, 90 tweets, 8 min read
My Authors
Read all threads
"Balik kantor lagi, La? Aku kirain tadi kamu abis meeting di luar langsung pulang."
"Iya."

Perempuan itu menoleh sebelum menjawab, lalu kembali mengalihkan pandangannya keluar jendela. Di depannya ada segelas kopi Starbucks, masih penuh.

Tulisan di gelasnya dengan spidol: Nayla.
"Tumben."

"Ha?"

"Tumben 'waras.' Biasanya kan kamu suka iseng pake nama palsu ganti-ganti tiap ke Starbucks."

"Hehe, iya tadi lagi males mikir."
Lelaki itu menatap Nayla.

"Kamu ... nggak apa-apa?"

Nayla menggeleng. "Kenapa memangnya?"
"Kamu agak diem aja hari ini. Biasanya kan nyerocos terus." Lelaki itu tersenyum.

Nayla membalas senyumannya, tipis. "Lagi capek aja."

"Udah makan?"

Nayla menggeleng. "Belum laper."
"Ini satu anomali lagi nih. Biasanya jam segini udah sibuk nyari ganjel."

Nayla nggak menjawab, hanya tersenyum dan menggeleng.
"Yakin kamu nggak apa-apa?"
Nayla seakan ingin menggeleng sekali lagi, tapi dia lantas menoleh, menatap lelaki yang duduk di sebelahnya di pantry kantor ini.
Lelaki itu membalas tatapan Nayla dengan penuh tanda tanya. Dia ingin bertanya sekali lagi, tapi dia tahu jawaban beberapa pertanyaan tidak dapat dipaksa.

Dan tidak selalu jujur.
"Kamu pernah nggak merasa nggak apa-apa sekaligus kenapa-kenapa pada saat bersamaan?"
Pertanyaannya dibalas dengan pertanyaan.
"Selalu."

"Maksudnya?"

"Ya selalu. Hidup itu kan nggak pernah murni hitam dan putih, seperti rasa itu tidak pernah ekstrim di satu titik spektrum. Kita nggak pernah 100% bahagia, nggak pernah 100% sedih, 100% marah, 100% takut, 100% berani ..."
"... Ada marah yang bercampur kecewa, sedih yang bercampur gelisah, takut yang bercampur penasaran, senang yang bercampur kuatir. Kita selalu kenapa-kenapa dan nggak apa-apa di saat bersamaan."
"Seperti sekarang perasaan aku ke kamu ya."

"Emangnya gimana perasaannya?"

"Kesel sekaligus gemes."

Lelaki itu tertawa. "Kesel sama gemes kenapa?"

"Karena kamu sering benernya! Bisa nggak sih sekali-sekali kamu salah?"
Dia tertawa. Nayla ikut tertawa.
"Tapi aku pernah salah kok, La."

"Kapan?"
"Barusan."

"Salah apa?"
"Dan kemarin-kemarin."

"Aku masih nggak ngerti. Aku nggak merasa kamu ada salah apa-apa."
"Aku nggak membiarkanmu sendiri di saat yang kamu butuhkan justru belajar sendiri."

Ia mengucapkan pelan namun tegas dalam satu tarikan napas.
Nayla terkesiap. Dia menunduk.

"Sendiri nggak perlu dipelajari kan?"
"Kenapa diam?"
"Laper."

Nayla tertawa. Wajah lelaki itu terlalu pasrah untuk tidak mengundang geli.

"Muka kamu itu ya, kayak udah nggak makan 2 tahun."
"Muka natural ini," lelaki itu ikut tertawa.

"Padang yuk. Bungkus aja tapi, bagi dua."

"Udah tau aku lagi laper, malah ngajak sharing."

"Ya abis aku nggak bakalan abis kalo sebungkus sendirian. Share aja yah yah."

"Iya, Nayla."
"Bentar aku minta tolong beliin sama Yanto ya," Nayla langsung girang, meraih ponselnya. "To, saya minta tolong beliin nasi Padang boleh? Iya, tempat biasa aja. Rendang ya, To."
"Eh rendangnya 2 dong."

"Oh iya, To, To, 2 ya rendangnya. Nggak, nasi bungkusnya 1 aja, rendangnya yang dua. Oke. Thanks, To."

"Tega ya, ngajak sharing tapi lauk utamanya 1."

Nayla tertawa. "Tuh kan udah aku bilang jadi 2."
Lelaki itu senyum-senyum.

"Apa sih, ngeliatin aku senyum-senyum gitu?"

Dia menggelengkan kepala, menunduk, masih tersenyum.

"Apaan sih?"

"Nggak apa-apa."

Nayla menatapnya.
"Seneng aja."

"Karena? Rendang?"

Lelaki itu tergelak. "Iya, rendang."

Nayla ikut tertawa.

"Rendang dan ngeliat kamu bisa ketawa."
Nayla sadar raut wajahnya berubah tapi sebisa mungkin dia samarkan dengan terus tertawa. "Kenapa, takut ya ngeliat aku diem aja kayak tadi?"

"Kayak kesambet."

"Aku capek aja tadi," jawab Nayla cepat. "Lumayan banget ya SCBD-Cikarang-SCBD. Sampe pengin pijet!"
"Ini yang pabrik atau warehouse?"

"Pabrik."

"Bukannya minggu lalu udah deal?"

"Udah, tadi aku ke sana buat tandatangan PKS."

"Wuih, target tahun ini lewat dong ya."
Nayla tersenyum. "Alhamdulillah."

"Sampai akhir tahun bisa santai bobok dong."

"Eh jangan ngomong gitu. Kadang suka jadi ada kejadian aneh-aneh, yg nasabah di-takeover bank lain lah. Bisa pusing aku."

"Masih percaya begituan ya?"
"Begituan apa?"

"Ya itu. Misalnya nih, kalau cabang lagi sepi, jgn bilang 'tumben sepi amat' karena takut tiba-tiba jadi rame diserbu nasabah."

"Karena emang sering kejadian gitu tau. Baru kemaren aku bilang: asik nih nggak ada meeting. Tiba2 dipanggil 3 direksi. Kualat."
Lelaki itu tertawa lagi. "Itu mah kebetulan."

"Kagak. Proven udah itu. Pokoknya dlm hidup ini nggak boleh overly happy, ntar kualat tiba2 ketiban 'sial' sesuatu aja."
Nayla menyeruput kopinya yang sekarang sudah makin encer karena esnya sudah mencair. Lama baru dia sadar bahwa lelaki itu diam, hanya memandanginya. "Kenapa?"
"Aku nggak ngerti aja dengan pandangan bahwa kita nggak boleh overly happy, kayak kamu bilang, karena takut ntar ada kejadian yg bikin semuanya berbalik. Ya aneh aja, masa rasa harus ditahan-tahan karena takut kenapa-kenapa?"
"Kalau mau bahagia ya bahagia aja. Kalau lagi sedih ya sedih aja. Hidup harusnya sesimpel itu kan? Kalau kita takut merayakan bahagia karena takut 'kualat', hidup kita jadi disetir ketakutan dong."
"Kita tuh sering terlalu sering mikirin yang belum kejadian sampai lupa menikmati sekarang."
"Mbak, ini nasinya," Yanto muncul, membawa sebungkus nasi di atas piring.

"Makasih ya, To. Eh, saya utang berapa nih?"

"Uang yang tadi siang masih ada kok, Mbak."
"Oh ya udah."

"Mau saya bikinin minum, Mbak? Biasanya Mbak Nayla kalo makan Padang mintanya pake es teh manis."

"Mau banget dong, To. Tau aja."

"Mau satu atau ... ehm, dua, Mbak?"
"Dua dong, To, pake nanya," Nayla tersenyum.

"Oh, siap, Mbak."
"Ini yang di Padang biasa kan?"

"Iya."

"Harusnya dendeng batokok nya paling juara tuh."

"Asli! Tapi jam segini biasanya udah abis."
"Oke, kalo kamu disuruh milih, mana menu Padang yg paling juara: dendeng, rendang, ayam pop, atau tunjang?"

"Ini harus banget milih ya, nggak bisa semuanya gitu?"

"Bisa sih, tapi abis itu kamu bukannya kenyang malah masuk UGD."

"Doanya woy!"

"Ya kan, masa semua diembat."
Nayla tertawa. "Tapi ya nggak gitu juga!"

"Ya abisnya, semua mau dihajar."
"Mbak, ini tehnya," Yanto masuk membawa dua gelas es teh manis di atas nampan. "Yang punya Mbak Nayla esnya lebih banyak kayak biasa."

"Makasih, To."
"Buat Mas Bimo, ini. Tadi siang bukannya pas saya tawarin es teh nolak ya, Mas, katanya lagi sakit tenggorokan. Makanya tadi saya ragu kok Mbak Nayla minta dua."

"Kamu lagi sakit tenggorokan?" Nayla menoleh ke Bimo.

"Tadi agak nggak enak aja, ini udh gapapa kok. Thanks, To."
Setengah jam kemudian, sepiring nasi Padang yang sudah tandas, dan dua gelas es teh manis yang tak bersisa, mereka masih bercakap-cakap di pantry kantor. Satu Jumat di jam 7 malam.
"Yah hujan, La."

"Kamu nggak bawa mobil?"

"Hari ini bawa motor krn tadi agak telat, males macet."
"Ya udah, tinggalin aja motornya, naik taksi atau Grab aja."

"Bentar deh, kerjaanku juga belum kelar."

"Lagi ngerjain apa? Bukannya orojrct kemaren udh kelar?"

"Biasa, end-of-year reporting."
"Oh."

"Kamu nggak pulang?"

Nayla melirik jam tangannya. "Nunggu three-in-one, bentar lagi deh."
"Kamu pernah mikir nggak ya, kalo hampir setiap hal di dunia ini punya makna yang berlawanan bagi orang-orang?"

Bimo mengucapkan ini sambil memainkan kotak rokoknya.
Nayla menoleh, mencoba meraba makna ucapan Bimo. "Maksudnya?"
"Kayak hujan. Buat banyak orang yg beberapa hari ini udh empet banget sama panasnya Jakarta, pasti bikin seneng. Berkah. Tapi buat aku yg mau pulang kantor ya 'musibah.'"
"Durian. Bagi banyak orang wiihhh kenikmatan banget itu. Tapi bagi yg udah hipertensi atau kolesterol, malah mungkin jadi pengantar ajal."
"Es krim, buat yg lagi gerah bisa jadi pelepas dahaga banget. Buat yang lagi pilek ya bikin makin meler."
"Bahkan macet yang harusnya dibenci banyak orang ya, bagi beberapa orang justru disyukuri karena yang duduk di sebelahnya adalah orang yg udah lama dia taksir dan ini kesempatan utk berlama-lama berdua karena keadaan."
"Kematian juga gitu, La."
Nayla menatap Bimo.
"Bagi yang ditinggalkan, sakitnya memang luar biasa. Tapi kalau dilihat dari sisi yang meninggal, mungkin itu satu-satunya jalan membebaskannya dari sakitnya yang luar biasa."
Bimo mengucapkan ini pelan-pelan.

Nayla terdiam.
"Aku pulang duluan ya, Bim."

"La, aku nggak maksud utk ngomong ..."

"Ngomong apa?"

"Ya itu tadi. Maaf ya."

Nayla tertawa kecil. "Apaan sih pake minta maaf? Nggak ada apa-apa juga."
Nayla tersenyum, beranjak dari pantry. Langkahnya cepat menuju mejanya, mengambil tas, tumbler, dan langsung ke lift.
Melangkah secepat mungkin sebelum ada yang bisa melihat air matanya yang mengalir.
Lift itu meluncur tanpa henti dari lantai 20 ke P1, tempat Nayla memarkir mobil.
Pintu lift terbuka di P1, Nayla terkesiap.

"Loh, udah mau pulang? Aku baru mau ke atas."
Nayla cepat menyeka matanya.

"Kamu nggak apa-apa?"

Nayla menggeleng, senyum. "Nggak. Alergi aja kayaknya sama debu di lantai kita gara-gara ada renov tuh."

"Makanya aku males lama-lama di kantor, mending meeting-meeting di luar aja deh."
"Kamu mau pulang sekarang? Ini belum jam 7."

"Eng ... iya, rencananya mau nunggu di mobil aja, dengerin musik sambil nyantai dulu."

"Aku temenin, boleh?"
Nayla menangguk.

5 menit kemudian mereka sudah duduk di mobil, Nayla mengeluarkan iPod dari tas dan menyambungkan ke stereo mobilnya.

"Lagi suka denger siapa, La?"
"Kemarin aku baru bikin playlist buat didenger sambil jalan. Kamu udah denger ini nggak?"

Lagu pertama mengalun.

open.spotify.com/track/0D7EgPJw…
"Where Does The Time Go!"

"Baru intro udah tau?"

"Tau dong, La, ini track favoritku dari album The Sailor ini. Enak banget ini .. ."
"I can't do what you ask of me
I'm too scared to be afraid
Afraid of what I have become
A statue alone in the dark hiding out from the sun ...."

Lelaki itu ikut menyanyikan lirik dengan semangat.

Nayla tertawa kecil.

"Udah cocok nggak?"

"Boleh lah gayanya."
Nayla tertawa-tawa sementara lelaki di sebelahnya ikut sing-along dengan Brian, kadang lidahnya keserimpet di beberapa lirik yang sulit dilafalkan cepat-cepat kalau belum terbiasa.
"Boleh lah ya?" lelaki itu senyum sumringah.

"Kasih deh, kasih."

"Aku hafal satu album ini, mau lanjut track berikutnya? Punya Drive Safe nggak kamu, mainin."
"Beneran mau nyanyi lagi ini?"

"Mainin."

Nayla tertawa geli. Dicarinya lagu yang diminta lelaki itu, dipencetnya tombol play.

open.spotify.com/track/6eDfe957…
"Ini lagunya kamu banget sih."

"Inget kan waktu kita road trip ke Malang dan kita keliling-keliling sambil muter lagu nonstop? Drive music banget ini, La. Kayak 1983, Born to Run, Where The Streets Have No Name ..."
"Okay, most favorite recent song?"

"Ya itu tadi, La, Where Does The Time Go-nya Brian."

"Enak sih."

"Ya kan?" lelaki itu tersenyum sumringah lagi. "Kamu?"
Nayla tidak menjawab. Dia lama memandangi mata lelaki di sebelahnya.
Lalu dia sandarkan kepalanya ke jok, memilih satu lagu, memencet tombol play.
Begitu bait pertama lagu itu mengalun, senyum sumringah di bibir lelaki itu perlahan memudar. Dia yang sekarang memandangi Nayla yang menatap kosong lurus ke depan.
'Setiap malam 'ku s'lalu bertanya
Di manakah dia berada
Perasaan ini mustahil ada
Aku memiliki dirinya ...'
Tidak ada yang ikut menyanyikan lagu kali ini, cuma duduk diam di jok masing-masing, mendengarkan.
"Gas?"

"Ya?"

"Boleh kita duduk bareng di sini, sampai lagu ini habis?"
Bagas mengangguk.
"La! Nayla!"

Nayla tersentak.
Bimo yang berdiri di samping mobilnya, mengetuk kaca.
Nayla menurunkan kaca mobilnya.

"HP kamu ketinggalan," Bimo menyodorkan ponsel ber-casing biru muda.

"Oh ... makasih ya, Bim. Nemu di mana? Aku malah blm sadar HP-ku di mana."

"Di meja kamu. Tadi lewat kubikel kamu dan ngeliat."
Nayla tertawa kecil. "Parah banget aku memang kadang-kadang pelupanya. Untung aku belum cabut ya, nyampe rumah baru panik sendiri nyariin."
"Aku kirain juga kamu mungkin udah keburu pergi, turunnya kan udah hampir setengah jam, tapi aku pikir ya kucoba aja. Bener, masih di sini."

Nayla mengangguk, menyimpan ponselnya di tas.

"Dari tadi jadi sendirian aja nongkrong di mobil, La?"
"Iya, dengerin lagu aja, wind down gitu. Duluan ya, Bim. Thanks ya."

Nayla cepat mengganti persneling, perlahan meninggalkan Bimo yang masih terlihat bingung di parkiran.
Meninggalkan Bagas yang setiap malam setelah mereka berpisah selalu membuatnya bertanya-tanya, akankah dia bisa melihatnya lagi besok di gedung kantor ini.
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Ika Natassa

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!