, 45 tweets, 4 min read
My Authors
Read all threads
"Btw, tadi presentasi kamu keren loh."

"Ngeledek ..."

"Lah, muji aku ini, masa dibilang ngeledek."

"Abis kamu jarang muji."

"Berarti sekalinya muji itu jujur."

Si perempuan itu tertawa.
"Kok malah ketawa sih?"

Perempuan itu masih tergelak.

"Kenapa sih? Tadi muji dibilang ngeledek, sekarang malah ngetawain."

"Muka kamu itu, Bagaaas."

"Muka aku kenapa, Nayla?"
"Sok serius. Minta dicubit banget."

"Memang serius mujinya ... memangnya kamu pikir nggak?"

"Bukan ... cuma, ya aku tadi ngerasa nggak bagus-bagus amat. Sempat sebel karena ada yg salah sebut."

"Tapi deal kan? Artinya bagus, La."
"Iya, tapi kesel aja."

"Kesel sama siapa?"

"Sama diri aku sendiri, harusnya bisa lebih bagus dari itu. Masa yg paling pentingnya yg aku udah hafalin daei kemarin, udah sampe aku rehearse lagi, aku lupa bilang."
"Nggak pake ngomong bagian paling pentingnya aja udh deal, apalagi pake bagian yg itu, beuh aku rasa itu nasabah kamu bakal langsung 'kuserahkan semua assetku padamu, Bu Nayla, bank lain minggir semuanya.'"

"Lebay nggak sembuh-sembuh ih!" Nayla terbahak lagi.
"Kok lebay sih? Fakta ini. Keliatan banget itu Pak Adrian tadi terpukau banget gitu pas kamu presentasi."

"Terpukau banget ya bahasanya."

"Emang."

Nayla menoleh ke Bagas. "Makasih ya."
"Buat pujiannya?"

"Bukan," Nayla tersenyum. "Makasih udah nemenin aku lembur ngerjain presentasinya."

"Nggak usah ge'er, aku ngincer uang lembur doang sih."

"Sial."
Bagas yang kali ini tertawa.

"Ngeselin kamu tuh kadang-kadang."

"Baguslah."

"Kok?"

"Ya bagus masih kadang-kadang. Kalo sering-sering ntar kamu muak liat aku."

"Baguslah."

"Bagus apaan?"
"Bagus sadar."

Bagas tertawa. Nayla yang tadi sengaja pasang raut kesal akhirnya juga tidak bisa menahan tawanya.
Langit di luar kian pekat, kontras dengan titik-titik lampu gedung sekitar yang masih menyala dan kendaraan yang lalu lalang 20 lantai di bawah.

Nayla dan Bagas sama-sama menatap keluar jendela.

"Gas."

"Ya?"

"Andai lampu-lampu itu bintang ya."
"Mustahil kali berharap ada di bintang di Jakarta hari gini."

"Aku kan bilangnya andai lampu-lampu itu bintang."

Bagas menoleh ke kiri, pandangan Nayla masih bertualang keluar jendela.

"Kamu ingat nggak waktu kita di Sumba?"
"Inget banget lah. Kerjaanku jagain kamu yg muntah terus di kapal."

"Eh, nggak usah lebay ya, aku cuma muntah dua kali!"

"Tiga."

"Kan yang ketiga dikit doang, nggak dihitung."

"Perempuan nggak pernah salah memang."

"Kesel!"
"Aku memang gitu kan orangnya."

"Gitu apaan?"

"Ngeselin."

"Untung sadar."

"... Tapi ngangenin."

"Bodo."

Tawa Bagas pecah.
"Iya tadi kenapa tentang Sumba, Nayla?"

"Aku kangen langitnya. Inget kan, waktu kita duduk di teras resort malem-malem ngeliatin bintang sampai jam 3 pagi?"

"Ingat."
"Aku juga ingat yang setelahnya."

Pipi Nayla bersemu merah. Bagas menatapnya dalam-dalam.
"Aku ingat bilang ke kamu: kalau kamu mau, aku bersedia jadi teman kamu mencari bintang dan menatap bintang. Seumur hidup."
"Aku ingat kamu senyum. Kita di depan pintu kamar kamu. Kamu cium pipi aku, lalu kamu masuk kamar."
"Dan kamu nggak ngomong apa-apa tentang apa yang aku bilang."
"Mbak Nayla, belum pulang?"

Obrolan mereka terhenti. Nayla menoleh. Di pintu pantry ada Yanto, pramubakti kantornya.

"Belum, To. Masih macet banget kayaknya di luar."
"Saya mau bikin kopi, Mbak. Mbak Nayla mau juga?"

"Boleh deh, To, sekalian 2 ya. Buat Mas Bagas juga."

"Ha?"

"Dua. Buat saya dan Mas Bagas."

"Oh iya, Mbak. Monggo, saya ke dapur belakang dulu."
"Yanto ini kalo bikin kopi paling enak sedunia deh. Mau kopi-kopian apa yang kekinian sekarang itu, lewat semuanya. Apa aku bikin usaha kopi aja ya? Rekrut Yanto jadi baristanya."
"Iya, tiga hari kemudian bangkrut karena kamu mulu yang minum."

"Joke om-om banget kamu itu."

"Kan bener," Bagas tersenyum geli.

"Bodo ah."
"Kamu tau nggak 1 hal yg aku paling suka sekaligus nggak suka dari kamu?"

Nayla menatap Bagas dengan tanda tanya.
"Kamu itu paling bisa mengalihkan perhatian. Kalau ada yg lagi sedih, kamu bisa ngalihin biar dia nggak murung-murung amat lagi. Tapi kalau ada bahasan penting kayak tadi, kamu juga pinter ngalihinnya biar nggak dibahas lagi."
Nayla menghela napas. Bagas menunggu.

"Permisi, Mbak, ini kopinya," Yanto kembali muncul dengan nampan, secangkor kopi diletakkannya di depan Nayla.

"Makasih ya, To."
"Engg .. ini satu lagi .."

"Ya itu, depan Mas Bagas."

"Yanto itu timing-nya pas banget ya," ujar Bagas setelah Yanto berlalu. "Pas aku mau ngomong serius, muncul aja."

Nayla tergelak.
"Makanya kita ngomongin yang receh-receh ajaaa."

"Warna lipstik kamu bagus."

"Apaan sih?"

"Ya itu, receh kan?"

"Ya Tuhan, ya nggak ngomongin warna lipstik jugaaa."
Nayla menyeruput kopinya.

"Aku nggak ngalihin pembicaraan kok. Nggak di Sumba 2 tahun yang lalu, nggak juga malam ini."
"Aku cuma merasa, kalau jawabannya udah jelas, apa masih harus diucapkan?"
Bagas tersenyum. Tertawa kecil.

"Kenapa ketawa?"

"Kita tuh memang aneh banget ya?"

"Aneh gimana?"

"Biasanya cewek yg suka sebel kalau perasaan itu nggak diucapkan, ini malah kebalikannya."
Hujan di luar mulai mereda. Beberapa staf kantor terdengar mulai beranjak dari kubikelnya, saling menyapa: "Duluan ya."
"Kamu nggak pulang?" Bagas menatap Nayla.

"Kamu?"

"Aku ada kerjaan dikit."

"Kok nggak bilang? Kan jadi makin lama pulangnya gara-gara nemenin aku ngobrol dulu."
"Apaan sih, La, gitu aja dipikirin. Ini kan merayakan presentasi kamu yang sukses tadi sore."
"Pulang gih, udah jam 9."

"Kamu nggak mau pulang juga? Ngelembur di rumah aja gitu?"

"Nggak ah, di kantor aja. Nanggung."
"Yakin? Biar turunnya barengan nih."

"La, kalau mau minta temenin ke parkiran karena takut bilang aja kali, nggak usah pake muter-muter."

Nayla tertawa. "Tau aja."
"Yuk."

"Ayuk."
Senyum Nayla mengembang. Dari pantry ke kubilelnya untuk mengambil tas, dari kubikel ke lift, dari lift ke lantai parkiran, ke mobilnya.

Tidak ada kata-kata lagi di antara keduanya, cuma senyum dan tatapan.
Di lantai 20, Yanto pelan-pelan memasuki pantry.
Membereskan 2 cangkir kopi dan 2 cup mie instan. Satu cangkir masih penuh, satu cup belum tersentuh.
Mobil Nayla meluncur lancar meninggalkan parkiran, tersendat begitu masuk ke jalan raya. Hujan sudah berhenti, tapi masih meninggalkan basah.
Senyumnya memudar, matanya memerah, pipinya basah.
Bagas menatap mobil Nayla sampai sedan putih itu menghilang dari pandangan.

Dia kembali ke atas, ke lantai 20, duduk di mejanya, kubikel tepat di sebelah meja Nayla.
Kubikel itu bersih. Tidak ada berkas. Tidak ada bingkai foto. Tidak ada komputer.
Yanto mematikan semua lampu, mengunci pintu.

Bagas tetap di tempatnya, dalam gelap. Menunggu sampai Nayla tidak perlu lagi ditemani. Menunggu sampai Nayla bisa melepas.

Menanti sampai Nayla bisa ikhlas.
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Ika Natassa

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!