Perempuan itu menoleh sebelum menjawab, lalu kembali mengalihkan pandangannya keluar jendela. Di depannya ada segelas kopi Starbucks, masih penuh.
Tulisan di gelasnya dengan spidol: Nayla.
"Ha?"
"Tumben 'waras.' Biasanya kan kamu suka iseng pake nama palsu ganti-ganti tiap ke Starbucks."
"Hehe, iya tadi lagi males mikir."
"Kamu ... nggak apa-apa?"
Nayla menggeleng. "Kenapa memangnya?"
Nayla membalas senyumannya, tipis. "Lagi capek aja."
"Udah makan?"
Nayla menggeleng. "Belum laper."
Nayla nggak menjawab, hanya tersenyum dan menggeleng.
Dan tidak selalu jujur.
"Maksudnya?"
"Ya selalu. Hidup itu kan nggak pernah murni hitam dan putih, seperti rasa itu tidak pernah ekstrim di satu titik spektrum. Kita nggak pernah 100% bahagia, nggak pernah 100% sedih, 100% marah, 100% takut, 100% berani ..."
"Emangnya gimana perasaannya?"
"Kesel sekaligus gemes."
Lelaki itu tertawa. "Kesel sama gemes kenapa?"
"Karena kamu sering benernya! Bisa nggak sih sekali-sekali kamu salah?"
"Kapan?"
"Salah apa?"
"Aku masih nggak ngerti. Aku nggak merasa kamu ada salah apa-apa."
Ia mengucapkan pelan namun tegas dalam satu tarikan napas.
"Sendiri nggak perlu dipelajari kan?"
Nayla tertawa. Wajah lelaki itu terlalu pasrah untuk tidak mengundang geli.
"Muka kamu itu ya, kayak udah nggak makan 2 tahun."
"Padang yuk. Bungkus aja tapi, bagi dua."
"Udah tau aku lagi laper, malah ngajak sharing."
"Ya abis aku nggak bakalan abis kalo sebungkus sendirian. Share aja yah yah."
"Iya, Nayla."
"Oh iya, To, To, 2 ya rendangnya. Nggak, nasi bungkusnya 1 aja, rendangnya yang dua. Oke. Thanks, To."
"Tega ya, ngajak sharing tapi lauk utamanya 1."
Nayla tertawa. "Tuh kan udah aku bilang jadi 2."
"Apa sih, ngeliatin aku senyum-senyum gitu?"
Dia menggelengkan kepala, menunduk, masih tersenyum.
"Apaan sih?"
"Nggak apa-apa."
Nayla menatapnya.
"Karena? Rendang?"
Lelaki itu tergelak. "Iya, rendang."
Nayla ikut tertawa.
"Rendang dan ngeliat kamu bisa ketawa."
"Kayak kesambet."
"Aku capek aja tadi," jawab Nayla cepat. "Lumayan banget ya SCBD-Cikarang-SCBD. Sampe pengin pijet!"
"Pabrik."
"Bukannya minggu lalu udah deal?"
"Udah, tadi aku ke sana buat tandatangan PKS."
"Wuih, target tahun ini lewat dong ya."
"Sampai akhir tahun bisa santai bobok dong."
"Eh jangan ngomong gitu. Kadang suka jadi ada kejadian aneh-aneh, yg nasabah di-takeover bank lain lah. Bisa pusing aku."
"Masih percaya begituan ya?"
"Ya itu. Misalnya nih, kalau cabang lagi sepi, jgn bilang 'tumben sepi amat' karena takut tiba-tiba jadi rame diserbu nasabah."
"Karena emang sering kejadian gitu tau. Baru kemaren aku bilang: asik nih nggak ada meeting. Tiba2 dipanggil 3 direksi. Kualat."
"Kagak. Proven udah itu. Pokoknya dlm hidup ini nggak boleh overly happy, ntar kualat tiba2 ketiban 'sial' sesuatu aja."
"Makasih ya, To. Eh, saya utang berapa nih?"
"Uang yang tadi siang masih ada kok, Mbak."
"Mau saya bikinin minum, Mbak? Biasanya Mbak Nayla kalo makan Padang mintanya pake es teh manis."
"Mau banget dong, To. Tau aja."
"Mau satu atau ... ehm, dua, Mbak?"
"Oh, siap, Mbak."
"Iya."
"Harusnya dendeng batokok nya paling juara tuh."
"Asli! Tapi jam segini biasanya udah abis."
"Ini harus banget milih ya, nggak bisa semuanya gitu?"
"Bisa sih, tapi abis itu kamu bukannya kenyang malah masuk UGD."
"Doanya woy!"
"Ya kan, masa semua diembat."
"Ya abisnya, semua mau dihajar."
"Makasih, To."
"Kamu lagi sakit tenggorokan?" Nayla menoleh ke Bimo.
"Tadi agak nggak enak aja, ini udh gapapa kok. Thanks, To."
"Kamu nggak bawa mobil?"
"Hari ini bawa motor krn tadi agak telat, males macet."
"Bentar deh, kerjaanku juga belum kelar."
"Lagi ngerjain apa? Bukannya orojrct kemaren udh kelar?"
"Biasa, end-of-year reporting."
"Kamu nggak pulang?"
Nayla melirik jam tangannya. "Nunggu three-in-one, bentar lagi deh."
Bimo mengucapkan ini sambil memainkan kotak rokoknya.
Nayla terdiam.
"La, aku nggak maksud utk ngomong ..."
"Ngomong apa?"
"Ya itu tadi. Maaf ya."
Nayla tertawa kecil. "Apaan sih pake minta maaf? Nggak ada apa-apa juga."
"Loh, udah mau pulang? Aku baru mau ke atas."
"Kamu nggak apa-apa?"
Nayla menggeleng, senyum. "Nggak. Alergi aja kayaknya sama debu di lantai kita gara-gara ada renov tuh."
"Makanya aku males lama-lama di kantor, mending meeting-meeting di luar aja deh."
"Eng ... iya, rencananya mau nunggu di mobil aja, dengerin musik sambil nyantai dulu."
"Aku temenin, boleh?"
5 menit kemudian mereka sudah duduk di mobil, Nayla mengeluarkan iPod dari tas dan menyambungkan ke stereo mobilnya.
"Lagi suka denger siapa, La?"
Lagu pertama mengalun.
open.spotify.com/track/0D7EgPJw…
"Baru intro udah tau?"
"Tau dong, La, ini track favoritku dari album The Sailor ini. Enak banget ini .. ."
I'm too scared to be afraid
Afraid of what I have become
A statue alone in the dark hiding out from the sun ...."
Lelaki itu ikut menyanyikan lirik dengan semangat.
Nayla tertawa kecil.
"Udah cocok nggak?"
"Boleh lah gayanya."
"Kasih deh, kasih."
"Aku hafal satu album ini, mau lanjut track berikutnya? Punya Drive Safe nggak kamu, mainin."
"Mainin."
Nayla tertawa geli. Dicarinya lagu yang diminta lelaki itu, dipencetnya tombol play.
open.spotify.com/track/6eDfe957…
"Inget kan waktu kita road trip ke Malang dan kita keliling-keliling sambil muter lagu nonstop? Drive music banget ini, La. Kayak 1983, Born to Run, Where The Streets Have No Name ..."
"Ya itu tadi, La, Where Does The Time Go-nya Brian."
"Enak sih."
"Ya kan?" lelaki itu tersenyum sumringah lagi. "Kamu?"
Di manakah dia berada
Perasaan ini mustahil ada
Aku memiliki dirinya ...'
"Ya?"
"Boleh kita duduk bareng di sini, sampai lagu ini habis?"
Nayla tersentak.
"HP kamu ketinggalan," Bimo menyodorkan ponsel ber-casing biru muda.
"Oh ... makasih ya, Bim. Nemu di mana? Aku malah blm sadar HP-ku di mana."
"Di meja kamu. Tadi lewat kubikel kamu dan ngeliat."
Nayla mengangguk, menyimpan ponselnya di tas.
"Dari tadi jadi sendirian aja nongkrong di mobil, La?"
Nayla cepat mengganti persneling, perlahan meninggalkan Bimo yang masih terlihat bingung di parkiran.