-A Thread-
.
.
Seutas Kisah Kelam Dari Rumah Lama Yang Pernah Ditinggali Keluargaku.
.
.
.
@bacahorror #bacahorror
(Semua nama dan lokasi disamarkan demi kebaikan bersama).
Pak Hamka sendiri memiliki sebuah toko meubel di kecamatan 'K'. Dibutuhkan waktu sekitar 30 menit dari kecamatan 'P' untuk sampai di tempat usahanya. Di hari kepindahan, Pak Hamka baru menyadari bahwa rumah mereka-
"Semoga tidak mengganggu." Batinnya.
"Pakkkk... Pak Hamka. Tolong kesini pak." Teriak salah seorang tukang.
Pak Hamka segera menghampiri ke sumber suara. Disana 3-4 tukang terlihat mengerumuni sesuatu.
Matanya terbelalak mendapati salah seorang tukang memegang sesuatu yang diletakkan diatas kain lusuh. Tulang belulang itu berukuran kecil, bahkan sebagian terlihat tak utuh. Di duga tulang belulang tersebut milik seorang bayi.
Salah seorang tukang menunjuk ke arah bawah tembok yang sudah di gali. Dimana tembok itu adalah tembok yang berdempetan dengan rumah kosong.
"Nggih Pak."
Mulai dari situ muncul sedikit kekhawatiran. Namun, Pak Hamka berharap ini hanya sebuah kebetulan.
"Dik, tadi para tukang nemu tulang belulang bayi di pojok sana." ucap Pak Hamka tiba-tiba.
Bu Nuri menghentikan kesibukannya. "Astaghfirullah. Terus gimana mas?"
"Tapi nggak bakalan ada apa-apa kan mas?"
Pak Hamka terdiam sejenak, lalu memaksakan seulas senyum. "Inshaa Allah. Yaa semoga nggak ada apa-apa. Tapi tolong jangan beritahukan ini pada anak-anak . Nanti mereka takut."
'DUKKK DUKKK DUKKK'
Pak Hamka membuka mata secara perlahan dan menajamkan pendengaran.
'DUKKK DUKK DUKKK'
Sekali lagi ia mendengarnya, sesuatu memukul keras tembok rumah.
Langkahnya pun terhenti diruang tamu, tepat di depan tembok bekas galian lubang. Dugaannya tepat, suara tersebut memang berasal dari rumah kosong.
Pak Hamka memandang tembok lekat-lekat. mencoba berkomunikasi secara batin dengan apa yang ada dibaliknya.
Suara pukulan dibalik tembok itu berhenti. Tiba-tiba terdengar suara tawa yang berat dan menggema dari sana.
"Siapa kamu? Kenapa kamu memukul-mukul tembok rumah saya?"
Lagi-lagi hanya ada suara tawa menggelegar, seolah mengejek.
Pak Hamka merasakan intensitas aura jahat yang meningkat dari sana.
'DHUAAAAKKKK!'
***
"Gimana mas? Lia sakit apa?"
"Cuma demam biasa. Disuruh gak masuk dulu selama 3 hari sama dokternya."
"Yaudah. Nanti saya ijinin di sekolah." ujar Bu Nuri kemudian.
Lia mengangguk lemas. Sebenarnya Bu Nuri tidak tega harus meninggalkan anaknya pergi bekerja saat sedang sakit begini. Tapi mau gimana lagi, pekerjaannya tak bisa ditinggalkan begitu saja.
Bu Nuri mengelus kepala anaknya sayang, lalu mengantarkannya beristirahat dikamar. Bu Nuri sedikit lega, untungnya jarak rumah yang sekarang dengan sekolah terbilang dekat.
"Iya mbok. Bosan kalau tiduran terus."
"Ya sudah kalau begitu. Mbok mau jemur baju dulu. Kalau butuh apa-apa. Panggil si mbok aja ya dibelakang."
Tak lama kemudian, sayup-sayup terdengar suara ayam. Lia menoleh, mencari si ayam.
"Loh kok ada ayam?"
Lia beranjak dari posisi dan mengecek pintu depan dan samping yang masih tertutup. Lewat belakang juga nggak mungkin, karena ada tembok tinggi yang menghalangi.
Karena takut si ayam buang hajat sembarangan, Lia pun bergegas mengambil sapu untuk mengusirnya.
"Hushh husshh!"
"Loh? Si mbok?" Lia kaget dengan kehadiran mbok Darmi yang tiba-tiba.
"Biar saya saja yang bawa ayam ini keluar mbak." Ucapnya singkat.
"Mbak Lia ngapain bawa-bawa sapu?"
Lia kembali terlonjak kaget dengan kehadiran mbok Darmi dibelakangnya.
"Loh?? Mbok bukannya barusan ke depan bawa ayam?" Tanya Lia memastikan.
"Laaah. Kan si mbok dari tadi dibelakang habis jemur baju."
Lia pun kebingungan dengan kejadian barusan.
"Mboookk... Mbok Darmi!" Panggil Lia setengah berteriak.
Tak ada sahutan.
"Mbooook ..."
Hening...
Lia mengintip lagi.
"SAYA BAWA AYAMNYA KELUAR YA MBAK!"
Mbok Darmi menggendong ayam sembari melesat melewati Lia begitu saja. Kontan saja Lia yang terkejut, menangis dan langsung berlari ke arah dapur.
***
"Johan. Ambil bolanya. Kamu kan gagal nangkapnya."
"Gak mau. Kamu yang nendang kenceng, ya kamu yang harus ambil." Tunjuk Johan pada Jodi saudara kembarnya.
Mereka pun ribut dan saling tunjuk tentang siapa yang harus ambil bola.
"Udah! Udah! Tinggal ambil aja ribut banget." Tegas Tika.
"Siapa yang mau ambil?" Tanya si Johan.
"Loh ya kalianlah. Kan kalian yang main bola."
Mereka semua terdiam.
"Jangan Tik. Jangan kesana."
"Emang kenapa?"
"Ituu... anu..."
Nita membisiki telinga Tika "Rumah itu angker."
"Masa sih? "
"Iya. Apalagi banyak orang yang sering lihat kaki buntung di sana." Bisik Nita sambil melirik ke arah bola yang menghilang-
"Nggak mungkinlah. Lagian ini masih terang kok, masa iya ada setan?"
"Yasudah terserah kamu saja."
Tika pun mulai berjalan seorang diri ke arah rumah kosong sembari sedikit memikirkan ucapan Nita.
"Nah itu bolanya."
Tika berjalan ke arah belakang rumah. Saat akan mengambil,
Jantungnya berdegup kencang manakala kornea mata menangkap sepasang kaki berdiri tegak di depan bola. Hanya saja, itu sepasang kaki tanpa badan.
'SREEKK.. SREKKK'
***
Masalah kedua muncul, setelah Tika juga melapor melihat kaki buntung dibelakang rumah kosong. Malamnya, Tika 'girap-girap', 'sawan', atau istilahnya ketakutan,
Belum lagi yang katanya Mbok Darmi sering diganggu, dengan kejadian perkakas yang tiba-tiba hilang atau berpindah tempat. Tak hanya mbok Darmi, tapi seisi rumah juga pernah dikerjai dengan hal serupa.
"Nggak pak. Cuma lagi ngamatin rumah kosong sebelah rumah saya."
Pak Tejo melihat rumah yang ditunjuk Pak Hamka begidik ngeri.
"Oh ya. Ya maklum pak namanya juga rumah kosong." Jawab Pak Hamka mengulas senyum.
"Bapak nggak takut apa? nggak pernah diganggu apa-apa gitu?"
Pak Hamka menggeleng berpura-pura tak tahu.
Pak Tejo kembali melanjutkan ceritanya.
"Jadi gini, rumah itu lebih dari 10 tahun gak ditempatin. Warga sering melihat penampakan di sini."
"Oh ya?"
"Wah rame juga ya pak." Canda Pak Hamka.
"Saat ditemukan kondisi mereka cukup menyedihkan. Salah satunya bibirnya miring membeletot ke kanan, gak bisa balik. Yang satu gak bisa lihat."
"Tapi masih hidup?"
"Sebelum dibawa ke kantor polisi, kedua maling itu di interogasi oleh warga. Mereka pun menceritakan,
"Ahh iya satu lagi. Kata yang sering lewat sini, mereka sering mendengar bayi yang menangis."
Pak Hamka mengerutkan dahi
"Bayi?"
***
Pak Hamka memang tipe pekerja keras, tak mau mengandalkan satu penghasilan saja selama masih mampu.
Bu Nuri mulai merebahkan tubuh di atas kasur. Baru sejenak memejamkan mata.
Dan benar saja, ada sesosok wanita berpakaian putih lusuh berdiri di atas dada. Rambutnya panjang, sebagian menutup wajah. Menunduk menatap Bu Nuri dengan mata tanpa kornea.
Wanita itu makin kuat menindih, makin lama makin membelasakkan kakinya yang samar ke dada Bu Nuri.
"Mak, Lia tidur sini ya?"
Lia pun terheran-heran. Menatap kondisi ibunya seperti orang yang habis-
"Makasih nak. Ma.. kasih." Ucap Bu Nuri terbata-bata.
Rasa takut makin membuat makhluk itu menjadi kuat. Bu Nuri tak mampu berucap istighfar. Hanya satu kata yang berhasil ia gumamkan dengan susah payah.
Lafadz itu berhasil membuat jari telunjuknya bergerak.
Tiap suaminya tidak tidur di rumah. Pak Hamka selalu menyarankan untuk berwudhu sebelum tidur, jangan sampai lupa berdoa.
Dan makhluk yang menindihnya selalu sama, sosok wanita berwajah rusak.
Matanya berkaca-kaca. Pak Hamka memandang istrinya tak tega.
Tiap berada di rumah, dicari, bahkan dipancing pun sosok itu tak berani menampakkan diri . Tapi kenapa malah mengganggu istrinya terus menerus? Pak Hamka mulai kesal.
***
Bu Nuri sedikit khawatir karena itu berarti dia harus tidur sendirian lagi malam ini. Tapi Pak Hamka berusaha menenangkan.
Bu Nuri memaksakan seulas senyum sembari mengangguk. Lalu mencium takzim punggung tangan suaminya.
Wanita berwajah rusak itu mencoba menahan tali ghaib yang menjerat leher.
Rencananya telah berhasil, untuk menangkap si wanita berwajah rusak yang terus mengganggu sang istri.
"Kamu pergi jangan pernah kembali kesini atau saya lenyapkan?"
"Jangan... Hihihihi... Gak mau. Saya suka istrimu. Baunya enak. Hihihihi."
"Yaa sudah berarti saya lenyapkan saja kamu. "
"Saya tidak bisa meninggalkan tempat ini. Tidak bisa! Jangan lenyapkan saya. Anak saya masih di sana. Hihihi."
"Anak?"
Sosok itu kembali menangis.
"Anak saya... Bukan! Bayi saya mati di sana."
"Kamu penghuni lama di rumah kosong itu bukan. Ceritakan apa yang ada di sana!"
Sosok berwajah rusak itu terdiam sejenak seolah ketakutan.
"Memang kenapa?"
"Saya tidak bisa. Tapi saya akan menceritakan tentang apa yang terjadi pada saya dan bayi saya."
Pak Hamka terdiam namun tetap bersikap waspada.
***
Orang tuaku meninggal dalam kecelakaan saat aku masih kecil. Di usia 14 tahun, paman dan bibiku sendiri menjualku kepada seorang germo-
5 tahun aku bergelut di dunia malam, ntah sudah berapa ratus kali melayani lelaki hidung belang. Aku tak peduli, tubuh dan hatiku mati rasa.
Beberapa kali juga aku harus menahan sakit dan bolak-balik ke dokter kandungan. Karena luka-luka pada alat v*tal.
Aku menghisap rokokku kuat-kuat sembari duduk menggoda dengan baju minim. Lelaki itu, bertubuh gagah, kumis tipis menghiasi wajah tampannya. Ku taksir usianya sekitar 30 tahun, mungkin. Ia seperti tertarik padaku lalu datang mendekat.
Ternyata usianya sudah 42 tahun. Sungguh, penampilannya tidak terlihat tua sama sekali. Yah usia berapapun tak masalah. Toh aku juga pernah melayani kakek-kakek.
Dalam hati pun bertanya-tanya, kenapa lelaki sempurna ini malah datang ke tempat seperti ini? Seolah bisa membaca pikiranku, ia pun menjelaskan.
Dia tersenyun kembali. Senyum yang sedikit membuat hatiku berdesir. Lalu germoku datang.
Ntah untuk pertama kali, aku tidak suka germoku berkata demikian. Terutama dihadapan laki-laki ini. Padahal biasanya dihina atau direndahkan seperti apapun aku tak peduli.
Tiba-tiba germoku menyerahkan sebuah kunci.
"Ini.. kamar 13. Pak Darmo sudah membayar semua biayanya."
"Ahhh ... itu."
Spontan aku menggenggam tangannya dan menggeleng cemas.
Dengan ragu-ragu lelaki gagah itu akhirnya menerima kunci tersebut. Aku bersorak dalam hati. Kami pun memasuki kamar. Sepertinya malam ini akan menjadi seru.
Tapi lagi-lagi aku salah. Mengobrol seperti ini lebih menyenangkan daripada yang kukira.
Istrinya yang egois yang tidak memperdulikan suami dan anak-anaknya.
"Besok aku boleh datang kesini lagi? Menyenangkan sekali mengobrol denganmu. Bebanku jadi sedikit berkurang."
"Tapi kenapa?"
"Siapapun yang menghabiskan waktu bersamaku. Harus tetap membayar pada bang Edi (germoku)."
Lelaki itu tersenyum menenangkan. Singkat cerita, lelaki gagah yang kutahu bernama Harun, hampir setiap hari datang. Kami menghabiskan waktu hanya sekedar mengobrol, jalan-jalan, dan makan bersama.
Hingga suatu hari ia bilang jatuh cinta padaku dan ingin menikahiku, namun dibawah tangan, karena tidak mungkin menceraikan istrinya.
***
Tapi sekarang bisa 3 hari atau paling lama seminggu sekali. Aku tak pernah membayangkan akan bisa hidup bahagia dan se-normal ini.
Dokter bilang, mungkin tak sampai 24 jam aku akan melahirkan. Harun sedikit terkejut.
Saat sampai dirumah, ia menyuruh pembantu kami mengemasi barang-barangku untuk persiapan kelahiran.
Tibalah kami disebuah rumah yang ada dipinggiran kota.
Rumahnya cukup besar dan memiliki pekarangan yang luas. Disekelilingnya ditumbuhi pohon mahoni yang cukup rindang.
"Ini dimana mas?" Tanyaku saat menuruni mobil.
Salah satunya memiliki penampilan seperti dukun. Memakai baju hitam longgar dengan ikat kepala berwarna senada. Aku semakin curiga.
"Sudah waktunya." Ucapnya pada Harun.
"Mas tolong temani. Jangan tinggalkan aku sendiri."
"Kamu tak sendirian. Ada mbok Ijah dan Bu Yuyun yang menemani." Ucapnya singkat.
Aku menjerit. Pikiranku berkecamuk jadi satu, antara rasa sakit dan bingung. Ntahlah, aku harus fokus melahirkan anak ini dengan selamat.
"Lihatlah sepuas-puasnya sebelum aku membersihkannya."
Ucap mbok Ijah misterius.
Aku tak bisa berbuat apa-apa karena tubuhku terasa sangat lemah. Samar-samar kulihat bayi perempuanku dibersihkan dan dimandikan dengan air bertabur bunga.
Harun mulai memasuki ruangan dan mengambil bayiku. Dia memandangku sekilas, lalu keluar bersama mbok Ijah dan Bu Yuyun. Meninggalkanku begitu saja.
Di sisa-sisa tenaga dan rasa sakit yang luar biasa diselangkangan, aku mencoba terbangun dari posisiku.
Dengan tertatih aku mencoba berjalan, langkahku memaksa untuk segera keluar dari kamar. Baru kusadari, lampu listrik hanya menerangi kamar tempatku bersalin.
Hingga akhirnya langkahku terhenti tepat dimana suara bayi menangis itu terdengar lantang.
***
Terdengar tangis bayi yang tersengal-sengal, bersamaan dengan itu samar kudengar orang bergumam. Tidak, bukan bergumam.
'Apa? Apa yang sebenernya terjadi? Apa itu suara bayiku?' tanyaku dalam hati.
TOKK TOKK..
"Mas?"
"........"
(Suara tangis bayi makin kencang)
"Mas? Mas Harun. Kamu di dalam bukan? Apa itu suara bayi kita?"
"........"
TOKK TOKK TOKKK
Karena tak ada respon, aku mencoba membuka engsel pintu namun gagal. Seolah ada yang menahan. Aku yakin bayiku ada di dalam sana.
"Mas? Buka mas? Apa yang kamu lakuin ke bayi kita? Aku mau liat bayiku mas ... huhuhuhu."
Air mataku merembes. Ada yang salah didalam sana. Perasaanku benar-benar tidak enak.
Tak merasa putus asa, kucari sesuatu itu untuk membuka paksa.
Aku berjalan menyeret sedikit kaki-kakiku, menelusuri ruang demi ruang meski dengan pandangan sedikit buram, karena tangis-
Sayup kudengar suara tangis bayiku yang makin kencang. Kuabaikan rasa sakit dikedua selangkangan.
Lagi kupaksa langkah kakiku meski tertatih. Tanpa menunggu, sontak kuayunkan kapak ke gagang pintu.
Kujatuhkan kapak, lalu kudorong tubuhku dengan mudah. Semudah itu pintu terbuka. Namun beberapa tangan langsung menahanku.
'Apa? Apa? yang akan dilakukannya dengan parang itu?'
Tenagaku kalah dengan mereka. Ya, mereka adalah preman yang tadi siang menyambutku.
Tepat dibelakangnya kulihat bayangan tinggi hitam besar. Besar sekali hingga tingginya mencapai batas atap rumah.
Parang itu terayun, membelah leher bayiku dengan mudah. Kepalanya menggelinding tepat dibawah kakiku. Tubuh kecilnya sempat menggelinjang sepersekian detik hingga tak bergerak lagi.
Aku berteriak, meraung, berharap semua yang kusaksikan ini hanya mimpi.
***
"Belum."
"Lalu matinya kenapa?"
"Depresi lalu gantung diri. Hihihihi."
"Lalu dimana Harun sekarang? Apa yang terjadi dengannya? Dia masih hidup?"
"Cari tahu saja sendiri."
Sosok Dini pun berubah makin samar, kemudian menghilang. Pak Hamka menoleh kesana-kemari mencari keberadaannya.
"Baiklah. Akan saya cari tahu sendiri. Paling tidak saya mendapat sedikit petunjuk. " Ucapnya pada diri sendiri.
***
Selain mendapat gangguan tak kasat mata, keluarga Pak Hamka sendiri merasa tak aman dengan lingkungan sekitar.
Pak Hamka pun memutuskan untuk membangun rumah dibelakang toko meubelnya di kecamatan 'K'.
Pak Hamka tak mampu mengatasinya sendiri. Dia butuh bantuan.
Pak Hamka melambai pada seorang lelaki berusia hampir setengah abad, yang tampak menenteng sebuah tas-
Pak Hamka mengajaknya masuk ke sebuah warung kopi tak jauh dari rumah.
"Ono opo maneh?"
(Kali ini ada apa lagi?) Tanya Pak Rusdi disela-sela menikmati hisapan rokoknya.
"Butuh bantuanmu lah. Gawe mindah sing manggon nang sebelah omahku. Ganggu nemen soale."
(Sulit sekali kah? Sampai kamu tidak bisa memindahkan sendiri?).
(Susah. Karena bekas tumbal. Ilmuku belum setinggi itu).
Pak Rusdi berdecak. Lalu menyesap kopi hitamnya sesaat.
(Halah. Pakai saja N******** mu saja lah. Dijamin kuat. Bahkan bisa menghabisi raja-rajanya juga).
(Nggak mau Rus. Terlalu sulit. Terlanjur bau darah. Resikonya terlalu besar).
(Hmm. Iya sih. Tapi Kalau kamu bisa mengendalikan. Bisa sakti sekali).
(Rus. Aku hnya menganggap itu pusaka peninggalan turun menurun dr nenek moyangku. Tak akan kugunakan. -
"Ck... iyo.. iyo. Tak ewangi kowe. Kayak karo sopo ae. Aku mung guyon. Hahaha. Yo wes, duduhi omah e sing endi. Tak delok e sik." Jawab Rusdi kemudian.
"Cuk! Kowe gak ngomong nek isine kayak ngene!" Umpat Rusdi kemudian.
(Sial! Kamu kok gak bilang kalau isinya kayak gini).
***
(Kenapa Rus?)
"Ambu anyir e nemen. Duhh omah iki wes ngentekne tumbal piro ae se? Bayi thok. Jahanam!"
(Bau anyirnya terlalu parah. Duh.. rumah ini sudah memakan tumbal sebanyak apa? Bayi semua. Jahanam).
(Lohh... kamu langsung kelihatan tumbal bayinya?)
"Iyo weruh. Sik tak terawang e. Setan opo sing mangan tumbal iki."
(Iya tahu. Sebentar aku terawang dulu. Setan jenis apa yang makan tumbal-tumbal ini).
"Golek panggon sing penak ngge omong-omongan Ham."
(Cari tempat yang enak buat ngobrol Ham).
(Ya sudah, ayo langsung masuk ke rumahku aja).
Ujung mata Rusdi tampak melirik sesuatu.
"Ojo. Balik nang warkop maeng ae gak opo-opo."
(Jangan. Balik lagi ke warkop tadi saja).
Setelah sampai di warung kopi, Hamka dan Rusdi memilih meja di sisi pojok.
Rusdi kembali menggumamkan sesuatu.
"Wes aman. Ben gak ono sing nguping."
(Sudah aman. Biar nggak ada yang nguping).
Rusdi mulai menceritakan apa yang dilihatnya tadi ketika 'meraga sukma'.
Tambah kangelan aku. Iki, kudu nemu 'wadah'demit e sik nang kunu. Dikubur nang njero omah kosong iku. Masalah e, aku gak weruh-
(Begini Ham. Aku belum berhasil menemukan raja iblisnya. Yang makan tumbal. Bersembunyi sepertinya. Belum lagi di hadang sama anak buahnya.-
Masalahnya, aku tidak tau dikubur disebelah mana. Malam ini aku akan melakukan ritual. Agar berhasil menemukan si 'wadah' ini).
(Kalau butuh apa-apa. Kasih tahu aku Rus. Aku usahakan untuk mendapatkannya).
"Yo.. yo... yo. Golekne aku iki ae."
(Ya ya ya. Carikan aku barang-barang ini saja).
Pak Rusdi memberitahukan apa-apa yang harus dicarikan Pak Hamka.
"Sesuk tak kabari."
(Besok kukabari).
(Terus kamu nanti mau nginep dirumahku atau bagaimana?).
Rusdi mengibaskan tangan
(Nggaklah. Aku kan mau melakuan ritualnya. Nanti aku numpang tidur di rumah mertuaku yang dari istri keduaku saja).
***
Ya hari itu adalah hari libur, karenanya seluruh keluarga Pak Hamka bisa berkumpul di rumah.
(Ham, masuk ke dalam rumah kosong itu kira-kira bisa atau tidak? Mau ngecek langsung).
(Bisa kayaknya. Gak dikunci kok. Kata warga komplek sudah tidak ada barang-barang apapun lagi di dalam. Dibiarkan begitu saja sama yang punya).
(Ya sudah. Ayo langsung kesana saja).
Pak Hamka dan Pak Rusdi berjalan menuju ke rumah kosong. Dibukanya pintu kayu yang sudah ringsek secara perlahan. Hawa pengap nan debu langsung menyeruak kearah mereka saat masuk kedalam.
Banyak mata-mata yang memandang tajam keduanya. Beberapa diantaranya seolah sudah bersiaga, bersiap-siap untuk menyerang.
Hingga langkah Rusdi terhenti disebuah ruangan yang cukup besar diantara ruangan lain. Di sisi-sisi dinding beberapa kain berwarna merah yang menempel, sebagian besar terlihat sobek tak beraturan.
(Ini ruangannya).
"Hmm... persis kayak sing di critani Dini." sahut Pak Hamka.
(Hmm.. persis seperti yang diceritakan Dini).
(Kamu tahu ya?).
"Yo iku loh Rus, demit wadon sing mari kecekel aku wingi."
(Ya itu loh Rus, hantu wanita yang pernah aku tangkap kemarin).
"Cukkk. Ngajak gelut kowe."
(Sial. Ngajak bertarung kamu).
(Mundurlah Ham. Aku sendiri saja bisa menghadapi ini).
Sungguh diluar dugaan. Niat mereka hanya untuk melihat kondisi, namun tiba-tiba mendapat serangan dadakan begini.
Selanjutnya, Pak Rusdi mulai merapal sesuatu, bibirnya bergerak cepat. Lalu melakukan gerakan silat di depan sesuatu tak kasat mata. Pertarungan sengit pun tak dapat dihindari.
Bulir-bulir keringat mulai mengalir membasahi dahi Pak Rusdi.
(Rus, kamu nggak apa-apa?)
Pak Rusdi melambaikan tangan memberi kode baik-baik saja. Ntah bagaimana dan apa. Setelahnya, ia merapalkan mantra dan melakukan gerakan tangan yang seolah menekan sesuatu.
"Cuk. Malah mblayu. Padahal kurang sithik maneh ndang iso kecekel."
(Sial. Malah kabur. Padahal kurang sedikit lagi bisa tertangkap).
"Piye Rus? Kui maeng tah raja demit e?"
(Bagaimana Rus? Itu ya rajanya?).
"Yawes Rus. Ayo ndang metu. Paling nggak wes mulai ngerti kene kudu piye selanjute."
(Ya sudah Rus. Ayo segera keluar daei sini. Paling tidak kita sudah tau langkah selanjutnya).
Pak Hamka mengamati kondisi sekitar.
Pak Hamka sendiri juga tidak mampu menghadapi makhluk sebanyak ini sendirian.
"Yo." Jawab Rusdi kemudian.
***
Dilihatnya Bu Nuri dan Lia tampak terduduk mengerumuni sesuatu di lantai. Bu Nuri menangis.
Dilihatnya Tika terbaring di atas lantai dengan telinga yang mengeluarkan darah. Pak Hamka segera menghampiri, mengecek kondisi Tika dan langsung mengangkat tubuh putrinya.
Bu Nuri mengangguk menurut.
"Ono opo iki Ham? Loh anakmu?" Tanya Pak Rusdi yang ikut mengahmpiri
(Ada apa ini Ham? Loh anakmu?)
(Ayo ikut aku ke rumah sakit dulu Rus).
Pak Hamka tetap berusaha bersikap tenang, meski raut khawatir masih tersirat menghinggapi wajahnya.
Tak beberapa lama, mereka mendapatkan diagnosis yang cukup mengejutkan dari sang dokter.
"Lalu bagaimana cara penyembuhannya?" Tanya Pak Hamka yang sudah tak bisa menyembunyikan rasa khawatir lagi.
"Iya. Lakukan apa saja yang terbaik untuk anak saya dok."
Tak lama kemudian, Pak Hamka berjalan mendekati Pak Rusdi di ruang tunggu tak jauh dari sana.
(Rus, ditunda dulu ya. Kondisi anakku masih tidak memungkinkan).
"Iyo, nggak opo-opo Ham. Kowe sing sabar yo. Engko kabari maneh nek ancen wes siap. Tak golekne dino apik e pisan gae proses mindah e."
"Suwun Rus."
(Terima Kasih Rus).
Jawab Pak Hamka kemudian.
***
Namun hasil dari operasi tersebut menimbulkan bekas yang lain di wajah.
Di jaman itu memang jarang sekali ditemui Dokter Bedah Plastik.
Ya, meskipun membutuhkan biaya yang tak sedikit. Segala upaya akan diusahakan demi putrinya.
**
Dua bulan setelahnya...
"Wes tah. Tenan wes siap saiki?" Tanya Rusdi dari seberang pesawat telpon
(Yakin sudah siap?)
(Iya Rus. Lebih cepat selesai lebih baik. Gangguannya lebih parah dari sebelumnya).
(Ya jelas aja Ham. Kan tempatnya kemaren habis kita usik. Salah satu efeknya jadi anakmu yang kena).
Terdengar helaan nafas berat dari seberang.
(Iya Rus. Tidak apa-apa. Mau bagaimana lagi. Salahku yang salah perhitungan. Kurang berhati-hati).
(Kebetulan aku sudah melakukan 'ritual' beberapa hari sebelumnya. -
"Yo Rus." Jawab Pak Hamka kemudian.
**
"Lungguho sik Rus."
(Duduk dulu Rus).
Rusdi pun menghempaskan diri diatas kursi tamu ruang tengah.
(Sebentar ya. Aku mau mengantarkan keluargaku ke rumah kakek-neneknya di dekat-dekat sini).
"Iyo. Santai."
Pak Rusdi tersenyum tipis sembari mengelus-elus cincin-
"Wani kowe ngetok nang ngarepku saiki?" Gumam Pak Rusdi.
(Berani kamu memperlihatkan diri didepanku sekarang).
Pak Rusdi melirik ke sisi luar. Hanya wanita itu yg berani menampakkan diri sedekat ini. Sedang sosok-sosok lain, menatapnya dari kejauhan saja.
Wanita itu menunduk, lalu mengangguk.
"Apa maumu?"
"Jangan usir kami. Biarkan kami tetap tinggal di sini. Hihihi."
"Itu urusan kami. Ini rumah kami!" Bantah Dini
"Ya sudah. Lihat saja nanti."
Samar-samar keberadaan Dini sudah tak terlihat lagi.
Tujuannya untuk memberi pagar batas agar makhluk yang ada di dalam tidak melarikan diri, dan makhluk yang berada diluar rumah kosong tidak bisa masuk begitu saja.
"Ngawiti bar isya' to?" Tanya Pak Hamka setelah menabur garam. Lalu menghampiri Pak Rusdi.
(Dimulai setelah isya' kan?)
"Yo."
**
"Tak delok e sik Rus."
(Saya cek dulu Rus)
Tampak sesuatu yang dibungkus kain mori tergeletak diatas lantai. Pak Hamka pun mengambilnya. Di dalamnya ada keris.
Sebuah keris hitam berukuran yang sedang bergetar hebat.
"Aku nggowo iki nggak opo-opo. Ket mau meta metu terus jaluk melu. Nek nggak tak jak bakal gawe geger sing lain." Sambil mengeluarkan pusaka tersebut dari bungkus kain mori.
(Loh? Itu yang mana?)
"Sing tekan aceh."
(Yang dari aceh)
Gesekannya tidak terlalu besar, hanya saja bisa bergejolak sewaktu-waktu. Bisa-bisa mereka sendiri yang kerepotan jika itu terjadi.
"Gak bakal tak gawe Rus. Gak bakal tak copot tekan sarung e."
"Yawes gak opo-opo."
**
Pak Hamka meletakkan sebuah petromaks di tengah-tengah ruangan sebagai penerangan. Suasana dalam rumah begitu hening dan dingin.
(Ini ikatkan pada pintu. Dari ujung yang satu ke ujung yang lain. Terserah mau diikatkan bagaimana. Yang penting tak lepas).
Pak Hamka berdiri dibelakangnya, melihat punggung Pak Rusdi. Mengamati sekitar sambil berjaga-jaga.
Ia pun mulai melangkahkan kaki menuju ke dalam hutan. Hutan pun begitu hening, tak juga terdengar suara binatang. Pak Rusdi terus berjalan, sesuai arahan bisikan yang didengarnya.
Hingga akhirnya langkahnya terhenti di depan sebuah gua. Gua itu begitu pekat. Tak gentar Pak Rusdi kembali masuk ke dalamnya.
'Jadi ini bayi-bayi tumbal itu.'
Berdiri sesosok makhluk yang begitu mengerikan. Makhluk itu berkepala kerbau lengkap dengan tanduk hitam yang kokoh. Bertubuh manusia.
"Awakmu sing wes babat anak buahku kebeh?"
(Kamu yang sudah membabat habis anak buahku?)
Sosok itu adalah khadamnya. Yang sudah menjaga keluarganya dari jaman nenek moyang.
**
Kuntilanak merah setinggi atap rumah kembali menampakkan diri. Berusaha masuk namun terhalang tali putih yang terikat. Pak Hamka membaca doa-doa.
Ntah sampai berapa lama ia mampu menahan serangan sang kuntilanak merah.
Tiba-tiba keris yang diikat dipinggang, dibalik punggung, bergetar hebat. Lalu jatuh dari tempatnya berada. Sesuatu perlahan keluar dari dalam sana.
Ular raksasa itu menganga, menunjukkan taring-taring besar yang tajam. Secepat kilat ular itu melesat melewati Pak Hamka dan menerkam kuntilanak merah-
Pantas saja Pak Rusdi tadi cukup khawatir, saat ia membawa serta pusaka dari Aceh itu.
Setelahnya ular itu kembali mendekati Pak Hamka.
Tak lama kemudian, si ular raksasa berubah menjadi kabut dan masuk kembali menjadi sebuah pusaka.
**
Saat Pak Rusdi membuka kembali mata, ia langsung berteriak pada Pak Hamka.
(Ham, cepat ambilkan sarung keris itu).
Sambil merapalkan sebuah mantra Pak Rusdi menarik sesuatu tak kasat mata dan memasukkannya ke dalam sarung keris berukir.
"Endi wadah e?" tanya Pak Hamka kemudian. Ia tiba-tiba teringat dengan 'wadah' yang dimaksud Pak Rusdi.
(Mana 'wadah'nya?)
(Ya ini 'wadah'nya. Wujud keris ini sendirilah sang wadah).
Tiba-tiba kornea mata Pak Rusdi menangkap sebuah pusaka yang tergeletak di atas lantai.
(Loh? Barang itu kok tiba-tiba disitu?)
Pak Hamka masih mencoba mengatur nafas.
(Iya Rus. Itu tadi penghuninya tiba-tiba keluar sendiri. Lalu makan kuntilanak merah yang pernah kamu kalahkan dulu).
Pak Rusdi menggelengkan kepala mendengarnya.
(Cuk! Untung saja tak membuat keributan saat aku sedang mencari wadah tadi).
Pak Hamka tersenyum tipis.
(Ayo, kita pindahkan para penghuni rumah kosong ini ke tempat lain. Kamu maunya di pindah kemana?)
(Pindah ke lokasi 'C' saja).
Pak Hamka memang sudah mengevaluasi lokasi yang cocok, untuk pemindahan dari jauh-jauh hari.
(Ohhh. Nggak apa-apa ya kalau dipindah kesitu?)
"Iyo. Nggak opo-opo."
(Tapi ntar dulu Ham. Aku mau ngambil nafas dulu. Badanku rasanya masih lemes).
***
"Iki Rus. Di ombe kopine sik." Saji Pak Hamka pada Pak Rusdi yang sedang duduk santai di kursi tengah.
(Ini Rus. Diminum dulu kopinya).
Pak Rusdi mulai menceritakan apa yang dilihat saat menghadapi Kebo Cemeng tadi.
Tentang asal-usulnya. Yang mana ternyata 'Kebo Cemeng' adalah mantan abdi dalem Nyi Roro Kidul, Sang Penguasa Pantai Selatan.
Manusia-manusia yang lupa dan gelap harta dengan jalan pintas, akhirnya membuat perjanjian dengan sang makhluk berkepala kerbau itu.
Akibat dari banyaknya manusia yang mempersembahkan tumbal, 'Kebo Cemeng' pun semakin menjadi kuat.
Darah keturunan mataram yg dimiliki Pak Rusdi, masih memiliki hubungan kuat dengan Nyi Roro Kidul. Satu alasan lain, yang mana 'Kebo Cemeng' akhirnya bisa kalah dari Pak Rusdi.
Cara kerja pesugihan dari 'Kebo Cemeng' itu mengikat hingga tujuh turunan.
Diduga Harun adalah keturunan yang ketujuh. Yang juga memutus perjanjian dengan sang kebo cemeng.
Manusia-manusia yang sudah membuat perjanjian dengan sang iblis, meskipun telah tiada, akan berakhir menjadi budak.
"Keris Kebo Cemeng iki tak gowone ya Ham. Tak amanke ben gak mangan korban maneh."
"Monggo Rus."
(Bawa saja Rus)
Jawab Pak Hamka lega.
**
Soundtrack: NINA BOBOK ver Kerontjong
Source by: Youtube
#bacahorror #memetwit #ceritaht
"Semoga bapak suka dengan rumahnya." Ucap Pak Hamka ramah.
Matanya menyipit saat mendapati seorang wanita berbaju putih, seperti menimang-nimang seorang bayi.
Dibelakangnya tampak sosok-sosok tak kasat mata lain juga berseliweran.
-SELESAI-
.TAMAT.
Tebakan kalian 'salah' semua ya. Banana adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. 'Rumah Bekas Tumbal' itu terjadi saat Banana belum lahir.
Demikian. Sekian. Sampai juga di thread selanjutnya.