"Mulailah untuk menghilangkan watak asosial sejak dini (setelah muncul dorongan bercadar dalam hati)."
Banyak!
Namun lebih didonimasi pada lingkungan dan habibat yang seragam.
Dari sini bisa jadi persoalan.
Kenapa?
Manusia diciptakan beragam, jangan ngumpul sama ekosistem yang seragam.
Rasa-rasanya bisa disebut naif dan picik jika menafikannya.
Boleh!
Hak antum dilindungi. Paling asasi: mengapresiasikan dorongan teologis ke dunia aplikatif.
Khusus untuk cadar: dorongan menutup diri dengan cadar (secara harfiah) tidak berarti mewajibkan menutup gerak-gerik sosial.
Cadar berarti menutup. Aplikasi menutup ini kerap dimaknai dengan menutup yang total.
Makanya kepada (sebagai contoh) lawan jenis sangat menjaga jarak (dengan sangat radikal, bahkan terkesan keras kepala dan konyol).
Saking tebalnya, tidak hanya soal lawan jenis dipersoalkan; bahkan disunnahkan perempuan itu di rumah saja, jangan keluar rumah.
Logika fikihnya sederhana: menghindari mafsadat lebih baik dari mendatangkan manfaat (preventif).
Karena itu, daripada kenapa², "tanpa ambil pusing" akses untuk perempuan dipersempit sedemikian rupa.
Dan dimulai dari tubuhnya.
Meskipun makin lama makin aman (relatif) dan akomodasi terhadap perempuan diperlebar, Timur Tengah seakan enggan mengubah fikih feminis menjadi lebih longgar.
Saya nDak melarang cadar, silakan, itu hak antum.
Saya hanya memberikan saran: imej cadar untuk sekarang, dimulai tragedi nahas silam, harus diakui begitu menyakitkan.
Dari situ cukup sulit menampik (apalagi "memutihkan" imej buruk) bahwa cadar sebagai simbol relijius sudah beranjak menjadi simbol yang secara tidak sadar membawa teror.
Tapi hal ini didukung oleh para pemakainya yang eksklusif, sangat tertutup, dan berhati² (yang melewati batas wajar seperti di atas).
Salah, iya. Tapi bisa dimaklumi.
Memutuskan persahabatan, canggung. Masih berteman, ya kali siapa yang jamin kagak menyembunyikan sesuatu di balik tubuhnya yang sangat sulit ditebak itu?
Masalahnya, antum mau membuka diri (tidak secara harfiah) terhadap manusia lain, tidak?
(Karena social experiment "Peluk Aku" itu terlalu prematur dilakukan)
Caranya?
Ya tadi, berani nDak mendobrak kebakuan fikih tadi?
Ekspresi dengan orang lain, jika benar² gembira coba diekspresikan dengan tertawa yang bersuara (yang tidak berlebihan).
Dibuat-buat itu ya kayak tadi: awalnya tertutup, lantas di depan publik merasa dizalimi sebagai pemakai cadar yang digebyah-uyah sebagai simbol teror.
Raih teman yang beragam, dengan ekspresi yang bisa ditangkap.
Karena saya jamin, secara alamiah pembelaan² akan muncul dari non-cadar. Bahkan lebih keras pembelaannya.
Saat Barat mengalami teror dan pelaku teror tersebut diafiliasikan kepada Islam, memang muncul narasi peyoratif kepada agama termuda ini.
Lantaran banyak muslim yang memiliki hubungan baik dengan non-muslim, terbuka, siapa yang membela?
Itu karena dominasi muslim yang baik sangatlah banyak, sehingga upaya menyamakan pemeluk Islam dengan pelaku teror (yang muslim juga) tidak lagi memiliki argumen yang bisa dipertahankan.
Antum meminta manusia lain menghormati dan memahami antum, tapi antum sendiri menutup diri untuj menghormati dan memahami manusia lain.
Itulah kenapa hablun minallah tidak cukup. Karena kudu dibarengi itu hablun minan naas.
Dua-duanya berbobot syariat. Gak usah khawatir.