Cerita ini saya dapat setelah berbincang dengan salah satu juragan bisnis kuliner.Karena penasaran,saya mencoba menanyai apa resepnya sehingga bisa sedemikian sukses. Ternyata,alurnya cukup panjang.Selain perjuangan keras tentunya,ternyata ada cara yang tidak biasa yg dia lakukan
2014.
RUMAH tangga yang dibangung Wardoyo dan istrinya Sasmi terasa semakin panas. Di usia pernikahan mereka yang keenam, hubungan Wardoyo dan mertuanya terus bermasalah. Puncaknya ketika Wardoyo dan Sasmi harus rela tinggal di rumah bagian belakang.
selama ini Wardoyo memang tinggal bersama mertuanya. Pekerjaanya sebagai buruh serabutan membuatnya masih belum mampu membeli apapun.Hanya sebuah TV tabung bekas yang sekarang terpasang di dalam kamar yang bisa dibelinya. Kondisi semakin parah saat Wardoyo terkena penyakit hernia
Istrinya yang awalnya masih kuat tinggal dengan Wardoyo, lama-lama mulai menjauh.Selain tak mampu mengatasi urusan ranjang,Wardoyo juga tidak bisa bekerja lagi. Sayup-sayup,Wardoyo pernah mendengar laporan dari salah satu tetangga jika Sasmi pernah ketahuan jalan dengan pria lain
"Kowe mari metu karo sopo dek?kok aku kerungu kowe metu karo lanangan(kamu keluar sama siapa dek?kok saya dengar kamu keluar dengan pria lain)"kata Wardoyo tak lama setelah istrinya pulang dari tempatnya bekerja
"Terus kenopo mas?sampean kate lapo(terus kenapa mas? kamu mau apa?
Wardoyo tak melanjutkan perdebatanya dengan istrinya. Malam itu istrinya memilih tidur di kamar orang tuanya setelah ditegur Wardoyo.
Esok sore, Wardoyo mendatangi warung kopi di dekat sungai. Ada banyak orang di sana sore itu. Wardoyo mencari satu orang teman dekatnya
Gianto sedang asik menikmati kopi dan permainan kartu domino di atas meja. Wardoyo yang datang sambil memegangi selakangnya mencolek Gianto dari belakang.
"To, melu aku sediluk. Aku kate ngomong. (to, ikut aku sebentar. Aku mau bicara)" ujar Wardoyo, lalu mencari tempat duduk
Gianto menutup kartunya, lalu menghapiri temanya sejak kecil itu. Tanpa basa basi, Wardoyo langsung menceritakan pokok masalah. Tentang rumah tangganya yang semakin memburuk karena kondisi kesehatan. Lalu istrinya yang saat ini bekerja karena Wardoyo tak bisa mencari uang
"Terus aku iso nulungi opo Kang?aku yo soro ngene uripe (Terus aku bisa bantu apa Kang?aku juga susah hidupnya)"
Gianto menjawab sekenanya.
"Yo opo wae to, sing penting aku iso oleh duwit akeh (ya apa saja To. yang penting aku bisa dapat uang banyak)"
Gianto lalu menatap ke atas
Dia lalu membisiki telinga Wardoyo. "Enek wong pinter, omahe cedek Raung. Lek gelem bar Isya dolan rono (ada orang pintar.Rumahnya di dekat Raung. Kalau mau, nanti habis isya kita main ke sana)"
Wardoyo setuju.beban hidupnya yang cukup berat membuatnya rela mencari solusi apapun
Selepas Isya,Wardoyo langsung berangkat ke rumah Gianto.Sengaja dia tidak berpamitan kepada penghuni rumah,karena yakin tak ada yg menunggunya.
Sesampainya di rumah Gianto, Wardoyo langsung mengetuk jendela kamar, memberi sinyal pada Gianto jika dirinya sudah datang
Gianto yang mengetahui kedatangan Wardoyo lalu meminjam motor milik keponakanya.
Rumah Ki Karmono berada jauh di dusun terakhir kaki Gunung Raung. Motor GL tua yang ditumpangi Gianto dan Wardoyo terseok seok di jalanan berlumpur ketika melewati hutan karet
"Sik adoh To (masih jauh to)" Wardoyo membisiki telinga Gianto yang tengah fokus menyetir.
"Diluk maneh, mari tanjakan enek wit bendo kembar. Wis cedek (sebentar lagi, setelah tanjakan ada pohon benda kembar. Sudah dekat)" sahut Gianto
Bunyi burung cekakak menyambut kedatangan Wardoyo dan Gianto ketika mendekati pohon Benda kembar. Mata Wardoyo menatap ke kanan dan ke kiri. Tapi pandanganya tak menangkap kelebat apapun. Padahal dia merasakan seolah ada banyak orang yang sedang berdiri di sekitar pepohonan
"Wis tekan, enteni kene disek. Aku tak mlebu disek. Mengko tak celuk (sudah sampai, tunggu di sini dulu. Aku masuk dulu, nanti saya panggil)" Gianto memarkir motornya di sebuah pagar kayu yang terbuat dari dahan kelor. Wardoyo menurut dan menunggu di atas motor.
Gianto lalu berlari ke arah sebuah rumah yang ada di tengah sebuah pemukiman kecil. Ada lima rumah yang berdiri dengan posisi melingkar. Satu rumah berdiri di tengah dengan ukuran paling besar dari rumah lainya.
"Bade teng pundi Pak e (mau kemana pak) "
Wardoyo tiba2 dikejutkan dengan kehadiran seorang anak kecil yg bertanya kepadanya. Anak itu memiliki tubuh yg dekil dengan rambut panjang yg disasak.
"Arep neng Ki Karmono.. le (mau ke ki Karmono nak) " Wardoyo menjawab dengan terbata
Anak itu mengangguk, lalu berlari ke arah pinggiran kebun yg tampak gelap.
"Kowe tak celuk ket mau kok mbideg ae Yo. (kamu tak panggil daritadi kok diam saja yo) "
Wardoyo kembali dikagetkan dengan Giyanto yang tiba2 sudah berdiri diharapanya.
"Ancuk tenan. Mau arek cilik, saiki awakmu ngaget ngageti (#@$# , tadi anak kecil, sekarang kamu yg mengagetkan aku) " Wardoyo menyahut sambil mengikuti langkah Giyanto.
Seperti sudah terbiasa, Giyanto langsung masuk ke dalam rumah yg beradi di tengah pemukiman
di ruang tengah, sudah ada seorang pria berusia 50an tahun duduk di kursi penjalin dengan hiasan udeng dikepalanya. Pria itu tersenyum lalu mempersilahkan Wardoyo dan Giyanto duduk di depanya.
Wardoyo melirik sekeliling ruangan. Rumah itu mirip dengan bangunan pedesaan era 70an
ada satu set kursi penjalin di ruang tengah, dengan sebuah dipan kayu di sebelahnya. Yang tampak mencolok adalah beberapa keris yang dipajang di atas semua pintu rumah.
"Lungguh Le ( duduk nak) " Ki Karmono kembali meminta Wardoyo untuk duduk.
Tak lama istri Ki Karmono keluar membawa dua gelas kopi dan secangkir teh panas.Wardoyo lalu menceritakan permasalahan hidupnya kepada Ki Karmono.Semua hal yg selama ini mengganggunya diceritakanya sedetil mungkin.
Ki Wardoyo mengangguk, kemudian beranjak masuk ke dalam kamar
Setengah jam berlalu, Ki Karmono keluar kamar sambil menggenggam sebuah keris. Benda itu ditaruhnya di atas meja. Begitu menyentuh meja, keris dengan luk lima itu langsung berdiri dengan posisi ujung di bawah.
Wardoyo sempat menoleh ke arah Giyanto. sebelum kemudian menunduk ke antara sela kakinya.
"Kulo pengen sugih Ki. pengen nggadah arto kang katah ( saya pengen kaya Ki. ingin punya banyak uang) " Wardoyo berkata lirih.
Permintaan itu langsung disanggupi Ki Karmono.
Dia paham jika Wardoyo tak mungkin mampu melakukan pesugihan dengan tumbal.Melihat kondisi Wardoyo sendiri yg tampak kesulitan.
" Aku enek dalan golek duwit. Udu lelaku pesugihan. Tapi awakmu kudu golek dewe duite (aku ada cara mencari uang. Bukan pesugihan.
Tapi kamu harus cari uang sendiri) " jawab Ki Karmono.
Wardoyo tampak semringah mendengar solusi yg diberikan Ki Karmono. sebuah cara mencari uang tanpa lelaku pesugihan.
"Nggih ki, Kulo purun ( ya Ki , saya mau) " Wardoyo mengangguk setuju.
Ki Karmono memberikan Wardoyo cara mencari uang dengan berdagang sate gagak. Sebelum memulai ritual. Wardoyo diminta puasa mutih selama delapan hari. Selama itu Wardoyo diminta untuk menahan diri agar tidak marah dan tidak bergaul dengan istrinya. Ki Karmono juga memberi syarat
untuk jenis gagak yg bisa dijual benar2 gagak yg warnanya hitam legam. Tidak boleh ada warna lain ditubuhnya. Waktu pelaksanaan ritual juga harus mengikuti weton kelahiran Wardoyo.
Usai mendengar syarat2 itu, Wardoyo kemudian pamit untuk pulang
sebelum keluar dari pintu, keris milik Ki Karmono mendadak terjatuh. menandakan kesepakatan telah terjadi. Wardoyo dan Giyanto pun kembali ke desa.
Singkat cerita, Wardoyo mempersiapkan berusaha waktu ritualnya dengan sebaik mungkin. Selasa Pon, sesuai wetonya akan datang dua purnama lagi. Wardoyo mengajak Giyanto berkeliling ke pasar Hewan setiap hari untuk mencari burung gagak cemani.
Pasar-pasar Hewan di daerah Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi hampir tiap minggu mereka sambangi. Tapi hasilnya nihil. Burung2 gagak yg mereka temui tidak ada yg sesuai dengan syarat yg diajukan Ki Karmono.
Wardoyo yg tidak punya penghasilan, mau tidak mau membebankan semuanya
kepada temanya. Giyanto. Mulai dari ongkos bensin berkeliling pasar pasar hewan sampai makan mereka selama pencarian.
" Sabar sek yo To, mengko lek hasil, awakmu tak dumi (sabar sebentar ya To. nanti kalau sudah ada hasilnya kamu saya bagi) "
Giyanto hanya bisa menarik nafas
sampai hari ke 40 pencarian, upaya Wardoyo dan Giyanto masih nihil. Keduanya lalu beristirahat di dekat salah satu pasar Burung.
"Piye Yo, nek ngene carane iso gagal. Wes entek bondo akeh maneh (Bagaimana Yo, kalau begini caranya bisa gagal. Sudah habis biaya banyak lagi)
Wardoyo yg mendengar keluhan Giyanto hanya bisa menggaruk kepala. Dilepasnya kopiah hitam miliknya lalu dikipasnya ke lehernya.
"Aku yo bingung To, tak kiro gampang nggolek gagak. ( saya juga bingung Yo. saya pikir mudah mencari gagak) "
Giyanto dan Wardoyo terus berdebat siang itu. Mereka hanya punya waktu seminggu lagi jika ingin mengejar ritual dalam waktu paling dekat. Di tengah obrolan keduanya, ternyata ada seorang pedagang buah yang diam2 mencuri dengan.
"Golek manuk to pak (cari burung kah pak) "
Giyanto menoleh ke arah orang itu. Tubuhnya gemuk dengan kaos tanpa lengan bergambar partai.
"Iyo mas. Sampean duwe Gagak cemani ta? (iya mas. kamu punya gagak hitam legam kah?) "Tanya Giyanto.
"Lek neng kene angel pak, jajal sesuk tak golek neng Bali. sampean tinggali nomer"
(kalau di sini sulit pak, coba besok saya carikan di Bali. kamu beri saya nomor hpmu saja)
Giyanto kemudian memberikan nomor HP nya kepada pedagang Buah bernama Busairi itu. Setelah itu, Giyanto dan Wardoyo masih berkeliling lagi hingga magrib sebelum akhirnya pulang ke rumah
Esok harinya. Giyanto mendapatkan telepon dari Busairi. Gagak hitam sesuai ciri2 yg disebutkan oleh Giyanto ada di salah satu pasar burung di daerah Denpasar. Pemilik burung meminta harga Rp 4,5 juta untuk burung itu.
"Sek mas, aku rundingan karo koncoku"
(sebentar mas, saya berunding dulu dengan teman saya) sahut Giyanto dari balik telepon. Busairi mengiyakan, dia mengatakan bisa mengantar Giyanto ke penjual burung gagak jika memang cocok dengan harganya.
Giyanto langsung meluncur ke rumah Wardoyo setelah mendengar kabar itu
di jalan sebelum tiba di rumah Wardoyo, Giyanto sempat melihat Sasmi naik mobil dengan Sukardi. Giyanto melirik sebentar, lalu melanjutkan jalanya ke rumah Wardoyo.
"Yo.. Yo. manuke enek (Yo..Yo burungnya sudah ada) " Giyanto berteriak di pintu belakang rumah.
Wardoyo kemudian membuka pintu dengan tangan lemas.
Dengan wajah lesu dia lalu menyuruh Giyanto duduk di ruang tengah rumah.
"Sasmi to.. Sasmi.. saiki wis wani metu dewe (Sasmi to, sasmi. sekarang sudah berani keluar sendiri)" Wardoyo menyahut sambil memegangi dahinya.
Giyanto akhirnya faham kenapa temanya itu tampak lemas.Ternyata, desas desus istri Wardoyo yang sudah berani bermain serong itu benar
"Wis saiki niatmu kuatono. Manuke ws enek, tinggal awakmu gelem usaha maneh opo gak (sekarang tinggal niatmu kamu kuatkan. Burungnya sudah ada. Tinggal kamu mau berusaha lagi atau tidak) "
ucapan Giyanto membuat Wardoyo akhirnya kembali mengangkat wajah.
Giyanto lalu menjelaskan dimana burung itu berada. dan berapa harga yg harus dibayarkan. Mendengar besaran harga yg diucapkan Giyanto, Wardoyo sempat gentar. Selama penyakit menyerangnya, Wardoyo hanya menggantungkan hidup kepada mertua dan istrinya.
Tidak ada uang sama sekali dikantongnya.Karena itu dia hanya pasrah ketika Sukardi membawa istrinya keluar rumah.
"Lek puoso aku sek kuat nglakoni To. tapi nek duwit aku ora nduwe. (kalau puasa aku masih kuat To. tapi kalau uang, aku tidak punya) " Wardoyo lemas lagi
Karena sudah kepalang dengan situasi, akhirnya Giyanto menawarkan bantuan sekali lagi. Dia meminjamkan BPKB motornya untuk bisa mendapatkan uang. Tapi Giyanto mengatakan jika semuanya adalag hutang yg harus diganti ketika ritual sate gagak berhasil nanti.
Wardoyo setuju, bahkan dia berjanji akan membayar hutangnya dua kali lipat setelah berhasil melewati ritual nanti.
Tak menunggu lama, sore harinya BPKB Giyanto sudah berubah menjadi uang. Malam itu juga mereka berdua berangkat ke Bali.
Busairi yg saat itu berada di Bali langsung mengantarkan ke rmh penjual gagak.Jam di Bali masih menunjukan pukul 4 subuh,tapi Wardoyo yg sudah terlanjur bulat niatnya memilih terus melanjutkan rencananya membeli gagak itu
Sekitar pukul 5 penjual gagak baru membuka pintu rumahnya
Akhirnya jual beli terjadi. harga disepakati. Pemilik melepas gagak miliknya dengan harga Rp 4 juta. Giyanto memberikan uang Rp 500 ribu sebagai uang terima kasih karena sudah membantu mencarikan burung sesuai dengan yg dicari.
Setelah cukup beristirahat,Sore harinya mereka kembali ke Jawa.
Wardoyo langsung memulai ritual puasanya beberapa hari setelahnya.Agar tak menimbulkan kecurigaan,burung gagak disimpan di rumah Giyanto sampai hari ritual tiba.
Di rumahnya, ujian ujian emosi mulai melanda Wardoyo
Sasmi sering pulang malam. Sukardi mengantarnya sampai ke depan rumah. Padahal di rumah bagian depan tinggal mertua Wardoyo. Tapi karena kedua mertuanya seolah menyetujui Sasmi dan Sukardi, mereka tak pernah menegur.
Wardoyo ingin marah, tapi dia tak bisa apa2
Pendek cerita, Wardoyo akhirnya berhasil menyelesaikan puasanya. Tibalah malam ketika dia harus mulai berjualan sate gagak.
Sesuai pesan Ki Karmono, Wardoyo harus mencari tempat yg jauh dari pemukiman dan angker.
Delapan tusuk sate gagak mentah disiapkan Wardoyo di dalam keresek. Tak lupa dia membawa selembar uang Rp 50 ribu sebagai contoh dalam perdagangan nanti. Darah gagak yg masih segar disimpanya di wadah bekas kecap, sebagai bumbu satenya.
Sekitar pukul 10 malam, Wardoyo mulai berjalan keluar dari kampung. Suasana yg sepi membuat Wardoyo leluasa berjalan sambil membawa perlengkapan. Jalur yg pertama kali dilaluinya adalah area persawahan. Tidak ada penerangan sama sekali di sana.
Cahaya bulan remang2 dan cahaya lampu dari korek api yg menjadi penerang perjalanan Wardoyo. Saat melewati galengan sawah, Wardoyo sudah mulai merasakan sesuatu yg aneh. Langkah kakinya seolah diikuti banyak langkah kaki. Padahal tak ada orang lagi di belakangnya
Wardoyo memopercepat langkah kakinya. Bunyi besi bakaran sate bergesekan nyaring ketika Wardoyo mulai berlari. Di ujung area persawahan ada sebuah sungai kecil yg dikelilingi pepohonan nangka. Setelahnya ada jalan menanjak menuju sebuah pemakaman kuno.
Kaki Wardoyo berjalan perlahan melewati sungai selebar tiga meter itu. Airnya hanya setinggi betis, tapi gelapnya jalan membuat Wardoyo tak berani gegabah.
" Opo kui.. opo kui"
"opo kui.. opo kui lek" (apa itu apa itu apa itu apa itu om)
bulu kuduk Wardoyo berdiri.
ada suara anak anak kecil yg seolah muncul dari balik kegelapan. Langkah kaki kembali dipercepatnya. Sebelum menapak ke daratan, Wardoyo sempat merasakan ada suara nafas panas di balik telinganya.
Wardoyo langsung berusaha berlari lebih cepat.
hingga akhirnya tempat berjualan yang dituju Wardoyo mulai terlihat. Ada sebuah pondok kecil yg ditengahnya ada sebuah makam kuno. Wardoyo berencana berjualan di sana.
Sesuai perintah Ki Karmono, Wardoyo melepaskan semua bajunya sejak tujuh langkah sebelum tiba di lokasinya
Besi pembakar sate digelarnya di dekat makam. ditatanya arang ke dalam besi itu, lalu mulai dibakarnya sate gagak yg dibawanya. Sambil membakar sate, Wardoyo menuangkan tetesan darah gagak ke atas sate. Seolah menjadi bumbu sate yg dijualnya
asap dari arang mulai membumbung di sekitar makam kuno.
"Sate.. sate.. monggo sing badhe tumbas sate (Sate sate ayo siapa yang mau beli sate) " kata Wardoyo sambil gemetar.
Sebenarnya, ketika sate pertama dibakar, Wardoyo sudah melihat ada sesosok mahluk yg berdiri melihatnya
Karena posisinya jauh, Wardoyo tak bisa melihat dengan jelas sosok mahluk itu.
perlahan sosok itu mulai mendekat ke arahnya. Bau harum tercium di antara kuatnya bau asap.Tangan Wardoyo kembali gemetar. Jelas jelas belum pernah seumur hidupnya dia berurusan dengan bangsa lelembut
Sosok itu semakin mendekat. Sampai kira2 jaraknya 15 meter dari Wardoyo, mendadak suasana menjadi sunyi. Tak ada suara kodok atau jangkrik yg tadi sempat terdengar samar2. Semuanya sepi. Lalu perlahan, suasana di dekat makam kuno menjadi terang.
tanah yg diinjak Wardoyo menjadi sebuah tehel dengan warna tulang. Tiba2 didepanya sudah berdiri sosok perempuan berambut panjang. (pencerita tidak mau menjelaskan detil wujud ini. jadi saya skip detilnya) wanita itu menggunakan baju dg warna keemasan.
tidak ada sepatah kata pun yg keluar dari mulut wanita itu. Wardoyo sempat termenung menatap wanita yg ada di depanya. Begitu tersadar, Wardoyo langsung menawarkan sate gagak yg dijualnya. Dia juga menunjukan harga satu tusuk sate itu dengan selembar uang Rp 50 ribuan
"Regane iki, tapi akehe kudu sak mene (harganya ini, tapi banyaknya harus seperti ini) " Wardono menunjukan sebuah kardus kosong bekas sepatu. Wanita itu mengangguk.
Tak butuh waktu lama, kardus sepatu yg dibawa Wardoyo penuh sesak dengan uang Rp 50 ribuan
Mata Wardoyo mendelik melihat tumpukan uang dihadapanya. tangan Wardoyo meraba lembaran uang yg ada di dalam kardus itu. Semuanya asli.
Wanita yg ada dihadapan Wardoyo kembali tersenyum. Sate sate yg masih tersisa di atas besi bakaran tiba2 menghilang
Ada tangan tangan berjari panjang yg muncul dari bawah dan mengambil sate sate itu lalu menariknya ke bawah. Wardoyo mundur ketakutan melihat tangan yg muncul tiba2 itu. Setelah sate sate habis. Tiba2 suara khas perbukitan kembali muncul. Suara sahutan kodok terdengar
dibarengi dengan gesekan dedaunan yg terdorong angin. Suasana kembali gelap seperti sedia kala. Wardoyo sempat melihat langkah perempuan pembeli sate gagak yang berjalan menuju batu besar di bukit. kakinya terlihat tidak menapak tanah
Wanita itu lalu menghilang bersama dengan kabut. Tepat sebelum adzan subuh, Wardoyo sudah tiba di rumahnya dengan memeluk ribuan lembar uang Rp 50 ribuan. Hari itu juga Wardoyo melunasi hutang2nya kepada Giyanto.
Wardoyo masih menjalankan ritual itu beberapa kali setelahnya. Mungkin hal itu juga yg membuatnya menjadi cukup kaya seperti saat ini (Wallahualam). Setelah kondisi ekonominya membaik, Wardoyo bisa membeli rumah dan toko untuk usahanya. Dia tetap beristri dengan Sasmi
tapi Wardoyo juga menikahi wanita lain. dengan uangnya, Wardoyo bisa mengobati penyakitnya.
Kabarnya, Giyanto juga sempat mengikuti jalan yg ditempuh Wardoyo, tapi gagal karena ketakutan saat bertemu para 'pembeli' sate gagak.
Selesai.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Ini hari kedua Milo dan Devi mengikuti kegiatan pelatihan di Balai Perikanan. Besok pagi, puluhan siswa SMA yg ikut pelatihan sudah bisa pulang. Sore iti keduanya memilih untuk berjalan2 ke daerah Pantai. Warga setempat memanggilnya Pantai Tanjungan.
Lokasi pantai yang tersembunyi membuat Milo dan Devi betah berlama2 di sana.Cipratan air laut sore yg sejuk menjalar saat Milo merendamkan kakinya.Gadis SMA itu merasakan ada yg mengawasinya di balik pepohonan.Dia sempat menoleh tapi tak menemukan apa-apa selain daun ketapang.
AKU sama seperti remaja lainya yg tumbuh di tahun itu. Remaja desa, tak punya pekerjaan tetap. Uang apalagi. tapi ini bukan ceritaku. Ini cerita salah satu orang kaya di kampungku. Aku memanggilnya Pak Kuri.
Saat itu, Pak Kuri masih berusia 40an tahun. Masih gagah.
Pak Kuri punya usaha toko sembako. Tak banyak di Desa ku yang punya toko sembako. Hanya tiga orang. Bu Haji Mah, Wak Mustain dan Pak Kuri. Sisanya hanya warung2 kecil yg hanya menjual permen atau silet Tatra. Tak menarik pokoknya, terutama untuk remaja sepertiku.
"Las, ojo lali ngko bengi bar magrib kondangan neng Wak Aji. Mas Waras mbojo (Las jangan lupa nanti malam setelah magrib kondangan ke Wak Aji. Mas Waras menikah) " kata Rudi kepada Muklas yang sedang sibuk mengampelas kaki meja.
yang diajak berbicara seperti tak mendengar.
"Tenan loh Las, tak tunggu neng Wakaf karo arek-arek. (beneran loh Las, saya tunggu bersama teman2) " Rudi kembali mempertegas omonganya. Kali ini Muklas mengangguk, lalu membalikan badan meja. Mengampelas bagian dalamnya.
Mobil pickup yang ditumpangi empat orang tukang ukur tanah melaju cepat. Jalanan Gumitir yg berkelok kelok membuat keempat orang bujangan itu harus mencengkeram kuat pinggiran bak pickup. Sesekali mereka tertawa saat ada yang terkejut karena hempasan mobil
Hari itu, aku memiliki kesempatan untuk berkunjung ke rumah salah satu kawan lama. Rumahnya berada tak jauh dari tepi pantai. Kawanku ini Jupri namanya. Kebetulan selepas SD, dia memilih mengikuti jejak bapaknya yang bekerja sebagai nelayan tradisional.
Kebetulan sekali, saat aku berkunjung ke rumahnya Jupri sedang merancang jadwal melaut yang rencananya akan dimulai sore hari. Aku yang belum pernah sekalipun ikut aktifitas melaut merasa perlu menjajal tantangan.Setelah menyesap segelas kopi dan menandaskan sepiring tahu goreng,
Sementara belum ada cerita panjang, narasumbernya masih belum lengkap. Jadi diceritain cerita singkat dari pengalaman salah satu teman dulu ya. Semoga menghibur penggemar kisah horor.
Bismillah
2014.
Di dekat rumahku ada sebuah rumah tua.Dulunya rumah itu adalah milik slah satu orang kaya. Ada dua rumah yang digandeng mnjadi menjadi satu bagian.yg di depan dijadikan toko sembako,dan yg sebelah dijadikan rumah. Tapi sejak sepuluh tahun lalu, rumah itu dibiarkan kosong.