawahnya bergelantungan. Si Anwar tercekat, mau lari pun sudah tak bisa. Lantas sosok itu mengangkat tangan kirinya dan menunjukkan jari tangan yang sebagian dagingnya sudah menghilang.
Saat hampir hilang kesadaran, pintu rumah Danu terbuka. Ibu Danu muncul dan menegur Anwar. Bukannya menjawab dengan salam, si Anwar malah kabur. Akhirnya Anwar tetap menunggu Danu di Surau sesuai dengan janjian mereka di awal.
Dua hari kemudian, Pak Madi mendapat laporan dari para tetangga. Mereka kerap kali melihat orang mondar-mandir di depan rumah. Kadang terdengar seperti orang menangis, kadang seperti orang merintih. Karena kesal, Pak Madi mencoba menjebak orang itu sekali lagi.
Setelah semalaman ditunggu dipersembunyian, orang aneh itu tak kunjung muncul juga.

“Boleh lihat kandang ayamnya?” Tanya Nilam
“Boleh. “

Danu mengantar Nilam ke depan kandang si Gawung. Nilam tampak berdiam diri sejenak di depan kandang.
Lalu ia mulai berjongkok, membuka pengunci pintu kandang, kepalanya melongok ke dalam lalu keluar lagi. Masuk-keluar lagi. Mengecek sesekali keadaan sekitar kandang.

“Mas Danu tahu dari mana kalau Nilam ngerti hal-hal beginian?” Tanya Nuri tiba-tiba.
“Dikasih tau mak Saroh. Katanya kemaren habis dibantu sama Nilam buat nyembuhin Nanang.”

Entah sudah berapa kali Nilam bolak balik memasukkan kepalanya, sesekali mimik mukanya mengkerut dan sering memencet batang hidungnya.

“Bau banget mas.” Keluh Nilam kemudian
“Yaa baulah. Namanya juga kandang ayam.”

“Nggak. Bukan bau prengus atau tahi ayam. Tapi kayak bau busuk bangkai.”

“Hah? Masa sih?”

Danu yang penasaran ikut-ikutan memasukkan kepalanya ke dalam kandang. Meskipun lubang pintu kandang lumayan sempit untuk ukuran kepalanya.
“Nggak ah. Bukan bau bangkai. Ini bau prengus ayam biasa. Bahkan kemarin kandangnya sudah dibersihkan.”

“Lah, aku kok mencium bau bangkai ya mas? Nur coba kamu cium deh.” Pinta Nilam

Sebenarnya Nuri enggan karena merasa sedikit jijik. Tapi dia juga-
penasaran dengan bau yang dimaksud.

“Minggir!” Pinta Nuri sambil memasukkan kepalanya ke dalam kandang.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam. Eh Damar, ngapain ke sini?” Tanya Danu. Yang datang ternyata Damar salah satu kerabat Nuri.
“Ini bawain titipan emak buat bu Yanti.” Ucapnya sambil menyerahkan sebuah bungkusan berwarna merah. Tiba-tiba matanya menangkap sosok Nuri yang sedang memasukkan kepalanya di dalam kandang.

“Ini lagi pada ngapain?”
“Nyiumin bau kandang mas.” Jawab Nilam
Alis Damar berkerut heran. Nuri pun akhirnya mengeluarkan kepalanya dr lubang pintu.

“Ini mah bau prengus ayam. Bukan bangkai.” Jawabnya lantang. “ Eh mas Damar.” Nuri berdiri dan langsung salim sama mas Damar.

Nilam kembali terdiam sambil mengamati kandang gawung.
“Mas Danu.. coba dibongkar kandangnya.” Pinta Nilam kemudian.

“Hah? Kenapa Nil?” Tanya Danu penasaran
“Kayaknya ini emang dapat ‘kiriman’.”

“Kiriman?” Kali ini Damar berjongkok dan ikut-ikutan memasukkan kepalanya. “Bau bangkai.” Gumamnya.
Danu dan Nuri saling berpandangan. Keduanya heran kenapa Nilam dan Damar malah mencium bau bangkai sedangkan mereka tidak.

“Masa sih mar?” Danu kembali memastikan.

Damar mengangguk. “Bener kata Nilam. Coba kamu bongkar kandang si Gawung. Ini bukan bau bangkai biasa.”
Tiba-tiba saja Danu ingat bahwa Damar juga punya ilmu kebatinan sama seperti ust Malik, karena mereka berasal dari almamater pondok yang sama.
“Aku bilang bapak dulu deh.”

Tak lama kemudian Pak Madi keluar dari rumah dengan raut wajah serius. Akhirnya kandang si Gawung-
dibongkar dibantu Damar juga. Ketika serpihan batang-batang kayu kandang akan dipindahkan, tiba-tiba ada sebuah bungkusan berwarna coklat jatuh diantaranya. Saat dibuka ternyata isinya jari kelingking manusia.
Kebetulan Danu yang membuka bungkusan langsung melemparkannya karena kaget. Mereka semua begidik ngeri melihat jari kelingking putus itu yang entah milik siapa. Kemudian dengan berani, Damar mengambil kembali jari yang terputus menggunakan bungkus coklat yang tadi.
“Terus ini jari harus diapain Mar?” Tanya Danu panik. Dia masih keder setelah tragedi menyentuh jari kelingking yang terputus tadi.

“Coba ambil mangkok, trus isi dengan air garam. Sekalian kain berwarna gelap kalau ada.”
Danu mengangguk dan bergegas melakukan apa yang dikatakan Damar.

“Pak Madi boleh nanya. Apa bapak sempat ada masalah dengan orang-orang di sabung ayam sebelumnya?” Tanya Nilam kemudian.
Tiba-tiba ia ingat cerita Danu tentang keanehan si Gawung sebelum disembelih.
Pak Madi tampak berpikir dan teringat sesuatu. “Mbah Darso pernah nawar si Gawung.”

Suara peraduan ayam jago terdengar riuh disertai sorak sorai para penontonnya. Seekor ayam jago berwarna njlagem (hitam legam) dengan rawis lehernya yang merah keemasan, tampak unggul-
mendominasi pertarungan.
“Yakin aku Gawung bakal menang lagi.”
“Tapi Blawuh jarang kalah.”

Blawuh, ayam berwarna wiring putih itu tampak bertahan meskipun Gawung menyerangnya secara bertubi-tubi. Hingga akhirnya Blawuh menyerah dan berlari keluar arena.
Ilustrasi Gawung (Kanan), Blawuh (Kiri).

(Source pict: google)
Kemudian Mbah Darso segera menangkap ayamnya yang keluar arena. Terdengar sorakan meriah dari warga yang menonton sabung ayam tersebut. Pak Madi mengangkat Gawung tinggi-tinggi atas kebanggaan kemenangannya.
“Hmm… Gawung memang hebat. Sudah 2x dia mengalahkan Blawuhku ini.” Ucap mbah Darso yang menggendong ayamnya ketika menghampiri Pak Madi.

“Terima kasih mbah. Blawuh juga hebat. Gawung tadi sempat kewalahan loh. Hahaha.” Jawab Pak Madi menyembunyikan kegugupannya.
“Madi.. aku mau mengajukan penawaran.”
“Penawaran apa ya mbah?”
“Gawungmu mau saya beli dengan harga ….. (tinggi).”

Pak Madi terkesiap. “Maaf mbah. Gawung tidak saya jual.”

“Hmm.. Kenapa? Harganya kurang bagus? Saya naikkan lagi harganya jadi …. (makin tinggi).”
Waktu itu mbah Darso tampak ngotot ingin membeli Gawung, namun pak Madi masih bersikeras tidak ingin menjual Gawung kesayangannya meskipun dgn harga yang menggiurkan. Karena baginya Gawung bukan hanya sekedar ayam adu. Mbah Darso tampak kesal dengan sikap keras kepala Pak Madi.
“Ya Sudahlah. Toh sampai kapan ayammu bisa terus menang. Cuih!”
Akhirnya mbah Darso meninggalkan Pak Madi dengan perasaan tak nyaman.

Tiba-tiba tubuh Pak Madi bergetar mengingat peristiwa itu. Siapa yang tidak kenal mbah Darso? Pasalnya siapapun yang berurusan tak enak dengan-
mbah Darso dan keluarganya, biasanya akan mengalami hal-hal yang tak wajar.

“Mar… Jangan-jangan aku nanti disantet mbah Darso. Gimana ini?”

“Tenang pak tenang. Inshaa Allah tak akan terjadi apa-apa. Gaman hanya menyerang hewan bukan manusia.” Ucap Damar menenangkan.
Danu akhirnya membawa mangkok berisikan air garam seperti yang diminta Damar.

“Ini Mar.”
Damar pun memasukkan jari itu ke dalam air mangkok lalu membacakan doa-doa. Setelahnya ia menutup atas mangkok tersebut dengan kain hitam.

“Untuk sementara ini saya bawa dulu.”
Malam hari di rumah pak Madi..

“Haus sekali.”

Ditengoknya Bu Yanti masih terlelap. Akhirnya Pak Madi berdiri, membetulkan sarung, dan mulai berjalan ke arah dapur. Saat akan menuangkan air ceret di gelas Pak Madi mendengar suara ‘Brukkk’ dibelakangnya.
Pak Madi menoleh, samar-samar ia melihat sekumpulan asap hitam yang berbau busuk terbakar keluar dari samping lemari. Pak Madi mengucek kedua matanya memastikan apa yang dilihat. Sempat ia mengira ada sesuatu yang terbakar. Namun pergerakan asap itu terlihat aneh.
Asap hitam itu berkumpul dan membentuk sebuah sosok yang mengerikan. Sosok itu berwarna gelap, tak memiliki bola mata, dan rahang bawahnya bergelantungan seolah hampir terlepas.
Kemudian mengangkat tangan kirinya dan menunjukkan jari tangan yang sebagian dagingnya sudah menghilang pada pak Madi.

“Mana Jari kelingking saya?”

Pak Madi tercekat.

“Mana Jari kelingking saya?”
Tubuh Pak Madi sontak menjadi dingin dan kaku. Tak lama kemudin pandangannya berubah gelap seketika.

Esok paginya Danu langsung mengunjungi rumah Damar dan menceritakan kejadian yang telah menimpa bapaknya semalam. Danu tampak berpikir sejenak.
Hingga akhirnya ia mengambil mangkok berisi jari itu dan memasukkannya ke dalam bungkus berwarna coklat kembali.

“Kita ke pantai terdekat Dan.” Tegasnya kemudian.

Danu sempat sedikit kebingungan namun ia lebih memilih menuruti ucapan Damar yang lebih mengerti.
Keduanya pun pergi ke sebuah pantai yang jaraknya tidak sampai sejam dengan menumpang angkutan umum. Sesampainya di pantai, Damar dan Danu menyewa sebuah kapal getek (dayung).
Saat kapal mereka sudah berada ditengah-tengah laut, Damar akhirnya melemparkan bungkusan berisi jari kelingking tersebut sejauh mungkin ke kedalaman lautan.
*Ralat: Gawung (Kiri), Blawuh (Kanan)
***
GANTUNG WARIS

Sore itu tepat di pelataran, Nuri terlihat sibuk menyapu halaman rumahnya. Sapu lidi yang ia genggam terus bergerak membersihkan daun-daun kering, yang rencananya nanti akan ia bakar setelah terkumpul.
Belum selesai Nuri menyelesaikan pekerjaannya-
tiba-tiba kornea matanya menangkap sesuatu. Spontan gadis kecil itu melemparkan sapu lidi sembarangan dan bergegas berlari masuk ke rumah.

"Loh? Loh? Kok lari-lari. Kayak habis lihat setan saja." Tegur Hajjah Aminah. Nenek Nuri.
Kala itu Hajjah Aminah, Hafizah (Ibu Nuri), dan Nyi Nimas Ayu saling bercengkrama di kursi teras. Setelah kepergian Nuri, kini bola mata Aminah menangkap sosok yg membuat Nuri lari ketakutan.

Hafizah dan Nyi Nimas Ayu ikut memalingkan pandangan dimana mata Aminah sempat terpaku.
Tampak seorang laki-laki tua sedikit bungkuk berjalan ke arah mereka. Sontak raut wajah Nimas Ayu yang sebelumnya sumringah, berubah drastis menjadi dingin.

"Ji, saya pamit pulang dulu." Ucapnya kaku.
(Panggilan "Ji" singkatan dr "Haji". Biasa disematkan pada orang-orang yang sudah pergi menunaikan ibadah haji).

Aminah yang sudah paham tersenyum ramah pada Nimas Ayu.
"Terima kasih ya Nyi sudah bertandang ke rumah. Kalau pulang kampung ke boyan, jangan sungkan-sungkan mampir kesini lagi."

"Baik Ji. Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumsalam."

Nimas Ayu segera melangkah pergi begitu saja melewati mbah Darso yang sempat meliriknya.
Why so serious? 😁
Intro dulu ya ...
"Ada perlu apa So?" Tanya Hajjah Aminah tanpa basa basi.

"Ji, bulan depan sawahmu aku garap lagi ya?"

Hajjah Aminah tersenyum simpul "Iya boleh."

Mbah Darso tampak mengamati kebun buah milik nenek Nuri.
"Ji, kayaknya pohon buah merra kamu bunganya banyak. Kalau sudah panen aku minta hasilnya setengah ya."

Hajjah Aminah tampak terdiam sesaat, Hafizah memandang ibunya dengan raut tak suka.

"Baiklah. Kalau sudah panen buahnya, saya akan suruh cucu saya antar ke rumahmu."
Hajjah Aminah benar-benar tdk bisa berkutik. Mbah Darso terkekeh senang.

"Ya sudah kalau begitu. Aku pamit dulu ya Ji."
Kemudian lelaki tua itu berbalik meninggalkan rumah nenek Nuri.

"Umi, kenapa menuruti permintaan mbah Darso begitu saja? Umi kan tau, kalau buah merra kita-
hasil panennya selalu dijual ke pasar." Protes Hafizah.

Hafizah tau, ibunya senang2 saja jika sawahnya di garap mbah Darso. Karena setiap sawah yg digarap mbah Darso selalu subur dengan panen yg banyak. Tapi ntah kenapa ibunya selalu menuruti hampir semua permintaan mbah Darso.
Hafizah tidak tahu, bahwa ibunya adalah satu dari sekian penduduk desa yg takut akan sepak terjang mbah Darso selama ini.

"Oh iya umi, kenapa ya Nyi Nimas terlihat benci sekali dengan mbah Darso?"
Hajjah Aminah menghela nafas. Wajar saja Hafizah kurang tahu menahu tentang peristiwa yg menimpa Nimas Ayu, karena Hafizah belum lahir waktu itu. Ingatannya menerawang kejadian 35 tahun silam.
Namanya Nimas Ayu. Asli keturunan melayu. Keluarga kakeknya merantau ke pulau Boyan dari Malaysia sudah sejak lama. Gadis muda itu anak dari Haji Mustafa, orang kaya terpandang yg juga menjabat sbg kepala desa kala itu. Wajahnya yang cantik rupawan membuatnya menyandang menjadi-
salah satu kembang desa yang dipuja banyak lelaki. Termasuk para kompeni (orang belanda) yg berada di Boyan. Hanya saja karena Nimas Ayu adalah salah satu anak orang terpandang, para kompeni jg tidak bisa berbuat semau mereka pada Nimas.
Saat usianya menginjak 18 tahun, makin banyak lelaki yang ingin meminangnya. Namun Nimas Ayu memilih menolak, karena belum menemukan tambatan hatinya. Orang tuanya pun jg tdk memaksakan kehendak pada anaknya.

(Di jaman dahulu usia dibawah 20 tahun dianggap sangat produktif-
untuk menikah. Di atas usia 20 tahun malah sudah disebut perawan tua. Karenanya pada jaman itu banyak terjadi pernikahan dini).

Hingga suatu hari desa mereka kedatangan pendatang baru. Sepasang suami istri beserta 3 orang anaknya. Mereka berasal dari jawa timur.
Suaminya bernama Darso (30thn) sedang istrinya bernama Ratih (25thn). Untuk menunjukkan tata krama sbg pendatang baru, mereka pun mengunjungi rumah kepala desa. Saat berbincang-bincang, Nimas Ayu muncul membawakan minuman kepada tamu ayahnya.
Kecantikan Nimas Ayu sempat membuat Darso lupa bahwa ia sudah memiliki istri.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Semakin sering Darso bertemu Nimas, semakin menggila hasratnya pada gadis belia itu. Ia pun tahu bahwa banyak laki-laki yg juga berusaha mendapatkan Nimas.
Hingga akhirnya Darso memberanikan diri membuat keputusan gila.
"Nyi, boleh mas Darso ngomong sebentar?"

(*kala itu Nimas dipanggil dengan tambahan 'nyi' karena kedudukannya yang terpandang).
Kala itu Darso mencegat Nimas yang baru pulang dari pasar di tengah jalan. Nimas yang tidak terbiasa berdua-duaan dengan lelaki menoleh sekitar dengan pandangan khawatir.

"Iya silahkan. Tapi ngomong di sini saja ya."
"Sudah lama mas Darso memperhatikan kamu. Kamu cantik dan baik. Kamulah wanita yg selama ini mas cari."

"Maksudnya apa ya?" tanya Nimas tak suka.

"Saya mencintai kamu nyi. Saya berniat melamar dan menikahimu." ucap Darso penuh percaya diri.
Bagai disambar petir di siang bolong, Nimas terkejut bukan main.
"Lalu bagaimana dengan mbak Ratih?"

"Jangan khawatirkan Ratih. Dia tidak akan menolak kalaupun saya menikah untuk yg kedua kalinya."

"Jadi maksudnya. Saya akan dijadikan istri kedua?"
"Jangan khawatir nyi, meskipun menjadi istri kedua. Saya akan menganggapmu yg pertama dan satu-satunya wanita yg saya cintai. Saya akan memperlakukanmu dengan istimewa."
Nimas Ayu tersinggung bukan main. Harga dirinya terluka. Bagaimana bisa ada seorang lelaki yg berani melamarnya hanya untuk dijadikan istri kedua? Sedangkan laki-laki perjaka dan terpandang yg selama ini meminangnya saja banyak yg ia tolak.
Selain itu ia juga tidak bisa menyakiti hati wanita lain.
Gila! Gila! Lelaki ini benar-benar gila! Pikirnya.
"Maaf mas Darso saya menolak pinangan anda. Saya tdk menerima lelaki yg sudah beristri menjadi suami saya. Permisi."

Nimas Ayu meninggalkan Darso dengan kemurkaan yg membumbung tinggi di kepala.
Ada yang mau dilamar Darso?
Chapter kali ini memang ada genre romance-nya ya. Maklum kan malming.
Beberapa hari kemudian, tersiar kabar bahwa Nimas Ayu sudah di khitbah. Tentu saja hal itu membuat banyak hati lelaki patah. Lelaki beruntung itu bernama Hasan, anak dari teman baik Haji Mustafa. Mereka dijodohkan dan ternyata saling memiliki ketertarikan satu sama lain.
Disisi lain Nimas Ayu juga ingin menunjukkan bahwa ia tak bisa dipinang sembarang orang. Apalagi hanya dijadikan istri kedua. Ya, Nimas Ayu masih terluka harga dirinya oleh pernyataan Darso.
Waktu semakin berjalan. Malam cepat sekali membuat keheningan makin mengental, berbaur dengan suara nyanyian jangkrik dan katak di sawah. Nimas sebenarnya sudah terlelap. Hingga akhirnya sebuah suara berhasil membuatnya terjaga.
"TOKK TOKK TOKK"

Hening.

"TOKK TOKK TOKK"

Suara ketukan itu cukup mengganggu. Arahnya terasa dekat sekali seolah berasal dari depan pintu kamarnya.
Tapi siapa?
"TOKK TOKK TOKK"

Lagi?

Dengan malas akhirnya Nimas membuat tubuhnya beranjak dari tempat tidur. Suara ketukan pintu masih berbunyi. Nimas pun membuka pintu kamar, namun tak ada siapapun.
"TOKK TOKK TOKK"

Nimas mengintip dibalik daun pintu dan mengedarkan pandangan di luar ruangan. Sepertinya suara itu dari pintu depan rumah. Tapi kenapa ia bisa mendengar jelas sekali, padahal jarak kamar dan pintu utama cukup jauh.

"TOKK TOKK TOKK"
"Siapa yang bertamu tengah malam begini?" gumamnya.

Karena sepertinya tidak ada seorang pun yang mendengar, Nimas memutuskan untuk memeriksanya.

"TOKK TOKK"
"Siapa?" Tanya Nimas awas saat berada di balik pintu utama. Suara itu berhenti. Hening sesaat.

"Uhukk uhuk."
Nimas mendengar suara berat seorang lelaki yang cukup familiar ditelinga.

"Abah?"
Spontan gadis itu menarik pengunci dan membuka pintu utama. Kebodohan yang akan ia sesali seumur hidup. Sesaat angin dingin langsung berhembus menerpa tubuhnya. Berhasil membuat bulu kuduknya meremang. Dan tentu saja tak ada siapapun disana. Hanya malam pekat yang menyapanya.
Brakkk!

Nimas langsung menutup pintu serampangan. Perasaan takut mulai menggelayutinya.
"Kalau bukan abah lalu siapa?"
Hari pernikahan hanya tinggal menghitung hari. Undangan pun sudah disebar hingga kecamatan sebelah. Namun keluarga Haji Mustafa mendapat berita buruk yg tak disangka-sangka. Keluarga calon mempelai pria, tiba-tiba saja membatalkan pernikahan yg tak tahu karena alasan apa.
Jangan ditanya lagi bagaimana marah dan malunya keluarga Haji Mustafa. Kecewanya Nimas Ayu. Tentu saja berita itu tersebar lebih cepat dari kabar khitbah yg tersiar sebelumnya. Harapan para lelaki pun membumbung tinggi. Tak lama kemudian banyak lelaki yang kembali ingin-
mempersunting Nimas Ayu. Nimas Ayu bersedia menjalani proses ta’aruf dengan beberapa orang telah diseleksi. Tapi ntah kenapa selalu berakhir begitu saja sebelum sampai ke pelaminan. Hal itu terus terjadi, Nimas masih gagal menemukan jodohnya hingga menginjak usia 23 tahun.
Warga mulai membicarakannya. Bahkan ada beberapa yang menyebut selera Nimas terlalu tinggi, terlalu banyak permintaan, permintaan mahar yg tinggi, dll. Mendengar simpang siur omongan tak enak tersebut, semakin membuat Nimas rendah diri.

“Sabar ya Nyi.” Ucap Aminah teman baiknya.
“Saya tidak tahu apa yang salah kak. Padahal saya sudah tidak terlalu pemilih. Asalkan baik akhlak dan agamanya, bertanggung jawab, dan berasal dari keluarga baik-baik. Tapi selalu gagal. Dan kebanyakan pihak calon laki-laki yang sering membatalkan secara sepihak. Malu aku kak
... malu. Apa Nimas sudah tak cantik lagi?”

Aminah memandang iba gadis cantik dihadapannya. Nimas masih cantik, hanya saja aura wajahnya memang sudah tak secerah dulu. Mata belonya yang indah terlihat kuyu. Mungkin terlalu banyak kesedihan yang diterimanya. Wanita yang lebih-
tua 8 tahun dari Nimas itu pun membelai rambut panjangnya sebagai bentuk dukungan. Namun ada yang aneh, beberapa helai rambut tampak ikut serta di sela-sela jarinya.

“Rambut kamu kok rontok?”

Setahu Aminah, Nimas selalu menjaga dengan baik aset miliknya yang satu ini.
Salah satu daya tarik selain wajah cantiknya adalah keindahan rambut panjang nan lebat miliknya. Nimas Ayu menoleh “Oh, iya kak. Beberapa bulan ini memang sering begitu. Mungkin karena banyak pikiran.” Jawabnya tak peduli.
3 bulan kemudian ada yang kembali melamar Nimas Ayu. Namanya Fadhil datang kembali setelah beberapa tahun perantauannya di negeri Jiran. Ia masih kerabat jauh dari pihak ibunya. Dan kali ini keduanya berhasil hingga ke pelaminan. Nimas terlihat sangat bahagia di hari pernikahan.
Akhirnya ia bisa mematahkan gunjingan buruk yang sering diterima.

Fadhil memandang wajah lelap Nimas Ayu sambil menelusupkan jari-jari diantara rambut istrinya. Lelaki tampan itu tersenyum tatkala mata hitamnya menyusuri kesempurnaan wajah wanita cantik itu. Sudah satu bulan-
mereka sah menjadi sepasang suami istri. Nimas Ayu adalah sosok yang nyaris sempurna, lembut, dan baik. Ia sedikit heran sebelumnya, kenapa Nimas belum juga menikah diusianya yang sudah diatas kepala dua. Padahal siapapun yang melihat gadis ayu ini pasti akan terpikat.
Fadhil menggelengkan kepala, mengusir berita miring tentang sang istri sebelumnya. Memikirkan apa dia? Berarti Nimas memang sudah jodohnya. Bukan karena tidak laku. Harusnya ia bersyukur bisa mempersunting si kembang desa.
Tiba-tiba perutnya terasa sedikit mulas, memaksanya segera pergi ke belakang untuk membuang hajatnya. Dengan hati-hati ia mulai beranjak dari tempat tidur, takut kalau-kalau Nimas Ayu terjaga.
Maklum jika Fadhil khawatir menimbulkan derik suara, dikarenakan ranjang besi mereka memang mudah bergoyang.
Terdengar suara guyuran air dari dalam kamar mandi, pertanda Fadhil usai melaksanakan urusannya. Saat membuka pintu, ia sedikit terkejut dengan apa yang dilihatnya. Kebetulan letak kamar mandi memang berada di ruang dapur. Tampak seorang wanita dengan gaun tidurnya, duduk diatas-
meja makan dengan kepala tertunduk sambil menggoyang-goyangkan kaki secara bergantian.

“Nimas Ayu?” Gumamnya meyakinkan.

Ia yakin itu istrinya meski ruang dapur bercahayakan temaram. Sedikit ragu-ragu Fadhil mulai mendekati sosok itu.
Nimas ayu terdengar bersenandung lirih seolah tak menyadari kehadiran Fadhil.

“Dik? Kok bangun?”

Nimas ayu terdiam dan berhenti menggoyangkan kaki. Fadhil sedikit gelisah melihatnya.

‘Ini istriku atau bukan ya?’ batinnya.
Akhirnya Nimas Ayu turun dari meja dengan gerakan sedikit melompat.

‘BRUK’

Wajahnya tertutup rambut karena posisi kepalanya masih menunduk. Tiba-tiba terdengar suara tawa lirih yang menyayat. Tampak siluet senyum diwajahnya, hanya saja senyum itu membentuk garis panjang dari-
ujung pipi ke pipi. Sontak hal tersebut berhasil membuat seluruh bulu kuduk Fadhi berdiri.

‘KRAKKK’ ‘KRATAK’ ‘KRATAKKK’

Tiba-tiba Nimas Ayu membuat gerakan aneh, seolah tulang-tulangnya patah begitu saja.
“Dik?” panggil Fadhil dengan suara bergetar.

‘KRATAKK’ ‘KRATAKK'
Nimas Ayu menekuk tubuhnya kearah belakang dan membuat posisi kayang dengan mudahnya.
Perlahan Fadhil mengambil langkah mundur. Lidahnya kelu tak mampu berucap. Sosok yang menyerupai Nimas Ayu tampak jelas mengerikan. Entah itu memang Nimas Ayu atau ada yang menyerupainya. Entahlah, Fadhil tak mampu berpikir sekarang.
Kini sosok itu menghadapkan kepalanya kearah Fadhil masih dengan posisi kayang. Lalu ia merayap kearah Fadhil dengan cepat. Fadhil terjerembab dan mulai berteriak.

“Aaaaaaaaaaarrrrgggghhhh!!!”
Nimas mendengar suara teriakan yang cukup keras. Saat menoleh ia tak menemukan keberadaan Fadhil disisinya. Dengan sigap Nimas langsung beranjak dari tempat tidur menuju kearah suara teriakan.

“Aaaarrrgghhh… Arrrrgghhhh! “
“Kak Fadhil?”
Nimas menemukan suaminya dalam posisi meringkuk seolah mengusir-ngusir sesuatu. Nimas pun mendekatinya.

“Kak? Kak Fadhil?”

“Pergi! Pergi! Jangan dekati aku.” Usirnya. Nimas masih berusaha menenangkan sang suami.

“Kak Fadhil. Ini Nimas. Kakak kenapa?”
Setelah beberapa saat pergolakan, akhirnya Nimas mampu menyadarkan suaminya.

“Dik… dik.. Ini benar kamu kan? Bukan setan?” ucapnya bergetar.

“Iya kak ini Nimas Ayu. Istighfar kak … istighfar.”
Akhirnya Nimas mencoba menenangkan suaminya dengan memeluknya.
Tubuh Fadhil berguncang hebat saat itu. Setelah kejadian itu, beberapa kali Nimas mendapati ekspresi kaget atau tak enak dari wajah suaminya. Dan itu terjadi dalam momen-momen tertentu. Hingga akhirnya Nimas merasa Fadhil sedikit menjaga jarak darinya.
Hingga suatu hari ia mendapat kabar, suaminya akan pergi ke Serawak mengantarkan langsung kain-kain pesanan dalam jumlah besar. Nimas Ayu bahagia sekaligus sedih, karena itu berarti harus berpisah sementara dgn suami tercinta.

“Apa aku tak bisa ikut kakak saja?” bujuk Nimas.
“Maaf dik. Di sana pasti repot dan melelahkan sekali. Kamu di sini saja ya. Nanti kakak pasti akan sering berkirim kabar melalui surat.”

Nimas terlihat sedih, namun bagaimanapun ia harus mengerti posisi suaminya. Satu bulan setelah kepergian Fadhil, Nimas tak menerima surat-
apapun. Akhirnya ia memutuskan untuk mengirim surat terlebih dahulu pada suaminya.

‘Mungkin kak Fadhil lupa karena terlalu sibuk.’ Batinnya meyakinkan.

Satu bulan kemudian Nimas menunggu, namun tak ada surat balasan apapun dari negeri seberang.
‘Apakah suratnya tidak sampai?’
Namun Nimas yakin, ia sudah menuliskan alamat surat dengan benar. Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Surat-surat yang Nimas Ayu kirimkan tak kunjung berbalas. Hal itu sangat membuatnya cemas.
Belum lagi ia harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari keluarganya tentang keberadaan Fadhil. Akhirnya Nimas mengirim surat ke salah satu kerabatnya yang tinggal di Serawak, agar mau mencari tahukan keadaan sang suami di sana. Dua minggu kemudian ia mendapat balasan.
Sepupunya juga kurang tahu menahu, karena Fadhil sangat sulit ditemui di tempat kerjanya. Nimas merasa sesak didada, ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Hingga suatu hari sebuah surat dengan nama pengirim ‘AHMAD FADHIL JAELANI’ sampai di rumahnya. Matanya tampak berbinar membaca-
barisan huruf itu di kepala sampul surat. Namun semesta sepertinya tak mau memihaknya. Hatinya hancur berkeping-keping tatkala usai membaca surat itu, yang ternyata di dalamnya terdapat kata TALAK dari suaminya, Fadhil.
Satu tahun berlalu Nimas resmi menyandang sebagai janda. Hatinya masih beku. Bahkan ia menolak beberapa kali kehadiran para lelaki yang ingin kembali meminangnya. Saat itu musim hujan, Nimas Ayu tampak merenung seorang diri di dhurung depan rumahnya. Sepasang mata berwarna-
cokelat memandang penuh penasaran pada wanita yang tengah melamun sendiri di sana. Satu minggu kemudian datang seorang lelaki bertubuh gagah bersama kakaknya, Ali.

“Dik, ada yang mau kenalan nih.” Ucap Ali sambil tersenyum penuh arti.

Nimas melirik sekilas “Oh, iya.”
“Perkenalkan saya Azzam. Adik namanya Nimas Ayu kan?” ucap lelaki itu ramah.

“Hmmm..”
Ali memberi isyarat pada Nimas Ayu agar bersikap ramah pada Azzam. Namun Nimas mengabaikannya.

“Ini teman sekolah kakak dulu dik. Dia sekarang seorang pedagang obat yang sukses-
hingga di Jawa.” Jelas Ali bersemangat. Namun lagi-lagi respon Nimas tidak seperti yang diharapkan. Azzam pun tampak tersenyum penuh arti.

Selama beberapa minggu, Azzam terlihat sering mengunjungi Nimas dengan Ali sebagai pendamping. Awalnya Nimas Ayu masih tak peduli,
namun lama-kelamaan ia mulai luluh dengan kebaikan Azzam yang terlihat tulus. Setelah cukup dekat mengenalnya, darinya Nimas tahu ternyata Azzam pernah mengalami kegagalan penikahan sama sepertinya.
Akhirnya Nimas mulai membuka hati karena merasa senasib dengan Azzam. Setelah merasa cukup dekat, Azzam memberanikan diri melamar Nimas. Awalnya, Nimas Ayu sedikit ragu dengan pinangan laki-laki gagah dihadapannya, karena sejujurnya masih ada perasaan trauma dihatinya.
Namun dengan sabar, lelaki berusia 28 tahun itu berhasil meyakinkan Nimas Ayu.

Dua tahun pernikahan, akhirnya Nimas Ayu merasakan kebahagiaan pernikahan yang sebenarnya bersama Azzam. Menurutnya, Azzam adalah lelaki paling sabar dan baik yang pernah dikenalnya.
Hanya saja sampai saat ini keduanya belum dikaruniai seorang anak. Nimas sempat merasa sedih, namun Azzam terus memberikan semangat pada istrinya itu. Azzam juga tidak menuntut banyak hal. Segalanya ia pasrahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Tak lama setelahnya kondisi kesehatan-
Azzam mulai menurun. Ia sering sakit-sakitan. Bahkan usaha dagang obatnya mulai mengalami penurunan karena sering terbengkalai. Mau tak mau Nimas Ayu harus mengambil alih, menggantikan posisi suaminya dalam pekerjaannya.
Lelah, tentu saja. Tapi itu tak membuatnya menyerah. Hingga akhirnya Azzam tak mampu lagi bertahan melawan penyakitnya. Saat itu dunianya kembali runtuh. Lagi-lagi ia harus kembali kehilangan belahan jiwanya. Nimas ayu sempat terpuruk, namun mau tak mau ia harus kembali bangkit-
karena harus meneruskan usaha milik almarhum suaminya.

Hari kemenangan telah tiba. Keluarga Haji Mustafa mendapat kunjungan dari para sanak saudara. Bahkan yang dari luar pulau pun datang bertandang ke rumahnya. Saat itu Nimas Ayu tampak berbincang-bincang dengan beberapa
kerabat yang lama tak dijumpainya. Tiba-tiba Hisyam, adik sepupu dari pihak Haji Mustafa yang datang dari jawa datang mendekatinya.

“Kak Nimas boleh ngomong sebentar?”

Nimas sempat menoleh ke saudara-saudara yang lain. “Iya boleh.”

“Berdua saja tapi ya.”
Nimas mengerutkan dahi, namun akhirnya menyanggupi.

“Kak, maaf sebelumnya kalau Hisyam mengganggu. Tapi Hisyam harus memberi tahu sesuatu yang penting .. uhmm…” Pemuda berambut gondrong itu sejenak tampak ragu.

“Ngomong aja dik.” Sahut Nimas penasaran.
“Sejujurnya, Kak Nimas maaf sebelumnya. Sejak awal ketemu kemaren, Hisyam melihat ada tali-tali yang mengikat kakak.”

“Tali?” Nimas Ayu spontan memeriksa seluruh tubuhnya yang memang terlihat tak ada apa-apa.
“Tali ghaib maksudnya kak. Jadi tidak bisa dilihat mata telanjang. Harus pakai mata batin.” Jelasnya kemudian.

Tiba-tiba terselip rasa khawatir yang menggelayuti hati atas perkataan Hisyam. “Uhmm.. memang apa pengaruhnya kalau ada tali ghaib yang mengikat kita?”
Hisyam mengambil napas sejenak “Sulit jodoh kak.”

Nimas tersentak. Awalnya ia hampir tidak mempercayai ucapan sepupunya. Namun ingatannya kembali menjelajah atas peristiwa-peristiwa yang telah ia alami beberapa tahun belakangan.
Setelah Hisyam memberitahukan fakta yang cukup mengejutkan itu, Nimas Ayu segera berunding dengan keluarga besarnya. Tak percaya, tentu itu respon awal mereka. Namun, mengingat masalah bertubi-tubi yang telah menimpa Nimas, mau tak mau mereka mulai membuka mata.
Atas saran Hisyam, Nimas Ayu beserta keluarganya setuju untuk segera mengakhiri akar permasalahan ini. Meskipun harus menempuh perjalanan yang cukup panjang.

Kini Nimas Ayu, Ali, dan Hisyam memutuskan menyeberang ke pulau Jawa untuk menemui guru Hisyam.
Hisyam yakin beliau adalah satu-satunya orang, yang mungkin bisa membantu menolong Nimas Ayu untuk melepaskan tali-tali ghaib tersebut.

Dibutuhkan waktu sehari semalam untuk menyeberang ke sana dengan kapal besar. Belum lagi mereka harus menempuh perjalanan darat selama lebih-
dari setengah hari untuk sampai di tempat tujuan.
Ketiga orang itu akhirnya sampai di sebuah desa di salah satu wilayah timur Pulau Jawa. Desa itu juga tampak asri, tak jauh beda dengan topografi wilayah di pulau Boyan. Hisyam menghentikan sebuah delman di tengah keramaian pasar.
Tampak seorang lelaki paruh baya berpakaian adat jawa sudah berdiri di sana. Seolah-olah memang sudah menunggu kedatangan Nimas Ayu.

Hisyam langsung mencium punggung tangan gurunya sebagai tanda penghormatan. Kesan pertama yg Nimas rasakan saat melihat guru Hisyam adalah segan.
Ki Agus Bisri tampak tersenyum ramah dan mempersilahkan tamu-tamunya masuk ke rumahnya.
Kini dihadapan mereka bertiga tersaji tiga cangkir kopi hitam.

"Silahkan diminum." sila Ki Agus Bisri
Nimas tampak ragu, karena dia bukan penikmat kopi. Namun Hisyam memberi isyarat agar-
Nimas Ayu segera meminumnya. Demi menghormati sang tuan rumah, akhirnya Nimas mulai mengangkat cangkir tersebut dari tempatnya.

'mungkin sedikit saja tak apa.' batinnya.
Bau pertama yang ia cium dari pekatnya aroma kopi itu adalah jinten dan bunga melati. Nimas makin ragu untuk meminumnya. Namun akhirnya tetap ia paksakan.

Satu sesap, ternyata rasanya diluar dugaan. Terasa enak sekali di indra perasanya. Tanpa sadar Nimas Ayu malah-
menghabiskan satu cangkir. Padahal asapnya masih mengepul. Kemudian ia menoleh dan sedikit terkejut saat mendapati kopi milik kedua saudaranya hanya berkurang sedikit.

Ki Agus Bisri tampak tersenyum penuh arti. Akhirnya Ali mengungkap maksud dan tujuan kedatangan mereka pada-
pria paruh baya itu.

"Kamu tahu nduk. Kenapa hanya kamu yang bisa menghabiskan kopi hitam ini?"
Nimas Ayu menggeleng tak mengerti. Apa yang salah dari kopi ini. Bukankah karena kopi ini memang terasa enak.
"Itu karena ada sesuatu yang ikut mendiami tubuhmu. Dia yg sebenarnya menikmati kopi ini. Bukan kamu. Orang biasa tak akan mampu mengecap bahkan menelan kopi hitam ini."

Nimas Ayu terlihat gelisah. "Apa benar sesuatu itu yang sudah menyebabkan saya mengalami kesulitan jodoh,
seperti kata Hisyam."

"Itu benar. Jika dibiarkan terlalu lama. Saya takut makhluk dari sihir ini akan menyatu dalam darah kamu. Dan akan lebih sulit untuk mengeluarkannya. "

Ki Agus Bisri tampak terdiam sejenak.
"Kamu terkena sihir Gantung Waris nduk." ucapnya kemudian.
"Jadi, apa Ki Agus Bisri bisa membantu saya?"
"Akan saya usahakan".

Selama tiga hari berturut-turut Nimas diwajibkan puasa mutih dan tidur diatas jam tengah malam (12 malam). Tiba dihari penentuan, Ki Agus Bisri menyuruh Nimas untuk mandi besar sebelumnya,
agar tubuhnya suci dan memudahkan proses pembersihan.

Malam itu, mereka berempat berkumpul disebuah ruangan berdinding bilik bambu berukuran 3x4. Ki Agus yang kini tepat bersila dihadapan Nimas Ayu mulai memberikan arahan.

"Pejamkan matamu nduk."
Nimas memejamkan mata.
"Kosongkan pikiran. Saya akan mentransfer alam bawahmu agar bisa melihat sosok yang selama ini membelenggumu."
Nimas mulai merasakan ketegangan.

"Dengarkan baik-baik. Saat kau melihatnya, lawan rasa takutmu sengeri apapun wujudnya.
Jika kau mendengar suara-suara. Jangan terpengaruh. Jika kau merasa kesakitan yang luar biasa, tahan sekuat tenaga, karena itu pertanda ikatan yg membelenggumu mulai terlepas. Selanjutnya pasrahkan diri dan berdoalah meminta kekuatan pada Tuhan. Mengerti nduk?"
Nimas mengangguk.
.
"Dan untukmu cah bagus." Tunjuk Ki Agus pada Ali, "Apapun yang terjadi pada reaksi cah ayu ini. Jangan lakukan apa-apa. Tahan diri. Atau kau bisa merusak prosesi ruwatan. Paham?" Tegas Ki Agus Bisri yang kemudian dijawab dengan anggukan.
Bibir Ki Agus Bisri mulai bergerak-gerak dengan cepat.

Tak lama setelahnya Nimas merasa tubuhnya seperti tersedot kuat sekali. Saat membuka mata, Nimas menyadari sudah berada di ruang kosong dan hampa. Tak jauh didepannya tampak dirinya yang lain berdiri, menatapnya marah-
dengan raut mengerikan. Nimas Ayu sedikit tersentak.
Tak lama kemudian, terdengar gemuruh dan ledakan yang cukup dahsyat. Sosok yang menyerupai Nimas itu menggeram. Lalu terdengar suara lecutan yang keras, yang membuat makhluk itu semakin terlihat marah.
Wujudnya pun berubah menjadi sosok hitam bertubuh besar dengan mata merah menyala. Disini sebenarnya Nimas mulai ketakutan, namun ia mencoba melawan rasa takut itu. Tiba-tiba Nimas merasa sesuatu menjerat lehernya.
Seutas tali besar berwarna hitam yang kini digenggam oleh si makhluk. Nimas menahan tali itu dengan kedua tangannya. Ntah dari mana tali-tali yang lain mulai menyusuri tubuh Nimas dan ikut menjeratnya. Hal itu makin membuatnya makin sulit bergerak.
Makhluk itu meraung keras seolah ada yg menyakitinya, dan semakin mengencangkan jeratan tali yang mengikat tubuh Nimas. Nimas masih bertahan. Setelah pergulatan panjang yang cukup lama, Nimas merasa suhu tubuhnya berubah menjadi lebih panas. Ternyata tali-tali itu terasa panas-
dan semakin panas. Hingga kulit Nimas seolah-olah terbakar. Si makhluk meraung kesakitan, begitu pula Nimas. Seolah mereka memang berbagi rasa sakit.

Di saat yang sama, sekelebat bayangan mulai terlihat. Di sana ia melihat sesosok lelaki dewasa yg cukup familiar, menanam sesuatu
di sekitar rumahnya. Bayangan itu pun berganti menjadi gambaran ketika dirinya membuka pintu pada malam hari, yang ternyata mengundang makhluk itu merasuk ke dalam dirinya. Itu adalah awal mula. Hingga ia melihat mantan suaminya,
Fadhil yg terlihat ketakutan saat menatapnya beberapa kali. Nimas melihat wujud dirinya yang lain, namun dengan wajah mengerikan. Hingga akhirnya ia melihat almarhum suami yang sangat ia cintai. Menderita karena makhluk ini menyiksanya dari dalam.
Nimas menangis dan berteriak dalam rasa sakit yang luar biasa. Lagi-lagi terdengar suara ledakan yang lebih dahsyat. Seketika pandangan Nimas Ayu berubah menjadi gelap.
Suatu sore, Nimas mendatangi rumah Aminah setelah satu bulan ia tak melihatnya. Ternyata kedatangan Nimas hanya ingin berpamitan. Disitu Nimas mulai menceritakan apa yg sudah menimpanya selama ini.

"Kak, aku harus meninggalkan desa dan pulau ini menurut Ki Agus Bisri, demi-
kebaikanku dan keluargaku. Dan satu hal lagi, berhati-hatilah dengan Darso." Tegas Nimas Ayu.
Aminah tampak sedih mendengarnya namun juga mengerti.

"Kakak jangan khawatir, aku akan mengunjungi kakak .. saat pulang kampung suatu hari nanti." Ucapnya lembut kemudian.
Teror Tukang Santet Part 2
-SELESAI-
Tunggu kelanjutan Teror Tukang Santet Part 3 (Part Terakhir)
On Process..

Stay Tune ya 🤗.
Silahkan cek kelanjutan Part 3 di Profil sayaaaa. Sudah available.
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Banana

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!