“Harus gelap sama sekali! Dalam beberapa saat matamu akan menyesuaikan. Terlentanglah di lantai. Tepukkan telapak tanganmu tiga kali ke bawah. Ke lantai. Tunggu sejenak, lalu berjongkoklah dan bungkukkan badanmu. Lihat di antara sesela kakimu.”
@bacahorror #bacahorror
(OK sampai di sini aku lagi-lagi kudu bilang, bahwa semua tokoh dan tempat disamarkan. Yang bercerita kepadaku adalah gadis ini dan
“Snack mungkin? Ada French fries, mendoan, singkong keju, pisang bakar?”
Gadis itu menyangka senyatanya pria itu lebih ingin berlama-lama di mejanya
“Siap!” Masih dalam senyuman
Gadis itu tertawa, “Iya… but… come on! What is it about, actually?”
Pria itu menyungging senyum malu-malu, lalu tiba-tiba mencomot kursi sebelah sang gadis, mendudukinya, Meletakkan nampannya di atas meja, “Saya tadi taruhan sama teman saya barista lain itu…”
Sang gadis melihat pria yang dimaksud, pria seusia
“… saya harus bisa dapat nomor Mbaknya.!”
Pria itu menampakkan wajah bersungguh-sungguh, “Usaha, Mbak. Usaha….”
“Im not that kinda girl, you know! (Aku bukan cewek macam itu). Mungkin masnya pikir apa yang mas lakukan itu lucu-lucuan, tapi enggak banget.”
“Mas, kalau mau kenalan sama cewek tuh hari ini ada Instagram, Tinder. Cantik-cantik tuh. Banyak. Mau model apa pun juga ada. But you cant do this to any girl, you know. Put some respect and you will get it back. (Tapi kamu
Pria itu menundukkan kepalanya, “Maaf, Mbak! Gak bermaksud gak menghargai juga. Becandanya kami kelewatan.”
“No! No! No! Take it easy! Aku juga yang terlalu serius. Kenalan aja ya…” Ella tersenyum
Ella memanggilnya, “Mas, bentar!” Dia membuka tasnya dan mengambil kertas yang
“Itu nomor toko papa saya. BM di Jalan GM. Toko bangunan itu, tahu kan? Kalau masnya butuh semen, kayu, atau sekalian paku buat nyantet orang bisa hubungi nomor itu.”
Suara Ella jelas cukup keras, karena teman barista di coffee bar tertawa ngakak. Ella
“Minta nomor anaknya dikasih bapaknya.” Dia melanjutkan, “Ya selama janur kuning
“Makasih, calon istri...” Sambung sang pria, lalu melihat nomor yang ada di kertas itu, “Salam kenal, mertua.”
Dia menggeser tabung V60, gelas kaca dan gelas air putih ke depannya. Minuman itu memang bukan untuknya. Dia tidak biasa minum kopi. Jantungnya akan berdebar-debar. Ketika itu sebuah motor
Seorang pria muda membawa tas ransel dengan rambut acak-acakan masuk. Duduk di kursi di depan V60 itu. Lalu meminum air putihnya. Pria yang baru datang itu mencari-cari sesuatu di dalam tasnya. Ella tersenyum nakal, dia mengangkat
Ella bisa mendengar pria itu dan kawannya mengumpat-umpat
“Kenapa?” Tanya Tio, si pria yang barusan datang. Ella menggeleng, “Gak apa-apa.”
Cincin yang dikenakan di jari manis itu jelas bukan cincin dari Tio. Mereka
Tio tersenyum, “Awal bulan. Lagian 5th coffee itu masih harga Indonesia kok. Masih harga mahasiswa. Biar kamu pernah ke tempat yang sering kuceritain. Lagian ini kan malah lebih dekat ke rumah kamu. Keliling-keliling, Non!
“Idih ngapain main ke tempat-tempat ngopi gini? Lagian di M ada apa? Adanya cuma waduk sama air terjun. Kamu janji ngajak naik Gunung W juga sampai sekarang gak
Kota M bukan kota besar. Kota itu merupakan kota persinggahan dari perjalanan ke Timur dan ke Barat. Namun, bukan kota yang sangat ramai.
“Mau makan di sini sekalian?”
Tio mengambil buku menu yang disediakan, “Ada nih spaghetti sama pasta-pastaan.”
Ella menggeleng, “Gak deh, perutku perut Indonesia. Cari pecel lele aja nanti sambil ke tempat yang kamu bilang kemarin.”
“Jadi mau ke sana sekarang.”
“Bukan petualangan kali. Aku bantu Pak No di sana. Dia baru beli rumah itu. Masih diberes-bereskan.
Ella melihatnya. Menghembuskan napas, “Udah lah kalau buat acara begitu-begitu biar aku aja. Kamu simpen duit kamu. Kan sayang juga, dapetnya berapa keluar berapa. Dihemat.”
Pemilik kafe itu seorang kawannya. Tio selalu menceritakan kawan pemilik kafe ini dengan cara
Ella dan Tio sendiri tidak berasal dari kampus yang sama, Tio berkuliah di M, sedangkan Ella kuliah di Y. Mereka hanya bisa bertemu kalau Jumat sore-Minggu. Perjumpaan mereka terjadi ketika ada
“Dia baru beli mesin roasting baru.” Ujar Tio.
Ella selalu kesal kalau Tio sudah mulai
“Ngapain buru-buru? Tempat gini enaknya buat santai.” Sang pria menatap sang perempuan, dia lalu angkat suara kembali, “Gak usah terlalu menjaga perasaanku juga. Aku ngerti kok.”
Ella mendesahkan napasnya, “Aku gak suka kalau kamu mulai
Tio tertawa, “Yailah! Santai aja kali… Biasa tiap orang kan punya ciutnya sendiri-sendiri. Aku sadar kok aku sering ciut kalau urusan gini-gini ini. Maaf…” Dia menatap kekasihnya itu, “Udah dibawa
Ella memegang tangan Tio. Dan segera suara pria berdehem dari meja barista. Dua orang barista di sana memandang mereka dengan muka ngambek. Ella melirik sebentar lalu tertawa. Dia semakin mengeratkan
Si barista yang tadi datang kepadanya langsung bernyanyi dengan keras, “Hancur hatiku mengenang dikau, menjadi keeping-keping setelah kau pergi, tinggalkan kasih sayang yang pernah singgah antara kita, masihkah ada sayang itu.” Lalu temannya
Tio melihat dengan bingung dan tersenyum, “Kenapa sih?” Ella tertawa melepaskan tangan kekasihnya itu, “Gak apa-apa. Songong tuh mas-masnya. Tadi dia ngajak kenalan” Dia masih terus tertawa. Tio ikut
---
“Santai aja! Gini mau naik W. Lewat jembatan gini aja udah keder.”
Motor itu melaju dengan kecepatan stabil di jembatan. Tio tiba-tiba mengerem motornya mendadak. Dan mematikan mesin. Persis di tengah jembatan. Ella memegang pinggang
Tio diam sejenak. Lalu menoleh ke kanan, berbicara cukup keras dari balik helmnya, “Pegangan yang kencang ya, katanya sayang.” Lalu tertawa cekikikan.
“Sial! Kupikir ada apa-apa. Ih! Gak lucu
Tio tertawa lalu menghidupkan motornya kembali. Mereka menyeberangi jembatan itu. Aman. Lalu menelusur kembali jalan sisi sungai yang lain.
Mereka keluar dari jalan tepi sawah itu melewati sebuah persawahan tebu. Dan
Tio berhenti di rumah pertama. Rumah yang berjarak cukup jauh dari rumah-rumah lain dari desa itu. Dia menghentikan motornya. Di sekeliling rumah itu pohon-pohon besar. Tanaman-tanaman rambat yang memenuhi kebun.
“Tio, aku gak lagi pingin wisata horror loh ini!” Ella
Tio menampakkan wajah jail. Tapi melihat Ella benar-benar ketakutan dia kemudian memeluk bahu gadis itu. “Iya. Kita ke sini bukan buat main horror-horroran. Sini bentar.” Tio mengajak kekasihnya itu
Ella melepaskan pegangan tangannya, lalu melihat ke kiri dan ke kanan. Sebuah spanduk di sebuah warung bertuliskan “Warung Lejar” berjarak 100 meter dari tempatnya berdiri. Beberapa orang berkerumum di depan
Tio memutar bola matanya, “Iya! Siapa yang mau ngajak kamu uji nyali. Aku itu ngajak kamu ke rumah yang aku perbaikin
“What the heck! You’re really really … And then ngapain tadi lewat situ? Kan bisa lewat jalan biasanya?” Tio cekikikan. Ella memukul dada pria itu, “Kamu ngerjain aku, ya! Sialan! Sialan!” Tio tertawa semakin keras. Ella melihat jalan yang baru dilewati motor
Tio masih tertawa, “Itu jalan pintas, lebih dekat sebenarnya kalo dari kota. Tapi kalau malam emang sepi. Tapi ini loh masih jam berapa? Masih jam delapan. Ngapain ketakutan gitu?”
“Sengaja nih orang ya!” Ella masih
“Sini!” Tio menggandengn tangan Ella dan mengajaknya duduk di depan rumah itu. “Lihat!” Tio menunjukk ke atas. Langit bertaburan bintang. Seolah semuanya ditumpahkan di angkasa. Ella tahu beberapa gugus bintang dan Tio tahu selain musik klasik, astrofisika adalah
“What! Look at that star!” Ella tercengang, “Gak mungkin jam segini Sirius udah nampak.” Ella menatap Tio, “Kamu tahu yang biasa disebut orang rasi anjing?” Tio menggeleng, “Itu dia! Coba perhatiin ya… ada sembilan bintang yang paling terang di situ.
Tio berusaha mengikuti arah telunjuk Ella, “Wow!”
“Great, right? Jadi sembilan titik itu bagian dari sebuah gugus yang biasa disebut orang Rasi Anjing. Tapi para astronom menamainya Canis Majoris. Dan Sirius yang
Tio tersenyum, “Kamu tahu kenapa aku suka tempat ini?”
Ella memandangnya.
“Aku ngerasa tempat ini kayak anomali. Rumah ini. Bayangin beberapa ratus meter dari rumah ini sudah perkampungan warga.
Tio masih terus
Ella melepaskan pelukannya dan mengusap-usapkan kedua telapak tangannya. Tio menyadari hal itu, “Dingin?”
Ella mengangguk. Dia lalu berdiri depan Tio,
Ella berdiri dengan teguh di depan kekasihnya, “Kamu tahu, Yo, kenapa aku milih kamu dan bukan milih Bram?” Tio diam mendengarkan. Tapi Ella tak segera menyambung perkataannya.
Dan Ella duduk di sebelahnya kembali perlahan-lahan, “Rahasia!”
“Sialan!” Mereka berdua tertawa sekencang-kencangnya.
Tio kembali berbicara, “By the way? Yakin gak mau wisata horror?”
“Rumah ini katanya angker lo!”
“Stop! Stop! Aku gak mau ngarah ke situ! Cukup!” Ella mengangkat kedua tangannya.
“Ayolah!” Tio menarik tangan kekasihnya itu dan membuka pintu rumah yang ternyata tidak dikunci.
Ella berusaha melepas tangannya, tapi tenaganya jelas kalah kuat dibandingkan Tio. Tio menggenggamnya dengan sangat erat membimbingnya ke tengah ruangan. “Tio lepasin! Sakit tahu!”
Tio melepaskan pegangannya.
“La! Maaf… Let’s take an adventure, you know, to the unknown!” Dia kemudian mengajak gadis itu duduk di lantai, “Ini teoriku. Kita itu seringkali takut dengan hal-hal yang gak kita ketahui. Jaman dulu orang gak tahu matahari itu apa, makanya mereka menganggap
Wajah cemberut Ella hilang karena penjelasan Tio masuk akal.
“Tahu cara mengalahkan ketakutan? Face your fear!
Ella merasa penjelasan Tio ada benarnya. Tetapi juga ada sisi dirinya yang tidak terima dengan penjelasan itu, “Kamu gak serius, kan?”
Namun Tio masih melanjutkan,
Ella terkejut. Bukan oleh apa yang dikatakan Tio. Tetapi di belakangnya. “Apa itu tadi ada di situ?” Tio ikut menoleh ke belakang. Di bawah alat pasrahan.
Tio menoleh kepada Ella, “Kita keluar dari sini!”
Ella melepasakan
“Sorry!” Tio mengusap lengan Ella. Dia sempat melirik ke rumah itu sebelum berbalik kembali kepada kekasihnya tersebut,
Ella sudah tidak lagi bisa tenang. Dia berjalan ke jalan kampung, meninggalkan Tio di belakang dengan motornya. Tio menghidupkan motornya, mengenakan helm, dan mengendarainya dengan cepat ke sebelah sang gadis.
Dengan terpaksa Ella mengambil helm itu dan naik di boncengan. Tio memboncengnya ke rumahnya. Namun, ketika sampai di rumahnya, ternyata rumah itu terkunci. Ibunya masih
“Kita ke Bu Ani ya, La. Ambil kunci dulu.”
Ella masih menampakkan wajah yang dongkol karena dia memang masih belum bisa memaafkan sikap Ella kepadanya. Tio jelas-jelas tahu bahwa Ella bukan seorang pemberani.
“Aku nggak suka cara kamu memperlakukan aku tadi!”
Tio menatapnya. Mata pria itu yang tadinya tampak khawatir dan tegang nampak diusahakannya untuk menenang. Dia menatap gadis itu lekat-lekat.
“Kamu lihat sudut ruangan tadi. Seperti bekas ada orang yang duduk di situ?”
Tio mengangguk dan kali itu dia menundukkan kepalanya.
“Apa yang kamu inginkan, Yo? Kamu pingin aku melihat yang tidak-tidak di tempat itu tadi?” Dia membuang napasnya,
Tio masih menunduk. Entahlah apakah Ella mengharapkan permintaan maaf lagi dari Tio. Tapi rasanya untuk sekarang dia masih belum bisa merelakan pemaafannya.
“Aku sudah hapal! Setelah kamu melakukan sesuatu kamu akan dengan gampang mengucapkan minta maaf. Yang seperti itu memang gampang! Aku tahunya kamu itu orang yang mikir
“Ella …” Tio mengangkat suaranya dan berhenti cukup lama sebelum dia akhirnya bisa memandang wajah kekasihnya itu lagi,
Ella tiba-tiba terbungkam. Rasa marahnya berganti dengan ketakutan. Sekaligus semuanya menjadi lebih masuk akal, termasuk mengapa Tio
“Kuntilanak?”
Tio mengangguk. Dia tetap memandang wajah Ella, “Ketika ditemukan orang, janin yang ada di dalam perutnya jatuh ke lantai. Pecah seperti daging yang diselimuti gumpalan darah beku. Mungkin karena reaksi tubuhnya
“Stop!” Ella menahan mulutnya dengan tangan. Tapi gejolak di dalam perutnya tidak tertahankan. Rasa mual dan ketakutan menyerbu naik dari lambung hingga ke rongga
Tio mendekati gadis itu. Memegang pundaknya, mengelusnya perlahan. Ella masih memuntahkan beberapa isi perutnya beberapa kali. Tio memijat sedikit bahu kekasihnya itu, “Maaf!”
Ella berusahan menahan dirinya.
“Mungkin permintaan maafku tidak akan berarti. Tapi itu kenyataannya. Aku sadar aku mengajakmu terlalu jauh.”
Ketika Ella mulai bisa mengontrol perutnya. Dia mengambil selembar tisu basah di dalam tasnya. Ella mengelap bekas muntahan
Pria di depannya menatap gadis itu dengan tatapan yang mendalam. Pria itu tersenyum sedikit, “Dimaafkan, ya?”
“Jangan pernah gitu lagi, ya…”
“Iya, aku janji.” Tio mengulurkan kedua lengannya kepada Ella. Gadis itu mendekat dan
Mereka berdua kemudian berjalan ke rumah Bu Ani. Ella memang tetap minta diantarkan pulang. Tapi Tio mengatakan bahwa ada sesuatu di rumah yang hendak dia tunjukkan
“Ada yang pernah melihat kuntilanak atau bayinya di rumah itu?”
Mereka berdua masih berjalan beriringin, sang pria menjawab.
“Tapi kamu tadi benaran lihat kan
“Iya aku lihat, makanya aku pingin segera keluar dari sana. Maaf ya!”
Perasaan Ella masih ruwet, tapi dia mencoba tersenyum, “Gak apa-apa.” Tapi dia kemudian melanjutkan, “Kamu tadi ngajak aku ngelakuin nungging lihat di antara kaki
Tio mengangguk, “Aku kelewatan!”
“Iya kamu kelewatan!”
Bu Ani menemui di depan. Tio diminta untuk ke Dapur belakang karena ibunya ada di dapur. Ella ditinggalkan di depan bersama orang-orang yang berkumpul di warung itu, mengocehkan
“Eh! Bening!”
Seorang gadis kecil keluar dari rumah itu. Gadis yang hanya setinggi pahanya.
Ella bertanya kepada
“Gak tahu, Mbak Ella. Dari tadi sore pulang dari rumah pojok itu. Biasanya ke situ lihat Mas Tio kerja. Tapi kok tadi pulang-pulang nangis diantar Mas Tio, ketakutan. Tak tanya kenapa gak jawab malah nangis terus.
Mungkin benar. Anak-anak seringkali sensitif dengan hal-hal yang seperti itu.
“Tante, rumah itu benar ya katanya angker?”
Bu Ani kelihatan tidak mau menjawab.
“Sering ganggu, Pak?”
Bening tiba-tiba membisikkan lirih dalam pelukan Ella, “Jahat…” Ella menatap mata gadis itu. Ibunya juga mendekat. Menunduk di depan anak itu. Ibunya memegang anaknya. Ella melepaskan tangannya memberikan Bening kepada ibunya.
Bening mengangkat tangannya ke sebuah arah. Rumah kosong yang tertutup oleh rimbunan kebun dan
“Besok jangan main-main ke sana. Kalau mau ketemu Mas Tio di rumahnya saja. Rumah itu nggak aman Bening!” Ibunya berteriak sedikit panik.
Namun tiba-tiba, bulu kuduk Ella merinding.
Tepat ketika itu Tio keluar dengan membawa kunci rumah di tangan kananya.
Ibunya berusaha menenangkannya menggendongnya, tapi gadis kecil itu masih menjerit-jerit sambil meneriakkan takut. Ibunya berusaha menekankan, “Itu Mas Tio.” Tapi gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan terus
Bu Ani bertanya kepada Tio, “Tio tadi dari rumah sana ya sama Ella?”
Ella bergidik karena akumulasi dari segala hal yang dialaminya malam itu. Beberapa orang di warung itu bahkan berbicara satu dengan yang lain bahwa Tio ketempelan. Semua orang panik.
“Mas Tio pergi saja dulu.
“Kamu ta kantar pulang dulu, ya. Coba aku lihat ada apa ini sebenarnya.” Ujar Tio kepada Ella. Ella mengangguk.
“Kamu gak apa-apa kan?” Tanya Ella serius. Tio menggeleng-geleng,
“Kata orang kan biasanya kalau gitu itu terasa berat atau gimana gitu. Kamu kerasa gak?”
Tio menggeleng. Mereka sampai di depan rumah Tio. Tio membuka pintu rumahnya. Masuk sebentar dan keluar lagi
Ketika suara motor Tio menjauh. Berpasang-pasang mata melihat pasangan itu pergi dari desa itu. Ella terus berdoa sepanjang jalan supaya
Sampai di rumah Ella. Ella turun dan menggenggam tangan Tio, “Tio, aku sayang kamu. Hati-hati, ya!
Ella menatap kekasihnya itu pergi. Doanya tidak berhenti demi kebaikan kekasihnya itu. Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi. Semoga Bening hanya sedang ngambek tidak
---
Namun Ella dibuat terkejut karena di balik rerimbunan bonsai beringin di halamannya. Kekasihnya itu sedang berdiri di sudut halaman rumahnya. Tio tidak menghadapkan
Ella menunggu Tio sendirian. Ibunya beberapa jam yang lalu pulang untuk mengambil beberapa keperluan yang akan mereka gunakan untuk berjaga di selasar ruangan. Selasar itu penuh dengan orang-orang yang bergelung tidur atau sekadar menyetuh handphone mereka, membaca berita
Ada alat-alat medis yang tidak biasa yang dipasangkan ke tubuh Tio yang sudah hampir tidak berbentuk. Wajah tegas yang tajam dan kerap menghadirkan pertanyaan itu kini enam puluh persen
Beberapa rerusuknya patah. Tiga rusuk kanan dan dua rusuk kiri. Tulang lengan kanannya remuk sehingga tangannya bengkok menjadi dua, bengkokan biasa di sendi sebelah lengan dan bengkokan karena tulang lengan yang remuk.
Tabrakan yang sangat keras, konon menurut beberapa saksi. Mereka melihat motor itu seperti dikendari oleh orang mabuk, oleng ke kanan dan ke kiri sebelum menabrak tonggak penunjuk jarak,
Air mata Ella masih menetes mengingat kenangan-kenangan yang mereka
Sampai saat ini
Ibu Tio mondar-mandir diantarkan warga desa. Perempuan yang juga single parent dan harapannya hanya bergantung kepada Tio. Dan kini harapan itu terbaring dengan tanda tanya besar masihkan bisa berharap. Dia bergantian dengan Ella.
Ella kadang-kadang ingat dengan perkataan-perkataan mendalam dari Tio. Perkataan tentang mendewasa. Dia ingat di rumah itu malam itu Tio mengatakan tentang ketika anak-anak orang biasanya akan menikmati hal-hal yang menyenangkan, hal-hal yang
Dari jendela Ella melihat Ibu Tio, Pak No, dan Bu Ani yang menggendong Bening datang. Ibu Tio melambaikan tangannya kepada Ella memberikan isyarat supaya dia
Ella berjalan keluar. Tersenyum kepada ibu Tio. Melepaskan pakaian khusus hijaunya dan memberikan
Ella menjabat tangan Bu Ani dan
“Saya lihat Tio malam itu tante, di pojok halaman saya. Persis sebelum saya terima kabar…” Ella tidak bisa
“Kita gak tahu, La, apa yang akan terjadi. Yang penting sekarang pasrah. Kan seperti itu tidak selalu berarti buruk, kan?”
“Maaf ya, La. Tante tahu beratnya perasaan kamu. Kita tunggu saja ya, jangan mikir yang macam-macam.”
Tanpa disangkakan oleh semuanya, Bening mengeluarkan tiga buah permen dari sakunya.
“Buat Mas Tio?” Ella mengusap air matanya dan mencoba tersenyum, “Makasih ya, Bening. Nanti Mbak Ella kasihkan, ya.”
“Maaf ya, jadi gampang nangisan sejak malam itu. Saya bawa minggu dulu, biar gak menggangu.” Bu Ani pergi.
Ella tersenyum kepada Pak No.
Pak No menggeleng, “Sejak hari itu, saya belum ke rumah itu lagi. Takut.”
Lalu hening lagi. Ella tidak tahu harus berbicara apa karena memang tak terlalu dekat dengan Pak No. Ella melirik pria itu, dia masih menatap Ella dengan lekat.
“Kenapa, Pak No?”
Pak No lagi-lagi menggeleng. Dia masih diam dalam mata yang nampak bimbang. Namun akhirnya perkataan keluar dari mulutnya, “Ella lihat ada yang beda gak dengan Tio hari itu?”
“Ya biasa Pak No. Cuma memang kami
“Bukan itu…” Pak No jelas menekankan kata-kata yang baru saja dikatakannya. Ella kembali memperhatikan.
Ella tidak mengerti maksud pertanyaan ini.
“Saya nggak paham maksud pertanyaannya Pak No.”
Pak No berusaha untuk mengungkapkan apa yang dipikirkannya tetapi
Ella tidak paham dengan Pak No sama sekali. Apa hubungan bau dengan yang dialami Tio saat ini. Apakah yang dimaksud Pak No adalah bahwa kedatangan makhluk halus itu memiliki bau-bau khusus?
“Ada apa to Pak No. Saya jadi
Pak No menatap gadis itu kembali dengan tatapannya yang tadi, “Maaf yang Mbak Ella jangan tersinggung, ya. Apakah Mbak Ella pernah berhubungan badan dengan Mas Tio?”
Ella terlonjak. Lebih dari pertanyaan apa pun pertanyaan itu jelas bukan
Ella pergi. Lebih baik bersama Bening yang tidak bisa tersenyum daripada bersama pria hidung belang.
Ella berbaring sendirian dia lantai kamarnya. Dia memutar beberapa voice note dari Tio sekadar untuk mendengar suaranya. Namun semuanya tak pernah sama. Foto-foto pun tak menggantikan kehadirannya. Yang dia butuhkan ada Tio, bukan kepingan-kepingan masa lalu Tio.
Maka dia sudah meniatkan. Sudah sepuluh menit dia di tengah kegelapan utuh. Seluruh lampu kamarnya dimatikan. Bahkan lampu dari keyboard laptop dan mousenya. Tak ada cahaya apa pun.
Dia ingat langkah-langkah yang harus dilakukan berikutnya. Memukulkan telapak
Hening. Masih kegelapan yang sama. Pendar-pendar tipis cahaya yang terikat pada benda-benda.
Permainan bodoh. Mana ada yang seperti itu. Hanya permainan anak-anak yang kurang kerjaan.
Dia bangkit dan terduduk lesu.
Setelah lama dalam kegelapan, kini matanya harus menyesuaikan dengan terang. Silau yang terlalu berlebihan. Dia kembali melihat berkeliling taka da apa pun yang berubah. Dia berharap sesuatu yang berbeda.
Dia kelelahan dengan harapannya. Sudah waktunya tidur. Dia benar-benar tak bisa tidur beberapa hari ini.
Matanya sudah mulai liyer, ketika dia tiba-tiba melihat sosok di belakang pintu. Persis di sudut kamarnya. Sosok yang dilihatnya seperti sebuah bayangan
Ella segera mencoba duduk lebih baik. Berharap bisa menghadap
Dia menangis. Ada rasa tersedak di dalam hatinya.
Ella kembali menjaga Tio sore itu. Belum ada perkembangan. Ruang di RS S juga belum ada yang tersedia. Dikatakan paling tidak dia menunggu empat hingga tujuh hari tapi begitu ada akan segera dikabari.
Ella keluar dari ruangan itu. Tidak ada yang bisa dikerjakan selain
Ibu Tio duduk di luar. Tersenyum kepada Ella, “Capek, Ndhuk?” Ella menjawab dengan senyuman.
“Kalau sore begini ini biasanya dia pulang kuliah langsung bantu-bantu apa. Kadang ya bantu di temannya yang kerja antar-antar barang.
Ella menghindari tatapan mata Ibu Tio. Mengambil napas panjang, “Iya, Bu! Pasti.” Menggenggam tangan
Ibu Tio mengangguk, “Dia itu kuliah apa-apa ya semua biaya sendiri. Dulu pas lulus SMA saya minta supaya kerja saja dulu. Nanti kalau sudah punya uang dari kerjanya dipakai buat kuliah.
“Gak apa-apa, Bu.
Ella hendak mengatakan tentang apa yang dilihatnya tentang Tio semalam, tetapi dia khawatir itu malah membuat
HPnya bergetar dan sebuah pesan berpendar di layarnya, ‘Mbak Ella mohon maaf, saya Bram 5th Coffee. Bisa ketemu? Ada yang mau saya omongkan tentang Tio.’
---
Kembali di kafe itu. Sang gadis duduk di tempatnya duduk seperti kali pertama dia datang ke
Mengapa semua mendadak serba murung ketika dia sedang murung? Benarkah semesta punya cara menyesuaikan alirannya dengan aliran tubuh seseorang. Dan dunia yang dia jumpai sejak kecelakaan Tio adalah dunia yang serba murung.
Ella mengangkat tangannya. Bukan barista itu yang datang kepadanya. Seorang pramusaji perempuan. Mungkin usianya sedikit lebih muda daripadanya. Benar, duka ini telah mengubah dirinya.
Ah tapi siapa juga yang sebenarnya mau digoda. Dia hanya ingin Tio kembali. Dia tidak butuh rayuan pria yang lain. Dia ingin diingini tapi bukan dihargai murah seperti tidak berharga. Ah entahlah, perasaan itu bersaling-silang
Namun, nyatanya sang barista datang juga mengantarkan pesanannya. Barista itu tersenyum simpul, bukan senyum menggoda, bukan senyum pemangsa. Dia meletakkan teh lemonnya di meja, “Bram masih perjalanan ke sini.
Dan benar tidak lebih dari 10 menit. Pria muda itu keluar dari mobilnya. Lalu tersenyum dan berjalan cepat ke arahnya. Dia mengulurkan tangannya, “Bram!”
Atau dia hanya sedang rindu saja dengan Tio? Lalu segalanya diukur dengan Tio sebagai standar. Ah perasaan dan pikiran manusia memang rumit berkelit-kelit. Kelindannya seperti pacuan yang ke sana
“Sorry! Nunggu lama ya?”
Ella menggeleng.
“Aku sampai meminta-minta nomor kamu ke papamu. Dan dia orang yang gak gampang dibujuk.” Bram tersenyum. “Oh ya, aku dapat nomor kamu, maksudku nomor papa kamu dari anak-anak barista di sini. Aku cerita mereka tentang
“Pas namanya Ella?”
“Nanti kuceritain.” Bram melihat teh lemon gadis itu, “Mau nambah sesuatu?”
“Tio itu inspirasiku, La.” Sambil mengeluarkan sapu tangan
Ella tertawa kecil. Bram tidak seburuk yang disangkanya,
Bram tertawa kecil, “Aku yang iri sama dia. Orang hebat. Tapi ya gitu, kenapa ya orang hebat selalu keras kepala.” Dia mengangkat tangannya kepada barista, “Biasa!” Barista itu mengerti dan tak berapa lama mengirimkan sebuah kopi tubruk hitam
Ella bisa tertawa lagi.
“Aku ini cuma apa, La! Cuma ngurus duitnya orang tua.
“Iya motor yang diajaknya jatuh gulung-gulung.”
“Awal buka ini aku mengajak dia. Tapi dia ya begitu keras kepala. Tidak mau kalau dianggap lebih rendah dari temannya. Padahal aku ya masak akan memperlakukan dia begitu. Maksudku kayak rekanan.
Bram melihat Ella, “Tapi bukan itu yang mau tak omongin hari ini.”
Ella menyamankan posisi duduknya menghadap kepada Bram yang agaknya mulai serius.
“Jangan mikir macam-macam, ya, La. Aku mimpi ketemu Tio.” Lalu pria itu mengoreksi
Ella terhenyak hingga kursinya berderit bergeser beberapa sentimeter ke belakang. Bram menunjukkan bahwa dia bukan sedang bercanda, “Jangan mikir macam-macam…”
Belum selesai Bram menyelesaikan
“Oh, ya?” Pria itu seperti merasa ingin tahu tapi juga lega pada saat yang sama, “Aku khawatir ketika aku cerita seperti ini kamu akan nganggep aku bohong karena Tio masih koma, tidak mungkin dia menampakkan diri kepada orang lain.
Ella bisa sangat mengerti apa yang dirasakan Bram. Karena dia juga tidak
“Bagaimana kamu melihat dia?” Ella menanggapi Bram dengan sama-sama serius. Semoga ini sesuatu
“Aku seperti tidur-tidur ayam kapan hari itu. Tapi rasanya setengah sadar setengah tidak sadar, aku seperti tidak ada di kamarku sendiri. Aku di sebuah rumah kosong. Rumah itu gelap, tapi aku masih bisa melihat sekitar, bukan gelap yang
Ella hendak memotong
“Aku gak ingat persisnya. Beberapa saat kemudian kan aku seperti bangun di kamarku.
Ella tersedak oleh air mata. Dia tidak mengharapkan kata-kata itu.
“Tapi bukan hanya itu yang dia katakan.
Bram mengangguk. Ella tidak mengerti maksudnya. Tapi dia tersengat sebuah perasaan, “Rumah dalam mimpimu itu, apakah rumah itu sedang diperbaiki?”
Bram mencoba mengingat-ingat. “Aku gak ingat persis. Tapi yang jelas rumah kosong. Di sekelilingnya kebun-kebun
Ella berdiri, “Aku tahu rumah itu di mana.”
Ella mengambil dompetnya dan mau mengeluarkan beberapa lembar uang. Bram menahannya mengatakan tidak usah, “Kamu mau ke sana?”
Ella mengangguk.
“Aku antar.”
---
“Bentar!” Bram masuk kembali ke dalam mobilnya dan menyalakan lampu mobilnya.
Bram melihat sejenak, “Aku gak tahu. Aku sudah ada di dalam rumah itu. Aku melihat bayang-bayang pepohonan dari jendela sisi dalam.
“Lihat!” Ella menunjuk sawah tebu di sebelah Timur. Namun, Bram agaknya masih tak begitu yakin.
Bram menemani gadis itu berjalan di sisinya. Bayangan mereka yang disorot oleh lampu mobil di belakang mereka merupa dua raksasa besar. Ella memegang gagang pintu itu. Terkunci.
“Kamu tahu yang punya rumah ini?”
“Aku tanyakan ke Tante Ani.”
Mereka kembali ke mobil. Hanya dalam beberapa menit mereka sudah berada di depanm warung itu. Warung Bu Ani tutup. Mungkin karena Ibu Tio harus
“Permisi, Tante.”
Bu Ani terkejut melihat Ella, tapi segera keterkejutan itu berganti dengan wajah kasihan, “Ya, Mbak Ella?
Ella masuk diikuti Bram. Ella memperkenalkan Bram sebagai teman Tio. Bu Ani menerima Bram dengan ramah. Penggunaan sebutan teman Tio menyebabkan perempuan itu nampak prihatin.
“Mau ambil barang di rumah Tio? Terkunci apa rumahnya? Duduk, Mbak.”
“Bukan, Tante.”
“Lah terus? Tante pikir mau ambil barang terus lupa bawa kunci. Saya juga gak punya kalau kunci rumahnya Tio.” Perempuan itu bergerak dari tempat duduknya, “Sebentar ya, saya ambil minum apa gitu dari warung.”
Bening keluar dari ruang tengah membawa sebuah kertas bergambar krayon. Semua gambar itu hanya coret moret hitam tidak berbentuk. Melihat Ella, gadis kecil itu sempat tersenyum sejenak hendak berlari kepadanya. Namun, ada yang menahan
“Dia jadi diam, Mbak Ella sekarang. Gak kayak dulu.” Mamanya melihat gambar yang dipegangnya, “Apa ini, Bening?” Bening melihat kepada Ella, lalu kepada Bram, lalu kepada mamanya. Dia menggeleng.
“Sejak Mas Tio masuk RS, rasanya semuanya jadi beda. Ya, Bening. Ya orang-orang sini. Banyak yang tanya ke bening apa yang ditangisinya pada waktu malam itu, Mbak.
“Belum ada perkembangan Tante. Tadi saya telpon di RS S juga di sana belum ada ruang. Sedangkan di sini, cuma bisa ditangani yang kecelakaan tangan dan kakinya. Kepala sama rusuk yang patah belum
Bram menyenggol Ella.
“Oh ya, saya datang ke sini tadi mau menanyakan rumah Pak No, Tante.”
“Sudah, Bening! Jangan menangis lagi ya. Sudah ini lo ada Mbak Ella sama masnya … siapa tadi namanya?”
Bram menyebutkan namanya.
“Maaf, Tante.”
Perempuan itu menggendong anak itu dengan berdiri. Bening yang berusia lima tahun jelas sudah bukan bayi dan ibunya sudah kesulitan menggendongnya.
“Ya gini ini terus, lo, Mbak Ella.
“Bukan ruamh yang itu Tante. Maksud saya rumah Pak No yang ditinggali sekarang.”
Perempuan itu kelihatan bingung. Tapi dia kemudian menjelaskan, “Oh kalau sekarang Pak No tinggal bersama anaknya di desa
“Enggak apa-apa, Tante. Cuma mau tanya-tanya saja. Makasih ya, Tante.” Ella kemudian
Bening justru membuang permen itu dan menangis semakin keras. Dia meronta-ronta di dada mamanya, “Maaf ya Mbak Ella.
Bu Ani mendekati Ella, “Saya khawatir dia melihat kuntilanak atau anaknya atau apa yang ada di rumah itu.”
Ella tak bisa menjawab apa pun.
“Mbak, jangan main-main di rumah itu, ya. Rumah itu angker katanya
Ella mengangguk. Lalu dia mengucapkan terima kasih dan permisi. Bening tak akan bisa ditakhlukkannya malam itu. Yang terpenting adalah bagaimana perasaannya nanti ketika bertemu Pak No.
Ella keluar dari rumah itu. Bram membuka mobilnya. Ella masuk dan diam sejenak. Bram kelihatannya tahu betapa bingungnya gadis di sebelahnya. “Ada apa ya, La?
Ella mengangkat bahunya, “Nanti kamu yang ngomong sama Pak No. Aku males ngomong sama orang itu.”
“Kenapa?”
Pertanyaan itu tak berjawab. Bram melihat Ella tidak hendak melanjutkan pembicaraan.
---
Rumah itu asri. Berbagai pohon-pohonan buah ditanam berderet. Lalu ada sebuah petak halaman yang ditanami cabai dan tomat. Halaman rumah itu dipelester kasar dari
“Ayo!” Ujar Bram.
Ella menghembuskan napas panjang. Dia berdecak. Ck! Bram jelas tidak mengerti kekesalannya. Tapi pria itu melihat keengganan sang gadis. Bagi pria itu mungkin itu
Bram keluar lebih dulu.
Ella akhirnya keluar dari mobil itu dan mengikuti Bram berjalan ke halaman rumah
Namun ketika Ella melihat sudut halaman berada di dekat kendang atau gudang itu, langkahnya terhenti. Bulu kuduknya merinding. Sesosok pria berdiri di sana. Di sisi yang tak terpapar cahaya. Di sudut gelap di belakang pohon kelengkeng.
Bram yang melihat Ella terhenti ikut berhenti. Lalu melihat gadis itu. Pria itu jelas melihat rambut tipis di sepanjang tangan
Ella melihat kepada Bram. Lalu menatap sosok yang berada di ujung rumah anyaman bambu itu. Sosok itu tak lagi di sana.
“Aku lihat Tio barusan.”
Ella bisa juga melihat lengan Bram yang bereaksi pada pernyataannya. Bram segera menggosok
Mereka berjalan bergegas menuju ke pintu rumah itu. Terdengar suara televisi.
“Permisi!” Bram mengetuk pintu. Lalu melakukan itu lagi beberapa kali. Suara TV di dalam rumah dikecilkan. Seorang perempuan membukakan pintu.
Perempuan itu segera menyilakan mereka masuk dan duduk. Tak berapa lama kemudian Pak No keluar dalam kaos dalam dan sarung.
“Pak No, saya Bram, saya temannya Tio.”
Pria itu mengangguk-angguk,
Bram menatap kepada Ella. Tapi jelas Ella nampak tak ingin menjawab. Maka Bram melanjutkan, “Masih seperti kemarin Pak No. Belum ada perkembangan.”
“Tio itu anaknya rajin.” Pernyataan itu justru yang keluar, “Tapi kayak kurang terbuka.
“Pak No, kami langsung saja ya. Saya itu bermimpi ketemu Tio. Pas saya cerita ke Ella, katanya lokasi mimpi saya itu di rumahnya Pak No. Kalau boleh kami mau mengecek ke sana.
Pak No ingin mengatakan sesuatu tapi dia seperti ragu antara akan mengatakannya atau tidak, “Saya ke rumah itu pagi-pagi setelah Tio kecelakaan. Saya membereskan peralatan saya.
Bram ragu-ragu mengatakannya, “Pak No, apakah ada yang aneh di rumah itu selama ini? Kami berpikir mungkin ada sesuatu yang tidak biasa, di luar kemampuan manusia, yang menjadikan Tio sekarang seperti itu.”
Namun mendengar pertanyaan Ella, justru Pak No
“Iya ceritanya kan ada orang bunuh diri di rumah itu. Perempuan yang sedang mengandung.”
Pak No kemudian menyandarkan dirinya di kursi. Dia nampak berpikir dalam, perlu beberapa detik ketika Pak No akhirnya membuka mulutnya,
“Jadi benar rumah itu angker, Pak No?”
Pak No menarik napas dan
“Lalu jejak anak kecil itu?” Ella mendedas.
Pak No diam. Dia menarik napas panjang, “Ella, Pak No tanya ini
Ella langsung berdiri, “Kita pergi Bram!” Bram nampak bingung apakah harus mengikuti Ella atau tidak. Tapi pria muda itu lalu memanggil sang gadis, “Duduk dulu, La. Jangan terbawa emosi. Biar masalahnya selesai.”
Ella jelas sangat tidak nyaman. Dia mendengus-denguskan hidungnya. Bram yang melihat itu segera mengambil tindakan, “Waduh! Itu pertanyaan di luar konteks deh, Pak! Kalau saya jadi Ella saya juga tidak
Pak No mengangguk-angguk. Berpikir dalam, “Saya minta maaf, Ella.” Dia juga melihat kepada Bram, “Saya minta maaf, Bram. Saya tahu kedengarannya pertanyaan saya itu tidak sopan…”
“Iya, iya. Saya antar ke rumah saya itu sekarang.”
“Pak No bawa kendaraan sendiri!” Ella tegas, dia menatap Bram, “Aku nggak mau semobil sama pria nggak tahu adat!”
---
Bram dan Ella masuk ke rumah itu. Ella jelas-jelas memilih lebih dekat
Ketika Ella masuk, serbuk kayu itu masih berserakan di lantai. Namun ada langkah-langkah baru di sana. Langkah-langkah yang lebih besar. Ada beberapa bekas seperti langkah yang diseret tak teratur juga.
Tapi dari sampingnya. Dia melihat Bram menggosokkan telapak tangannya ke lengannya. Ella mulai sadar bahwa Bram melakukan itu setiap kali dia merasakan bulu kuduknya
Mendengar itu Ella segera hilang akal. “Tio! Kamu di sini?”
Bram dan Pak No jelas melihat sikap Ella barusan aneh. Tapi mereka membiarkan saja. Bram mengikuti Pak No yang menghidupkan lampu di ruang tengah dan beberapa
“Bram!”
Bram dan Pak No berlari mendekati Ella yang memanggil. Ella menunjuk ke bawah. Di antara jejak-jejak orang dewasa yang lebih baru, samar-samar tergambar jejak kaki anak
“Ini jejak anaknya kuntilanak itu, Bram!” Gadis itu bergantian menatap kepada Bram dan Pak No. Pak No melihat lebih dekat jejak itu. Dia menatap kepada Ella lalu kepada Bram.
“Ikut saya ke dalam!” Ujar Pak No. Keduanya mengikuti Pak No. Rumah itu cukup besar.
Pak No melihat-lihat ruangan tengah. Beberapa kayu bertumpuk di beberapa tempat. Beberapa daun
Di ruang yang dulunya nampak bekas dapur, sebuah rak dari kayu tampak masih tersandar di sana. Usiaanya jelas sudah sangat tua. Lalu ada beberapa
Di sebuah kamar yang terletak agak ke belakang, berisikan kayu-kayu tua. Agaknya bukan kayu yang sama dari kayu yang baru di ruang tengah. Kayu-kayu itu lembab dan mulai lapuk.
“Ruangan ini!” Ujar Bram kepada Ella, “Benar ruangan ini yang aku lihat dalam bayanganku
Pak No yang berada di ruangan sebelah mendekat. Ella melihat ke atas. Apakah ada bekas kayu di atap atau sejenisnya yang digunakan untuk bekas perempuan penghuni rumah ini dulu menggantung dirinya. Tapi atap ruangan itu tertutup oleh asbes.
Pak No berjalan ke sudut. Dia terkejut, “Bram! Ella! Ke sini!”
Di sudut itu, beberapa titik kecil coklat kering. Mereka bertiga tahu titik-titik apa. Darah. Di sekitar titik-titik itu ada beberapa bekas titik cairan yang mengering lain.
“Tio! Kamu di sini?” Ella kembali memanggil dengan lebih keras. Napasnya memburu antara ngeri dan kesedihan yang tiba-tiba meruap di sepanjang tubuhnya.
“Bram kamu tahu bau ini?”
“Bau apa, Pak No?”
Bram mendengus-dengus. Begitu dia agaknya mengerti bau yang dimaksud, dia menatap wajah Pak No. Bram jelas nampak bingung, “Pak No? Apa ini …”
Pak No mengangguk kepadanya. “Iya, kan, Bram?” Keduanya berpandangan. Pak No dan Bram segera mencari di
Dan di antara sela-sela kayu lapuk itu, Bram mengambil sebuah kain yang terselip tersembunyi. Sebuah kain putih berbercak-bercak kuning dan coklat kering, “Pak No?”
Pak No mencium kain itu. Tetapi belum juga
Ella yang melihat mereka berdua segera mendekat dan mengambil kain yang berada di tangan Bram. Dia bergidik melihat bercak-bercak di kain itu. Ella mencium bau kain itu.
“Tio! Kamu di sini? Kamu dengar suaraku?” Ella kembali berteriak.
“Ella kamu mau ngapain?” Bram sangat terkejut.
“Kalian berjaga di dekat saklar lampu. Kalian matikan semua lampunya! Nanti kalau aku minta hidupin, kalian hidupin!”
“Kamu gila ya! Kamu mau ngapain, La?”
“Ella, tenang dulu. Kita omong baik-baik.” Ujar Pak No.
“Pak No, Tio kena sesuatu di tempat ini. Saya harus tahu apa yang terjadi di sini. Ada apa di sini.” Ella mengatakan kata-katanya dalam tangisan yang
“Dengarkan, Pak No ya Ella. Kita keluar dari rumah ini sekarang. Tio tidak di sini.”
Ella masih menangis sekeras-kerasnya, “Please, Pak No! Bantulah Ella kali ini, Pak No!” Lalu gadis itu berlari ke Bram yang masih kain itu.
“La! Bukan itu…” Bram tidak bisa berbicara karena Ella terus menangis.
Pak No dan Bram tahu bahwa mereka tidak akan bisa berbantah dengan Ella kali itu. Bram membuang kain itu ke lantai.
Bram mengeluarkan sapu tangan yang tadi diberikannya kepada Ella dari dalam tas Ella.
Ella mengusap air matanya dengan sapu tangan yang
“Baik sekarang apa yang perlu kami lakukan?” Tanya Bram.
Ella menjelaskan cara melihat hantu seperti yang diajarkan Tio kepadanya. Maka mereka diminta untuk menjaga di saklar lampu dan Ella akan mempraktikkan apa yang pernah
“OK! Kalau ada apa-apa kamu panggil kami, ya.”
Ella yang sudah mulai berhenti sesenggukan mengganggukkan kepalanya.
---
Ella terbaring terlentang di dalam kegelapan. Dia mengatur napasnya. Cahaya bulan yang tipis temaram masuk melalui jendela yang
Ketika matanya sudah mulai terbiasa dan segala hal yang tadinya gelap sudah mulai nampak. Dia memukulkan telapak tangannya tiga kali ke lantai. Setelah itu dia menunggu sejenak. Rasanya waktu berjalan lebih lambat daripada biasanya.
Dia bangkit dan berjongkok.
Dia pun menunjukkan kepalanya ke depan sampai dalam posisi nungging. Dia membuka matanya pelan-pelan dan melihat apa yang berada di belakangnya melalui antara kedua kakinya.
Dan Ella segera menggigil.
Namun Ella menyadari ada sesosok yang lain. Sosok itu seorang perempuan tinggi. Berpakaian daster dalam rambut diuraikan di kiri dan kanan. Dalam kegelapan Ella bisa melihat wajah perempuan itu
Namun napas Ella semakin tak tertahan. Sosok yang lain seperti tak menyadari, tapi Ella tahu perempuan berpakaian putih dengan rambut panjang itu sadar akan kehadiran Ella di
Ella berusaha berteriak. Namun suaranya tercekat di lehernya. Bibirnya tak mampu membuka. Sedang perempuan itu semakin dekat kepadanya.
Namun, perempuan berdaster putih… bukan itu bukan daster, itu kain kafan yang ditelunkupkan ke badan. Perempuan itu sudah berjarak semeter saja darinya.
Lalu perempuan itu tersenyum.
Dalam sepersekian detik lampu di ruangan itu dan agaknya juga di ruangan lain menyala. Ella kaku dalam posisinya berjongkok dan menunduk. Bram dan Pak No membantunya duduk dengan benar.
“Pak No! Bram! Aku melihat mereka!”
Bram berhadap-hadapan dengan Pak No.
“La…” Bram yang menerima tubuh Ella menggosok-gosok punggung Ella dengan telapak tangannya.
“Bram!” Pak No melihat kepada Bram. Bram agaknya mengerti.
“La, kita keluar dari tempat ini.” Ella berusaha mengangkat tangannya, belum bertenaga.
“Kamu tahu bau di kain itu bau apa?” Bram bertanya kembali, lebih tegas.
“Bram!” Pak No makin mendesak. Bram mengangkat Ella di kepala dan tubuh, sedang Pak No membopong Ella di kaki.
Ella dengan sisa tenaga yang dimiliki, “Bau apa?”
---
Bagi Ella tentu pengalaman yang hampir lewat setahun itu masih membayanginya sesekali. Namun baginya lebih mudah untuk lepas, karena ikatannya pada peristiwa itu bukan yang terkuat.
Ella duduk di dipan yang digelar tikar di depan warung itu. Memegang sebuah kertas gambar dengan gambar tak karuan di sebuah sisi halamannya.
Dia mulai masuk SD tahun ini, tapi Bening bukan gadis kecil yang sering dijumpainya dulu, yang melendot
Ella bisa melihat anak kecil itu berusaha untuk bergembira seperti anak lain di usianya. Kadang dia ingin melompat gembira lalu ada yang seperti menahannya dan kemudian
Bu Ani duduk di sebelahnya, menutup warung lebih sore, karena ada jadwal konsultasi dengan psikolog anak.
Sore itu kemerahan. Langit serupa pulasan krayon anak-anak bernuansa pastel.
Bu Ani keluar membawa sebuah gelas besar ketika Ella sedang menatap lekat gambar itu. “Gimana, Mbak Ella?” Meletakkan gelas itu di sebelah Ella.
Ella tak menjawab apa pun.
“Masih belum mau dimandikan, Tante?”
Bu Ani menggeleng. Sejak peristiwa itu Bening tak mau lagi dimandikan mamanya.
Ella memberikan gambar itu kepada sang mama. Bu Ani melihat gambar itu
“Saya takut kalau besar dia akan tumbuh entah jadi bagaimana.”
“Bu Ani berhak bahagia.” Ella menahan sejenak, “Bening juga…”
Bu Ani justru menatap langit sore yang kemerahan. Hanya menjawab pendek, “Belum.” Lalu menatap kepada Ella perlahan,
“Tante…” Ella membalas tatapan Bu Ani, “Sebelum peristiwa malam di rumah itu, Tio seperti datang beberapa kali kepada saya. Dia nampak bersalah. Mungkin meminta pemaafan.”
Perempuan yang di sebelahnya justru membuang muka, wajahnya keras tersenyum kecut,
Mereka berdua diam dalam hening sekian lama. Ella tahu jawabannya. Pikiran-pikiran berlompatan di benak Ella. Ella teringat persis malam itu. Bram dan Pak No membawanya ke mobil.
Kain putih itu diletakkan di dalam sebuah plastik yang ditemukan entah di mana oleh Pak No. Ella tidak paham situasi yang terjadi.
Dia tak tahu bau sperma kering yang membasi di sebuah kain.
Bu Ani terkejut luar biasa ketika Pak No menunjukkan kain itu. Lalu memanggil Bening saat itu juga. Bening ditanya.
Baru esok harinya, ketika Ella datang lagi ke rumah itu,
Ella akhirnya tahu hantu yang membayangi Tio hingga menyeretnya celaka bukanlah hantu yang berkelebat di bubungan rumah atau di hutan.
Sejak malam itu, Ella tak pernah lagi
Namun yang aneh adalah ketika dia ingat ucapan Tio tentang anak kuntilakan yang jatuh dari rahim sang ibu ketika perempuan itu menggantung dirinya. Kecelakaan Tio sama persis dengan kondisi bayi yang diceritakannya.
Ella ingat ketika Tio mengatakan ketika seorang dewasa maka dia memeluk sukacita namun juga memeluk sakit. Namun bagaimana dengan Bening.
Bu Ani bersama Pak No melaporkan Tio ke polisi. Polisi menyatakan akan menindak begitu Tio selesai mendapat tindakan medisnya dan dinyatakan sembuh.
Pak No tak jadi menempati rumah itu. Rumah itu dibiarkan terbengkalai. Dia memilih tinggal berdesak-desakan dengan anaknya di satu lokasi.
Ella bahkan tidak bisa melihat Tio lagi. Bukan karena kondisinya pasca kecelakaan yang rusak, tapi karena setiap kali melihat pria itu, bayangan tentang apa yang dilakukannya
Bram kerap menghubungi Ella. Ella tahu bahwa Bram sejak peristiwa malam itu menyimpan perasaan kepadanya. Tapi Ella tak bisa menerimanya.
Atau mungkin diam-diam ada sebuah hantu lain yang tinggal di benak Ella dan terus menghantuinya. Dia ketakutan bertemu dengan pria yang nampaknya sempurna. Bukankah Tio adalah gambaran dari seorang yang dapat disebut sebagai idaman.
Ella meneguk es di gelasnya hingga habis, “Saya pamit, Tante!” Bu Ani tersenyum dan memanggil anaknya, “Bening! Ini Mbak Ella mau pulang.”
Ya. Masa lalu serupa hantu, ketika belum bisa didamaikan, dia akan terus
SELESAI