Konsulen Forensik, yang juga sepupu saya, melihat saya lalu bilang, "Gia, kamu ikut."
Saya ikut berlarian mengejar beliau.
Di dlm mobil menuju TKP, beliau berpesan,
“Gia,you Shut Up, Watch and learn.” sambil menyerahkan sebuah kamera SLR.
"Selamat datang dokter," sambut seorang polisi yang cukup senior. “Silakan masuk, Dok, almarhumah adalah anak kuliah usia 19 tahun meninggal di kamar mandi."
“Dari lengannya, mengucur darah bekas sayatan yang kami duga penyebab kematiannya." Lanjut beliau.
Saat kami masuk ke kamar mandi, saya tercekat melihat pemandangan yang saya lihat depan mata, ini jelaslah bukan pemandangan sehari-hari.
Saya menelan ludah.
Tgn kanan dan kirinya trgeletak lunglai di sisi tbhnya, baju daster wrna putih yg ia gunakan basah kuyup smp ke ujung2.
“Silakan, Dokter,” kata polisi itu.
Kami berdua memakai sarung tangan. Beliau duduk dengan satu lutut, mengangkat kedua tangannya, tampak berdoa.
“Gi, siapkan kamera. Siap untuk Foto, sesuai petunjuk saya!” perintah beliau tanpa menoleh ke arah saya sama sekali.
Beliau mengangkat dagu jenazah dan menyingkap rambutnya.
Saya setengah mati menyembunyikan lutut saya yang gemetaran.
“Gi, foto.” perintah beliau.
Kini, setengah mati saya mengarahkan kamera dengan tangan gemetaran.
Cekrek! saya mengambil gambar wajah jenazah.
“Gi, foto,” ujarnya lagi.
Saya berusaha zoom, lalu foto tepat di tangannya. Beliau melanjutkan ke pergelangan tangan kiri dan memperhatikan jenis lukanya.
“Gi, foto.”
Beliau membalikkan tubuh jenazah, mendekatkan wajahnya ke tengkuk jenazah, sebelum akhirnya melihat ke arah pancuran dan terdiam sesaat.
“Gi, foto.” perintah beliau untuk kesekian kali.
Beliau mengusap bahu sang gadis, merapatkan kedua matanya sendiri seperti sgt geram, lalu berdiri berjalan ke arah polisi, “Pak, kami sudah selesai."
"Siap, dokter." jawab Pak Polisi.
Di dalam mobil dalam perjalanan menuju RS, sepupu saya itu bertanya,
“Gimana pendapatmu tentang jenazah tadi, Gi?”
Beliau geleng2. “Kamu Salah. Dia tidak bunuh diri. Dia dibunuh.”
Saya syok.