Asumsi waktu itu adalah: Yang disebut "bandar" mengendalikan pergerakan suatu saham melalui beberapa broker.
Disebut manipulasi karena yang beli dan jual sebenarnya dia-dia juga.
Inilah yang disebut sebagai Bandarmologi.
Di milis banyak yang sependapat - juga yang tak sependapat.
Namanya milis "Obrolan Bandar" - isinya ya tentang gambaran di saham mana bandar sedang mengumpulkan barang dan kapan bandar akan buang barang.
Biaya langganan dapat wangsit sekitar Rp 1,5 juta per tahun. Sampai bikin website segala.
Tujuannya supaya bisa dapat gambaran kapan harus ikut saat bandar melakukan akumulasi saham - dan kapan harus keluar.
Peduli setan dengan kemampuan baca laporan keuangan ataupun technical analysis.
Intinya: nggak ada gun "mengabsen" broker mengumpulkan atau melepas saham X, Y, atau Z.
Terakhir yang saya tahu Irwanto Tedja sendiri jeblok di saham perusahaan kertas. Nggak tahu siapa saja yang ikut kena.
Bandarmologi makin absurd sesudah ada Trading ID, di mana setiap investor punya trading ID tunggal. Dan saham pun bisa disimpan di kustodian.
Bandarmologi nggak berguna, karena bisa terjadi ada broker yang kerjanya cuma jual melulu. Nggak pernah beli. Kok bisa? Karena barangnya diambil dari kustodian.
Juga sedemikian banyak orang ingin jadi "Irwanto Tedja" berikutnya, dapat bayaran dari "wangsit" dan bisa mengendalikan perdagangan lewat banyak orang.
Di satu sisi ada yang ingin "menyetir" banyak orang - di sisi lain ada saja yang mau-maunya mengekor dan tidak mau repot-repot belajar menganalisis dan mengambil keputusan secara mandiri.
Mau kaya tapi nggak mau susah.