Kisah ini bukan aku yang mengalami. Ini cerita seorang kawan yang kebetulan aku tahu lokasinya. Cerita ini aku rekonstruksi, supaya alurnya lebih runut.
#bacahorror @bacahorror
"Aku itu gak suka di sana lo, yah!"
"Lah apa ya kamu lebih suka kalau tambah parah?"
Mamanya menambahi ayahnya, "Bayu, sehat itu lebih penting, cuti dulu saja semester depan ini. Apa gunanya nanti jadi arsitek tapi sakit-sakitan?"
"Iya, nak, sekalian jaga kakek."
Mama, "Ya gak lah! Biar kamu sehat kok! Ya apa sih arek iki, dikandhani kok angel!"
Ayah, "Wong kamu di sana lo ya paling cuma 1 bulanan, gak akan ganggu kuliah. Lagian jaga kakek apa salahnya."
"Perasaanmu itu enak cuma kalau lagi main game online!" Sosor Sara, adiknya.
"Cilik-cilik melok ae!"
"Puasa main, Mas! Sekali-sekali hidup prihatin."
"Coba kamu yang ke sana."
"Lah lapo wong aku gak lara kok!"
Pak Buadi adalah adik dari ayah Bayu. Dia sudah menikah dengan Bu Semi 12 tahun tetapi belum juga dikaruniai anak. Karena itu ketika ada saudara yang datang ke sana membawa anak ...
"Di sana itu tugas kamu cuma satu, Bayu," tambah Mama, "tugas kamu itu jadi sehat. Kalau sudah sehat ya sudah balik lagi. Nanti biar mama sama Sara yang bantu ngurus urusan kampus wis."
Merasa bahwa dia tidak akan menang, Bayu diam saja.
Sara yang mengetahui itu pertama kali, "Ma, Yah! Mas Bayu kok pucat se!"
"Mas!"
Sara menggerak-gerakkan badan kakaknya. Walaupun matanya membuka jelas Bayu tidak benar-benar sadar.
"Mulih, Sar..."
Sesudah mengatakan ...
Melihat itu semua orang panik. Mobil dibelokkan ke RSUD terdekat. Bayu digandeng masuk.
Ayahnya segera menelpon kantor, meminta ijin untuk beberapa hari. Siapa tahu Bayu akan lama di RS tersebut.
Bayu berjalan di selasar RS tersebut bersama Sara yang menggelindingkan tiang infusnya.
"Gak lah gak apa-apa."
"Aku ikut merasa bersalah kemarin ikut manas-manasin. Mas Bayu tadi bilang mulih (pulang). Kepingin pulang ta?"
"Hah? Gak lah ...
"Lah tadi itu?"
Justru Bayu yang kelihatan bingung dengan apa yang dikatakan Sara.
"Ya wis, nanti tiap Minggu tak sambangi Mas." Sara tersenyum.
Tiba-tiba seorang anak kecil berjinjit...
"Siapa anak itu tadi Sar?"
"Anak mana?"
"Itu tadi, yang lari masuk kamar." Sara melihat pintu kamar yang tertutup. Mengangkat bahunya. "Memangnya ada berapa orang ...
"Dua orang tok to. Tadi cari yang paviliun lagi habis kamarnya, tinggal kamar kelas 1."
"Yang sakit sebelahku sapa?"
"Orang dari J, gangguan lambung apa gimana gitu katanya."
Tiga hari kemudian, Bayu keluar dari RS, tapi Bayu tidak pernah...
---
"Lihat kamu datang disambut jathilan (kuda lumping)." Kata mama bersemangat.
"Mana ada! Itu orang punya gawe kali, Ma!" Jawab Bayu.
"Eh, Yah!" Teriak Sara kepada ayah, "Cepetan ke kakeknya, aku pingin nonton ini, nanti keburu abis."
"Ye, apa salahnya? Ini itu melestarikan kebudayaan tahu."
"Iya lagian apa bedanya jathilan sama acara-acara pengusiran hantu di TV-TV itu." Ayah menimpali, "Beda kemasan saja."
"Sok kota kamu mas ...
Kakek kelihatan sangat senang ketika Bayu datang. Paklik dan Bulik juga sudah menunggu.
"Sepurane (maaf) ya Paklik dan Bulik kemarin gak bisa sambang ke RS, simbah (kakek) ...
"Loh kok Pak Lik tahu kalau aku masuk RS lagi."
Paklik, "Di sini juga ada sinyal Yu, di bawah bambu-bambu di sana itu."
"Tapi ya cuma di sana aja." Bulik menambahi, "Ya ampun, Sara tambah ayu, cah!"
"Piye, bapak?" Ayah bertanya...
"Wis kok, Mas! Penyakit tua. Kangen putune, diarep-arep teka malah mlebu RS."
Kakeknya tersenyum bahagia. Tapi beberapa kali dia melirik kepada Bayu dengan aneh. Dia seperti melihat melampaui Bayu, di balakang Bayu. Bayu menoleh k belakang. Tidak ada apa-apa.
"Kenapa Bayu?" Tanya Bulik.
"Nggak apa-apa Bulik."
"Ayo bulik antarkan ke kamarmu. Naruh barang-barang."
Bulik mengiringnya ke kamar depan. "Ini dulu kamarnya kakek, tapi sekarang...
"Enggak bulik."
"Oh ya
"Maksudnya Bulik?"
"Ya namanya orang tua ya, sudah tidak seperti jaman muda dulu, kadang nangis sendiri, nelangsa mungkin. Kadang ngomong sendiri. Kadang tiba-tiba tertawa-tawa. Sudah hampir sembilan puluh, Yu."
"Iya sepuh sekali...
"Lah wong anaknya saja ada enam. Ayahmu anak kelima saja sudah lima puluhan sekian kan sekarang. Ya nanti lama-lama di sini kamu akan terbiasa sama kakek. Jarang-jarang kan bisa lama-lama di sini."
"Makasih sekali, lo, Bulik."
Begitu mereka keluar kamar ...
"Aku ikut!" teriak Bayu.
"Aja melu!" balas kakek. Semua sempat kaget, karena suara kakek cukup keras. Wajahnya juga menegang. Namun, kakek kemudian melunak kembali dan tersenyum, "lah wong masih baru sembuh gitu kok."
"Ya wis ati-ati. Arek-arek cilik biasane playon (anak-anak kecil biasanya berlarian) kalau di tontonan ngono iku."
Bayu dan Sara saling...
"Hush gak sopan!" Mama ikut berbisik. Tapi lalu ikut tertawa juga.
Lapangan itu sangat luas. Ada dua buah gol pal di sisi utara dan selatan. Kalau sendang tidak..
Di sekitar lapangan itu, beberapa rumah dari kayu...
Ada beberapa gubuk di dalam hutan dan kebun. Biasanya tidak besar, gubuk...
Rumah-rumah mereka terpisah jarak cukup jauh ...
Daerah pegunungan K terkenal ...
Karena itu daerah tersebut cukup tertinggal dibandingkan daerah lain.
Kelihatannya dulu desa tersebut masuk juga wilayah perkebunan atau kehutanan. Tapi karena..
Bayu justru lebih akrab dengan keluarga Pak Simon yang merawat ayah Bayu dulu. Karena Pak Simon masih sering...
Pak Simon sendiri adalah orang yang dulu pernah ditolong oleh kakek Bayu ketika masih jaman susah. Ketika dia berhasil, dia ganti dimintai tolong, dan agaknya dia senang melakukan itu sebagai...
Selain itu ayah Bayu juga dititipkan karena pada tahun 60an pasca peristiwa Gestapu, banyak orang yang dituduh PKI dan simpatisannya disembelih dan dibunuh dibuang mayatnya di hutan daerah P. Situasi yang tidak aman itu membuat...
---
Penari itu menggeletak kepala ayam tersebut hingga otak ayam itu muncrat di...
Musik terompet dan gamelan semakin pacu. Beberapa penari perempuan masih menari serempak..
Dukun jathilan..
Penonton terhardik ke belakang sambil menatap ngeri. Sara terus memegang mamanya. Mama berbisik ...
Mata Bayu justru melihat ke atas. Ke rumah kakeknya. Lapangan itu ada di daerah bawah, karena rumah kakek Bayu ada di atas, walaupun jauh, rumah ...
Begitu matanya kembali ke lapangan...
Anak kecil itu, yang wajahnya miring dan tertawa sangat lebar. Bayu mengenal wajah itu. Tiba-tiba musik seperti bertambah keras ketika...
Ketika...
Bayu tergeragap. Dia, Sara, ayah dan mama masih berada di dalam mobill. Mereka ada di depan rumah kakeknya.
"Mimpi apa mas? Kok sampai ndleming (mengigau)?" Sara tertawa-tawa mengejek. Bayu merasakan ada yang dingin di leher..
Mereka keluar dari mobil. Persis sama seperti yang dialaminya sebelumnya. Hanya saja tidak ada tanggapan di bawah. Tidak ada jathilan, tidak ada gamelan. Desa itu sepi seperti biasanya.
Bayu mencium tangan kakeknya, mencium pipinya, ketika kakeknya berbisik...
Kembali leher belakangnya meregang, dingin. Namun senyuman kakeknya yang tulus menenteramkannya. Dia berusaha untuk tenang.
Hanya saja kali ini kakeknya yang mengantarkannya ke kamarnya. Tetap di kamar depan.
"Gak perlu takut."
"Mereka gak jahat." Kakeknya kembali tersenyum, "Tapi adik, bapak, ibukmu gak apa-apa to?"
Bayu bingung.
"Ya wis gak apa-apa. Kamu taruh dulu barangmu." Kakeknya hendak ke depan, ketika kemudian berbalik...
Bayu masih belum mengerti apakah yang sebenarnya dikatakan kakeknya. Apakah semua tadi hanya mimpinya. Ataukah sekarang dia sedang bermimpi.
Bayu menepuk pipinya. Sakit. Oh, ini sungguhan. Lalu tadi semuanya apa? Mengapa begitu nyata?
"Kerasan ya, nanti hari Sabtu kami kunjungi lagi di sini."
Bayu melambaikan tangannya kepada ketiga orang di dalam mobil.
Bayu merasa seperti ...
"Di sini kalau malam serem ya Bulik?"
"Hah? Halah pertanyaanmu Yu. Mana ada yang begitu, ya apa dipikir macam cerita2...
"Gak usah Bulik, aku ...
"Oh ya wis. Bulik pikir kan ..."
"Ya ampun Bulik, gak perlu dilayani macam ini lah."
Bulik tertawa, "Ya kebiasaan ngramut (merawat) orang tua, Yu. Eh kamar depan gak pesing kan? Itu dulu bekas ...
Tiba-tiba Bayu merinding. Dalam mimpinya atau apalah itu, Buliknya mengatakan hal yang sama.
"De Javu! Aku pernah ngalamin...
"Lah masak to? Iya Bulik tadi mau ngantarkan kamu, eh si kakek malah ngantarin duluan. Mungkin semangat ketemu cucunya. Kamu sama Sara itu kan cucu yang paling jarang main sini to."
Bayu merasa malu.
"Halah ya gak apa-apa. Lah sekarang kamu malah di sini lama. Kan ya tambah senang to mbahmu itu. Kemarin itu pas diceritani Paklikmu kalau kamu mau datang, mbahmu itu langsung yang kelihatan girang sekali, Yu."
"Apa ya biasanya gak gitu...
"Ya senang, wong cucu datang siapa yang gak senang. Tapi ini beda wae. Tidak biasanya simbah sampai sesemangat ini. Ya wis kamu mandi dulu keburu sore."
"Satu lagi Bulik. Apa kakek itu ngerti hal-hal mistis gitu itu to?"
"Halah kamu ini...
Bayu bisa merasa sekali Buliknya benar...
Kadang kita mendapatkan pertanda. Tapi karena kita tak selalu mengerti maksudnya, kita cenderung mengabaikannya.
Ada yang mengetuk pintu Bayu. Suara kekek.
"Ya, kek!"
Bayu beranjak dari kasurnya dan beranjak menuju pintu. Ketika dia menemukan tidak ada siapa pun di sana. Oh cuma perasaannya saja.
Bayu merasa ada yang aneh, tidak biasa, dalam kunjungannya ke desa ini kali ini. Tapi Bayu
Dia berusaha untuk mengusir perasaan itu. Tapi tetap saja dia merasa ada yang ganjil.
Ah sudahlah, lebih baik dibawa tidur saja.
---
Buliknya sudah mengingatkan Pakliknya supaya Bayu tidak terlalu capek. Pakliknya mengatakan bahwa jalan-jalan ke tegalan justru baik untuk paru-parunya. Bayu awalnya malas...
"Di sini kalau cari sinyal di mana Paklik?"
"Sinya di sini hanya ada di lapangan bawah itu, Yu. Yang dekat pohon-pohon bambu."
Bayu melihat beberapa anak kecil ikut ulur kacang lanjaran. Satu tegal dengan tegal lain terpisah hutan dengan pepohonan yang masih besar-besar. Beberapa daun palem hutam juga masih sangat lebar-lebar.
Wis kamu tunggu...
"Gak usah. Nanti ae nek kamu ke sini pas sehat." Pakliknya tertawa.
Bayu memeriksa gubuk itu ketika Pakliknya semakin menjauh masuk ke rerimbunan coklat. Gubuk itu layaknya rumah kecil. Ada tikar dan bantal. Ada cangkul, sabit.
Sebuah suara gending jathilan terdengar di kejauhan. Orang punya hajat? Suaranya terdengar dekat. Mungkin di balik bukit itu.
Bayu mengeluarkan handphonenya dan tetap tidak..
Dia memutuskan berkeliling.
Suara gending jathilan semakin keras di luar. Bayu mengikuti arahnya. Tapi semakin lama justru semakin jauh. Bayu berbalik ke gubuk.
Cukup lama. Dia bisa mendengarkan tenggeret dan suara-suara hewan lain. Tiba-tiba dia tersenyum...
Suara jathilan itu kembali terdengar. Semakin lama semakin jauh. Seperti suara yang terbawa angin. Mengingat jathilan, dia merinding juga.
Beberapa anak kecil membawa buat coklat di tangan mereka lewat.
"Nyuwun sewu, Mas."
Bayu membalas dan tersenyum. "Gak sekolah, dik?"
Mereka justru tertawa satu sama lain, lalu berlari pergi. Anak-anak.
Beberapa perempuan juga lewat didepannya.
"Loh wis balik, to?" (Loh sudah pulang?) tanya seorang ibu kepada Bayu.
"Masih nunggu Paklik, Bu."
Para perempuan saling melihat satu sama lain. Mereka saling mengangguk
"Ya ngono, aja lunga ae. Digoleki wong akeh." (Ya gitu, jangan pergi saja. Dicari orang banyak.)
Bayu tidak terlalu paham apa maksud para perempuan tadi, dia juga tidak merasa mengenal mereka. Tapi dia mengiyakan saja.
"Owalah gur mampir?" (Oh cuma mampir?)
"Ya mungkin sebulanan, Bu."
"Oh ya wis. Ya ngono bapake ben ora kangen." (Oh ya sudah. Ya begitu, biar bapaknya tidak kangen)
Para perempuan tadi lewat. Beberapa orang petani lewat dengan ...
"Ya rame, Yu. Kan mata pencaharian orang-orang sini ya utamanya dari tegalan."
"Apa anak-anak tidak sekolah Pak Lik. Kok aku tadi lihat ...
"Lah ya mana ada. Anak-anak ya sekolah semua to."
"Aku tadi lihat anak-anak lo Paklik lewat bawa coklat gitu."
"Mosok to? Ya ora, le." Pakliknya menatap Bayu, "Tapi ya pokoknya ati-ati, namanya di sini itu alas. Kadang ya ada hal-hal aneh-aneh ...
Bayu pulang ke rumah bersama Pakliknya. Walaupun hampir tengah hari, tapi suasana di P masih sejuk. Coba saja di S seperti ini.
Sesampainya di rumah. Kakeknya menunjukkan wajah kecut kepada Pakliknya. Kakeknya memanggil...
"Wong arek durung dipageri wis digawa klathasan nang alas. (Orang anak belum dipagari kok sudah dibawa ke hutan) ...
Pakliknya minta maaf kepada kakeknya. Bayu cukup paham untuk mengerti bahwa kemarahan kakeknya adalah terkait hal-hal mistis. Pagar yang dimaksud ...
Kakeknya memanggil Bayu ke dalam, "Kamu piye tadi di tegal?"
"Ya gak apa-apa, kek. Sudahlah kek, gak ada kok yang macam-macam. Ini buktinya Bayu sudah kembali ke sini. Gak usah marah sama Paklik juga, orang aku juga kepingin ikut kok."
"Ya gak ketemu apa-apa."
"Tenane? (sungguhan?)" Tanya kakeknya mencecar.
"Gak kek, gak ada yang gaib-gaib kok. Gak ada macan atau macem-macem. Cuma ketemu orang ke sawah, anak-anak."
"Anak-anak?" Tanya Pakliknya.
"Iya kan aku tadi bilang Paklik."
Bayu mulai merinding, tapi akal sehatnya mengatakan dia tidak merasa ada yang aneh. "Ada anak tiga orang bawa coklat turun dari alas. Terus ada perempuan bawa barnag-barang di keranjang bambu, jagung. Terus ada..."
"Jagung?" Pakliknya..
Kakeknya justru mengeram, "Makane to arek aja diajak nang ndi, nang ndi sik (makanya jangan diajak ke mana-mana)...
"Beda gimana, Kek?" Tanya Bayu.
"Ora apa-apa. Setiap anak itu beda-beda, Yu. Kamu juga. Kluwenganmu iku tipis (tabirmu itu tipis). Gampang senggolan dengan sing ora katon (tidak kelihatan)."
"Iya soale ana sing nutup dalane wiwit kowe cilik. Wis ndang adus kana. (karena ada yang menutup jalannya sejak kamu kecil, cepat mandi sana)."
Pakliknya minta maaf kepada kakeknya, tapi kakeknya sudah kembali tenang. Dia sudah..
"Ada apa to kek?"
"Mengko tak ceritani. Kamu mandi dulu."
Bayu beranjak dan kakeknya dari belakang, "Barang ngono kuwi dudu dolanan. Isa dadi kanca, isa musuh. (barang seperti itu bukan mainan, bisa jadi teman, bisa jadi lawan)."
Wow kakeknya seperti membaca pikirannya.
Makhluk itu masih ngos-ngosan. Ketika jarinya..
Bayu ingin berteriak tetapi ada yang menahan lidahnya. Dia juga berusaha bergerak tetapi rasanya
Paklik memeriksa kamar mandi, dan melihat bekas rak bambu yang gogrok. Kakeknya masih melihat Bayu ...
"Ada genderuwo di atas kamar mandi."
Kakek memandang kepada Pak Lik.
"Ya wis berarti bener, Bancakan tidak boleh ditunda. Sore ini harus dilangsungkan. Kalau istrimu pulang dari sekolah, cepat suruh mempersiapkan." (Bulik seorang guru).
"Aku pulang saja apa ya, Bulik. Di sini kok malah membuat masalah. Aku malah gak enak sama semuanya."
"Yu, hal-hal seperti itu kan belum tentu...
"Tapi aku tadi benar-benar melihat
Buliknya diam. Bayu bisa mengerti sekarang, buliknya bukan orang yang suka dengan cerita-cerita atau berurusan dengan cerita mistis. Tapi nyatanya buliknya mengikutis saja...
"Simbah itu gak pernah cerita yang macam-macam begitu juga lo Yu selama ini. Makanya Bulik itu sebenarnya antara percaya tidak percaya dengan hal-hal seperti itu."
"Masak Bulik?"
"Iya kok. Selama bulik di sini gak pernah kakekmu itu...
"Padahal sejak Bayu kemarin datang di sini, kakek itu kayak gitu Bulik. Bulik tahu, katanya Bayu itu sudah ditunggu. Tapi Bulik kok bisa sama dengan yang dibilang sama perempuan-perempuan tadi di tegal ya? Mereka
"Memangnya perempuan2 itu kayak gimana wajahnya. Menakutkan gitu? Pucat kayak hantu apa gimana?"
"Ya gak Bulik, ya kayak perempuan biasa pada umumnya. Mereka seperti orang pulang dari pasar. Pakai jarik, kebaya, kan setahuku
"Ya mana ada, itu desa jaman kapan. Jaman sekarang ya mana ada. Tapi ya wis dituruti saja. Wong ya gak ada ruginya."
Bayu merasa nyaman ngobrol dengan Buliknya. Mungkin karena mereka berbicara dengan cara yang dekat.
Bayu jujur masih terngiang-ngiang wajah hitam yang menempel di kuda-kuda tadi. Dia rasanya ingin menelpon orang tuanya supaya dijemput saja. Tapi karena kondisi sudah mulai petang dan
Setelah magrib, di ruang tamu sudah digelar tikar. Dua buah tampah besar..
Ketika tamu mulai datang, mereka duduk berkeliling di sekitar kedua tampah tersebut.
Kakeknya memimpin acara, "Bancakan punika kangge wayah kula Bayu (bancakan/ kenduri ini untuk cucu saya Bayu).
Lalu ada sebuah kalimat yang tidak dimengerti oleh Bayu, diucapkan serupa mantra.
"Mas Bayu!" suara seorang anak kecil di belakangnya. "Maturnuwun nggih sampun diparingi tetedhan (terima kasih ya sudah diber makan).
Pria itu berhenti tertawa lalu memandang ke seluruh ruangan. Bibirnya melengkung dan ...
Bayu sadar tembang itu berasal dari mana. Itu adalah adalah tembang yang dia dengarkan dari suara jathilan tadi siang ketika dia di tegalan. Beberapa orang di sebelah sang Bapak langsung beranjak memegangnya.
Tapi si bapak tak berhenti.
Mata mereka - bagaimana membahasakannya - tidak menutup, tetapi melirik ke atas, hingga...
Ketika tarian sampai di sebuah senggakan (cengkok tertentu dalam tembang), mata keempat orang dan penembang itu membuka jelas dan menatap bayu, menyeringai...
Bayu ketakutan luar biasa mencengkeram kakeknya. Beberapa anak kecil yang ada di belakangnya juga mencekeram Bayu dan kakeknya. Orang-orang ...
Kakeknya minta diambilkan air putih ke belakang. Paklik dan beberapa...
Ketika itu Bayu merasakan genggaman tangan anak yang ketakutan di lengannya terasa sangat tajam. Anak itu mencengkeram lengannya dengan jari-jari mereka. Ada juga yang mencengkeram pundaknya.
Ketika Bayu menoleh kepada mereka dan mengingatkan...
"Hik hik hik hik... makane nek dolan aja suwe-suwe,
Seringai mereka semakin lebar. Bayu membuang muka.
Ketika dia melihat lagi. Anak-anak itu sudah tidak ada sana. Orang-orang yang
Ketika kakek mengulaskan air ke wajah mereka. Mereka sadar. Kakeknya memberikan mereka minum air putih.
"Wis ora sida bancakane (sudah tidak jadi bancakannya) durung wayahe (belum waktunya)" Ujar kakek.
Ketika semua orang pulang. Paklik dan Bulik masih mencerap apa yang...
"Lah Bayu gak ngomong." Tiba-tiba kakek membuka pembicaraan ...
Bayu baru ngeh yang dimaksud kakeknya adalah anak-anak kecil tadi.
"Saya gak ngerti, kek! Rupa mereka kayak anak-anak biasa."
Pakliknya yang bingung, "Anak-anak gimana?"
"Ada anak-anak kecil tadi belakangku sama kakek, Paklik."
"Aku ya gak ngerti Paklik. Itu terus yang kelihatan sama aku." Bayu melihat Buliknya, masih duduk bersimpuh di tikar.
"Kek, apa Bayu pulang S aja ya?" Tanya Bayu kepada kakeknya.
"Kalau sudah begini ya gak bisa pulang dulu. Balik ke S ya ...
"Ngantos murwakala, Pak? (sampai diakan murwakala, Pak?)" Tanya Paklik kepada kakeknya.
"Ruwatan, Yu." Jawab Pak dhenya.
"Ada anak-anak yang lahir sukerta kalau menurut hitungan Jawa Yu. Sukerta itu maksudnya tidak genap. Ada yang tidak pas. Jenisnya ada macam-macam. Kalau dalam cerita wayang, anak-anak seperti ini yang nanti ...
"Lah kalau murwakala kan gedhen2 (acara besar), Pak?" Tanya Paklik.
"Makane kuwi coba ngko diomong-omongkan sik karo Bapake Bayu karo Mbah Suroso. (Karena itu nanti dibicarakan dulu dengan bapak Bayu dan Mbah Suroso"
Bulik membawa tampah berisi jenang putih ke belakang. Setelah itu dia kembali ke ruang tamu membawa jenang merah. Pakliknya menggulung tikar-tikar itu dan memasukkan kursi-kursi yang tadi ditaru di luar
"Kek, kalau nanti mau mandi, kamar mandinya gimana?"
"Ora apa-apa, le (tidak apa-apa, nak). Sing nang kono wis ngalih (Yang ada di situ sudah pindah). Tapi pesen simbah, kamu jangan dekat-dekat sama tempat yang lembab-lembab dulu. Mereka itu biasanya senangnya...
"Ini sebenarnya ada apa to kek?"
"Simbah ya belum tahu jelasnya, le. Simbah itu cuma bisa merasa tapi tidak bisa melihat."
"Lah Bayu pikir kakek sakti."
"Mbah Suroso itu masih saudara jauh sama kita, Yu" tambah Paklik.
"Dukun gitu ta Paklik?"
"Ya bukan. Ya sama kayak simbah
"Ya gak katanya. Ya memang ngerti." Tandas kakeknya, "Sudah Bayu istirahat saja dulu malam ini."
Ketika itulah terdengar...
Ketiga yang lain terkejut dan segera beranjak dari ruang tamu ke dapur.
Bulik masih pasi. Menyandarkan dirinya di dinding dapur. Di tangannya ada wajan. Tangannya tampak gemetaran. Napasnya tidak...
"Ana apa? (ada apa?)" Tanya Paklik.
"Tadi pas aku selesai cuci piring bekasnya jenang. Persis pas aku lihat ke tampah jenang, kayak ada perempuan, mas. Dia seperti ndeprok (duduk di lantai). Rambutnya ruwog-ruwog (berantakan). Tangannya seperti orang kate.
"Rupane piye? (wajahnya bagaimana)" Tanya kakek.
"Mboten ngertos, Pak. Ketutupan ...
"Coba bukaen godhong tutupe jenange (coba buka daun penutup jenangnya)"
Pak lik membuka daun...
"Ya kuwi nek panganan disenggol lelembut. (Itu makanan kalau disentuk makhluk halus.)" Ujar kakek. "Kok ya..
"Ini ada apa to kek sebenarnya?" Bayu semakin kebingungan. Wajahnya ikut menegang.
"Perkara begini ini, Le, kita tidak benar-benar...
Paklik keluar.
Bulik bertanya kepada kakek, "Niki kula buwang mboten punapa, Pak? (Ini saya buang tidak apa-apa, Pak?)" Menunjuk ke ...
"Buwang wae. Buwang sing adoh sisan. Wis gak nok kanggone (Buang saja ke tempat yang jauh sekalian. Tidak ada gunanya lagi)." Jawab kakek.
Bulik keluar. Kakek mendekat kepada Bayu, "Ora usah wedi (tidak perlu takut)...
"Nduk jaluk tulung gelarne klasa nang ngarep ya. (Nduk, tolong gelar tikar di depan ya)"
"Ya kakek tidak tahu persisnya. Tapi pada waktu kamu mau datang. Langit itu kelihatan cerah sekali. Terus burung-burung di hutan itu berkicau ramai sekali ...
"Kakek biasanya bisa membaca hal-hal begini ta?"
"Wong Jawa itu ilmunya titen (jeli dengan tanda), Yu. Simbah itu cuma niteni (memperhatikan tanda). Tapi tidak pernah yang sampai seperti malam ini."
"Wis, ayo kita ke depan." Bayu berjalan ke depan. Tikar sudah digelar. Bayu baru sadar bahwa kakeknya masih ada di dapur. Ketika Bayu kembali...
Paklik datang membawa tiga orang laki-laki lain. Bayu melihat ketiganya dalam bancakan tadi sore.
"Simbah, Mbak Yu (Bulik), ...
"Digawekne kopi apa nggawe dhewe? (Dibuatkan kopi atau membuat sendiri?" Tanya Bulik.
"Mengko wae mbak, tak nggawe dewe. (Nanti saja Mbak, kami bikin sendiri."
Paklik mengiyakan.
"Bayu coba istirahat, kalau ada mimpi...
Bayu jujur sebenarnya tidak nyaman dengan semua pengalaman selama di P. Dan Bayu sendiri...
Bulik memberikan bantal dan selimut. Paling tidak dia merasa aman karena ada orang yang menjaganya malam ini. Dan keluarga ini benar-benar keluarga yang melindunginya. Bayu dikelilingi
Mungkin sebenarnya mereka sama-sama tidak mengertinya dengan Bayu. Tapi hidup mereka yang tenang seperti diacak kadut dengan peristiwa-peristiwa seharian ini. Nyatanya mereka tidak menyalahkannya...
Diam-diam ada yang hangat di dalam dadanya. Bayu baru bertemu orang-orang ini dua hari. Dan dia merasa inilah keluarga.
Entah apa yang terjadi besok.
Bulik sudah menyinggahkan tikar dan bantal di bale depan. Seolah...
"Sarapan dulu, Yu."
"Makasih, Bulik!"
"Jangan dipikirkan ya yang terjadi semalam. Hari baru, cerita baru. Semoga kali ini semuanya baik. Tidak mengalami yang aneh-aneh kan selama tidur semalam?"
"Katanya simbah nanti agak siangan mau diajak ke Mbak Suroso. Wis kamu siap-siap atau ngapain aja dulu. Tetap hati-hati ya."
"Bulik mulai percaya hal-hal seperti ini?"
"Gak tahu, Yu. Mau tidak percaya itu Bulik tidak punya penjelasan untuk yang terjadi semalam.
"Semoga semua baik, ya, Bulik."
"Semoga, Yu."
"Bayu mau telpon Ayah sama Mama dulu pagi ini."
"Iya kabari, biar mereka tidak ...
Bulik mengambil napas panjang. Bayu bisa membayangkan. Sekian belas pernikahannya dengan Paklik keduanya belum mendapatkan momongan. Bayu merasa diperlakukan seperti adik tetapi juga seperti anak oleh ...
Beranjak ke kamar mandi, Bayu masih melihat paklik sibuk dengan raknya. "Dibantu Paklik?"
"Boleh, Le. Ada beberapa bambu yang sudah Paklik bilah di luar. Tolong dibawakan masuk ya."
Bayu mengambilkan dan meletakkanya di sebelah Pakliknya.
"Sudah lama, Yu ...
"Ayah kok gak pernah cerita yang begitu-begitu ya, Paklik?"
"Bapakmu itu kan ..
"Tapi Opa Simon sama simbah itu punya hubungan gimana kok ayah dititipkan di sana Paklik."
Pakliknya mengikatkan beberapa bambu dengan bambu lain yang dibesat. Menguatkan dengan..
"Pak Simon kan punya anak Mbak Ratna. Mbak Ratna itu dulu sering sakit-sakitan ketika kecil. Terus gak tahu bagaimana dengar tentang desa ini. Katanya...
"Iya, Paklik. Bayu juga pernah ketemu Tante Ratna. Kalau ketemu Bayu sama Sara biasanya gemesnya berlebihan. Sampek gede gini kalau ketemu aku diciumin, sampek pipiku habis rasanya."
"Iya ke Kalimantan, Paklik."
"Lah Paklik dulu kalau pas dikasih cerita sama mbah putri tidak pernah memperhatikan dengan baik. Apa ya sakitnya Mbak Ratna itu berhubungan dengan hal-hal seperti ini ya."
Paklik berusaha mengingat.
Bayu tersenyum.
"Kamu mau mandi ta? Sebentar ya ini tinggal sedikit. Paklik juga mau ke Tegal."
"Makasih sekali Paklik. Bayu diperlakukan baik sekali."
"Lah wong keluarga. Kamu ini kok ya ada-ada saja."
"Bayu keluar telpon ayah sama mama dulu."
"Iya Paklik."
"Boleh minta air sedikit buat cuci muka, Paklik?"
Pakliknya tertawa, "Orang ganteng gak perlu cuci muka ya tetap ganteng Yu."
Bayu ikut tertawa. Pakliknya keluar sebentar...
Bayu keluar berjalan ke arah bawah. Lapangan. Sepanjang jalan dia bertemu dengan orang-orang desa. Cerita tentang kejadian semalam tentu sudah tersebar ke seluruh penjuru desa.
Ketika dia melewati beberapa rumah. Dia bisa melihat...
Bayu menyapa mereka. Mereka membalas dengan ramah. Andai saja tidak ada cerita beberapa hari ini, desa ini adalah sebuah ..
Beberapa orang bertanya kepadanya hendak ke mana.
"Hati-hati ya Mas. Tempatnya agak wingit* (*sebutan untuk tempat yang nuansanya mistis, tidak selalu berarti angker yang menakutkan. Tapi memiliki atmosfernya yang beda)."
Bayu akhirnya bisa melihat lapangan itu lebih dekat. Agak berbeda dari yang dia ingat dalam mimpinya. Dalam mimpinya lapangan itu serupa tanah yang luas dengan rumah-rumah kayu di kiri kanannya. Pohon bambu hanya tersisa beberapa rumpun.
Ada beberapa rumah kayu di sekitarnya. Tapi tidak persis seperti di mimpinya...lebih menyerupai dua buah...
Bayu bisa membayangkan ketika siang, daerah di dekat rumah kayu pendapa itu pasti panas.
Belum sempat membuka HPnya. Beberapa pesan muncul terus menerus. Bayu membuka hpnya. Ayahnya menelpon beberapa kali di WA tapi tidak terjawab. Jelas wong tidak ada sinyal. Ada WA dari Sara dan..
Tapi yang paling menarik dari semuanya..
'Kamu gpp kan? Mama mimpi gak enak..."
Bayu membuka pesan itu supaya bisa membaca lebih utuh.
'Kamu gpp kan? Mama mimpi gak enak semalam. Mama lihat kayak ada anak kecil yang gelantungan di tubuhmu. Ada orang-orang pakai baju ...
Bayu terkejut dengan apa yang dibacanya. Dia langsung menghubungi mamanya.
"Ma?"
Begitu saja mamanya langsung nyerocos di HP, "Kamu gak apa-apa, sayang? Mama kuatir banget semalaman. Sampai mama tidak...
Bayu tidak tahu apakah dia harus menjelaskan yang dialaminya. Tapi menceritakan semuanya rasanya terlalu panjang. Dan Bayu tidak tahu harus mulai dari mana. Kalau dia ...
"Mama gimana kabarnya? Sehat ta? Bayu gak apa-apa. Makanya anak itu dilepas biar mandiri. Tapi juga biar orang tuanya belajar percaya sama anaknya. Masak baru gak ketemu dua hari saja sudah panik gitu."
Bayu tertawa, "Gak apa-apa, Ma. Lagian ngapain ada orang putih-putih di sekelilingku. Cewek-cewek kan, bidadari kali malaikat."
"Oh dasar! Ya wis mama tenang kalau kamu gak apa-apa. Beneran...
"Iya ma. Kudu berapa kali Bayu bilangin. Mama, Bayu gak apa-apa. Penduduk desa sini itu baik-baik. Dan aku senang soalnya gak dengar omelan mama tiap pagi."
"Lah iya, kok tumben kamu jam segini sudah bangun. Eh monyet, besok hari Sabtu mama, ayah, Sara...
"Eh ngejek banget ini orang. Mama kalau tinggal di sini seminggu aja pasti kerasan gak pingin balik."
"Tapi emang bener. Kamu itu lebih mirip sama mama, Yu. Jarang keluar-keluar S, keluar-keluar paling liburan. Kalau adikmu itu kan lebih mirip papamu..
Ada hal-hal yang lebih baik tidak dibicarakan di telepon. Hal-hal...
Dia mengatakan mau jalan-jalan sama kakek hari ini. Dia tidak mengatakan bahwa dia akan mengunjungi Pak Suroso. Bayu titip salam kepada ayah dan Sara.
"Eh, monyet! Sampaikan salamku juga sama Paklik dan...
"Iya, Mama."
"Uang masih cukup?"
"Mama aku ini baru pergi dua hari dan di desa. Mau dipake apa duitnya. Di sini duitnya Bayu gak laku."
"Oh ya jangan dibelikan rokok ya. Tambah parah sakitmu!"
"Ehmm... iya... ehmm gak janji."
"Dasar! Awas ya...
"Tapi habis gitu dibeliin lagi kan yang baru?"
"Nenek moyangmu orang gunung! Ya beli sendiri sana kalau sudah kerja."
Bayu tertawa, mamanya tertawa. Pagi ini begitu ringan.
'Sehat kan, Yu?'
Bayu segera membalasnya, 'Sehat, Opa. Opa bagaimana?'
'Syukurlah. Opa juga sehat. Jaga diri, sampai ketemu Hari Sabtu, ya.'
Bayu kembali menutup handphonenya. Ketika dia..
Ah cuma perasaannya saja. Ketok-ketoken (seperti melihat tapi...
"Mas Bayu."
Suara anak kecil.
Bayu melihat berkeliling, tapi tidak ada. Lama-lama merinding juga. Mungkin benar tempat ini wingit. Bayu segera beranjak ke atas. Menuju rumah kakeknya.
Tiba-tiba dadanya terasa sesak. Ada yang sakit sekali di...
"Ah dasar penyakit sialan!" Bayu berbicara sendiri.
Dia berjalan ke atas. Beberapa penduduk desa berkativitas. Ada yang menjemur pakaian. Ada yang menyiram tanaman sayur di halaman mereka. Bayu menyapa mereka. Mereka pun balas menyapanya.
Sakit di ulu...
Semoga tidak apa-apa.
Sampai di rumah tinggal kakeknya yang ada..
"Ayo sarapan ndang adus, Le! (Ayo sarapan lalu mandi, nak) Melu simbah nang Mbah Suroso (iku simbah ke Mbah Suroso)."
"Inggih."
Bayu beranjak ke dapur dan mengambil nasi serta sayur kelor dan tempe.
Selesai sarapan dia meminum obatnya. Didobel. Anggap saja...
Bayu segera membuka bajunya untuk mandi. Dan ketika itulah dia terkejut luar biasa. Ada dua memar yang bertumpuk di dadanya. Memar itu berakhir di sisi samping tubuhnya di bawah ketiak. Memar itu serupa dua garis besar yang melintang.
Bayu memegang memar tersebut. Dan dia masih merasakan memar itu lebih panas dari anggota tubuhnya yang lain. Dan memar itu masih terasa sakit.
Bayu berpikir apakah harus menceritakan itu kekeknya atau..
Bayu membuka pintu kamar mandi. Seperti ada yang menahan pintu itu di dalam. Bayu mendorongnya lebih keras.
Ketika pintu terbuka, benar saja, sosok hitam yang yang kemarin...
Bayu melihat
Ketika itulah Bayu membanting pintu. Dia berlari ke depan.
Kakeknya yang berada di depan terkejut dan melihat...
Bayu menyadari memar itu semakin gosong. Dan rasanya dadanya semakin sesak dan panas.
"Kek..."
"Pakai bajumu! Kita ke Mbah Suroso sekarang!"
"Kek... ada..."
"Ini tidak bisa ditunda! Cepat!"
Bayu dan kakeknya disambut oleh seorang anak perempuan. Mungkin lulusan SMA. Denok. Bayu nanti diberikan cerita oleh kakeknya bahwa Denok adalah cucu Mbah Suroso yang tinggal di P...
Cerita semacam itu tentu bukan asing bagi Bayu. Hal-hal yang membuatnya harus sejenak mengambil napas dan bersyukur. Tidak semua orang mengalami seperti yang dia alami. Tapi toh nyatanya dia masih selalu...
"Mangga, Mbah Taji (kakek Bayu)."
"Nuwun, Nok (Terima kasih, Nok). Simbahmu ana? (Kakekmu ada?)"
Denok melihat Bayu. Tersenyum. Sederhana. Gadis desa yang..
"Mboten wonten, Mbah. (Tidak ada, mbah.) Wonten punapa nggih? (ada apa ya?)"
"Menyang ndi, ndhuk? (Ke mana, nak?)"
"Kala wingi medal sareng Pak Lik Aji dhateng B. Ngendikanipun putranipun sakit utawi punapa mekaten, Mbah. Boten jelas kula. (Kemarin..
"Anake Aji sing lara (Anaknya Aji yang sakit?)"
"Inggih."
"Ya kuwi ditinggali terus karo Aji bara. Wong iku nek wis kadung nyambut gawe ora eling mulih. (Ya itu ditinggal...
"Mbok bilih kados mekaten, Mbah (mungkin begitu, Mbah)."
Aji yang dimaksud adalah orang dari B. Banyak orang selain Aji yang juga bekerja ke P. Kebanyakan mereka tinggal di gubuk di tengah...
"Baline kapan, ndhuk? (kembalinya kapan, nak?)"
"Tamtune kula mboten mangertos. Tapi mbok bilih kok mangke sonten sak derengipun surup. (Pastinya saya...
"Ya wis. Ngomonga nyang Mbahmu yen mengko mulih ya, digoleki Mbah Taji. Dikon nyang omah. (Kalau nanti pulang, bilang dicari Mbah Taji. Diminta ke rumah)."
"Inggih."
Denok sempat melihat kepada Bayu dan menganggukkan...
"Iya kok tahu?" Tanya Bayu.
"Iya kemarin pas habis bancakan, orang-orang di jalan cerita."
Benar. Cerita tentang Bayu dan orang-orang bancakan yang sempat kesurupan itu pasti sudah terdengar ke seisi desa. Bayu belum pernah bertemu dengan...
"Horror ya." Bayu menimpali.
Denok tertawa kecil, "Di sini yang begitu-begitu masih ada mas. Hati-hati, ya Mas."
"Makasih."
Kakek dan Bayu kembali ke rumah.
Dalam perjalanan pulang Bayu sempat berpapasan...
Bayu sempat mengangguk kepada mereka. Beberapa perempuan yang melintas itu tersenyum kepadanya.
"Siapa, Yu?" Kakeknya bertanya ringan.
Bayu tersenyum kepada kakeknya dan mengangkat bahunya. Tidak tahu.
"Di sini ramah-ramah ya kek orangnya."
"Maksudnya, Kek?"
Tiba-tiba bulu kuduk Bayu merinding. Seketika itu Bayu sadar, dia menoleh ke belakang. Para perempuan itu entah sudah jauh, berbelok, atau ke mana, tapi mereka sudah tak nampak lagi.
"Itu tadi sungguhan, Kek?"
"Kakek beneran tidak lihat para perempuan tadi?"
"Lah ya mana ada. Dari tadi lurung (jalan) sini ya sepi. Cuma kita berdua saja yang lewat."
"Beneran, Kek?" Bayu langsung merangkul lengan...
"Tidak perlu takut. Kelihatannya memang ada yang membuka kluwenganmu (tabirmu). Sengaja atau tidak. Tapi sekarang kamu jadi lebih bisa merasakan mereka."
Ini keadannya. Bayu adalah anak muda kota pada umumnya. Dia adalah penyuka cerita horor dan suka ditakut-takuti..
Dia selalu merasa ingin bisa bertemu dengan hal-hal yang semacam itu. Sesekali merasakan perjumpaan yang...
Tapi Bayu tidak menyangka bahwa ketika pengalaman itu datang kepadanya, bahkan disiramkan bertubi-tubi, Bayu tidak pernah benar-benar siap. Dia justru merasakan apa yang dialaminya mulai...
Memar yang terdapat di dadanya. Anak-anak kecil dan perempuan yang ditemuinya selama berada di P justru membuatnya tidak nyaman.
Bayu bisa mengerti jika ada beberapa orang yang katanya memiliki kelebihan terkait hal-hal supernatural lalu ingin
Bayu memiliki seorang dosen statistik yang katanya mengerti tentang hal-hal demikian. Tapi setiap kali...
Bahkan dosennya ketika ditanya oleh mahasiswa tentang hal-hal
Dan Bayu saat itu..
(Jika pun dia cerita, itu karena saya agak memaksa paling tidak dari ...
"Kek, saya kok merasa suasana di rumah ini lebih adem ya daripada di rumah Mbah Suroso. Saya merasa di sana saya lebih ... apa ya...
"Kalau katanya orang-orang yang ngerti, Yu, kan sama seperti kita manusia, makhluk-makhluk itu kan ya punya tempat-tempatnya. Hutan yang jadi tegalan dan kebun itu tempatnya lebih tinggi, lebih dekat ke gunung. Suasananya...
"Saya gak pernah menyangka, Kek, kalau saya akan mengalami yang seperti ini."
Kakeknya tertawa ringan. Udara sudah mulai hangat..
"Begitu itu kan seperti bakat, Yu. Atau berkat. Tidak semua orang mendapatkan. Ada yang minta terus menerus tidak dikasih. Tapi ada yang tidak pernah minta
Bayu memeriksa dadanya. Lebam itu masih ada di dadanya, tetapi sudah tidak sakit dan panas seperti tadi pagi. Ketika Bayu memegang lebam itu seperti ada yang lain yang ikut bernapas bersamanya.
"Yen pas ngene iki (kalau pas begini ini) apa di jalan depan ada yang lewat-lewat, Le?" Kakeknya tiba-tiba bertanya sambil terus melihat ke jalan depan rumahnya.
"Saya tidak tahu, Kek. Munculnya itu tidak setiap saat. Kalau pas begini ini, ...
"Gosongmu piye?"
"Sudah enakan, Kek. Sudah tidak terasa seperti tadi. Tapi kalau begini saya merasanya ini seperti bukan memar saya ya. Kek, mama tadi pas saya telpon bilangnya ada yang menggelayut di tubuh saya. Nggandoli saya. Apa bener begitu ya, Kek?"
Kakek bercerita bahwa Mbah Suroso adalah anak dari pamannya Kakek. Jadi ibu ...
Mbah Suroso, dari cerita kakek, adalah orang yang sejak kecil memiliki kelebihan...
Ketika buliknya lewat di sebelahnya pada waktu pulang sekolah. Bayu terjaga.
"Terbangun? Maaf Bulik tidak bermaksud membangunkan. Tidurnya angler (nyenyak)."
"Nggak apa-apa kok Bulik. Enak ...
"Kalau bisa istirahat, pakai istirahat, Yu."
"Ada yang bisa dibantu, Bulik?"
"Gak usah. Habis ini bulik mau arisan dulu. Tiap Kamis ibu-ibu di sini kumpul arisan. Bulik kebetulan bendaharanya. Sudah makan siang? Eh ini makan sore ya?"
"Hari ini waktunya ngrancapi kakao (memangkas dahan-dahan coklat yang tidak perlu supaya kualitasnya semakin baik). Kalau begini biasanya sampai sore. Kamu jangan ikut-ikut ke Tegal dulu ya."
Bayu tertawa, "Enggak dulu lah, Bulik. Nanti saja kalau
Buliknya ikut tertawa, "Beres itu yang seperti apa to, Yu? Hidup itu ya kayak gini ini terus. Gak pernah ada beresnya."
Keduanya tertawa.
"Ayo makan siang bareng Bulik. Tadi ada orang jualan bandeng di sekolah. Bulik beli beberapa. Mbah kung mana?"
"Oh ya sudah. Semalam itu Mbahmu tidak tidur. Menjaga kamu sambil berdoa terus menerus."
Bayu ke dapur bersama Buliknya. Tudung saji dibuka. Buliknya membuka plastik berisi bungkusan bandeng goreng dan meletakkannya di piring. Mengambilkan...
"Bulik itu gak berani ke dekat tempat yang kemarin Bulik lihat apa itu... Makanya minta Paklikmu pagi tadi naruh gentong di situ. Soanya masih terbayang-bayang wajahnya. Aduh sudah jangan diingat."
"Bulik lihatnya jelas."
"Ya jelas. Aduh sudah sudah."
"Lah bandengnya diambil juga, sudah dibelikan kok. Memang nyediain kamu. Bulik gak mau nanti pas orang tuamu datang kamu kurus kering gara-gara mikir masalah gendruwo." Bulik tiba-tiba bergidik, "Aduh amit-amit! Ayo makan!"
Dapat beberapa suap, Bayu merasakan sesuatu yang aneh. Dadanya kembali panas. Bayu mengabaikannya. Tidak perlu dituruti. Tapi semakin banyak Bayu makan,
Buliknya memperhatikan Bayu, "Kenapa, Yu?"
Bayu masih merasakan kesulitan bernapas yang sangat berat, seperti ada yang meremas dadanya.
"Masak keracunan bandeng, Yu? Lah Bulik...
Bayu merasakan dirinya seperti mau pingsan. Karena selain panas, dadanya terasa semakin sesak. Udara masuk ke dadanya semakin berat.
Ketika itu Bayu sekelebat melihat ke belakang kursinya. Seperti ada sebuah kaki yang menjuntai di belakang
Di sudut matanya Bayu melihat seperti ada seorang perempuan berkebaya merah yang berdiri di atas kompor.
"Jangan dimakan bandengnya. Makan nasi sama sayurnya saja. Bulik ambilkan obatmu ya. Di mana?"
Dengan kesulitan Bayu
Bayu hampir pingsan ketika melihat dua orang yang berdiri di dekat pintu di...
Tapi ketika Bayu benar-benar menghadapkan wajahnya kepada dua orang tadi,
Bayu menyambar air dan meminumnya cepat-cepat. Buliknya datang membawa obat. Bayu meminum obatnya. Dan berjalan keluar dari dapur itu. Ketika semakin jauh dari meja dapur, Bayu merasa mulai kembali ringan.
"Maafkan Bulik, ya, Yu. Bulik tidak tahu akan jadi seperti ini. Maaf."
"Tidak apa-apa, Bulik. Bukan salahnya Bulik. Jangan minta maaf ya. Ini kondisi Bayu saja yang tidak sehat."
"Bulik gak menyangka akan jadi kayak gini lo, Le. Maaf sekali ya. Bulik tidak bermaksud membuat Bayu...
Bayu tersenyum. Napasnya yang ngos-ngosan mulai teratur kembali. Tiba-tiba dia tertawa, "Haduh, orang penyakitan itu kayak gini ya, Bulik."
Buliknya mau tertawa tetapi masih kelihatan ragu-ragu. Tapi melihat Bayu yang terus menertawakan dirinya, Buliknya akhirnya
---
Akhirnya sore itu Bayu menghabiskan waktunya dengan terus membaca novelnya. Ketika Pakliknya datang, Bayu tidak menceritakan apa yang terjadi, daripada hanya membuat suasana...
Paklik dan kakeknya melanjutkan sore mereka dengan meneruskan menganyam daun kelapa untuk dijadikan keranjang. Bayu bertanya keranjang itu mau dipakai untuk apa. Pakliknya mengatakan digunakan untuk ngetus (meniriskan) isi kakao...
---
Sorenya Mbah Suroso datang ke rumah kakeknya. Berbeda dengan kakeknya yang kurus jangkung, Mbah Suroso lebih gemuk. Wajahnya wajah orang yang biasa tersenyum. Garis senyum terpahat di ujung bibirnya. Mengerut bersama usia.
"Tapi aku rumangsa beda, Dik, lah wong langit itu padhang jingglang. Manuk pada saur siji liyane. (Tapi aku merasa berbeda, Dik. Langit terang benderang, burung-burung
"Ya mbuh (entahlah). Mana yang benar, Mas. Mungkin dua-duanya bisa jadi benar." Mbah Suroso lalu melihat kepada Bayu dan tersenyum, "Wis gedhe kamu Le. Anak-anaknya Wijaya (ayah Bayu) iku kok padha ...
Bayu menyalami Mbah Suroso, "Eyang Suroso." Mencium tangannya.
Mbah Suroso justru tersenyum, "Ya pantes nek akeh sing nyenengi, wis bagus, sopan sisan. (Pantas kalau banyak yang menyukai, sudah tampan, sopan juga). Yang suka...
Bayu tertawa, dia selama ini tidak pernah merasa menjadi orang yang ganteng. Kalau pernyataan itu muncul bukan dari kakeknya, tapi dari tante-tante atau om-om genit mungkin akan beda efeknya. Tapi...
"Eyang itu sudah terasa gak enak sejak kamu mau datang ke sini. Tapi kakekmu itu justru mengatakan sebaliknya. Mana yang benar kita belum tahu. Tapi kakek mau tanya, badanmu terasa berat gak?"
"Enggak itu, Eyang."
"Oh ya wis ...
"Ora nemen piye, delengen kuwi dhadhane (tidak parah bagaimana, coba itu lihat dadanya)." Tambah kakeknya.
Bayu membuka kaosnya. Dan wajah Mbah Suroso berubah sama sekali. Wajah tenang dan bersahabat yang tadi nampak
"Kait kapan kuwi, Le? (sejak kapan itu, Nak?)"
"Kemarin belum ada, eyang. Pagi tadi habis sarapan, pada waktu Bayu mau mandi, tiba-tiba keluar. Terus rasanya panas seperti sesak." Bayu hendak menambahkan peristiwa siang tadi tapi ragu-ragu.
"Tadi siang juga begitu, Eyang. Bulik baru pulang sekolah. Membawakan bandeng. Pada waktu Bayu makan, ternyata sakitnya terasa lagi."
Kakeknya terkejut, "Oalah! Ngerti aku."
"Piye?" Tanya Mbah Suroso
Mbah Suroso mengangguk-angguk, "Bayu pernah lihat anak-anak kecil belakangan?"
"Iya, eyang."
"Itu teman-temannya yang ikut sama Bayu sekarang."
"Durung ngerti, Mas. (Belum tahu, Mas). Tapi nek tak deleng, Bayu iki kok kalung usus ya (Tapi kok kalau aku lihat...
"Sak elingku ya ngono (seingatku juga begitu)" Jawab kakeknya.
"Orang yang kalung usus itu, Yu," Mbah Suroso mengatakan kepada Bayu, "selama hidup dia memang akan bagus-bagus seperti kamu ini. Pakai baju apa saja
"Bayu seperti sekelebat-sekelebat lihat orang-orang gitu, eyang. Pada waktu di dapur, pada waktu kemarin di tegal...
"Sing paling medeni apa? (yang paling menakutkan apa?)"
"Ya pada waktu lihat tidak menakutkan eyang. Biasanya habis itu kalau sudah mulai sadar itu yang mulai merinding." Tapi Bayu kemudian mengingat.
"Dudu gendruwo kuwi (bukan gendruwo itu). Gendruwo ora ngono rupane (Gendruwo tidak begitu wajahnya). Kuwi mong-mongane buyutmu biyen (itu peliharaan buyutmu dulu). Yang jaga rumah ini, supaya tidak...
"Tapi ya ngeri, eyang, Bayu sampai hari ini sudah tiga hari belum berani mandi."
Mbah Suroso dan kakeknya tertawa. Mbah Suroso menjawab, "Ya untung kamu kalung usus
"Awalnya begitu, akan sering kaget-kaget. Tapi lama-lama ya biasa."
"Ditutup saja, Eyang."
Mbah Suroso tiba-tiba tertawa. "Di keluarga kita itu ada yang namanya tiba darah. Kamu itu kelihatannya dapat
"Bukan, bukan. Kalau sakitmu itu bukan karena bakatmu. Tapi karena ada yang senang tadi itu. Atau entah bagaimana dia ikut ke kamu."
"Kapan, Eyang?"
"Itu eyang belum tahu. Tapi kelihatannya dia sudah kerasan sama kamu ..
"Waduh."
Mbah Suroso menoleh kepada kakeknya, "Tapi kok asale saka kene ya (tapi kok asalnya dari sini, ya). Padahal kan Bayu ini itungannya jarang-jarang ke sini." Mbah Suroso berganti melihat ke Bayu, "Itu yang harus dicari sebabnya, Le ...
"Apa harus murwakala?" Tanya kakeknya.
"Lah wong wis gedhe ngene (sudah besar begini), masak ya mau di-murwakala."
"Timbang ora ucul (daripada
"Murwakala itu bukan melepaskan, tapi menolak bala, mala petaka yang dibawa karena kamu lahir khusus. Tidak ada hubungannya dengan yang ikut sama dia."
"Lah siapa tahu bisa sekalian." Ujar kakeknya.
Mbah Suroso nampak berpikir, "Aku kuwatir, nek
"Maksudku, kalau nanti napaknya Bayu ini datang besok Sabtu rencanaku sekalian diomong-omongkan."
Bayu tidak ...
Mbah Suroso tertawa, "Bocah lanang (Laki2)..
Giliran Bayu, "Anjrit! Nasihatnya baik sekali, Eyang."
Suasanana menjadi ringan. Semua orang tertawa bersama-sama.
"Begini saja, Bayu sementara mandi dan tidur di rumah eyang saja," Jawab Mbah Suroso,
Maka sementara menunggu orang tuanya datang. Bayu diungsikan ke rumah Mbah Suroso. Barang-barangnya tetap diletakkan di tempat kakeknya. Tetapi malam itu Bayu menginap di Mbah Suroso.
Malam itu, walaupun sudah lewat jam tujuh, akhirnya Bayu bisa mandi dengan tenang. Dia tidak merasakan kedatangan makhluk-makhluk lain. Hanya memar di dadanya yang masih terlihat gosong.
Kamar di rumah atas tidak sebesar kamar di rumah bawah. Selesai berdoa malam,
Bayu bisa tidur dengan cukup nyenyak hingga terbangun karena suara ketukan di dinding rumah itu. Rumah itu dari papan dan lantainya masih tanah, ketukan di dinding terdengar cukup keras.
Bayu berusaha untuk tidak menghiraukannya...
Bayu menutup kepalanya dengan bantal. Tapi justru semakin dia menutup kepalanya dengan bantal, dia justru...
Bayu kenal sekali lagu yang ditembangkan. Tembang dan iringan itu adalah iringan jathilan
Suara penyanyinya perempuan.
Lalu terdengar seperti ada yang menggesek-gesek di dinding papan kamarnya.
Perempuan itu perlahan melihat...
Dia tidak berjalan mendekat ke arah Bayu, tetapi tetap menempel di jendela. Tubuhnya melompat-lompat dengan tetap menyandar ke dinding. Dia menyeret tubuhnya dalam lompatan-lompatan yang menggesek dinding, hingga menimbukan bunyi...
Bunyi jathilan terdengar semakin jauh. Dan perempuan itulah yang menembang. Semakin dia mendekat dengan Bayu, yang terdengar justru suaranya semakin jauh. Dia terus mendekat dengan melompat-lompat menempel di dinding.
Suara perempuan itu semakin jauh, tetapi bunyi gesekan itu semakin dekat.
Lalu diam.
Bayu menantikan dalam diam hingga beberapa saat.
Dikamar itu semua hening. Suara hanya bersal dari luar rumah yang cukup jauh.
Kepalanya menjulur ke bawah persis mendekati kepala Bayu. Jarak kepala mereka begitu dekat, ketika perempuan itu...
Tangannya yang dingin diulurkan ke rambut Bayu. Bayu benar-benar bisa merasakan tangan itu. Dingin dan kering. Bayu merasakan tangannya sendiri dan sekujur tubuhnya yang bergemetaran tidak karuan.
Perempuan itu mendekatkan bibirnya ke telinga Bayu...
"Anak lanang, dolan wae. Dikangeni wong akeh. Mulih ya, Le"
(Anak lelakiku dolan terus. Dikangeni orang banyak. Pulang ya, Nak)"
"Anak lanang. Mulih ya, Le"
Bayu mengibaskan bantal.
Perempuan itu sudah tak ada lagi.
Hanya ada kasurnya yang basah dan tubuhnya yang bercampur keringat dingin dan air kencing.
"Eyang ... eyang..." Bayu mengiba dengan tubuh yang basah dan wajah yang entah seperti apa. Dadanya menyesak dan memar dalam tubuhnya semakin panas.
Mbah Suroso membanting daun jendela. Lalu mengendus-endus kamar.
"Tidak tahu aturan. Kita pindah ke Mbahmu malam ini. Gak beres ini!"
“Kamu itu halu!” Desak Sara yang dari tadi masih mengacung-acungkan HPnya untuk mencari sinyal.
“Dibilangin gak percaya. Makanya coba tinggal di sini seminggu aja. Bakalan muter dunia kamu 360 derajat.” Bayu masih mencoba menghubungkan sebuah daun kelapa dengan daun lain,
Sara berbalik dan terpesona melihat kakaknya yang mulai merangkai daun-daun nyiur hingga mulai nampak bagian bawah keranjang, “Widih tambah kreatif kamu di sini, Mas. Cocok sudah jadi orang P. ...
“Kamu na, dikasih tahu gak percaya. Lihat gosong di dadaku tadi, kan.”
“Itu sih gara-gara paru-parumu yang rusak dari dalem. Lihat aja orang-orang diabetes itu. Ada kan yang sampai badannya gosong gitu juga. ...
“Arek cilik (anak kecil) dikasih tahu yang tua ngeyelan.”
“Mas, aku gak nampik ya yang magis-magis itu ada. Tapi banyak orang yang bilang punya pengalaman magis, tapi nyatanya cuma ngayal. Atau kalau gak, karena dia kena histeria, jadi
“Anjrit! Aku ngerti Freudian, aku ngerti Jung, Lacan, Le Bon.
Sarah tertawa, “For dummies!”
“Emang kamu baca di mana, di situ juga kan. Gak usah songong kamu anak SMA. TOEFL aja ...
Sara tertawa ngakak.
Matahari sore itu seperti enggan terbenam. Sudah lewat pukul lima, tetapi masih tersisa titik kuning. Langit-langit memuarkan cahayanya merupa kuning, jingga, hingga kemerahan. Awan-awan sirus melanggengkan rekah cahaya itu menjadi ...
Sara menatap kakaknya, “Aku kangen kamu lo mas. Tumben kan.”
“Ciye, baru gak ketemu seminggu. Coba kalau aku beneran satu bulan di sini. Meratap darah kamu.”
“P. Kenapa desa ini dikasih nama P?”
“Orang jaman dulu kan sakti-sakti. Brama Kumbara aja bisa terbang.”
“Nonton Iflix noh! Ada tuh film-film kuno. Suzzana yang jadi Nyi Blorong aja ada.”
“Noh!” Bayu meledek Sara dengan menirukan gayanya, “Dan kamu masih gak percaya.”
“Itu film! Hello! Kalau pingin lihat orang yang benaran bisa ...
“Itu mah terbang diangkut, Songong.”
“Tapi bener kan, ato pergi ke Nasa sana, bisa terbang sampai Jupiter.”
Keduanya tertawa. Bayu membawa Sara ke topik awal, “Eh tapi, katanya kamu kangen, kok gak pernah WA atau apa.”
“Anjrit! Gak ketemu seminggu, seleramu ganti jadi panggung dangdut. Wadaw!”
“Salah! Didi Kempot! Godfather of...
Bayu merasa kebahagiaan yang luar biasa. Tidak biasanya dia bisa ngomong panjang dengan Sara. Biasanya Bayu akan sibuk dengan kuliah dan Sara dengan ekstra dan acaranya yang entah ke mana. Gadis muda itu seperti burung yang enggan mau diikat.
“Tapi beneran kamu kangen?”
Tapi bagaimana bisa tidur dengan tenang. Hampir setiap malam ...
Bayu sungkan dengan semua kebaikan orang-orang itu. Dia berniat ke P bukan untuk merepotkan.
Bayu merasa trenyuh. Bijaksana memang tak mengenal golongan. Tak mengenal pekerjaanmu apa. Tak mengenal kamu berasal dari mana. Ketika kamu bijaksana, bijaksana saja
---
Murwakala adalah lakon tua dari pewayangan Jawa dan Bali. Tak ada di Mahabarata atau Ramayana. Namun, mengakar kuat dalam tradisi Hindu Jawa Bali. Dari Lontar Tattwa dan pewayangan Jawa, terkisah Batara Guru, pemimpin para dewata...
Sperma itu menjelma makhluk ganas, yang bertambah besar dan besar. Dia merusakkan dan makan segala yang ada di laut. Batara-batara dikirim memeranginya.
Di sana dia bertemu Guru dan mengatakan ...
Kondisi bajang tak selalu berarti anak tersebut cacat. Tapi bisa jadi ketika kelahirannya tak baik menurut hitungan
Bayu yang lahir ketika matahari terbenam tergolong..
Sara yang sedari awal tak percaya hal-hal demikian jelas menolak keras. Tapi mamanya melembutkannya, “Kamu ...
“Itu menakutkan, Ma. Kalau aku diapa-apakan gimana?”
Mbah Suroso kemudian maju mengatakan, “Tidak, ndhuk. Ruwatan murwakala itu tidak seperti rukiyah atau semacamnya. Itu ...
“Tahu jagad cilik paling kecil, Sara?” Tanya kakek.
Sara tidak menjawab,
Kakek melanjutkan, “Diri kita ini. Manusia. Masmu Bayu itu. Dan jagad gede terkecil kamu tahu? Semesta dalam bentuknya yang paling sederhana?”
“Keluarga.”
Dan Sara pun bersedia.
Namun dari semua pembicaraan yang dilakukan di tengah keluarga itu, ada seseorang yang diamati oleh Bayu tidak mengatakan apa pun. Pak Simon.
Penjor-penjor sudah terpasang. Tertata apik dari sepanjang gapura masuk. Ramai berwarna-warni. Patok-patok rafia sudah berkotak-kotak di tepi lapangan. Beberapa hanya ditandai batu-batu sepelemparan. Tanda bahwa nanti malam para pedagang akan menempati blok-bloknya dengan..
Sound system dan kelir sudah terpasang, sekalipun wayangnya belum. Mungkin akan dipasang menjelang sore. Posisinya disengaja tak berjajar dengan rumpun bambu di sisi...
Buliknya tentu bagian yang sudah biasa bercampur dengan warga desa yang demikian. Yang menarik perhatian adalah mama Bayu. Jelas bahwa mamanya tak berkarib dengan acara desa yang demikian. Tapi mamanya nampak berusaha untuk tidak diam saja ...
Sara apalagi. Dia pontang-panting dari rumah atas ke rumah bawah, lanjut ke Baledesa. Ada saja yang dikerjakan, mungkin juga untuk mengisi ketidaktenangannya. Mulai dari ikut bapak-bapak merangkai janur. Ikut memasang kursi, bahkan mencangkuli rumput...
Bapak-bapak dan ibu-ibu kampung jelas lebih akrab dengan Sara karena gadis...
Ayah membawa sebuah kursi lipat mendekati Bayu yang sedang membaca di sebelah rumah kakek. Dia meletakkan kursinya di sebelah Bayu, menepuk ...
Bayu memandang ayahnya, nanar. “Maafkan Bayu ya, Yah, sampai merepotkan seperti ini. Ayah pasti keluar biaya...
“Hei! Jangan ngomong begitu anak muda. Itulah orang tua. Kalau untuk anaknya, apa pun pasti dilakukan. Ayah lebih mending keluar uang daripada lihat kamu sakit-sakitan. Makanya rokoknya juga dikurangi, kalau bisa berhenti.”
“Ayah dulu katanya juga merokok ya? Aku dapat cerita dari Paklik.”
“Ya, sampai mamamu itu ngomel dari Utara ke Selatan. Terutama pas kamu udah lahir.”
“Widiw, mana ada. Sara tuh kesayangan. Apa-apa dibiarin.”
“Sara itu bukan dibiarin. Tapi memang tidak mau dibilangin. Tapi ya selama aman tidak apa-apa. Kan masih dalam pantauan orang tua. Selama orang ...
“Tapi dia itu luar biasa lo, Yah. Gak di S, gak di P, dia itu gampang banget dapat teman. Ketemu sama siapa saja itu kayak ada saja yang diomongin.”
“Anak kan beda-beda, Yu. Kalau dia disuruh diam tenang kayak kamu mana bisa. Buat ayah sama mama ...
“Tapi beneran kok. Kalau misalnya ada perang gitu. Kami disuruh sama-sama maju, aku pasti sudah mati duluan, dia kayak lakon, mati paling belakangan.”
“Mati paling belakangan dan cerewet minta ampun. Kalau jadi ...
“Maafkan Bayu, ya, Yah.”
“Berhenti minta maaf. Kita hadapi ini bersama-sama.”
“Ada lah. Tapi gak besar banget kok, Yu. Dan kamu terima kasih sama Opa Simon. Sebagian acara ini yang membiayai juga beliau. Beliau bahkan maksa untuk membiayai semuanya, lo. Ayah yang gak enak. Akhirnya ya kami fifty – fifty ...
“Opa Simon sampai gak ikut pulang, ya, Yah. Bertahan di sini.”
“Itu artinya kamu itu penting buat kamu semuanya. Tapi lagian kan tokonya Opa itu sudah ada pekerja-pekerja yang jaga. Beliau itu kan tinggal menikmati hidup, Yu. Kapan hari diajak Tante ...
“Apa?”
“Biar bisa nemani cucu-cucunya di sini. Ya kamu sama Sara.”
“Wow! Gila! Segitunya.”
“Opa itu sudah kayak orang tua kedua buat ayah, Yu. Kalau bukan opa yang dulu nyekolahkan, ...
“Tante Ratna itu gak menikah ya, Yah? Ayah sama Tante Ratna itu tuaan siapa sih?”
“Tua tante lah. Beda delapan tahun sama ayah. Dia itu sudah lima puluh sembilan sekarang. Tapi memang enggak menikah, gak tahu ya. Tapi ya...
“Lah ini Opa Simon ke mana, Yah?”
“Gak tahu tadi keluar dari pagi kok. Kok gak kelihatan ya. Kalau kamu gak tanya, ayah juga ...
Ayahnya berdiri dan mengambil lagi kursinya, “Ayah mau cari Paklikmu dulu. Katanya pakdhe-pakdhe dan budhe-budhemu mau datang. Tapi kok belum kelihatan.
Bayu mengangguk dan menatap ayahnya pergi. Yang aneh adalah sejak keluarganya datang, perlahan-lahan memar bayu mulai perlahan-lahan sembuh.
Hal itu yang menjadikan Sara semakin tidak yakin pada yang begini-beginian. Dia menganggap bahwa apa yang dialami kakaknya kemarin itu sebenarnya cuma karena kangen ...
Bayu sendiri tidak bisa meyakinkan Sara karena memang tidak bisa memberikan bukti apa pun. Jika ditanya kejelasannya, Bayu juga tidak benar-benar mengerti. Bayu bahwa mulai mempertanyakan apa yang dia lihat ...
Pak Simon mendekati Bayu. Lalu mengulurkan tangannya memberikan sebuah rangkaian gelang dari bambu kuning kepada Bayu. Bayu melihat beberapa penduduk desa di belakang Pak Simon membawa tumbuhan bambu kuning sebanyak satu pick up.
“Bukan gelang ini yang tidak pas. Tapi acara ini.”
Pak Simon meminta orang-orang itu menurunkan bambu-bambu itu dari pick up. Mereka mengikuti perintah Pak Simon. Bambu itu diturunkan. Pak Simon meminta supaya sebagian bambu ...
“Dapat dari mana pohon-pohon ini, Opa?”
“Tadi Opa pergi dari pagi keliling P2 ke mana-mana mencari penjual bunga. Mana yang ada bambu kuning dibeli saja semua.” Opanya tersenyum kecil,
“Buat apa ini, Opa?”
“Jaga-jaga saja. Hal-hal seperti yang kamu alami itu memang ada, Yu.”
Orang-orang memasang bambu kuning itu di sekeliling rumah eyangnya.
Bayu, Pak Simon, dan orang-orang yang terkejut segera berlari ke dalam rumah.
Peristiwa itu tak ada beberapa detik, tetapi kerusakan yang dibuat sampai sedemikian parah. Seperti ada yang menggoncang rumah itu dan menumpahkannya.
“Sudah dimulai. Malam ini benar-benar perang.” Gumam Pak Simon. Pak Simon meminta orang-orang desa yang ...
Pak Simon mendekati Bayu
Bagaimana maksudnya? Tapi Bayu ikut saja menata kembali barang-barang itu. Tentu tidak bisa seperti semula. Karena beberapa barang bahkan sudah tak berbentuk seperti barang asalnya.
“Ini yang opa bilang, Yu. Acara ini gak pas. Opa kuatir, kalau diteruskan bukan hanya kamu, tapi seisi desa yang kena dampaknya.”
Paling tidak Bayu tersadarkan bahwa apa yang selama ini dialaminya benar dan ...
Pertanyaan-pertanyaan itu terngiang di pikirannya tanpa mampu menemukan titik terang. Pak Simon sendiri agaknya tak berkeinginan untuk memberikan penjelasan lebih lanjut.
“Mereka siapa, Opa?”
Pak Simon tak menjawab, langsung meminta orang-orang yang ...
Bayu melihat berkeliling. Tapi dia tiba-tiba merasa merinding di dalam rumah itu sendirian.
---
Untuk ritual murwakala di tengah acara wayang sendiri sudah disediakan umpak setinggi satu meter di sebelah tarub untuk wayang. Umpak ruwatan itu lebih kecil daripada tarub wayang. Umpaknya sendiri mungkin hanya dua kali dua meter.
Beberapa ekor ayam hitam yang kakinya terikat ...
Dua orang anak laki-laki membawa kenong di tangan mereka, juga berpakaian hitam-hitam. Dua yang lain berpakaian dan bertopeng bocah ganong. Ada beberapa anak perempuan berpakaian kemben dan berhias make up di wajahnya membawa bokor berisi bunga, ...
Mbah Suroso maju ke tengah-tengah yang hadir dan mulai menembang sebuah tembang yang tertulis di ...
“Ana tangis layung-layung. Tangise wong wedi mati. Gedongana kuncenana, wong mati mangsa wurunga. Ri pada-pada soyung mbokne lara. Cepaka paka tanjung, mbokne lara.” (Saya tidak tahu persis artinya bagaimana tetapi kira-kira:
Selesai mereka berdua keluar dari kurungan. Sebuah sesajen diletakkan di halaman rumah kakeknya. Sebuah hio dinyalakan di dekatnya. Bayu dan Sara dipercik dengan air bunga.
Pak Simon sempat mendekat kepada Bayu, membisikkan,
Selepas sesajen ditanam, selanjutnya rombongan berjalan menuju jalan hutan. Selama perjalanan anak-anak perempuan yang...
Tiba di tegalan kakeknya. Mereka berhenti. Mbah Suroso ...
Dan ketika itulah Bayu melihat bahwa di sekitar mereka ada orang-orang yang ...
Ketika rombongan berjalan. Beberapa makhluk itu ikut berjalan bersama rombongan. Menjadikan rombongan mereka semakin besar. Sedangkan beberapa yang lain berhenti ...
Lalu tercium bau itu lagi. Bau yang diakrabi Bayu. Bayu bersusaha dengan keras untuk mengingat bau ...
Bau ini bau anyir yang arus. Bau yang sangat dikenalnya tapi juga tidak. Dan Bayu berhasil mengingat ini bau apa. Ini seperti bau darah menstruasi ketika Sara membuang pembalutnya di tempat sampah kamar mandi.
Ketika itulah Bayu melihat dari sudut matanya, bahwa di kiri kanannya ada anak-anak kecil yang ikut menari mengikuti pukulan kenong.
“Enak! Enco! Enak! Enco! Enak! Enco!...” Demikian terus menerus. (*Enco adalah istilah ...
Bayu tidak berani menoleh.
Bayu bergidik dan jalannya oleng. Ketika Pak Simon segera mendampingi di kanannya. “Tetap jalan. Ini belum apa-apa.”
Ketika rombongan terus berjalan. Bayu merasakan ...
Bayu merasakan sesak berat di dadanya. Dan dadanya kembali memanas. Dia berusaha menekan dadanya untuk menghilangkan sakit dan panas itu.
Bayu melihat di depannya sebuah pohon yang sangat besar dan tinggi. Butuh beberapa manusia untuk memeluk pohon itu. Langit semakin gelap dan pepohonan semakin rimbun. Jalan tanah di bawah mereka semakin basah.
Bayu tiba-tiba merasakan genggaman tangan. Hangat. Tangan Sara. Sara berjalan lebih cepat, menjajarinya. Dia berbisik dalam genggaman tangan yang semakin kencang, “Aku takut, Mas!” Bayu menatap adiknya itu.
Hutan itu hening. Bahkan tak ada suara hewan apa pun. Berbeda dengan wilayah hutan yang baru saja dilewatinya, hutan yang digunakan oleh
Terdengar orang-orang yang menyertainya di belakang mulai gelisah saling bergemeresak. Beberapa warga bahkan mengatakan, "Kan ora pareng mlebu kene (kan tidak boleh masuk sini."
Kegelisahan itu semakin nyata, ketika tiba-tiba obor mendadak mati, semuanya sekaligus. Orang-orang ribut dalam suara yang ditahan. Bayu menoleh ke belakang. Beberapa orang berusaha untuk menyalakan kembali obornya. Tapi tidak ada yang berhasil.
Tapi pertanyaan yang Bayu rasakan adalah mengapa mahkluk-makhluk yang menyertainya juga pergi. Jika ini adalah hutan mereka, mengapa mereka memilih undur.
Dan ketikah itulah suara itu terdengar. Suara Jathilan. Ini bukan jathilan yang biasa dia dengarkan. Musiknya berbeda. Alat musik yang dimainkan juga terasa lebih kompleks. Lebih banyak alat musik. Musik ini sama sekali baru,
Makhluk-makhluk yang tadi menyertainya dalam perjalanan membuatnya bergidik. Tapi tidak seperti yang ini. Ini lebih dingin. Ada...
Sara memandangnya. “Mas Bayu dengar suaranya?”
Bayu diam, matanya memandang pohon besar itu, “Aku melihat.”
Di tengah hutan?
Bayu tetiba sendirian. Sara menghilang hanya meninggalkan sisa dingin genggaman tangannya. Ini seperti mimpinya kala itu. Dia menonton jathilan bersama Mama dan Sara tapi mereka tetiba pergi hanya dirinya sendiri.
Dan ketika itu Bayu mendengar Opa Simon, "Jalan Bayu. Jalan. Ini belum yang terberat."
Dan nyatanya Sara masih menggenggam tangannya dengan ketakutan. Tangan Sara...
Lalu apa yang dilihatnya. Musik apa yang didengarnya.
"Sara," Bayu mendekati adiknya, "Kamu masih dengar suaranya?"
Sara mengangguk.
"Mas Bayu lihat apa?"
Dan suara Pak Simon, "Jalan, kalian berdua jalan."
Namun, rasa hampa dan kehilangan yang baru saja dia rasakan barusan membuatnya tak ingin kehilangan adik ...
Inikah yang membuat ayahnya rela meninggalkan kerja demi dirinya. Membayar harga mahal untuk kebutuhan ruwatan dan wayang tanpa berhitung. Membuat ...
Perasaan hangat itu meruap dalam diri Bayu. Merasa bahwa dirinya dikasihi. Merasa bahwa jika dia ...
Apa yang ada di depannya tak nampak lagi. Walau ...
“Mungkin. Aku tidak tahu.”
“Mas melihat mereka di mana?”
“Di depan kita. Di pohon besar itu.
Sara mendekatkan dirinya kepada Bayu. Bayu merangkul adiknya di bahunya. Dan tidak disangkanya ayah dan mama sudah di belakang mereka, mendekap mereka berdua dengan jemari yang sama-sama ...
“Sara,” Bayu berujar lirih, “Kamu percaya?”
Sara mengangguk. Dan menggamit lengan kakaknya.
Obor-obor tak juga berkenan menyala. Udara dingin dan rerimbun pepohonan hutan menjadikan suasana sekitar mereka serupa malam. Bocah-bocah ganong berhenti menari.
Suara gemerisik takut warga desa yang ikut menyerta mereka terdengar di belakang. Namun, suara paling lantang adalah gelepak sayap ayam hitam yang mereka bawa.
Mbah Suroso menunjukkan sembahnya ke pohon yang ada di depan mereka. Menyatakan kula nuwun (permisi). Lalu merapalkan sebuah mantra dalam bahasa yang tak lagi dikenal. Jelas bukan bahasa Jawa, karena Bayu ...
“Bahasa apa itu, yah?” Bayu bertanya kepada ayahnya.
Yang menyahut justru kakeknya yang sudah berada di sebelah kirinya. Bersanding ...
“Ini benar-benar akan diteruskan, Pak Taji?” Tanya Pak Simon lirih. Ternyata pria yang menenangkannya dan menyuruhnya untuk terus berjalan itu pun menampakkan raut yang kalut. Bayu melihat berkeliling. Setiap mata pria dan ...
“Ini laku yang harus dilakukan, Dik.” Jawab kakeknya kepada Pak Simon yang agaknya tak berterima dengan jawaban pria yang dianggapnya kakaknya sendiri itu.
Di pohon itu, Bayu dan Sara diminta untuk maju ke depan.
Dan Bayu mendengar suara yang tertawa mengejek. Bayu melihat berkeliling. Jelas tidak ada di antara perempuan yang menyertainya yang ...
Bayu berusaha untuk tidak bereaksi. Dia berusaha untuk tetap tenang sekalipun jantungnya ...
Tangan kanan perempuan itu diangkat dan diarahkan ke betis ...
“Muliha, angger. Mulih kartaning sinuwun ...
Semua orang segera mengerubungi Bayu. Banyak yang bergegas memegangi tubuhnya.
Yang dirasakan oleh Bayu justru tubuhnya memanas luas biasa. Dadanya kembali sesak tidak terkira. Rasa sakit ini berbeda dari biasanya. Karena panas ini tak seperti berasal dari kulitnya tetapi dari dalam tubuhnya. Seperti ada yang ...
“Hentikan ini semua! Hentikan!” Teriak Pak Simon, “Ini sudah kebacut! (Ini sudah kelewatan!)
Mbah Suroso yang menjadi sasaran perkataan Pak Simon justru terlihat kebingungan.
“Kula sampun leladi ruwat murwakala makaping-kaping, Pak Simon. Nanging boten nate ngantos kados mekaten. Matemah sedaya tata cara, papan, uba rampenipun sami kaliyan dinten punika.
“Rangkaiannya tidak boleh putus! Atau murwakalanya akan gagal.” Teriak kakek Bayu. Dia lalu berteriak kepada Mbah Suroso, “Cepat selesaikan setelah itu kita pergi dari sini!”
Mbah Suroso, yang kali itu jelas nampak gemetaran melihat ...
“Cepat! Atau laku ritualnya putus!” Teriak kakeknya.
Mbah Suroso menyelesaikan ritual itu. Dia meletakkan sebuah sesaji di depan pohon besar itu. Dia berusaha untuk menyalakan hio, tetapi tak bisa menyala karena udara yang ...
Bayu kembali melihat semuanya. Para prajurit itu masih berdiri mengelilingi mereka dalam barisan segi empat. Perempuan berbaju merah itu menjauh dari rombongannya. Dan dua orang yang wajahnya seperti tertutup kabut yang berganti maju. Mereka berjalan seperti ...
Bayu menggigil ketakutan, sedang di dadanya justru panas ...
Orang-orang pasti menduga Bayu kesurupan. Karena Bayu berguling-guling di tanah dan mengerang-erang. Namun tidak. Bayu jelas-jelas sadar. Dia berguling di tanah dan mengerang karena dia semakin tak bisa bernapas. Dan panas di dalam dirinya semakin nyalang.
Rombongan Bayu berusaha untuk menghentikan Bayu. Bayu merasa kesal, karena mereka salah mengerti maksudnya. Mbah Suroso masih berusaha untuk menyalakan hio sesajinya. Kakek berusaha ...
Bayu merasa bahwa orang-orang semakin bodoh. Mereka berusaha menahan Bayu. Banyu sangat marah, mengapa tidak ada di antara mereka yang bisa melihat dua sosok itu.
Bayu ingin berteriak. Namun seperti ada tangan yang menahan bibirnya. Tangan yang membungkan bibirnya dan menarik wajahnya ke samping supaya...
Namun sosok itu semakin mendekat. Dan hio itu tak segera menyala. Kali ini pendar-pendar yang serupa para tentara itu mengetuk-ngetukkan tombak mereka ke tanah. Membentuk suara rampak…
Dua sosok itu terus mendekat. Dan suara pangkal tombak para prajurit terdengar semakin derap. Bruk bruk bruk. Dalam tarian jathilan yang semakin rampak.
“Tidak bisa menyala hionya.” Teriak Mbah Suroso.
Maka para pria yang mengelilingi Bayu menenangkan Bayu yang dianggapnya kesurupan mengangkat Bayu. Kedua ayam hitam terlepas dan berlari ke tengah hutan. Anak-anak kecil bergerombol ketakutan di ...
Tubuh Bayu diangkut dan dibawa lari. Semuanya berlari menerabas pohon besar itu. Mereka tunggang langgang. Mereka terus berlari ketika dua sosok yang dilihat Bayu itu berhenti di tempat.
Semakin jauh mereka berlari meninggalkan pohon itu, semakin pendar makhluk-makhluk itu menghilang. Hanya menyisakan hutan yang hening. Sama sekali sepi. Hanya suara orang-orang ...
Dan Bayu pun merasakan semua pelan-pelan mereda. Sakit dan panas di dadanya menyirna. Mulutnya seperti terlepas dari belenggu yang mengekangnya.
“Lepas!”
Taka da yang mau melepasnya. Mereka berlari semakin kencang. Sekencang cengkeraman mereka ke tubuh Bayu. Di belakang Bayu bisa melihat Sari yang terpontang-panting mengikuti lari para pria itu. Dia terus menangis sambil ...
Sesampainya di gapura desa. Genggaman orang-orang kepada Bayu melemas. Mereka jelas kelelahan. Napas para pria itu ngos-ngosan karena harus berlari sambil membawa Bayu. Kesempatan bagi Bayu untuk memuntir dirinya.
Orang-orang itu hendak kembali mengangkat Bayu, ketika Bayu membuka kedua tangannya ke depan. Menghalau orang-orang itu untuk maju.
Dengan napas yang tak beraturan, Bayu berteriak, ...
Orang-orang saling melihat dengan kebingungan. Mereka bingung memutuskan apakah ini Bayu atau roh hutan yang masuk ke dalam tubuhnya.
“Saya gak apa-apa! Dari tadi saya itu gak apa-apa!”
Mama dan ayah mendekati Bayu ...
---
Tapi mereka tadi tidak bisa melanjutkan ke tempat keempat, karena di pohon besar itu mereka justru harus mengambil jalan pintas akibat salah paham Bayu kesurupan tersebut.
Jelas mereka tidak bisa berbantah di ...
Kelir sudah terpasang wayang utuh. Blencong sudah dinyalakan.
Ketika rombongan Bayu datang, beberapa orang yang berada di sekitar gapura ...
Cerita-cerita semacam itu tak perlu dipercaya, cukup didengarkan dan dinikmati. Lalu diceritakan kembali. Kadnag dengan versi yang bertambah atau berkurang. Bumbu selalu ...
“Aku itu tidak apa-apa.”
“Tidak apa-apa gimana? Wong kamu tadi nggereng-nggereng di hutan gitu kok.” Tukas ayah kepada Bayu.
“Aku itu …” Bayu rasanya masih kesal hingga masih sulit berbicara.
Orang-orang dewasa yang ikut mengantarkan bersama rombongan duduk bersila sekenanya di lantai ruang tamu. Beberapa pria ...
“Daerah gunung ini dulu…” Kakeknya berbicara pelan, “kalau menurut cerita buyutmu pada waktu dibuka
Semua orang menatap kepada kakeknya. Kakeknya menyalakan rokok kreteknya, terlihat tangannya masih bergetar. Di tengah muramnya, kali itu mamanya ...
“Tidak ada yang berani membuka hutan sampai di tempat yang kita ...
Mendengar nama itu disebutkan beberapa penduduk desa yang ada di situ terkisap. Menurut hikayat, Nyai Cempaka Rani adalah yang menunggu pohon besar itu. Danyang pohon, sekaligus penjaga hutan kawasan P.
Sara tidak menjawab. Untuk gadis seperti Sara, Sara hanya tahu bahwa Diponegoro adalah pahlawan bangsa yang berperang melawan Belanda. Sara memilih untuk menggelengkan kepalanya.
Kakek menghisap rokoknya dalam sekali. Ketegangan dalam ruangan itu menenang. Berganti menjadi tenang.
“Salah satunya mereka lari ke tanah ini. Tanah bekas Keraton D. Keraton yang sudah hancur dan hilang. Tanah ini sudah menjelma hutan besar. Hewan-hewan buas di segala penjuru. Baik yang kelihatan atau yang tidak. Para anak buah Diponegoro itu ...
“Tapi dari cerita orang-orang tua, ada yang mengatakan bahwa anak buah Diponegoro ini bertemu ...
“Di situlah Nyai Cempaka Rani menyatakan diri bahwa dia berasal dari kerajaan yang tak kelihatan. Nyai tahu bahwa para bandit itu bukan orang-orang jahat.
Kakeknya melanjutkan, “Ksatria berkuda itu ya Pangeran Diponegoro dan pasukan ...
Bulik keluar dengan membawa sebuah nampan berisi beberapa kopi dan teh. Meletakkan di depan setiap orang satu-satu. Ketika berhenti di depan Bayu, Bulik berhenti sebentar, “Oalah, Le… Le… Jarang dolan ke P, sampai di sini kok jadi begini.”
“Matunuwun, ya, Dik, ya!” Suara mama bergetar menatap kepada Bulik.
“Lajeng kados pundi kala wau Nyai Cempaka Putih? (Lalu tadi bagaimana Nyai Cempaka Putih)” Tanya seorang pria yang duduk di teras depan.
“Oh inggih! Cempaka Rani.” Dengan wajah malu-malu pria itu beringsut mundur sambil mengambil kopinya.
Kakek pun melanjutkan ceritanya. “Itulah asalnya kuda lumping. Jathilan.
Kakek menghembuskan napas panjang. Lalu melihat ke atas seperti sedang mengingat sesuatu yang terluput, ...
Mbah Suroso lalu bertanya kepada Kakek, “Kalau dari cerita yang kudengar, bapak sampeyan itu kan yang dulu membuka hutan di sini. Jadi sebelum bapak sampeyan sampai di sini.
Orang-orang yang datang cukup terkejut karena Mbah Suroso justru menanyakan hal tersebut kepada Kakek. Mereka berpikir karena usia Mbah Suroso kelihatannya seusia kakek maka beliau juga tahu cerita itu. Mereka agaknya lupa bahwa ...
Kakek menggeleng, “Daerah ini dulu masih hutan. Tapi di tempat yang jadi punden itu, dulu daerah itu seperti bekas ada orang yang tinggal.
Sara angkat bicara, “Buyut pernah bertemu Nyai Cempaka Rani, Kek?”
“Aku ora ngerti (aku tidak tahu)”
Ketika itulah Mbah Suroso justru yang membuka pembicaraan, “Yes saka sing tak dilok (kalau dari yang aku lihat)” Mbah Suroso ...
“Gimana, Eyang? Gimana?”
“Aku biasanya isa ndeleng sing kaya ngono kuwi (aku biasanya bisa melihat yang seperti itu)”
“Kalau dari yang bisa aku lihat dulu,” Mbah Suroso melihat kepada Bayu, “Yang kamu lihat di kamar mandi itu, Yu, yang hitam besar, ingon-ingone (peliharaan) buyutmu, itu diberi oleh Nyai Cempaka Rani.”
Mbah Suroso pun tetap memandang kepada Bayu, “Dan kalau aku gak salah, Bayu ketoke ya tau ketemu (Bayu kelihatannya juga pernah bertemu)”
Bayu membelakakkan matanya, “Masak, Eyang?”
“Oh pada waktu saya …” Bayu menahan diri. Dan tiba-tiba tersenyum malu-malu. Bayu melanjutkan, “Sebelumnya ...
Yang menjawab justru bapak-bapak yang ada di luar, “Ora apa-apa, Le! (Tidak apa-apa, le)”
Bayu tiba-tiba merasa malu. Dan tersenyum. Melihat itu mama menatap ayah dan tersenyum.
“Halah kamu ngompol, Yu?” Tanya mama.
Semua yang hadir tiba-tiba tertawa. Dan tawa itu memecah segala ketengangan yang terbangun sejak dari hutan.
“Ganteng ganteng kok ngompol, minta disunat lagi mungkin,”
Dan Bulik berdiri, “Ada yang ...
Sara berdiri, “Sara bantuin, Bulik!” Bulik tertawa. Dan mengulurkan tangannya ke Sara.
“Bayu yang lihat. Iya, Le?” Tiba-tiba saja Pak Simon angkat suara. Pria yang dari tadi cuma diam mendengarkan itu mengeluarkan sebatang ...
“Opa Simon juga lihat kan?” Bayu menjawab pertanyaan dengan...
Pak Simon justru menggeleng.
“Masak Opa?”
Pak Simon tetap menggeleng. Lalu menghisap rokoknya panjang sekali.
“Ayah Simon bukannya tidak merokok to?” Siapa lagi jika bukan mama.
“Saya ini sudah tidak merokok beberapa tahun, tapi tetap membawa rokok.
“Tapi ada yang ke sini buat berobat dari sakit paru-parunya, lo! Kalau nanti tambah parah gimana?” Mama mengomel tapi tak ...
“Satu saja, Jen. Tamba kangen (obat kangen).” Jawab Pak Simon.
“Satu saja loh, ya!” Dan mama melihat kepada Bayu, “Yang sakit jangan ikut-ikutan lo, ya.”
“Berarti Nyai Cempaka Rani itu yang ke kamar saya itu, Eyang?
“Benar bajunya merah!” Teriak kakek, “Itu yang dulu diceritakan mbah buyutmu. Bajunya merah.”
“Tapi kalau yang saya lihat tadi…” Bayu menahan napasnya. Wajahnya tiba-tiba menegang. Orang-orang yang sempat mencair tiba-tiba tertuju kepada Bayu.
“Itu memang kerajaannya Nyai Cempaka Rani.” Ujar Mbah Suroso.
“Bukan!” Bayu menghardik.
Orang-orang kembali serius. Wajah-wajah tegang itu mengeras.
“Perempuan berbaju merah itu seperti sinden. Dia melayani ...
“Ini serius ta? Mama merinding ini!” Mamanya menunjukkan lengannya yang mengkirig ke depan.
“Iya dia bukan pemimpin kerajaan itu. Dan itu bukan kerajaan. Pohon itu cuma seperti alun-alun tempat pertunjukan jathilan digelar.”
“Benar, Eyang! Saya gak bohong. Saya gak berani main-main urusan begini. Saya bahkan melihat perempuan berbaju merah itu duduk bersembah bakti kepada dua sosok yang tidak kelihatan ...
“Memang bukan.” Pak Simon angkat bicara.
Ayah yang terkejut. Karena ayah tidak pernah mengetahui bahwa orang tua angkatnya itu mengetahui hal-hal seperti itu. Ayah yang sedari tadi diam membuka suaranya, “Ayah tahu?”
Pak Simon mencecapkan rokoknya ke asbak.
“Maksud Ayah bagaimana? Saya sama sekali nggak paham.” Ayahnya menatap ayah angkatnya itu penuh pertanyaan.
“Opa tadi tidak bisa melihat yang Bayu lihat.” Pak Simon ...
Bayu merasa bulu kuduknya merinding luar biasa. Namun kakek, Mbah Suroso, dan penduduk desa tahu cerita kisah buaya putih kembar yang tinggal di danau kawah. Konon mereka adalah penguasa gunung tersebut.
Sara keluar bersama Bulik membawa minuman, tapi melihat bahwa situasi ruang tamu sudah berubah sama sekali. Mereka meletakkan saja minuman itu di meja dan bergabung duduk ...
“Saya tadi tidak melihat mereka seperti buaya. Mereka seperti manusia, hanya Bayu tidak bisa melihat wajahnya.” Bayu mengatakan itu tanpa tekanan apa pun.
“Jadi ayah yang kasih penyakit itu ke Bayu?” Ayah Bayu berdiri, wajahnya memerah.
“Enggak! Kamu salah paham, Nak …”
Pak Simon hendak meneruskan perkataannya tetapi dipotong oleh ayah Bayu, “Apa Bayu tadi gulung-gulung di hutan itu juga salah paham? Anak saya nggereng-nggereng kayak macam itu salah..
Jika tidak ditahan oleh mama, Ayah sudah hampir berdiri lagi, “Kok ya tega, Yah?”
“Yah …” Bayu berbicara kepada ayahnya, “Di hutan tadi Opa Simon yang bantu Bayu.”
“Ratna dulu TBC ketika aku bawa ke sini. Dulu TBC tidak seperti sekarang, obatnya gampang dicari. Dulu kalau TBC ...
“Egois!” Ayah Bayu mengangkat kedua tangannya ke depan wajahnya...
“Dengarkan dulu, Jaya!” Pak Simon meneruskan ceritanya, “Dan Ratna memang sembuh. Dokter menyatakan penyakitnya sudah tidak ada lagi. Orang tua mana yang tidak senang kalau anaknya sehat.”
“Le, dengarkan dulu, to!” Tukas kakek.
“Tapi ketika aku memandikan dia. Aku menemukan bekas gosong seperti gosongnya Bayu di dadanya. Aku tidak tahu sampai aku bermimpi ...
“Diam kamu! Kamu gak tahu apa-apa!” Pak Simon terbawa emosi. Dia berdiri.
“Apa!” Ayah Bayu juga berdiri berhadap-hadapan dengan Pak Simon. Orang-orang menarik keduanya supaya tidak sampai terjadi perkelahian.
Kemarahan masih terpancar di wajah Pak Wijaya.
“Karena aku sayang kamu. Setelah kamu datang ke rumah, setelah aku melihat kamu, ...
Ayah Bayu beringsut mundur.
“Aku mau melepaskan anak itu. Dan orang tuanya, kedua buaya itu menerimanya. Tapi anaknya tidak ...
Ayah Bayu terduduk.
“Aku juga ayah sama kayak kamu. Ayah akan melakukan apa pun untuk anak-anaknya. Aku juga akan melakukan itu untuk ...
Air mata ayah Bayu tiba-tiba pecah. Dia tidak kuasa, dia memeluk ayah angkatnya itu, ayahnya. “Maafkan, Jaya, Ayah!”
Sara menangis. Mama menangis.
“Lalu Bayu?” Tanya ayah Bayu ke Pak Simon.
Ketika mereka semua kembali duduk, Pak Simon melanjutkan, “Aku tidak tahu. Tapi sejak dulu aku bermimpi. Mimpiku selalu Bayu. Anak kecil yang ikut aku senang bermain-main ...
“Nyai Cempaka Rani selalu mengajak anak ini pulang.” Bayu berkata pelan, “Keluarganya juga merindukan dia.”
“Kita lepaskan dia ke keluarganya.” Sara yang awalnya sama sekali tak percaya pada hal-hal semacam ini ...
“Tapi dia nggak mau pulang.” Tutur Bayu perlahan.
Suasana menjadi hening. Semua mata melihat Bayu.
“Ya sudah kita siap-siap ruwatan. Sudah mau jam delapan.” Tukas Bayu. Dia tersenyum. Pasrah.
Bayu berjalan ke belakang, menuju kamar mandi. Seolah dia tak takut lagi pada kamar mandi itu. Sebelum masuk kamar mandi, ...
Dalang itu memandang keduanya. Dia tersenyum kepada Bayu dan Sara. Berjabatan tangan dengan ayah, mama, kakek, dan Pak Simon. Lalu berbicara dengan Mbah Suroso, “Kados pundi kala wau keliling desa lan tanem sajenipun? (Bagaimana tadi acara keliling desa dan tanam ...
Tentu saja semuanya tahu. Tapi mereka hanya tersenyum. Kakek yang angkat suara, “Sampun sae sedaya.” (Sudah baik semua).
Dalang itu berdiri dari tempat duduknya dan lalu berkeliling ruang ...
Wayang akan dimulai pukul 10 malam, sekitar sejam lagi. Kekira tengah malam ruwatan akan dilaksanakan. Dalang itu tentu tahu bahwa Murwakala bukanlah sebuah lakon biasa. Lakon itu harus dibawakan oleh dalang yang memang mengerti dan ...
“Estu nggih tanem sajenipun lumampah sae?
Bayu yang menjawab dengan keras, “Inggih, Pak Dhalang!”
Dalang itu mengambil napas panjang. Nampak sekali bahwa dalang itu tidak yakin. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. “Asrep nggih? (Dingin, ya?)” Dalang itu bertanya lagi.
Para pengrawit diminta untuk naik lebih dahulu memainkan beberapa tembang. Para sinden mengikuti di belakang mereka. Dan tidak lama kemudian beberapa tembang sudah dimainkan. Tak lama dalang itu memandang kepada Bayu dan Sara, ...
Bagi Bayu semuanya hampa. Ini semua tidak akan ada artinya. Ruwatan ini hanya guyonan saja, ...
Bayu menyingkir sejenak. Menyingkap beskap yang dikenakannya. Menilik memar di dadanya.
Tapi mengapa Bayu tidak bisa melihat anak itu? Itu menjadi pertanyaan besarnya sampai saat ini. Dia bisa melihat ...
“Tadi waktu di rumah di rumah nggak mau masuk. Di sini sana berani mendekat.” Bayu mengucapkan lirih. Tak ...
Bayu berjalan mendekati opanya. Mbah Suroso yang ...
“Opa tadi siang bilang acara ruwatan ini tidak pas. Kenapa memangnya?”
Bayu tersenyum menatap Opanya, “Bukan salah Opa. Bukan salah siapa pun. Mungkin juga bukan salah anak ini. Cuma ada ...
“Eyang juga tidak mengerti, Yu. Eyang bisa sama sekali tidak kelihatan begitu. Bahkan sampai tanem sajen pun tidak tuntas.”
“Ayamnya lepas.” Bayu berusaha tersenyum.
Semuanya hambar. Semua pembicaraan, segalanya.
Perasaan hampa yang dirasakannya di hutan tadi seperti mengingatkannya, jika dia nekad melepaskan ...
Dia melihat kembali kepada Sara. Gadis itu tidak nampak ceria seperti biasanya. Gadis yang tak bisa tenang itu kini hanya duduk diam. Melamun. Sama seperti Bayu, ...
“Wayang ini seperti hidup kita, ya, Eyang.”
Mbah Suroso menatap anak muda itu. Apalah artinya memberikan hiburan. Segalanya terjadi begitu tiba-tiba. Seperti seorang yang diguyur hujan.
“Kita melakukan saja yang menjadi bagian kita. Tapi dalang yang memainkan kita. Kita tidak berdaya. Dan akhirnya semuanya hanya lakon ...
Opanya merangkulnya, “Sudah seperti orang tua saja kamu, Le.”
Akhirnya ruang baledesa itu hanya berisi orang-orang yang berbicara setengah suara. Berbicara di tengah keheningan yang...
Sara memandang kakaknya, Bayu tersenyum kepada adiknya itu. Sara beranjak dari duduknya dan berjalan kepada kakaknya. Dia menunjukkan senyumnya yang terbesar. Lalu memeluk kakaknya, “Aku gak rela...
Sara memeluk kakaknya dengan erat. Erat sekali, Sara seperti tak merelakan dirinya melepas pelukan itu. Sampai Bayu sadar bahwa gadis itu menangis di dadanya. Bayu membalas pelukan adiknya.
Buliknya datang dari luar membawa jajanan. Matanya menatap kakak beradik yang berpelukan tersebut. Dia ...
“Eh sudah! Sudah! Mas Bayu juga masih di sini. Gak ke mana-mana, kok. Ditangisi kayak orang mau mati aja. Sara kan perkasa. Tapi kamu cantik lo pakai baju Jawa.”
Sara ganti bergelayut ke Pak Simon, “Dulu Opa juga bisa melihat yang lain kayak Mas Bayu gini juga pas anak kecil ini ikut Opa?”
Sara melanjutkan, “Makanya tadi Opa mikir kami akan dibawa ke sana?” Opanya mengangguk. Sara memandang Bayu, ...
Pak Simon, Sara, Bayu, dan Mbah Suroso tertawa kecil.
“Tapi jenengan (Anda) dulu juga dengar suara musik jathilan begitu juga, Pak Simon?” Tanya Mbah Suroso.
“Mboten (Tidak). Ya baru kali ini tadi pas di ...
Ketukan di bahu Bayu mengeras. Perempuan berbaju merah. Perempuan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Ah, apalah! Jika dia tak berniat membantu mengapa juga harus mengganggu.
“Yang punya daerah sini mainnya jathilan. Anak yang ikut Bayu ini bereaksi pada musik jathilan. Pak Simon kala siyang, tanem pring kuning nggih sakubeng dalemipun Mbah Taji? (Pak Simon ...
Pak Simon mengiyakan.
“Pantes kala sonten wau kula boten saged ngambed Nyai Cempaka Rani. Awit boten saged mlebet dhateng ratan (Pantas saya tidak bisa mencium Nyai Cempaka Rani. Karena dia tidak bisa masuk...
Mata Pas Simon tiba-tiba berbinar.
“Iya, Yu!” Mbah Suroso berdecak, “Bukannya Nyai Cempaka Rani tidak mau menjemput anak ini. Tapi dia tidak bisa masuk ke rumah. Karena itu sekarang dia bisa berada di sini. Dia sedang menjemput anak itu.
“Tapi kok anak itu bisa tetap ikut saya padahal rumah sudah dipagar, Eyang?”
“Yang karena dia anaknya ratu. Dia pangeran di sini. Kemampuannya linuwih (lebih daripada yang lain).” Pak Simon menjawab begitu saja.
“Leres (benar)!” Jawab Mbah Suroso.
Bayu mengangguk.
Sara justru yang tiba-tiba mendekap Bayu, “Mas, kok bau bunga kuburan?”
“Sara cium juga?” Tanya Mbah Suroso.
Sara mengangguk. Dan bukan hanya Sara, ...
Mbah Suroso bersemangat, “Nyai Cempaka Rani ngestoni (merestui). Bocah iki isa ...
Bayu terus merasakan elusan di bahunya. Perempuan itu tak lagi marah. Bayu tidak berani menoleh. Senyuman Nyai Cempaka Rani lebih menakutkan daripada apa pun. Jadi lebih baik dia tetap membiarkan ...
“Kelor!” Bayu berucap dalam napas yang tersengal. “Saya bisa melihat dia kalau makan sayur kelor!”
Pak Simon dan Sara segera berteriak, “Kelor! Kelor! Cari daun kelor!”
Orang-orang di Baledesa langung menjadi ribut. Ribut karen Bayu yang ...
“Golek tukang njathil, Di (Cari pemain jathilan, Di)!” Teriak Mbah Suroso kepada Paklik. Paklik yang dipertintahkan segera berlari keluar dengan tergopoh-gopoh.
“Halah!” Teriak Mbah Suroso. Pengrawit itu jelas bingung dengan tanggapan salah satu tetua desa tersebut. Dia tentu berharap tanggapan yang sesuai permintaan. Tetapi justru orang-orang di baledesa itu menampakkan sebaliknya.
“Tidak apa-apa. Saya dan Sara naik saja dulu. Biar lakon diselesaikan.” Teriak Bayu.
Dengan memegangi dadanya Bayu berusaha berjalan tertatih. Sara memapahnya untuk terus berjalan, ...
Pak Simon mendekat.
“Yu, gelangmu! Gelang bambu kuning.”
Bayu melihat kakeknya. Dia menggeleng. Gelang itu ditinggalkannya di rumah kakeknya. Pak Simon tahu kondisinya. Dia segera mengeluarkan sebuah gelang dari sakunya. Hanya satu.
“Sara gak usah pakek dulu, Mas Bayu aja dulu yang penting.” Cakap gadis muda itu.
Para penonton segera bertepuk tangan melihat kedua yang diruwat ...
Bayu pun menyadarinya, sepasang kaki mengayun-ayun di belakang betisnya. Kaki ...
Dalang benar-benar berhenti. Hanya menatap kepada Bayu. Para pengrawit terus memainkan musik mereka, walaupun nampak kebingungan karena menunggu instruksi dalang yang tak segera-segera diberikan. Dalang itu justru mematung.
Bayu menggeleng. Dia melihat tangan kecil itu menggelayut naik ke atas. Bayu bisa merasakan suara mengecap-kecap di telinga kirinya. Seperti seseorang yang makan sesuatu. Perlahan sekali Bayu menoleh ke arah suara kecap-kecap itu.
Dalang itu tak juga melanjutkan ruwatannya. Sedang makhluk kecil itu terus menjilati lehernya dan mencecap-cecap. Ketika Bayu benar-benar menoleh. Makhluk kecil itu justru merenges kepadanya.
Ketika itulah angin bertiup sangat keras. Sedemikian keras hingga menabrak kelir wayang dan menjatuhkannya ke belakang. Penonton terkejut dan sontak berlarian.
Mungkin tak ada yang sadar. Tapi bagi Bayu itu bukan hanya angin. Dari balik rerumpun bambu di sekeliling lapangan. Muncul anak-anak kecil, serupa yang dilihatnya di atas gunung.
Agaknya orang-orang pun bisa mendengarnya. Bayu bisa melihat orang-orang yang ketakutan. Tapi tak ada yang melihat. Karena mereka nampak kebingungan dari mana tabuh jathilan itu berasal. Para pedagang yang diterobos oleh ...
Lalu Bayu melihat yang lain. Sosok-sosok besar kecil muncul dari balik-balik rumah, dari balik-balik pohon menyaksikan dan menyongsong derap para prajurit itu. Mereka seperti ...
Pasukan penari jathilan muncul dengan gerakan rampak. Bayu mengenali mereka. Mereka adalah yang dilihatnya di hutan ketika surup tadi.
Bayu berusaha untuk melepaskan anak itu dengan menggobet tubuhnya ke kanan dan kiri. Bayu berusaha melepaskan dengan ...
Anak itu mencekik Bayu semakin keras.
Sara mendekat. Hendak menolong kakaknya. Ketika itu si makhluk itu memukul kepala Bayu dan ...
---
“Sara hilang.” Ujar mamanya.
Bayu berusaha bangun dari tidurnya. Mamanya melarang tapi Bayu berkeras.
Di teras rumah kakeknya nampak khawatir, “Jangan ikut dulu.” Kakeknya menunjuk pada orang-orang desa yang pergi beramai-ramai membawa tampah dan cangkul. Mereka memukul tampah ...
Bayu berlari ke lurung. Lapangan sudah sepi. Para pedagang sudah pulang. Lapangan yang tadi cerah oleh berbagai cahaya kembali seperti biasanya. Tanda bahwa barusaja ...
Bayu mengikuti orang-orang itu berjalan naik. Di tegalan orang-orang sudah bergerombol- gerombol meneriakkan ...
Bayu ikut meneriakkan nama adiknya. Air matanya sudah beruraian. Perasaan hampa itu kembali muncul. Dia tak akan melihat lagi adiknya.
Bayu menangis sambil terus meneriakkan nama adiknya. Di sekitarnya suara orang-orang yang meneriakkan nama yang sama di ...
“Mlakua ngetan ngidul (berjalanlah ke timur ke selatan)” Suara perempuan. Datang seperti terbawa angin. Bayu melihat sekeliling tak ada siapa pun. Tapi Bayu kenal suara itu.
“Punden atas, Mas Jaya!” Teriak Pakliknya. “Tempat kita tanem sajen yang kedua.”
Rombongan itu berbekal senter berlari ke punden atas. Menerobos orang-orang yang bergerilya dengan tampah dan cangkul.
Di sebelah batu punden yang terbungkus kain hitam itu, terbaringlah gadis itu. Sara meringkuk seperti anak burung yang ditinggalkan induknya. Tubuhnya dingin.
“Syukurlah!” Teriakan serempak muncul dari Pak Simon dan Paklik.
Sara dibawa turun. Paklik dan Pakdhe meneriakkan di sepanjang perjalanan pulang, “Sudah ketemu!”
Rombongan besar berhenti di depan rumah kakek. Sara ditidurkan di kursi ruang tamu. Orang-orang diminta keluar ketika mama mengecek apakah ada memar ...
Hampir satu jam. Ramai orang masih belum berkurang. Hanya satu dua yang memilih untuk pulang karena kantuk. Selebihnya merasakan yang serupa dirasakan Bayu.
Jangan pernah menyerah dengan harapan. Kadang orang hanya tidak mengetahui gambaran utuh yang ditayangkan oleh kehidupan. Karena itu mereka menyerah dan menyesali nasib. Ketika gambaran itu genap, yang tergambar adalah harapan.
Sara terbangun. Dia menatap mamanya yang tertidur, dan melihat kepada kakaknya. Bayu mendekat kepada adiknya. Tersenyum sumringah. Namun sebaliknyam Sara justru membik-membik menangis. Kalimat pertama yang diucapkannya, “Bulik, Mas...”
---
Setiap kali datang ke rumah kakeknya, selalu ada yang hilang. Orang yang memasakkan sayur kelor dan sambal..
Yang terpukul paling keras tentu adalah Paklik. Setiap kali datang kembali ke desa P, Pakliknya masih mengatakan, "Sampeyan momong anak ...
Cerita yang beredar di P setelah sekian lama menjadi beragam memang. Ada yang mengatakan Buliknya momong anaknya Buaya putih bersama Nyai Cempaka Rani. Ada juga yang mengatakan...
Bayu baru menyadari hal ini ketika bercerita. Dia dulu selalu menggap suara berjalanlah ke timur ke selatan itu suara Nyai Cempaka Rani. Rasanya bukan. Itu suara Bulik.
SELESAI