, 748 tweets, 131 min read
My Authors
Read all threads
KAMPUNG KAKEK

Kisah ini bukan aku yang mengalami. Ini cerita seorang kawan yang kebetulan aku tahu lokasinya. Cerita ini aku rekonstruksi, supaya alurnya lebih runut.

#bacahorror @bacahorror
@bacahorror Sebut kawanku Bayu. Bayu lahir dan besar di kota S. Perjumpaannya dengan desa terbilang sangat jarang. Paling sering ketika dia diajak ayahnya mengunjungi desa kelahiran ayahnya di daerah K setiap lebaran. Tapi tentu acara seperti itu paling-paling hanya sehari dua hari.
@bacahorror Tapi ketika pergantian semester 1 ke 2 ketika dia kuliah, dia sempat mengalami sakit cukup parah terkait pernapasan. Mamanya tahu bahwa sakit itu diakibatkan karena Bayu yang sebenarnya diam-diam sudah merokok. Mama sering mencium bau rokok dan menemukan tembakau di baju-bajunya.
@bacahorror Bayu tidak bisa mengelak. Ketika diroentgen terdapat beberapa flek di paru-parunya. Dia harus dirawat di RS selama 3 minggu. Sepulang dari RS dia diminta untuk berapa di ruangan yang lebih sejuk. Selama beberapa minggu tidak diperkenankan ke tempat yang terpapar asap jalan dll.
@bacahorror Orang tua Bayu, karena mereka sebenarnya keluarga cukup mampu, merekasudah memasang AC di seluruh rumah. Tapi dasarnya Bayu, dia tidak bisa hanya duduk tenang di rumah. Adik perempuannya, yang sudah masuk SMA juga sering mengejek, 'jago kok jago bengek!' dia lama-lama kesal juga.
@bacahorror Akhirnya ayah dan mamanya berpikir untuk membawa Bayu ke desa orang tua ayahnya. Kebetulan desa itu dikelilingi perkebunan kopi dan coklat serta hutan di sekitarny masih tergolong lebat.

"Aku itu gak suka di sana lo, yah!"

"Lah apa ya kamu lebih suka kalau tambah parah?"
@bacahorror "Sinyal aja terbit terbenam semaunya sendiri." ujar Bayu, "kalau ada apa-apa urusan kampus gimana?"

Mamanya menambahi ayahnya, "Bayu, sehat itu lebih penting, cuti dulu saja semester depan ini. Apa gunanya nanti jadi arsitek tapi sakit-sakitan?"

"Iya, nak, sekalian jaga kakek."
@bacahorror Bayu tambah meradang, "Itu kan alasan sebenarnya, biar kakek ada yang nemenin."

Mama, "Ya gak lah! Biar kamu sehat kok! Ya apa sih arek iki, dikandhani kok angel!"

Ayah, "Wong kamu di sana lo ya paling cuma 1 bulanan, gak akan ganggu kuliah. Lagian jaga kakek apa salahnya."
@bacahorror "Aku itu tiap kali ke sana itu kayak perasaanku gak enak, Yah!"

"Perasaanmu itu enak cuma kalau lagi main game online!" Sosor Sara, adiknya.

"Cilik-cilik melok ae!"

"Puasa main, Mas! Sekali-sekali hidup prihatin."

"Coba kamu yang ke sana."

"Lah lapo wong aku gak lara kok!"
@bacahorror "Nanti kan di rumah ada Pak Lik Buadi sama Bu Lik Semi. Mereke mesthi seneng kalau kamu ke sana."

Pak Buadi adalah adik dari ayah Bayu. Dia sudah menikah dengan Bu Semi 12 tahun tetapi belum juga dikaruniai anak. Karena itu ketika ada saudara yang datang ke sana membawa anak ...
@bacahorror ... biasanya mereka akan sangat senang.

"Di sana itu tugas kamu cuma satu, Bayu," tambah Mama, "tugas kamu itu jadi sehat. Kalau sudah sehat ya sudah balik lagi. Nanti biar mama sama Sara yang bantu ngurus urusan kampus wis."

Merasa bahwa dia tidak akan menang, Bayu diam saja.
@bacahorror Besoknya Bayu dan keluarganya berangkat ke desa P, tempat tinggal kakeknya. Desa tersebut memang cukup jauh dari kota. Untuk sampai kota K yang terdekat, mereka harus perjalanan mobil dua jam. Kota kecamatan terdekat P2, harus ditempuh dalam satu jam lebih.
@bacahorror Anehnya, ketika mulai masuk kota P2 (perjalanan dari kota S ke desa P harus melewati P2), Bayu merasa tubuhnya semakin dingin. Keringat yang menetes-netes dari tubuhnya justru membuatnya semakin menggigil.

Sara yang mengetahui itu pertama kali, "Ma, Yah! Mas Bayu kok pucat se!"
@bacahorror Tapi yang terjadi, Bayu justru tersenyum-senyum sendiri. Dia menggaruk-garuk belakang lehernya. Lalu tiba-tiba tertawa-tawa.

"Mas!"

Sara menggerak-gerakkan badan kakaknya. Walaupun matanya membuka jelas Bayu tidak benar-benar sadar.

"Mulih, Sar..."

Sesudah mengatakan ...
@bacahorror ... itu, Bayu tiba-tiba muntah-muntah sangat banyak. Seluruh mobil tengah penuh dengan muntahnya Bayu. Dia juga terbatuk-batuk. Beberapa titik darah memercik ke bajunya dan Baju Sarah.

Melihat itu semua orang panik. Mobil dibelokkan ke RSUD terdekat. Bayu digandeng masuk.
@bacahorror Setelah pemeriksaan diketahui bahwa darah tersebut berasal dari fleknya. Bayu disarankan untuk dirawat inap dulu beberapa hari sampai kondisinya kembali stabil.

Ayahnya segera menelpon kantor, meminta ijin untuk beberapa hari. Siapa tahu Bayu akan lama di RS tersebut.
@bacahorror Tapi yang aneh adalah sore harinya tubuh Bayu sudah nampak sangat sehat. Tidak nampak bahwa dia tadi sempat mengalami sakit yang demikian. Dokter dan perawat jaga juga kaget dengan keadaan Bayu. Tapi demi amannya, Bayu diminta untuk tetap istirahat dulu, paling tidak 3 hari.
@bacahorror "Mas Bayu gak pingin ke P ya?"

Bayu berjalan di selasar RS tersebut bersama Sara yang menggelindingkan tiang infusnya.

"Gak lah gak apa-apa."

"Aku ikut merasa bersalah kemarin ikut manas-manasin. Mas Bayu tadi bilang mulih (pulang). Kepingin pulang ta?"

"Hah? Gak lah ...
@bacahorror ... sapa juga pingin pulang? Aku pikir bener Mama sama ayah. Mending sehat aja dulu."

"Lah tadi itu?"

Justru Bayu yang kelihatan bingung dengan apa yang dikatakan Sara.

"Ya wis, nanti tiap Minggu tak sambangi Mas." Sara tersenyum.

Tiba-tiba seorang anak kecil berjinjit...
@bacahorror ... berjalan di sebelah Bayu. Anak itu menoleh kepada Bayu, tersenyum sangat lebar. Lalu berlari ke kamarnya.

"Siapa anak itu tadi Sar?"

"Anak mana?"

"Itu tadi, yang lari masuk kamar." Sara melihat pintu kamar yang tertutup. Mengangkat bahunya. "Memangnya ada berapa orang ...
@bacahorror ... yang dirawat di kamarku, Sar?"

"Dua orang tok to. Tadi cari yang paviliun lagi habis kamarnya, tinggal kamar kelas 1."

"Yang sakit sebelahku sapa?"

"Orang dari J, gangguan lambung apa gimana gitu katanya."

Tiga hari kemudian, Bayu keluar dari RS, tapi Bayu tidak pernah...
@bacahorror ... melihat anak kecil itu lagi.

---

"Lihat kamu datang disambut jathilan (kuda lumping)." Kata mama bersemangat.

"Mana ada! Itu orang punya gawe kali, Ma!" Jawab Bayu.

"Eh, Yah!" Teriak Sara kepada ayah, "Cepetan ke kakeknya, aku pingin nonton ini, nanti keburu abis."
@bacahorror "Halah tontonanmu!" Bayu mengumpat, "Jarene arek S, tapi jiwanya jiwa P."

"Ye, apa salahnya? Ini itu melestarikan kebudayaan tahu."

"Iya lagian apa bedanya jathilan sama acara-acara pengusiran hantu di TV-TV itu." Ayah menimpali, "Beda kemasan saja."

"Sok kota kamu mas ...
@bacahorror ... wong arek S ae lo! Jange nek tinggal nang Los Angeles ngunu lo sombong gak apa-apa." ejek Sara.

Kakek kelihatan sangat senang ketika Bayu datang. Paklik dan Bulik juga sudah menunggu.

"Sepurane (maaf) ya Paklik dan Bulik kemarin gak bisa sambang ke RS, simbah (kakek) ...
@bacahorror ... juga pas ngedrop kemarin." ujar Paklik.

"Loh kok Pak Lik tahu kalau aku masuk RS lagi."

Paklik, "Di sini juga ada sinyal Yu, di bawah bambu-bambu di sana itu."

"Tapi ya cuma di sana aja." Bulik menambahi, "Ya ampun, Sara tambah ayu, cah!"

"Piye, bapak?" Ayah bertanya...
@bacahorror ... kepada Paklik.

"Wis kok, Mas! Penyakit tua. Kangen putune, diarep-arep teka malah mlebu RS."

Kakeknya tersenyum bahagia. Tapi beberapa kali dia melirik kepada Bayu dengan aneh. Dia seperti melihat melampaui Bayu, di balakang Bayu. Bayu menoleh k belakang. Tidak ada apa-apa.
@bacahorror Kakek lalu ikut tertawa bersama yang lain. Seperti melupakan apa yang barusaja dia lakukan.

"Kenapa Bayu?" Tanya Bulik.

"Nggak apa-apa Bulik."

"Ayo bulik antarkan ke kamarmu. Naruh barang-barang."

Bulik mengiringnya ke kamar depan. "Ini dulu kamarnya kakek, tapi sekarang...
@bacahorror ... biar kakek lebih gampang ke kamar mandi, kakek pindah ke belakang. Kalau masih ada bau-bau orang tua ya wajar ya." Bulik tertawa. "Nanti dibuka aja jendelanya, angin pegunungan K, baik untuk kesehatan. Sekalian mengusir baunya kakek. Gak pesing kan?"

"Enggak bulik."

"Oh ya
@bacahorror ... kalau kakek aneh-aneh, biasa saja, ya."

"Maksudnya Bulik?"

"Ya namanya orang tua ya, sudah tidak seperti jaman muda dulu, kadang nangis sendiri, nelangsa mungkin. Kadang ngomong sendiri. Kadang tiba-tiba tertawa-tawa. Sudah hampir sembilan puluh, Yu."

"Iya sepuh sekali...
@bacahorror ...ya, Bulik."

"Lah wong anaknya saja ada enam. Ayahmu anak kelima saja sudah lima puluhan sekian kan sekarang. Ya nanti lama-lama di sini kamu akan terbiasa sama kakek. Jarang-jarang kan bisa lama-lama di sini."

"Makasih sekali, lo, Bulik."

Begitu mereka keluar kamar ...
@bacahorror ... Sara dan mama sudah siap keluar nonton jathilan.

"Aku ikut!" teriak Bayu.

"Aja melu!" balas kakek. Semua sempat kaget, karena suara kakek cukup keras. Wajahnya juga menegang. Namun, kakek kemudian melunak kembali dan tersenyum, "lah wong masih baru sembuh gitu kok."
@bacahorror "Nggak apa-apa, Mbah, biar gaul sama budaya sini juga. Masak main sama HP aja." Ayah meminum kopi yang sudah disiapkan di meja sebelumnya.

"Ya wis ati-ati. Arek-arek cilik biasane playon (anak-anak kecil biasanya berlarian) kalau di tontonan ngono iku."

Bayu dan Sara saling...
@bacahorror ... berpandangan. Sara menggandeng tangan Bayu sambil membisikkan, "Biasa... orang tua!" Mereka cekikikan berdua.

"Hush gak sopan!" Mama ikut berbisik. Tapi lalu ikut tertawa juga.

Lapangan itu sangat luas. Ada dua buah gol pal di sisi utara dan selatan. Kalau sendang tidak..
@bacahorror ...ada acara, lapangan itu pasti dipakai oleh anak-anak setempat untuk bermain bola. Pepohonan bambu mengelilingi di sisi Barat, menghalangi sinar matahari sore. Udara masih tetap sejuk bahkan pada jam 3 sore seperti itu.

Di sekitar lapangan itu, beberapa rumah dari kayu...
@bacahorror Jalan di sebelah lapangan memang mengarah ke arah perkebunan dan hutan. Rumah-rumah itu tidak ditempati, biasanya dipakai oleh penduduk sekitar menyimpan kopi dan coklat setelah dipanen sebelum dijemur.

Ada beberapa gubuk di dalam hutan dan kebun. Biasanya tidak besar, gubuk...
@bacahorror ... itu digunakan untuk orang-orang yang bara. Orang-orang yang bukan berasal dari desa itu tapi ikut bekerja di situ. Biasanya mereka yang mengurus perkebunan setiap harinya. Sehingga mandor tidak usah mengecek setiap hari.

Rumah-rumah mereka terpisah jarak cukup jauh ...
@bacahorror ... antara satu dengan yang lain. Karena berada di tengah kebun dan hutan maka juga terpisah cukup jauh dari desa P. Mereka menggunakan gubuk-gubuk itu termasuk untuk tidur malam, beberapa gubuk bahkan sudah menyerupai rumah kayu sedernaha.

Daerah pegunungan K terkenal ...
@bacahorror sebagai penghasil kopi, coklat, dan nanas. Desa P adalah desa terakhir yang langsung berbatasa dengan wilayah perkebunan dan hutan serta Gunung K. Listrik baru masuk ke desa itu beberapa tahun belakangan.

Karena itu daerah tersebut cukup tertinggal dibandingkan daerah lain.
@bacahorror Desa P sendiri bukanlah desa perkebunan. Karena desa perkebunan ada di tempat yang lebih di bawah. Desa P sudah ada sejak dulu, kebetulan tempatnya yang berada di tengah hutan dan kebun.

Kelihatannya dulu desa tersebut masuk juga wilayah perkebunan atau kehutanan. Tapi karena..
@bacahorror warga sudah tinggal di sana sebelum perkebunan dikembangkan, maka mereka bisa memiliki tanah dengan sertifikat hak milik. Dulu daerah tersebut murni hutan lebat. Kakek Bayu adalah salah satu yang paling sepuh di daerah tersebut. Dia generasi kedua dari para pembuka hutan di sana.
@bacahorror Dari cerita ayah Bayu, dulu karena kondisi ekonomi yang sedang sulit pada tahun-tahun 60an, anak-anak kakek Bayu dititipkan kepada saudara atau orang-orang cukup mampu di daerah kota P2 dan K. Termasuk ayah Bayu. Paklik Buadi tidak dititipkan karena dia adalah anak terakhir.
@bacahorror Tradisinya anak terakhir bertanggungjawab untuk menjaga orang tua. Karena itu walaupun kakek aslinya tinggal di sini, Bayu tidak cukup akrab dengan keluarga di sini.

Bayu justru lebih akrab dengan keluarga Pak Simon yang merawat ayah Bayu dulu. Karena Pak Simon masih sering...
@bacahorror ... bepergian ke S untuk kulakan dagangan sekaligus mengunjungi keluarga ayah Bayu.

Pak Simon sendiri adalah orang yang dulu pernah ditolong oleh kakek Bayu ketika masih jaman susah. Ketika dia berhasil, dia ganti dimintai tolong, dan agaknya dia senang melakukan itu sebagai...
@bacahorror ... balas budinya atas kebaikan kakek Bayu.

Selain itu ayah Bayu juga dititipkan karena pada tahun 60an pasca peristiwa Gestapu, banyak orang yang dituduh PKI dan simpatisannya disembelih dan dibunuh dibuang mayatnya di hutan daerah P. Situasi yang tidak aman itu membuat...
@bacahorror ... kakek Bayu merasa lebih baik menitipkan ayah Bayu kepada Pak Simon. Dulu dikabarkan bahwa daerah sekitar P adalah zona merah. Ketika sebuah daerah disebut zona merah (wilayah partai komunis), maka orang bisa hilang dan dibunuh tanpa pengadilan begitu saja.

---
@bacahorror "Gila ya Ma! Itu ayam hidup ya?" Sara bergidik memegang tangan mamanya ketika salah seorang penari jathilan merobek kepala ayam dengan giginya. Darah menetes-netes dari kepala ayam yang terbelah itu.

Penari itu menggeletak kepala ayam tersebut hingga otak ayam itu muncrat di...
@bacahorror ... sepanjang wajahnya. Tanpa menunggu dia menarik kepala ayam itu hingga terlepas sama sekali. Ayam itu tampak menggelepar-gelepar. Tapi penari itu membantingnya lalu menggigitinya lagi.

Musik terompet dan gamelan semakin pacu. Beberapa penari perempuan masih menari serempak..
@bacahorror ... mengikuti alunan musik ketika seorang penari lain mengendus-endus sesajen yang disediakan di pinggir lapangan. Dengan mata yang nyalang dia memakan sesajen itu lengkap dengan kemenyan yang masih mengepul bara. Tidak nampak dia yang kesakitan atau kepanasan.

Dukun jathilan..
@bacahorror ... memberikan sebuah lampu neon panjang. Dan tetap dengan mata yang nyalang, sesekali menutup seperti orang mabuk, dia mengeremus lampu itu. Dia mengunyahnya seperti kerupuk.

Penonton terhardik ke belakang sambil menatap ngeri. Sara terus memegang mamanya. Mama berbisik ...
@bacahorror ... supaya kembali saja ke rumah kakeknya. Mamanya tidak kuat. Tetapi Sara tetap menahan mamanya. Dia menikmati pertunjukan itu.

Mata Bayu justru melihat ke atas. Ke rumah kakeknya. Lapangan itu ada di daerah bawah, karena rumah kakek Bayu ada di atas, walaupun jauh, rumah ...
@bacahorror ... itu tetap kelihatan. Bayu menatap kakeknya yang masih duduk di depan rumahnya. Bayu seperti merasakan dia saling bertatapan dengan kakeknya. Tapi tidak mungkin, kakeknya pasti sudah terlalu tua dan tak bisa melihat dengan jelas lagi.

Begitu matanya kembali ke lapangan...
@bacahorror ... ke arah jathilan, tiba-tiba saja Bayu melihat tiga sampai lima anak ikut menari-nari di tengah lapangan. Anak-anak kecil. Salah satu dari anak kecil itu menatap kepada Bayu, wajahnya miring, dan tertawa dengan lebar. Bibirnya dari pipi satu ke pipi yang lain ....
@bacahorror Anak-anak itu bergerak serempak seiring tabuhan musik. Seperti deretan orang yang naik kuda. Bergoyang-goyang dan sesekali melonjak-lonjak.

Anak kecil itu, yang wajahnya miring dan tertawa sangat lebar. Bayu mengenal wajah itu. Tiba-tiba musik seperti bertambah keras ketika...
@bacahorror ...anak itu bersama teman-temannya bergerak mendekat ke arah Bayu. Semuanya mendekat serempak. Sara sudah tidak ada. Mamanya sudah tidak ada. Anak-anak itu berlima... mereka semakin mendekat, wajah mereka tertawa, menyeringai dari pipi ke pipi lain. Mata mereka bulat.

Ketika...
@bacahorror ... itu Sara menggoyang Bayu, "Mas, sudah sampai."

Bayu tergeragap. Dia, Sara, ayah dan mama masih berada di dalam mobill. Mereka ada di depan rumah kakeknya.

"Mimpi apa mas? Kok sampai ndleming (mengigau)?" Sara tertawa-tawa mengejek. Bayu merasakan ada yang dingin di leher..
@bacahorror ...belakangnya.

Mereka keluar dari mobil. Persis sama seperti yang dialaminya sebelumnya. Hanya saja tidak ada tanggapan di bawah. Tidak ada jathilan, tidak ada gamelan. Desa itu sepi seperti biasanya.

Bayu mencium tangan kakeknya, mencium pipinya, ketika kakeknya berbisik...
@bacahorror ..."Gak apa-apa. Ada yang senang kamu datang."

Kembali leher belakangnya meregang, dingin. Namun senyuman kakeknya yang tulus menenteramkannya. Dia berusaha untuk tenang.

Hanya saja kali ini kakeknya yang mengantarkannya ke kamarnya. Tetap di kamar depan.

"Gak perlu takut."
@bacahorror "Maksud kakek?" Apakah berarti bahwa semua itu tadi bukan mimpi?

"Mereka gak jahat." Kakeknya kembali tersenyum, "Tapi adik, bapak, ibukmu gak apa-apa to?"

Bayu bingung.

"Ya wis gak apa-apa. Kamu taruh dulu barangmu." Kakeknya hendak ke depan, ketika kemudian berbalik...
@bacahorror "Ada yang jahat, tapi bukan yang tadi."

Bayu masih belum mengerti apakah yang sebenarnya dikatakan kakeknya. Apakah semua tadi hanya mimpinya. Ataukah sekarang dia sedang bermimpi.

Bayu menepuk pipinya. Sakit. Oh, ini sungguhan. Lalu tadi semuanya apa? Mengapa begitu nyata?
@bacahorror Sorenya ayah, mama, dan Sara meninggalkan Bayu di desa P. Ayah sempat menitipkan seamplop uang kepada kakek dan Paklik Buadi.

"Kerasan ya, nanti hari Sabtu kami kunjungi lagi di sini."

Bayu melambaikan tangannya kepada ketiga orang di dalam mobil.

Bayu merasa seperti ...
@bacahorror ... yang sangat dilayani di rumah itu. Bulik menyiapkan air hangat untuk mandi. Dia merasa kagok juga karena biasanya di rumah apa-apa dilakukan sendiri.

"Di sini kalau malam serem ya Bulik?"

"Hah? Halah pertanyaanmu Yu. Mana ada yang begitu, ya apa dipikir macam cerita2...
@bacahorror ...horor di TV-TV itu, kalau desa ya pasti serem, banyak hantunya. Gak lah, sekarang itu mana ada yang kayak gitu. Kalau dulu pas jaman Bulik masih kecil ya mungkin. Sekarang setannya kalah sama listrik." Bulik menyiapkan gayung dan perlengkapan mandi.

"Gak usah Bulik, aku ...
@bacahorror ... bawa sabun odol sendiri kok. Lagian kan akau di sini bukan nginep di hotel."

"Oh ya wis. Bulik pikir kan ..."

"Ya ampun Bulik, gak perlu dilayani macam ini lah."

Bulik tertawa, "Ya kebiasaan ngramut (merawat) orang tua, Yu. Eh kamar depan gak pesing kan? Itu dulu bekas ...
@bacahorror ... kamarnya kakek. Sekarang kakek pindah ke belakang, biar lebih dekat kamar mandi. Kalau bau-bau orang tua ya wajar ya. Dibuka saja jendelanya."

Tiba-tiba Bayu merinding. Dalam mimpinya atau apalah itu, Buliknya mengatakan hal yang sama.

"De Javu! Aku pernah ngalamin...
@bacahorror ... kayak gini, Bulik. Tapi Bulik rasanya nganterin aku ke kamar depan itu."

"Lah masak to? Iya Bulik tadi mau ngantarkan kamu, eh si kakek malah ngantarin duluan. Mungkin semangat ketemu cucunya. Kamu sama Sara itu kan cucu yang paling jarang main sini to."

Bayu merasa malu.
@bacahorror "Maaf ya Bulik, gak maksud gitu."

"Halah ya gak apa-apa. Lah sekarang kamu malah di sini lama. Kan ya tambah senang to mbahmu itu. Kemarin itu pas diceritani Paklikmu kalau kamu mau datang, mbahmu itu langsung yang kelihatan girang sekali, Yu."

"Apa ya biasanya gak gitu...
@bacahorror ... kalau cucu-cucunya datang?"

"Ya senang, wong cucu datang siapa yang gak senang. Tapi ini beda wae. Tidak biasanya simbah sampai sesemangat ini. Ya wis kamu mandi dulu keburu sore."

"Satu lagi Bulik. Apa kakek itu ngerti hal-hal mistis gitu itu to?"

"Halah kamu ini...
@bacahorror ... anak kota kebanyakan nonton film horor. Yu, namanya orang sepuh ya, mereka hidup dari jaman belum ada listrik. Kalau mereka akrab dengan hal-hal macam begituan itu ya wajar. Dulu kan apa-apa yang gak dimengerti lalu dianggap mistis. Dulu katanya orang itu sakti-sakti, tapi...
@bacahorror ... ya Bulik gak pernah lihat kakekmu itu terbang kayak di TV-TV. Ya kalau sesekali ngomong sendiri, ketawa sendiri, gitu sih iya. Tapi ya jangan dihubung2kan sama yang mistis-mistis lah. Wong ya memang sudah sepuh. Wis ndang mandi."

Bayu bisa merasa sekali Buliknya benar...
@bacahorror ... hari ini Bayu tidak pernah menemui ada hal-hal yang aneh-aneh seperti yang di film-film horror. Tapi masih ada yang mengganjal dalam perasaannya. Hal yang barusaja dia alami, lalu kata-kata kakeknya barusan. Rasanya itu semua tidak benar-benar logis dan rasional.
@bacahorror Tapi sudahlah... Bayu tidak mau ambil pusing. Lagipula dia ke sini untuk menikmati udara desa di lereng gunung supaya dia segera sembuh.

Kadang kita mendapatkan pertanda. Tapi karena kita tak selalu mengerti maksudnya, kita cenderung mengabaikannya.
@bacahorror Malam harinya, Bayu merasakan hal yang tidak biasanya. Dia bisa mendengarkan jengkerik yang mengerik. Suara-suara malam yang selama ini tidak pernah dia nikmati. Ada hal-hal yang baru muncul ketika kita hening. Suara-suara yang tidak kita dengarkan karena kita ramai dengan ...
@bacahorror ... suara kita sendiri. Dan malam ini Bayu seperti disiram oleh suara-suara tersebut.

Ada yang mengetuk pintu Bayu. Suara kekek.

"Ya, kek!"

Bayu beranjak dari kasurnya dan beranjak menuju pintu. Ketika dia menemukan tidak ada siapa pun di sana. Oh cuma perasaannya saja.
@bacahorror Bayu mengambil handphonenya. Tidak ada sinyal di rumah ini. Tapi begitu duduk di kursi kamarnya. Dia agak terkejut karena kursi itu hangat. Seperti ada orang yang barusaja duduk di sana.

Bayu merasa ada yang aneh, tidak biasa, dalam kunjungannya ke desa ini kali ini. Tapi Bayu
@bacahorror ...tidak tahu persisnya bagaimana. Mungkin ini hanya perasaannya saja. Lagipula selama ini dia tidak pernah merasa menjadi bagian dari orang-orang yang punya kemampuan khusus terkait hal-hal gaib. Dan bisa jadi kondisi kesehatannya yang belum benar-benar pulih membuat dia ...
@bacahorror ... membayangkan yang tidak-tidak.

Dia berusaha untuk mengusir perasaan itu. Tapi tetap saja dia merasa ada yang ganjil.

Ah sudahlah, lebih baik dibawa tidur saja.

---
@bacahorror Besoknya Pakliknya membawa ke tegalan. Yang dimaksud dengan tegalan di sana adalah tanah hutan yang dibuka oleh penduduk sekitar. Tanah itu biasanya adalah tanah perhutani atau perkebunan, jadi sistemnya memang kontrak. Tapi warga bisa menyewanya, bahkan secara turun temurun.
@bacahorror Entah apakah sistem begitu itu legal atau tidak. Nyatanya warga desa P hidup dengan cara yang demikian.

Buliknya sudah mengingatkan Pakliknya supaya Bayu tidak terlalu capek. Pakliknya mengatakan bahwa jalan-jalan ke tegalan justru baik untuk paru-parunya. Bayu awalnya malas...
@bacahorror ... tapi ketika Pakliknya mengatakan mungkin dia akan menemukan ayam alas, burung-burung, bahkan monyet di sepanjang jalan, dia pun tertarik.

"Di sini kalau cari sinyal di mana Paklik?"

"Sinya di sini hanya ada di lapangan bawah itu, Yu. Yang dekat pohon-pohon bambu."
@bacahorror Bayu merinding karena persis dengan apa yang ada dalam mimpinya kemarin.

Bayu melihat beberapa anak kecil ikut ulur kacang lanjaran. Satu tegal dengan tegal lain terpisah hutan dengan pepohonan yang masih besar-besar. Beberapa daun palem hutam juga masih sangat lebar-lebar.
@bacahorror Kanopi dedaunan saling bersambung-sambungan di atasnya, hingga di beberapa jalan, tanah masih basah karena lembab. Ada orang-orang yang mencari rumput dengan membawa motor. Kebanyakan motor-motor yang platnya sudah mati dan bentuknya tinggal rangkanya saja.

Wis kamu tunggu...
@bacahorror ... di sini." Ujar Pakliknya. Ada sebuah gubuk dari papan di sana. "Paklik tak neruskan meriksa coklat. Di dalam ada kompor, kelihatannya ada Indomie. Kalau mau dimasak saja. Kalau bosen, ya jalan-jalan sekitar sini saja, jangan jauh-jauh. Paling jam 10 nanti kita wis turun."
@bacahorror "Gak bakalan bosen Paklik. Perlu dibantu ta?"

"Gak usah. Nanti ae nek kamu ke sini pas sehat." Pakliknya tertawa.

Bayu memeriksa gubuk itu ketika Pakliknya semakin menjauh masuk ke rerimbunan coklat. Gubuk itu layaknya rumah kecil. Ada tikar dan bantal. Ada cangkul, sabit.
@bacahorror Ada kompor dan sebuah wadah anyaman bambu, isinya ketela, mie. Ada galon isi air besar di sebelahnya.

Sebuah suara gending jathilan terdengar di kejauhan. Orang punya hajat? Suaranya terdengar dekat. Mungkin di balik bukit itu.

Bayu mengeluarkan handphonenya dan tetap tidak..
@bacahorror ...ada sinyal.

Dia memutuskan berkeliling.

Suara gending jathilan semakin keras di luar. Bayu mengikuti arahnya. Tapi semakin lama justru semakin jauh. Bayu berbalik ke gubuk.

Cukup lama. Dia bisa mendengarkan tenggeret dan suara-suara hewan lain. Tiba-tiba dia tersenyum...
@bacahorror "Gini kok kemarin aku gak mau ke sini, wong enak kayak gini kok ya."

Suara jathilan itu kembali terdengar. Semakin lama semakin jauh. Seperti suara yang terbawa angin. Mengingat jathilan, dia merinding juga.

Beberapa anak kecil membawa buat coklat di tangan mereka lewat.
@bacahorror ketika melintas di depan gubuknya, beberapa anak itu menunduk dan mengucapkan salam.

"Nyuwun sewu, Mas."

Bayu membalas dan tersenyum. "Gak sekolah, dik?"

Mereka justru tertawa satu sama lain, lalu berlari pergi. Anak-anak.

Beberapa perempuan juga lewat didepannya.
@bacahorror Mereka membawa keranjang berisi ketela dan jagung. Ramai juga. Ketika lewat di depannya, mereka tersenyum.

"Loh wis balik, to?" (Loh sudah pulang?) tanya seorang ibu kepada Bayu.

"Masih nunggu Paklik, Bu."

Para perempuan saling melihat satu sama lain. Mereka saling mengangguk
@bacahorror ... kepada yang lainnya. Yang lain seperti mengerti.

"Ya ngono, aja lunga ae. Digoleki wong akeh." (Ya gitu, jangan pergi saja. Dicari orang banyak.)

Bayu tidak terlalu paham apa maksud para perempuan tadi, dia juga tidak merasa mengenal mereka. Tapi dia mengiyakan saja.
@bacahorror "Inggih, Bu. Ini agak lama kok di sini."

"Owalah gur mampir?" (Oh cuma mampir?)

"Ya mungkin sebulanan, Bu."

"Oh ya wis. Ya ngono bapake ben ora kangen." (Oh ya sudah. Ya begitu, biar bapaknya tidak kangen)

Para perempuan tadi lewat. Beberapa orang petani lewat dengan ...
@bacahorror ... membawa cangkul. Mereka berjalan ke atas, ke hutan atau tegal mereka. Mereka juga mengucapkan salam kepada Bayu. Tapi kali ini agak normal, karena bapak-bapak itu menampakkan diri mereka seperti tidak mengenal Bayu. Beda dengan para perempuan yang seolah-olah akrab tadi.
@bacahorror Ketika Pakliknya kembali ke gubuk. Bayu menyambutnya dengan mengatakan, "Rame ya di sini Paklik. Banyak orang yang ke tegalan ternyata."

"Ya rame, Yu. Kan mata pencaharian orang-orang sini ya utamanya dari tegalan."

"Apa anak-anak tidak sekolah Pak Lik. Kok aku tadi lihat ...
@bacahorror ... anak-anak lewat sini."

"Lah ya mana ada. Anak-anak ya sekolah semua to."

"Aku tadi lihat anak-anak lo Paklik lewat bawa coklat gitu."

"Mosok to? Ya ora, le." Pakliknya menatap Bayu, "Tapi ya pokoknya ati-ati, namanya di sini itu alas. Kadang ya ada hal-hal aneh-aneh ...
@bacahorror ... pokoknya kita gak macam-macam ya gak apa-apa."

Bayu pulang ke rumah bersama Pakliknya. Walaupun hampir tengah hari, tapi suasana di P masih sejuk. Coba saja di S seperti ini.

Sesampainya di rumah. Kakeknya menunjukkan wajah kecut kepada Pakliknya. Kakeknya memanggil...
@bacahorror pakliknya ke dalam rumah. Bayu masih di luar. Kakeknya marah-marah besar. Bayu tidak begitu paham, tapi dia sempat mendengar.

"Wong arek durung dipageri wis digawa klathasan nang alas. (Orang anak belum dipagari kok sudah dibawa ke hutan) ...
@bacahorror Nek ana balane sing macem-macem, wani tanggung jawab kowe? (kalau ada kelompoknya yang macam-macam, apa kamu tanggung jawab?)"

Pakliknya minta maaf kepada kakeknya. Bayu cukup paham untuk mengerti bahwa kemarahan kakeknya adalah terkait hal-hal mistis. Pagar yang dimaksud ...
@bacahorror ... jelas bukan pagar harafiah.

Kakeknya memanggil Bayu ke dalam, "Kamu piye tadi di tegal?"

"Ya gak apa-apa, kek. Sudahlah kek, gak ada kok yang macam-macam. Ini buktinya Bayu sudah kembali ke sini. Gak usah marah sama Paklik juga, orang aku juga kepingin ikut kok."
@bacahorror "Ketemu apa wae kamu tadi?"

"Ya gak ketemu apa-apa."

"Tenane? (sungguhan?)" Tanya kakeknya mencecar.

"Gak kek, gak ada yang gaib-gaib kok. Gak ada macan atau macem-macem. Cuma ketemu orang ke sawah, anak-anak."

"Anak-anak?" Tanya Pakliknya.

"Iya kan aku tadi bilang Paklik."
@bacahorror "Anake ganjil apa ganep?" Tanya kakeknya.

Bayu mulai merinding, tapi akal sehatnya mengatakan dia tidak merasa ada yang aneh. "Ada anak tiga orang bawa coklat turun dari alas. Terus ada perempuan bawa barnag-barang di keranjang bambu, jagung. Terus ada..."

"Jagung?" Pakliknya..
@bacahorror ... kelihatan kaget, "Gak ana wong tanem jagung nang kene, Yu. Wong kene alas dataran tinggi." Dia lalu melihat kepada kakeknya, "Masak, mbah ..."

Kakeknya justru mengeram, "Makane to arek aja diajak nang ndi, nang ndi sik (makanya jangan diajak ke mana-mana)...
@bacahorror ... wis tak kandhani arek iki seje (sudah kukasih tahu anak ini beda)."

"Beda gimana, Kek?" Tanya Bayu.

"Ora apa-apa. Setiap anak itu beda-beda, Yu. Kamu juga. Kluwenganmu iku tipis (tabirmu itu tipis). Gampang senggolan dengan sing ora katon (tidak kelihatan)."
@bacahorror "Saya tidak pernah, kek. Malah gak punya bakat."

"Iya soale ana sing nutup dalane wiwit kowe cilik. Wis ndang adus kana. (karena ada yang menutup jalannya sejak kamu kecil, cepat mandi sana)."

Pakliknya minta maaf kepada kakeknya, tapi kakeknya sudah kembali tenang. Dia sudah..
@bacahorror ...kembali tersenyum. "Ora apa-apa. Ngko sore ayo dianakne bancakan. Ra sah geden-geden. Jenang putih jenang abang wae." (Tidak apa-apa. Nanti sore kita adakan bancakan, tidak perlu besar. Jenang putih dan merah saja).

"Ada apa to kek?"

"Mengko tak ceritani. Kamu mandi dulu."
@bacahorror Sampai di sini Bayu sebenarnya merasa tidak nyaman. Dia tidak berharap kunjungannya ke sini kali ini akan menyangkut hal-hal demikian. Tapi diam-diam dalam hatinya ada perasaan ingin tahu dan tertarik juga. Dia tidak pernah bersentuhan dengan makhluk-makhluk seperti itu.
@bacahorror Jadi dalam hati dia sebenarnya juga menikmati hal-hal itu.

Bayu beranjak dan kakeknya dari belakang, "Barang ngono kuwi dudu dolanan. Isa dadi kanca, isa musuh. (barang seperti itu bukan mainan, bisa jadi teman, bisa jadi lawan)."

Wow kakeknya seperti membaca pikirannya.
Ketika Bayu mandi, dia merasa ada yang menemaninya di dalam kamar mandi itu. Seperti ada orang yang mengawasinya. Dia mempercepat mandinya mengguyurkan air ke tubuhnya sebanyak-banyaknya. Dia melihat berkeliling. Dan ketika itulah dia sangat terkejut, dia benar tidak sendirian.
Di kuda-kuda kamar mandi itu, persis menempel ke reng usuk atap, sesosok hitam yang sangat besar. Jarinya yang sebesar pisang klutuk mencengkeram kuda-kuda rumah itu. Matanya merah melotot membelalak. Seperti dalam posisi berjongkok tetapi di atas dinding. Diantara taringnya...
Lidahnya menjulur-julur dan air liurnya menetes ke sisi bak kamar mandinya. Bayu baru sadar suara ngos-ngosan hah hah hah yang dia dengarkan selama dia mandi, bukanlah berasal dari luar rumahnya. Namun dari makhluk besar tersebut.

Makhluk itu masih ngos-ngosan. Ketika jarinya..
... satu persatu diregangkan dari kuda-kuda. Bayu bisa melihat sosok hitam itu bergerak dari tempatnya semula. Dia menggeliat kan badannya tetapi matanya terus menatap kepada Bayu.

Bayu ingin berteriak tetapi ada yang menahan lidahnya. Dia juga berusaha bergerak tetapi rasanya
... otot-otot tubuhnya lumpuh. Ayu hanya bisa bertatap-tatapan dengan makhluk besar itu. Hingga makhluk itu melepaskan cengkraman tangannya di kuda-kuda lalu melompat dari atas dinding persis ke arah Bayu. Ketika itulah Bayu bisa berteriak dengan keras. Bersama teriakannya...
... Bayu bisa mendengar bahwa rak bambu yang biasa digunakan untuk menyimpan peralatan mandi dan pakaian kotor di belakangnya rubuh seperti ditimpa oleh sesuatu besar. Makhluk itu sudah tak ada lagi. Bayu mengenakan handuk nya walaupun belum sempat membilas tubuhnya.
Di depan kamar mandi sudah ada kakek dan Paman nya yang memasang wajah khawatir luar biasa. Pamannya menelungkupkan handuk yang disambarnya untuk menutupi tubuh Bayu sekenanya. Bayu tidak sempat merasa malu, karena perasaan takut yang hebat menguasainya lebih besar.
"Ada apa Le?" Tanya kakeknya. Ayo masih lemas belum bisa menjawab apa pun. Pak Lik mengambilkan dia minum. Kayu duduk hanya dengan berlilitkan handuk di pinggang dan tubuhnya.

Paklik memeriksa kamar mandi, dan melihat bekas rak bambu yang gogrok. Kakeknya masih melihat Bayu ...
... dengan wajah sangat khawatir.

"Ada genderuwo di atas kamar mandi."

Kakek memandang kepada Pak Lik.

"Ya wis berarti bener, Bancakan tidak boleh ditunda. Sore ini harus dilangsungkan. Kalau istrimu pulang dari sekolah, cepat suruh mempersiapkan." (Bulik seorang guru).
Pulang dari sekolah, bulik sangat terkejut mendengarkan penjelasan dari paklik. Dia masih tidak percaya, karena selama menikah dengan paklik belasan tahun ini tidak tidak pernah menemui hal-hal seperti yang barusaja dialami. Tetapi ketika melihat reaksi Bayu yang sudah tidak ...
... seceria sebelumnya, bulik mulai yakin bahwa suaminya tidak main-main. Bulik segera menyiapkan kebutuhan bancakan seadanya.

"Aku pulang saja apa ya, Bulik. Di sini kok malah membuat masalah. Aku malah gak enak sama semuanya."

"Yu, hal-hal seperti itu kan belum tentu...
... kebenarannya. Bisa saja sebenarnya perempuan yang kamu temui di tegal, terus yang kamu lihat di kamar mandi itu tidak benar-benar seperti itu. Kondisi kamu yang memang belum benar-benar sehat membuat kamu membayangkan hal-hal seperti itu."

"Tapi aku tadi benar-benar melihat
... ada yang jatuh dari bubungan kamar mandi Bulik. Buktinya rak bambu di belakang itu sampai ambruk."

Buliknya diam. Bayu bisa mengerti sekarang, buliknya bukan orang yang suka dengan cerita-cerita atau berurusan dengan cerita mistis. Tapi nyatanya buliknya mengikutis saja...
apa yang diminta oleh suami dan kakek.

"Simbah itu gak pernah cerita yang macam-macam begitu juga lo Yu selama ini. Makanya Bulik itu sebenarnya antara percaya tidak percaya dengan hal-hal seperti itu."

"Masak Bulik?"

"Iya kok. Selama bulik di sini gak pernah kakekmu itu...
cerita yang aneh-aneh. Ya biasa, kayak orang sepuh pada umumnya."

"Padahal sejak Bayu kemarin datang di sini, kakek itu kayak gitu Bulik. Bulik tahu, katanya Bayu itu sudah ditunggu. Tapi Bulik kok bisa sama dengan yang dibilang sama perempuan-perempuan tadi di tegal ya? Mereka
... juga bilang kalau saya ini dicari banyak orang."

"Memangnya perempuan2 itu kayak gimana wajahnya. Menakutkan gitu? Pucat kayak hantu apa gimana?"

"Ya gak Bulik, ya kayak perempuan biasa pada umumnya. Mereka seperti orang pulang dari pasar. Pakai jarik, kebaya, kan setahuku
... banyak orang yang pakai pakaian kayak gitu juga di desa."

"Ya mana ada, itu desa jaman kapan. Jaman sekarang ya mana ada. Tapi ya wis dituruti saja. Wong ya gak ada ruginya."

Bayu merasa nyaman ngobrol dengan Buliknya. Mungkin karena mereka berbicara dengan cara yang dekat.
Buliknya sebenarnya bukan orang desa sini. Buliknya orang dari P2, kota kecamatan. Jadi bisa dimengerti kalau cenderung berpikiran rasional. Buliknya juga menempuh pendidikan S1. Walaupun sampai sekarang masih menjadi guru sukuan di sekolahnya setelah 12 tahun. Tapi sejauh Bayu..
tahu, buliknya tidak mengeluh tentang kondisinya saat ini. Dia malah menikmati kehidupan di P.

Bayu jujur masih terngiang-ngiang wajah hitam yang menempel di kuda-kuda tadi. Dia rasanya ingin menelpon orang tuanya supaya dijemput saja. Tapi karena kondisi sudah mulai petang dan
untuk berjalan ke rerimbun bambu dekat lapangan di petang seperti ini ngeri juga - apalagi dengan pengalamannya baru saja - dia menunda niatnya menelpon rumah paling tidak sampai besok pagi atau siang.

Setelah magrib, di ruang tamu sudah digelar tikar. Dua buah tampah besar..
... dilapis dengan daun pisang. Isinya jenang putih di satu tampah. Dan jenang merah di tampah lain. Ada sebuah piring juga yang berisi separuh jenang merah separuh jenang putih. Sederhana.

Ketika tamu mulai datang, mereka duduk berkeliling di sekitar kedua tampah tersebut.
Bayu duduk di sebelah kakeknya di depan piring kecil tadi. Kira-kira ada tiga puluhan lebih pria dewasa di ruang tersebut.

Kakeknya memimpin acara, "Bancakan punika kangge wayah kula Bayu (bancakan/ kenduri ini untuk cucu saya Bayu).
Kala wingi sampun dugi ing ngriki kanthi bagas kasarasan (kemarin sudah sampai di sini dengan selamat). Kangge nebihaken saking piawon saha prekawis-prekawis ingin mbekta dhumateng pacoben, (untuk menjauhkan dari hal buruk dan hal-hal yang membawa pencobaan) ...
... bancakan punika kawontenaken (bancakan ini diadakan)."

Lalu ada sebuah kalimat yang tidak dimengerti oleh Bayu, diucapkan serupa mantra.

"Mas Bayu!" suara seorang anak kecil di belakangnya. "Maturnuwun nggih sampun diparingi tetedhan (terima kasih ya sudah diber makan).
Bayu menoleh kepada anak kecil itu. Anak itu bersama beberapa temannya berjajar di belakang Bayu dan kakeknya. Bayu merasa tidak sopan untuk memotong kekhusukan acara sore itu, dia tidak menjawab, hanya mengangguk dan tersenyum. Anak-anak itu juga membalas senyumnya.
Seorang anak ijin berjalan keluar. Bayu merasa ada yang dingin di leher belakangnya. Persis ketika itu seorang dari hadirin yang datang tertawa. Ucapan kakek yang memimpin acara terhenti.

Pria itu berhenti tertawa lalu memandang ke seluruh ruangan. Bibirnya melengkung dan ...
begitu saja dia mulai menembang.

Bayu sadar tembang itu berasal dari mana. Itu adalah adalah tembang yang dia dengarkan dari suara jathilan tadi siang ketika dia di tegalan. Beberapa orang di sebelah sang Bapak langsung beranjak memegangnya.

Tapi si bapak tak berhenti.
Tembangnya semakin nyaring. Hingga tanpa ada yang sadar empat orang di depannya tiba-tiba saja, masih dalam posisi bersila, menggerakkan tangannya ke depan. Posisi jari mereka ngruji (posisi jari menari empat jari lurus ke atas, ibu jari menekuk ke dalam). Dan mereka berempat ...
dalam gerakan serempak menaik turunkan bahu mereka mengikuti irama tembang. Keempat jari mereke kemudian menekuk. Gerakan mereka persis seperti tarian orang yang sedang naik kuda lumping.

Mata mereka - bagaimana membahasakannya - tidak menutup, tetapi melirik ke atas, hingga...
hanya menyisakan sedikit iris warna hitam. Selebihnya adalah putih. Kepala mereka bergeser ke kiri kanan seiring lagu.

Ketika tarian sampai di sebuah senggakan (cengkok tertentu dalam tembang), mata keempat orang dan penembang itu membuka jelas dan menatap bayu, menyeringai...
... lalu sesekali melirikkan bola matanya ke atas lagi. Tapi gerakan tubuh mereka tidak berhenti. Tetap ritmis seiring irama tembang.

Bayu ketakutan luar biasa mencengkeram kakeknya. Beberapa anak kecil yang ada di belakangnya juga mencekeram Bayu dan kakeknya. Orang-orang ...
mulai ribut. Mereka yang awalnya memegang si penembang melepaskannya karena ketakutan. Orang-orang menjauh dari kelima orang yang tiba-tiba kesurupan tersebut. Membuat kelompok sendiri di dekat kakek Bayu.

Kakeknya minta diambilkan air putih ke belakang. Paklik dan beberapa...
... orang berlari ke dapur.

Ketika itu Bayu merasakan genggaman tangan anak yang ketakutan di lengannya terasa sangat tajam. Anak itu mencengkeram lengannya dengan jari-jari mereka. Ada juga yang mencengkeram pundaknya.

Ketika Bayu menoleh kepada mereka dan mengingatkan...
... supaya melonggarkan cengkeraman mereka, Bayu dibuat terkejut karena anak-anak itu justru menempelkan kepalanya ke lengan Bayu dengan wajah persis menghadap Bayu. Bibir mereka menyeringai lebar dan suara mereka terkikik...

"Hik hik hik hik... makane nek dolan aja suwe-suwe,
... ndang mulih! Nek ora, mesisan wae ora mulih! (makanya kalau main jangan lama-lama. Cepat pulang! Kalau tidak, sekalian saja tidak usah pulang!)"

Seringai mereka semakin lebar. Bayu membuang muka.

Ketika dia melihat lagi. Anak-anak itu sudah tidak ada sana. Orang-orang yang
... sempat menembang dan menari langsung terlihat lemas hampir bersamaan.

Ketika kakek mengulaskan air ke wajah mereka. Mereka sadar. Kakeknya memberikan mereka minum air putih.

"Wis ora sida bancakane (sudah tidak jadi bancakannya) durung wayahe (belum waktunya)" Ujar kakek.
Orang-orang yang sempat seperti kerasukan tadi diantarkan ke rumah oleh yang lain. Kakeknya mengatakan tidak apa-apa. Itu karena mereka pikirannya kosong. Diminta untuk ada yang menemani malam hari ini.

Ketika semua orang pulang. Paklik dan Bulik masih mencerap apa yang...
... baru saja terjadi. Bulik terutama. Dia tidak menyangka bahwa peristiwa seperti akan bisa terjadi di rumahnya. Dan tidak hanya satu orang tetapi beberapa orang sekaligus. Jenang di kedua tampah belum tersentuh.

"Lah Bayu gak ngomong." Tiba-tiba kakek membuka pembicaraan ...
"sejak awal mereka sudah di sini kan?"

Bayu baru ngeh yang dimaksud kakeknya adalah anak-anak kecil tadi.

"Saya gak ngerti, kek! Rupa mereka kayak anak-anak biasa."

Pakliknya yang bingung, "Anak-anak gimana?"

"Ada anak-anak kecil tadi belakangku sama kakek, Paklik."
"Iya ta?" Pakliknya tiba-tiba bergidik, menunjukkan lengannya, "Lihat merinding aku." Pakliknya kemudian meneruskan, "Tapi kok mesti anak-anak to Yu?"

"Aku ya gak ngerti Paklik. Itu terus yang kelihatan sama aku." Bayu melihat Buliknya, masih duduk bersimpuh di tikar.
"Kalau boleh milih ya mendingan diikuti yang cantik kayak Chelsea Islan" Bayu niatnya meringankan suasan dengan guyonan, tetapi tidak ada yang tertawa.

"Kek, apa Bayu pulang S aja ya?" Tanya Bayu kepada kakeknya.

"Kalau sudah begini ya gak bisa pulang dulu. Balik ke S ya ...
... kalau ini belum beres ya tetap akan begini terus." Jawab kakeknya. "Ya coba nanti kalau bapakmu pas datang, simbah tak omong-omong sama bapakmu, mungkin baiknya diadakan murwakala."

"Ngantos murwakala, Pak? (sampai diakan murwakala, Pak?)" Tanya Paklik kepada kakeknya.
"Murwakala itu, kek?" Tanya Bayu.

"Ruwatan, Yu." Jawab Pak dhenya.

"Ada anak-anak yang lahir sukerta kalau menurut hitungan Jawa Yu. Sukerta itu maksudnya tidak genap. Ada yang tidak pas. Jenisnya ada macam-macam. Kalau dalam cerita wayang, anak-anak seperti ini yang nanti ...
... makanan Betara Kala. Ceritane dawa (ceritanya panjang). Anak-anak sukerta begini ini biasanya akan banyak mengalami nasib malang, kesialan. Maka harus diruwat. Ruwatannya sebenarnya pada waktu masih kecil. Tapi kan kamu baru munculnya sekarang. Ya nanti simbah tanya-tanya...
... juga sama yang ngerti. Apa murwakala atau yang lain."

"Lah kalau murwakala kan gedhen2 (acara besar), Pak?" Tanya Paklik.

"Makane kuwi coba ngko diomong-omongkan sik karo Bapake Bayu karo Mbah Suroso. (Karena itu nanti dibicarakan dulu dengan bapak Bayu dan Mbah Suroso"
"Ning, bawa jenangnya ke belakang. Sudah tidak termakan itu." Tambah kakek.

Bulik membawa tampah berisi jenang putih ke belakang. Setelah itu dia kembali ke ruang tamu membawa jenang merah. Pakliknya menggulung tikar-tikar itu dan memasukkan kursi-kursi yang tadi ditaru di luar
... ke dalam.

"Kek, kalau nanti mau mandi, kamar mandinya gimana?"

"Ora apa-apa, le (tidak apa-apa, nak). Sing nang kono wis ngalih (Yang ada di situ sudah pindah). Tapi pesen simbah, kamu jangan dekat-dekat sama tempat yang lembab-lembab dulu. Mereka itu biasanya senangnya...
... ada di tempat yang lembab. Jadi ya tetap kalau di kamar mandi atu di tempat lain jangan berlama-lama, ya." Jawab kakek.

"Ini sebenarnya ada apa to kek?"

"Simbah ya belum tahu jelasnya, le. Simbah itu cuma bisa merasa tapi tidak bisa melihat."

"Lah Bayu pikir kakek sakti."
Kakeknya tertawa, "Ya nggak, le. Besok simbah bawa ke Mbah Suroso. Biar Mbah Suroso yang bantu-bantu. Biasanya simbah omong-omongnya juga dengan beliau."

"Mbah Suroso itu masih saudara jauh sama kita, Yu" tambah Paklik.

"Dukun gitu ta Paklik?"

"Ya bukan. Ya sama kayak simbah
... petani tegalan juga. Tapi ya termasuk yang dituakan di sini selain simbah. Orang biasa saja. Tapi katanya mengerti hal-hal seperti itu." Jawab Paklik.

"Ya gak katanya. Ya memang ngerti." Tandas kakeknya, "Sudah Bayu istirahat saja dulu malam ini."

Ketika itulah terdengar...
... teriakan Buliknya dari dapur. Lalu suara panci yang terlempar ke lantai.

Ketiga yang lain terkejut dan segera beranjak dari ruang tamu ke dapur.

Bulik masih pasi. Menyandarkan dirinya di dinding dapur. Di tangannya ada wajan. Tangannya tampak gemetaran. Napasnya tidak...
... teratur.

"Ana apa? (ada apa?)" Tanya Paklik.

"Tadi pas aku selesai cuci piring bekasnya jenang. Persis pas aku lihat ke tampah jenang, kayak ada perempuan, mas. Dia seperti ndeprok (duduk di lantai). Rambutnya ruwog-ruwog (berantakan). Tangannya seperti orang kate.
Dia seperti tidak punya kaki. Jadi yang nempel di lantai itu perutnya. Dia mengendus-ngedus jenang itu, sambil menjilat-jilat. Aku kaget. Dia juga kelihatan kaget. Pas aku teriak dia terus langsung lari, tapi tidak dengan kaki. Dia menyeret tubuhnya, jalan dengan tangannya.
Tapi jalannya cepat sekali. Aku melempar dia dengan panci, tidak kena. Jalannya cepat sekali. Bukan jalan, kayak nyeret-nyeret tapi cepat banget." Bulik bercerita dengan suara yang bergetar.

"Rupane piye? (wajahnya bagaimana)" Tanya kakek.

"Mboten ngertos, Pak. Ketutupan ...
... kaliyan rambut. Kula mboten mesakne jelase. Wong kula pun wedi kaliyan kaget (Tidak tahu, Pak. Tertutup rambut. Saya tidak memperhatikan dengan jelas. Sudah takut dan kaget)."

"Coba bukaen godhong tutupe jenange (coba buka daun penutup jenangnya)"

Pak lik membuka daun...
... pisang penutup jenang tersebut. Dan terkejut hingga melemparkan daun pisang itu. Jenang itu sudah berair dan benyek, seperti jenang basi yang dibiarkan berhari-hari.

"Ya kuwi nek panganan disenggol lelembut. (Itu makanan kalau disentuk makhluk halus.)" Ujar kakek. "Kok ya..
... tambah aneh-aneh saja." Kakek melihat ke arah Bayu. Lalu bergantian ke arah Paklik. "Goleka kanca. Bengi iki kabeh turu nang mbale ae. Gelar maneh klasane. Aja turu dewean. (Cari teman. Malam ini semua tidur di ruang tamu. Gelar lagi tikarnya. Jangan tidur sendirian)."
"Gak nggenah iki. Tak pikir biasa. Tapi kok ya tambah nemen (Tidak beres ini. Aku pikir biasa. Tapi kok semakin keterlaluan)." Tambah kakek.

"Ini ada apa to kek sebenarnya?" Bayu semakin kebingungan. Wajahnya ikut menegang.

"Perkara begini ini, Le, kita tidak benar-benar...
... bisa mengerti. Kita cuma meraba-raba maksudnya bagaimana. Ada perkara-perkara yang kita tidak benar-benar bisa mengerti dengan terang."

Paklik keluar.

Bulik bertanya kepada kakek, "Niki kula buwang mboten punapa, Pak? (Ini saya buang tidak apa-apa, Pak?)" Menunjuk ke ...
tampah jenang.

"Buwang wae. Buwang sing adoh sisan. Wis gak nok kanggone (Buang saja ke tempat yang jauh sekalian. Tidak ada gunanya lagi)." Jawab kakek.

Bulik keluar. Kakek mendekat kepada Bayu, "Ora usah wedi (tidak perlu takut)...
Manusia itu tidak akan kalah dengan makhluk halus, kecuali kita menyerahkan diri kita. Ini, dugaan kakek, memang ada hubungannya dengan Bayu. Tapi kakek belum tahu persisnya bagaimana."

"Nduk jaluk tulung gelarne klasa nang ngarep ya. (Nduk, tolong gelar tikar di depan ya)"
Bayu tidak bisa tidak bertanya kepada kakeknya, "Kakek kemarin bilang ada yang senang saya datang. Maksudnya gimana?"

"Ya kakek tidak tahu persisnya. Tapi pada waktu kamu mau datang. Langit itu kelihatan cerah sekali. Terus burung-burung di hutan itu berkicau ramai sekali ...
... itu pertanda bagus. Makanya kakek bilang mereka itu tidak jahat. Lah, yang kakek tidak menyangka, kok malam ini sampai kejadian seperti ini. Beda sekali. Dulu itu kalau mau datang musim hujan, ada yang mau hamil, waktu panennya mau bagus tanda-tandanya sama seperti itu. Tapi
kok yang sekarang ini tanda-tanda satu sama yang lain malah bertolak belakang."

"Kakek biasanya bisa membaca hal-hal begini ta?"

"Wong Jawa itu ilmunya titen (jeli dengan tanda), Yu. Simbah itu cuma niteni (memperhatikan tanda). Tapi tidak pernah yang sampai seperti malam ini."
Tapi Bayu bisa melihat bahwa kakeknya menyimpan sesuatu. Ada yang hendak dikatakannya tetapi ditahan. Kakeknya melihat kepada Bayu.

"Wis, ayo kita ke depan." Bayu berjalan ke depan. Tikar sudah digelar. Bayu baru sadar bahwa kakeknya masih ada di dapur. Ketika Bayu kembali...
... ke dapur, kakeknya sedang menutup matanya. Menarik napas dan menghembuskannya. Lalu melihat kepada Bayu. Tersenyum simpul. "Wis ayo ke depan."

Paklik datang membawa tiga orang laki-laki lain. Bayu melihat ketiganya dalam bancakan tadi sore.

"Simbah, Mbak Yu (Bulik), ...
dan Mas Bayu istirahat saja di dalam. Kami berjaga di luar malam ini." Ujar seorang di antara mereka.

"Digawekne kopi apa nggawe dhewe? (Dibuatkan kopi atau membuat sendiri?" Tanya Bulik.

"Mengko wae mbak, tak nggawe dewe. (Nanti saja Mbak, kami bikin sendiri."
"Aja lali ndedonga sak durunge turu, ya. (Jangan lupa berdoa sebelum tidur, ya)" Pesan kakek. "Di (Buadi, panggilan Kakek kepada Paklik). Mengko parak esuk aku tangekna ya (nanti menjelang pagi aku bangunkan ya)."

Paklik mengiyakan.

"Bayu coba istirahat, kalau ada mimpi...
... yang aneh-aneh, aja direken (jangan digubris). Itu semua cuma mimpi. Yang diingat-ingat mimpi yang menjelang pagi saja, itu puspa tajem. Itu wangsit, kalau katanya orang Jawa."

Bayu jujur sebenarnya tidak nyaman dengan semua pengalaman selama di P. Dan Bayu sendiri...
... bisa merasa bahwa memang ada yang seperti mengincarnya. Tapi Bayu tidak mau berspekulasi.

Bulik memberikan bantal dan selimut. Paling tidak dia merasa aman karena ada orang yang menjaganya malam ini. Dan keluarga ini benar-benar keluarga yang melindunginya. Bayu dikelilingi
... oleh orang-orang yang mengasihinya. Bayu bisa merasakan kasih mereka tulus.

Mungkin sebenarnya mereka sama-sama tidak mengertinya dengan Bayu. Tapi hidup mereka yang tenang seperti diacak kadut dengan peristiwa-peristiwa seharian ini. Nyatanya mereka tidak menyalahkannya...
... mereka justru menyediakan diri mereka berepot-repot mengurus hal-hal tersebut. Dan tidak kelihatan mereka yang keberatan.

Diam-diam ada yang hangat di dalam dadanya. Bayu baru bertemu orang-orang ini dua hari. Dan dia merasa inilah keluarga.

Entah apa yang terjadi besok.
P di pagi hari adalah sorga. Ketika matahari baru menggeliatkan dirinya di sisi Timur, dari bebalik pepohonan di hutan belakang desa semburat hangat keemasan menyapa seisi desa. Tajuk-tajuk dedaunan yang saling bersaling silang merajut teduh yang hanya bisa diceritakan puisi.
Sisa ketegangan semalam sudah disapu oleh barisan penduduk desa yang berduyun menyunggi keranjang untuk berangkat ke tegal. Beberapa pria berbadan tipis tetapi sekal memanggul cangkul di bahu liat mereka.

Bulik sudah menyinggahkan tikar dan bantal di bale depan. Seolah...
tak terjadi apa pun beberapa jam yang lalu. Bulik juga sudah selesai memasakkan sayur daun kelor, tempe, dan sambal korek. Kakek menganyam daun kelapa untuk dijadikan wadah perkakas. Sedang di kamar mandi terdengar dak dok Paklik yang membenarkan rak bambu di kamar mandi.
Bulik tersenyum menatap Bayu. Sudah segar, siap untuk berangkat ke sekolah.

"Sarapan dulu, Yu."

"Makasih, Bulik!"

"Jangan dipikirkan ya yang terjadi semalam. Hari baru, cerita baru. Semoga kali ini semuanya baik. Tidak mengalami yang aneh-aneh kan selama tidur semalam?"
"Tidak, Bulik!"

"Katanya simbah nanti agak siangan mau diajak ke Mbak Suroso. Wis kamu siap-siap atau ngapain aja dulu. Tetap hati-hati ya."

"Bulik mulai percaya hal-hal seperti ini?"

"Gak tahu, Yu. Mau tidak percaya itu Bulik tidak punya penjelasan untuk yang terjadi semalam.
Kalau bulik tidak mengalami sendiri mungkin beda ceritanya, Yu. Lah semalam itu kaya diberondong hal-hal seperti itu. Mau tidak percaya bagaimana?"

"Semoga semua baik, ya, Bulik."

"Semoga, Yu."

"Bayu mau telpon Ayah sama Mama dulu pagi ini."

"Iya kabari, biar mereka tidak ...
... khawatir. Orang tua itu tenang kalau dapat kabar dari anaknya, Yu."

Bulik mengambil napas panjang. Bayu bisa membayangkan. Sekian belas pernikahannya dengan Paklik keduanya belum mendapatkan momongan. Bayu merasa diperlakukan seperti adik tetapi juga seperti anak oleh ...
mereka berdua.

Beranjak ke kamar mandi, Bayu masih melihat paklik sibuk dengan raknya. "Dibantu Paklik?"

"Boleh, Le. Ada beberapa bambu yang sudah Paklik bilah di luar. Tolong dibawakan masuk ya."

Bayu mengambilkan dan meletakkanya di sebelah Pakliknya.

"Sudah lama, Yu ...
... tidak pernah ada hal-hal seperti ini di kampung sini. Sejak masuknya listrik dan hp sudah jarang ada cerita-cerita seperti yang terjadi semalam. Jadi Paklik seperti kembali ke jaman kecil dulu."

"Ayah kok gak pernah cerita yang begitu-begitu ya, Paklik?"

"Bapakmu itu kan ..
... sejak kecil tidak tinggal di sini, Yu. Dulu kalau liburan semester pas kuliah, paling di sini ya cuma beberapa hari. Lamanya di Pak Simon. Lah wong Pak Simon yang membesarkan, ya wis. Paklik itu kadang merasa simbah itu seperti punya perasaan bersalah kepada bapakmu. Tidak...
... membesarkannya sendiri. Tapi ya piye ya, Yu. Kondisi jaman dulu kan beda sama jaman sekarang."

"Tapi Opa Simon sama simbah itu punya hubungan gimana kok ayah dititipkan di sana Paklik."

Pakliknya mengikatkan beberapa bambu dengan bambu lain yang dibesat. Menguatkan dengan..
... memasang pasak di kedua bambu yang sudah terikat. Bayu kagum melihat betapa cekatan Pakliknya dalam urusan seperti itu.

"Pak Simon kan punya anak Mbak Ratna. Mbak Ratna itu dulu sering sakit-sakitan ketika kecil. Terus gak tahu bagaimana dengar tentang desa ini. Katanya...
desa ini udaranya bagus. Suasanya nyaman. Jadi kalau buat pengobatan bagus. Bisa mempercepat kesembuhan. Jaman itu kan keluarga simbah cukup terpandang. Bukan keluarga kaya, tapi dituakan. Paklik tidak tahu persis sakitnya apa, wong waktu itu belum lahir. Kalau dari cerita...
...mbah putri, pokoknya ya sering muntah darah begitu lah. Pas ditaruh di sini, kok sembuh."

"Iya, Paklik. Bayu juga pernah ketemu Tante Ratna. Kalau ketemu Bayu sama Sara biasanya gemesnya berlebihan. Sampek gede gini kalau ketemu aku diciumin, sampek pipiku habis rasanya."
"Aku dengar sudah pindah ke luar pulau, ya?"

"Iya ke Kalimantan, Paklik."

"Lah Paklik dulu kalau pas dikasih cerita sama mbah putri tidak pernah memperhatikan dengan baik. Apa ya sakitnya Mbak Ratna itu berhubungan dengan hal-hal seperti ini ya."

Paklik berusaha mengingat.
"Halah ya wis lupa, Yu."

Bayu tersenyum.

"Kamu mau mandi ta? Sebentar ya ini tinggal sedikit. Paklik juga mau ke Tegal."

"Makasih sekali Paklik. Bayu diperlakukan baik sekali."

"Lah wong keluarga. Kamu ini kok ya ada-ada saja."

"Bayu keluar telpon ayah sama mama dulu."
"Di dekat bambu petung sana itu ya. Dekat lapangan. Di situ yang sinyalnya kuat."

"Iya Paklik."

"Boleh minta air sedikit buat cuci muka, Paklik?"

Pakliknya tertawa, "Orang ganteng gak perlu cuci muka ya tetap ganteng Yu."

Bayu ikut tertawa. Pakliknya keluar sebentar...
Bayu mengambil air dan membilas wajahnya.

Bayu keluar berjalan ke arah bawah. Lapangan. Sepanjang jalan dia bertemu dengan orang-orang desa. Cerita tentang kejadian semalam tentu sudah tersebar ke seluruh penjuru desa.

Ketika dia melewati beberapa rumah. Dia bisa melihat...
orang-orang yang menyapanya. Dari tatapan mereka, Bayu tidak melihat bahwa orang-orang itu marah atau semacamnya. Yang nampak justru tatapan mata kasihan.

Bayu menyapa mereka. Mereka membalas dengan ramah. Andai saja tidak ada cerita beberapa hari ini, desa ini adalah sebuah ..
... desa yang sangat nyaman untuk tinggal. Bayu bisa membayangkan bagaimana Tante Ratna yang katanya sakit bisa sembuh di sini. Dengan dukungan perlakuan orang-orang sekitar yang seperti ini siapa yang tidak akan kerasan?

Beberapa orang bertanya kepadanya hendak ke mana.
Bayu menjawab mereka hendak menelpon orang tuanya. Di lapangan. Beberapa orang nampak saling berpandangan.

"Hati-hati ya Mas. Tempatnya agak wingit* (*sebutan untuk tempat yang nuansanya mistis, tidak selalu berarti angker yang menakutkan. Tapi memiliki atmosfernya yang beda)."
"Inggih (iya)." Jawab Bayu.

Bayu akhirnya bisa melihat lapangan itu lebih dekat. Agak berbeda dari yang dia ingat dalam mimpinya. Dalam mimpinya lapangan itu serupa tanah yang luas dengan rumah-rumah kayu di kiri kanannya. Pohon bambu hanya tersisa beberapa rumpun.
Tapi kenyataannya pohon bambu itu justru berelung-relung. Berjajar dari sisi ke sisi menutupi lapangan bagian barat. Ketika berada di bawah rerumpun bambu itu, Bayu seperti berada di dalam naungan rerusuk maha akbar. Yang menarik adalah angin tidak meniupkan dedaun bambu ke ...
lapangan. Tanah lapangan di bawah relung bambu itu bersih. Dedaun bambu tertiup ke sisi sebelah barat. Bayu tidak ingin berpikir yang aneh-aneh. Anggap saja semua wajar.

Ada beberapa rumah kayu di sekitarnya. Tapi tidak persis seperti di mimpinya...lebih menyerupai dua buah...
joglo tak berdinding. Pendapa. Di tengahnya ada sebuah lapangan yang disemen. Mungkin digunakan untuk menjemur dan mengeringkan hasil kebun sebelum dibawa ke pasar atau diambil tengkulak.

Bayu bisa membayangkan ketika siang, daerah di dekat rumah kayu pendapa itu pasti panas.
Tapi di sekitar lapangan tetap dingin karena naungan relung bambu di sekelilingnya.

Belum sempat membuka HPnya. Beberapa pesan muncul terus menerus. Bayu membuka hpnya. Ayahnya menelpon beberapa kali di WA tapi tidak terjawab. Jelas wong tidak ada sinyal. Ada WA dari Sara dan..
mama. Juga dari beberapa kawan kampusnya. Beberapa grup juga ramai. Bayu seperti baru sadar betapa selama dua hari ini dia terputusa sama sekali dari dunia luar. Dunia yang diakrabinya. Dan begitu hari ini dunia luar itu memberondongnya, ada perasaan yang ganjil. Dia justru...
merasa tidak nyaman. Dia mulai merasa ketenangan hidup di desa ini lebih membahagiakan. Dia terhubung secara langsung dnegan orang-orang sekitarnya - termasuk yang tidak kelihatan. Dunia yang biasa digaulinya justru terasa asing baginya.

Tapi yang paling menarik dari semuanya..
adalah pesan dari mama yang nampak secuil.

'Kamu gpp kan? Mama mimpi gak enak..."

Bayu membuka pesan itu supaya bisa membaca lebih utuh.

'Kamu gpp kan? Mama mimpi gak enak semalam. Mama lihat kayak ada anak kecil yang gelantungan di tubuhmu. Ada orang-orang pakai baju ...
... putih-putih mengelilingi kamu. Cepat telpon mama kalau dapat sinyal.'

Bayu terkejut dengan apa yang dibacanya. Dia langsung menghubungi mamanya.

"Ma?"

Begitu saja mamanya langsung nyerocos di HP, "Kamu gak apa-apa, sayang? Mama kuatir banget semalaman. Sampai mama tidak...
bisa tidur. Mama bangunin ayah minta ditemanin. Perasaan mama gak enak banget. Kamu sehat-sehat aja kan?"

Bayu tidak tahu apakah dia harus menjelaskan yang dialaminya. Tapi menceritakan semuanya rasanya terlalu panjang. Dan Bayu tidak tahu harus mulai dari mana. Kalau dia ...
mengatakan yang terjadi, mamanya pasti semakin tidak tenang.

"Mama gimana kabarnya? Sehat ta? Bayu gak apa-apa. Makanya anak itu dilepas biar mandiri. Tapi juga biar orang tuanya belajar percaya sama anaknya. Masak baru gak ketemu dua hari saja sudah panik gitu."
"Kamu ini anak sableng. Dikhawatirkan orang tuanya kok malah mamanya dibilang gitu."

Bayu tertawa, "Gak apa-apa, Ma. Lagian ngapain ada orang putih-putih di sekelilingku. Cewek-cewek kan, bidadari kali malaikat."

"Oh dasar! Ya wis mama tenang kalau kamu gak apa-apa. Beneran...
... kan gak apa-apa?"

"Iya ma. Kudu berapa kali Bayu bilangin. Mama, Bayu gak apa-apa. Penduduk desa sini itu baik-baik. Dan aku senang soalnya gak dengar omelan mama tiap pagi."

"Lah iya, kok tumben kamu jam segini sudah bangun. Eh monyet, besok hari Sabtu mama, ayah, Sara...
jadi ikut ke sana. Katanya opa Simon juga mau ikut. Sekalian sambang ke kakekmu. Semalam beliau itu telpon ke papamu persis habis mama dapat mimpi gitu. Makanya mama itu semalam itu tambah kuatir. Namanya desa ya Yu, kan hal-hal yang aneh-aneh biasanya juga terjadi. Apalagi...
... desa terpencil gitu."

"Eh ngejek banget ini orang. Mama kalau tinggal di sini seminggu aja pasti kerasan gak pingin balik."

"Tapi emang bener. Kamu itu lebih mirip sama mama, Yu. Jarang keluar-keluar S, keluar-keluar paling liburan. Kalau adikmu itu kan lebih mirip papamu..
... kerjanya dolan saja sampai susah ditemukan. Kemarin baru pulang ngantar kamu itu, sampai rumah kah siang. Lah sorenya mama cari ditelponin, malah sudah sampai G. Katanya nonton konser sama teman-temannya. Punya anak perempuan kok rasanya kayak punya peliharaan liar."
Bayu tertawa ngakak. Akhirnya Bayu seperti mengenal dunia yang selama ini dia tinggali. Dia masih berbicara tentang hal-hal yang lain dengan mamanya. Dia sengaja tidak menyinggung hal-hal yang terjadi semalam.

Ada hal-hal yang lebih baik tidak dibicarakan di telepon. Hal-hal...
... intens dan pribadi lebih baik dibicarakan dalam sebuah perjumpaan.

Dia mengatakan mau jalan-jalan sama kakek hari ini. Dia tidak mengatakan bahwa dia akan mengunjungi Pak Suroso. Bayu titip salam kepada ayah dan Sara.

"Eh, monyet! Sampaikan salamku juga sama Paklik dan...
Bulik ya. Juga sama kakek."

"Iya, Mama."

"Uang masih cukup?"

"Mama aku ini baru pergi dua hari dan di desa. Mau dipake apa duitnya. Di sini duitnya Bayu gak laku."

"Oh ya jangan dibelikan rokok ya. Tambah parah sakitmu!"

"Ehmm... iya... ehmm gak janji."

"Dasar! Awas ya...
... sampai mama sampai sana kecium bau rokok. Tak bakar baju-bajumu yang bau rokok."

"Tapi habis gitu dibeliin lagi kan yang baru?"

"Nenek moyangmu orang gunung! Ya beli sendiri sana kalau sudah kerja."

Bayu tertawa, mamanya tertawa. Pagi ini begitu ringan.
Bayu membalas beberapa pesan teman-temannya. Ketika sebuah pesan dari Pak Simon masuk.

'Sehat kan, Yu?'

Bayu segera membalasnya, 'Sehat, Opa. Opa bagaimana?'

'Syukurlah. Opa juga sehat. Jaga diri, sampai ketemu Hari Sabtu, ya.'

Bayu kembali menutup handphonenya. Ketika dia..
... tiba-tiba melihat beberapa pasang mata mengintipnya dari rerimbunan bambu. Seperti ada yang berjongkok di belakang relung bambu itu. Ketika Bayu mendekat semuanya hablur. Menghilang di udara. Tak nampak lagi.

Ah cuma perasaannya saja. Ketok-ketoken (seperti melihat tapi...
... sebenarnya tidak ada).

"Mas Bayu."

Suara anak kecil.

Bayu melihat berkeliling, tapi tidak ada. Lama-lama merinding juga. Mungkin benar tempat ini wingit. Bayu segera beranjak ke atas. Menuju rumah kakeknya.

Tiba-tiba dadanya terasa sesak. Ada yang sakit sekali di...
dekat ulu hatinya.

"Ah dasar penyakit sialan!" Bayu berbicara sendiri.

Dia berjalan ke atas. Beberapa penduduk desa berkativitas. Ada yang menjemur pakaian. Ada yang menyiram tanaman sayur di halaman mereka. Bayu menyapa mereka. Mereka pun balas menyapanya.

Sakit di ulu...
hatinya semakin menjadi-jadi. Bayu baru ingat bahwa semalam dia melewatkan obatnya. Padahal penyakit paru-paru tidak bisa melewatkan obat barang sekali pun, atau harus mengulang pengobatannya dari awal kembali.

Semoga tidak apa-apa.

Sampai di rumah tinggal kakeknya yang ada..
di rumah. Bulik sudah pergi ke sekolah dan paklik sudah berangkat ke tegalan.

"Ayo sarapan ndang adus, Le! (Ayo sarapan lalu mandi, nak) Melu simbah nang Mbah Suroso (iku simbah ke Mbah Suroso)."

"Inggih."

Bayu beranjak ke dapur dan mengambil nasi serta sayur kelor dan tempe.
Tidak disangkanya ketika dia memakan sarapannya. Sakit di dadanya semakin menjadi-jadi. Dia hingga merasa kesulitan bernapas luar biasa. Tapi dia berusaha menyelesaikan sarapannya karena dia harus meminum obatnya.

Selesai sarapan dia meminum obatnya. Didobel. Anggap saja...
hitungannya sekalian sama yang tadi malam.

Bayu segera membuka bajunya untuk mandi. Dan ketika itulah dia terkejut luar biasa. Ada dua memar yang bertumpuk di dadanya. Memar itu berakhir di sisi samping tubuhnya di bawah ketiak. Memar itu serupa dua garis besar yang melintang.
Namun ketika diperhatikan lebih jauh. Memar itu seperti bekas lengan anak kecil yang bergelayutan di tubuhnya. Tepat berakhirnya memar itu nampak ada seperti bekas tapak tangan yang mencengkeram. Tidak nampak dengan jelas, tapi mirip seperti tangan yang membuka.
Di bekas yang seharusnya jejari tangan itu, memar nampak lebih lebam.

Bayu memegang memar tersebut. Dan dia masih merasakan memar itu lebih panas dari anggota tubuhnya yang lain. Dan memar itu masih terasa sakit.

Bayu berpikir apakah harus menceritakan itu kekeknya atau..
tidak. Tapi dia segera menuju ke kamar mandi. Dia harus cepat-cepat mandi dan menuju Mbah Suroso.

Bayu membuka pintu kamar mandi. Seperti ada yang menahan pintu itu di dalam. Bayu mendorongnya lebih keras.

Ketika pintu terbuka, benar saja, sosok hitam yang yang kemarin...
dilihatnya persis ada di dalam ruangan. Makhluk itu berada dalam posisi berjongkok seperti mau menerkam. Makhluk itu berkulit hitam, bukan bulunya yang hitam, tapi kulitnya legam arang. Matanya merah membelalak sebesar lepek tatakan cangkir. Lidahnya menjulur-julur dan air liur..
menetes-netes dari mulutnya. Air liur itu membajir kental berbau anyir di sepanjang lantai kamar mandi. Tubuhnya yang pelan-pelan bertambah membesar semakin memenuhi seluruh kamar mandi. Setiap kali serupa bernapas, napasnya seperti ngos ngosan. Hah hah hah hah...

Bayu melihat
makhluk itu dan makhluk itu pun melihat Bayu. Saling bertatapan. Lalu makhluk itu membuka mulutnya yang lebar. Jarinya yang panjang berusaha meraih tubuh Bayu.

Ketika itulah Bayu membanting pintu. Dia berlari ke depan.

Kakeknya yang berada di depan terkejut dan melihat...
ke arah Bayu. Kakeknya semakin terkejut melihat memar di sepanjang dada Bayu.

Bayu menyadari memar itu semakin gosong. Dan rasanya dadanya semakin sesak dan panas.

"Kek..."

"Pakai bajumu! Kita ke Mbah Suroso sekarang!"

"Kek... ada..."

"Ini tidak bisa ditunda! Cepat!"
Rumah itu sebuah rumah sederhana. Dindingnya kayu lapis yang dicat dengan warna hijau tua. Sebuah kursi dari anyaman plastik kuning merah dan hijau terduduk di teras rumah yang masih beralas tanah. Halamannya dipenuhi bunga bougenvil aneka warna, bunga pecah piring, soka, pohon..
bunga kantil, dan melati yang berumbuk-rumbuk. Wanginya menyerbak seperti pasar bunga tumpah.

Bayu dan kakeknya disambut oleh seorang anak perempuan. Mungkin lulusan SMA. Denok. Bayu nanti diberikan cerita oleh kakeknya bahwa Denok adalah cucu Mbah Suroso yang tinggal di P...
karena kedua orang tuanya merantau ke luar pulau. Kondisi ekonomi yang sulit membuat banyak orang di desa itu terpaksa harus mencari pekerjaan di luar daerah. Denok sendiri tidak melanjutkan sampai kuliah. Hal yang umum ditemukan di antara orang-orang di desa P. Selesai SMA ...
anak-anak biasanya mencari pekerjaan atau menunggu jodohnya datang.

Cerita semacam itu tentu bukan asing bagi Bayu. Hal-hal yang membuatnya harus sejenak mengambil napas dan bersyukur. Tidak semua orang mengalami seperti yang dia alami. Tapi toh nyatanya dia masih selalu...
mengeluh dengan keadaannya. Dia kadang merasa ada saja yang kurang dengan hidupnya, ada yang kurang dengan keluarganya.

"Mangga, Mbah Taji (kakek Bayu)."

"Nuwun, Nok (Terima kasih, Nok). Simbahmu ana? (Kakekmu ada?)"

Denok melihat Bayu. Tersenyum. Sederhana. Gadis desa yang..
biasa. Tidak cantik, tidak jelek. Biasa saja. Tapi Bayu tahu bahwa gadis ini dalam. Dia jelas bukan jenis gadis yang hingar dan menceritakan diri dan perasaannya dengan lantang di media sosial. Gadis yang menyimpan lebih banyak di dalam di dalam dirinya. Tanpa perlu merasa harus
... membagikannya keluar.

"Mboten wonten, Mbah. (Tidak ada, mbah.) Wonten punapa nggih? (ada apa ya?)"

"Menyang ndi, ndhuk? (Ke mana, nak?)"

"Kala wingi medal sareng Pak Lik Aji dhateng B. Ngendikanipun putranipun sakit utawi punapa mekaten, Mbah. Boten jelas kula. (Kemarin..
bersama Paman Aji pergi ke B. Katanya anaknya sakit atau bagaimaana begitu. Saya tidak terlalu jelas)."

"Anake Aji sing lara (Anaknya Aji yang sakit?)"

"Inggih."

"Ya kuwi ditinggali terus karo Aji bara. Wong iku nek wis kadung nyambut gawe ora eling mulih. (Ya itu ditinggal...
terus oleh Aji bekerja merantau/bekerja. Dia kalau sudah bekerja tidak ingat pulang)."

"Mbok bilih kados mekaten, Mbah (mungkin begitu, Mbah)."

Aji yang dimaksud adalah orang dari B. Banyak orang selain Aji yang juga bekerja ke P. Kebanyakan mereka tinggal di gubuk di tengah...
hutan atau perkebunan. Mereka bekerja sebagai buruh yang menjaga perkebunan atau membuka sendiri sebuah hutan kawasan perhutani untuk mereka kelola. Biasanya sistemnya bagi hasil dengan Perhutani. Orang-orang yang bekerja demikian biasanya bisa sampai beberapa hari bahkan minggu
...tidak pulang. Karena itu gubuk-gubuk di tengah hutan sudah seperti rumah semi permanen bagi orang-orang seperti Pak Aji.

"Baline kapan, ndhuk? (kembalinya kapan, nak?)"

"Tamtune kula mboten mangertos. Tapi mbok bilih kok mangke sonten sak derengipun surup. (Pastinya saya...
belum tahu. Tapi mungkin nanti sore sebelum petang)."

"Ya wis. Ngomonga nyang Mbahmu yen mengko mulih ya, digoleki Mbah Taji. Dikon nyang omah. (Kalau nanti pulang, bilang dicari Mbah Taji. Diminta ke rumah)."

"Inggih."

Denok sempat melihat kepada Bayu dan menganggukkan...
kepalanya, "Ini Mas Bayu, ya?"

"Iya kok tahu?" Tanya Bayu.

"Iya kemarin pas habis bancakan, orang-orang di jalan cerita."

Benar. Cerita tentang Bayu dan orang-orang bancakan yang sempat kesurupan itu pasti sudah terdengar ke seisi desa. Bayu belum pernah bertemu dengan...
Denok pada umumnya. Tapi Denok sampai berani bertanya seperti itu.

"Horror ya." Bayu menimpali.

Denok tertawa kecil, "Di sini yang begitu-begitu masih ada mas. Hati-hati, ya Mas."

"Makasih."

Kakek dan Bayu kembali ke rumah.

Dalam perjalanan pulang Bayu sempat berpapasan...
dengan beberapa orang yang agaknya berangkat ke tegal atau kebun di hutan. Masih cukup pagi. Para perempuan desa yang membawa rinjing (keranjang) di tangan. Menyunggi buntalan di punggung mereka. Pakaian mereka layaknya perempuan desa. Jarit yang disingsing sampai ke lutut, ...
kebaya sederhana.

Bayu sempat mengangguk kepada mereka. Beberapa perempuan yang melintas itu tersenyum kepadanya.

"Siapa, Yu?" Kakeknya bertanya ringan.

Bayu tersenyum kepada kakeknya dan mengangkat bahunya. Tidak tahu.

"Di sini ramah-ramah ya kek orangnya."
Kakeknya tertawa kecil, "Wujudnya bagaimana?"

"Maksudnya, Kek?"

Tiba-tiba bulu kuduk Bayu merinding. Seketika itu Bayu sadar, dia menoleh ke belakang. Para perempuan itu entah sudah jauh, berbelok, atau ke mana, tapi mereka sudah tak nampak lagi.

"Itu tadi sungguhan, Kek?"
"Makanya kakek bilang, banyak kok yang baik. Tidak semua yang seperti itu jahat."

"Kakek beneran tidak lihat para perempuan tadi?"

"Lah ya mana ada. Dari tadi lurung (jalan) sini ya sepi. Cuma kita berdua saja yang lewat."

"Beneran, Kek?" Bayu langsung merangkul lengan...
kakeknya.

"Tidak perlu takut. Kelihatannya memang ada yang membuka kluwenganmu (tabirmu). Sengaja atau tidak. Tapi sekarang kamu jadi lebih bisa merasakan mereka."

Ini keadannya. Bayu adalah anak muda kota pada umumnya. Dia adalah penyuka cerita horor dan suka ditakut-takuti..
baik oleh cerita-cerita horor yang dia baca maupun film yang dia tonton. Tentu masalah horor bukan pusat hidupnya. Dia hidup sebagaimana para pemuda kota pada umumnya.

Dia selalu merasa ingin bisa bertemu dengan hal-hal yang semacam itu. Sesekali merasakan perjumpaan yang...
menegangkan. Mungkin hidup sehari-harinya sudah terlampaui teknis dan mekanis. Semua lewat begitu saja. Karena itu horor menjadi hiburan yang menyenangkan. Dia berharap sekali-sekali bisa punya pengalaman supernatural. Sesuatu yang bisa diceritakan untuk menghangatkan malam...
yang sepi. Jago-jagoan. Atau sekadar bahwa dia punya pengalaman yang tidak biasa saja.

Tapi Bayu tidak menyangka bahwa ketika pengalaman itu datang kepadanya, bahkan disiramkan bertubi-tubi, Bayu tidak pernah benar-benar siap. Dia justru merasakan apa yang dialaminya mulai...
membuatnya ketakutan luar biasa.

Memar yang terdapat di dadanya. Anak-anak kecil dan perempuan yang ditemuinya selama berada di P justru membuatnya tidak nyaman.

Bayu bisa mengerti jika ada beberapa orang yang katanya memiliki kelebihan terkait hal-hal supernatural lalu ingin
hidup normal pada umumnya. Mereka yang benar-benar demikian biasanya lebih banyak menyimpan untuk dirinya sendiri. Tidak kemudian memamerkannya sebagai hiburan murahan.

Bayu memiliki seorang dosen statistik yang katanya mengerti tentang hal-hal demikian. Tapi setiap kali...
ditanya oleh para mahasiswa tentang hal-hal seperti itu, dia cenderung tidak banyak bercerita. Dia hanya tersenyum. Mungkin ketika seseorang benar-benar memiliki kemampuan serupa itu, hal tersebut menjadi sesuatu yang melekat dalam hidup mereka. Dan hari ini ketika masalah...
supernatural justru menjadi hiburan, mereka justru menyimpannya untuk dirinya sendiri. Itu bagian dari hidup mereka yang tidak perlu selalu dipaparkan ke luaran. Mereka tidak ingin menjadi pusat atraksi dan perhatian.

Bahkan dosennya ketika ditanya oleh mahasiswa tentang hal-hal
... serupa itu, beliau paling cuma menjawab, "Ah masak" dalam senyum simpulnya dan tak hendak berbicara berpanjang-panjang. Bayu bisa mengerti betapa rendah hatinya orang-orang yang demikian. Memang ada orang-orang yang suka menampilkan kelebihannya bahkan di media dengan...
membuat pengalaman mereka sebagai pengalaman yang dramatis dan spektakuler. Selalu ada dua sisi yang berseberangan yang saling mengisi. Seperti mata uang. Pada sebuah entitas yang sama, terdapat sisi-sisi berbeda yang saling membelakangi bahkan bertentangan.

Dan Bayu saat itu..
sungguh-sungguh merasakan bahwa apa yang dia alami ini bukanlah sesuatu yang lalu perlu diceritakan-ceritakan. Dia mungkin termasuk yang berharap hal-hal demikian kalau bisa dihilangkan saja dari dirinya.

(Jika pun dia cerita, itu karena saya agak memaksa paling tidak dari ...
setiap cerita, saya yakin ada makna yang bisa diambil untuk kehidupan bersama. Kebetulan karena kami juga dekat karena itu dia bisa menceritakannya dan bersedia saya bagikan dengan privasi yang tetap dijaga).
Tapi yang jelas, pada saat berada di P setelah kunjungannya ke rumah Mbah Suroso pada waktu itu, ketika sudah sampai di rumah kakeknya, Bayu mulai merasa ketakutan untuk masuk ke kamar mandi rumah kakeknya. Ketika masuk ke kamar mandi, dia hanya mengambil air segayung untuk...
cuci muka. Segayung untuk sikat gigi langsung pergi dari kamar mandi itu supaya tidak sampai bertemu dengan makhluk hitam yang tinggal di sana.

"Kek, saya kok merasa suasana di rumah ini lebih adem ya daripada di rumah Mbah Suroso. Saya merasa di sana saya lebih ... apa ya...
seperti tidak aman. Seperti diawasi."

"Kalau katanya orang-orang yang ngerti, Yu, kan sama seperti kita manusia, makhluk-makhluk itu kan ya punya tempat-tempatnya. Hutan yang jadi tegalan dan kebun itu tempatnya lebih tinggi, lebih dekat ke gunung. Suasananya...
pasti lebih kental semakin kita dekat dengan pusatnya. Rumahnya Mbah Suroso itu kan lebih di atas. Mungkin ya lebih dekat ke pusat kerajaan mereka."

"Saya gak pernah menyangka, Kek, kalau saya akan mengalami yang seperti ini."

Kakeknya tertawa ringan. Udara sudah mulai hangat..
seiring bertambah siang. Mereka berdua duduk di teras rumah kakeknya yang persis menghadap ke lurung depan rumah mereka.

"Begitu itu kan seperti bakat, Yu. Atau berkat. Tidak semua orang mendapatkan. Ada yang minta terus menerus tidak dikasih. Tapi ada yang tidak pernah minta
tapi ternyata diberikan. Ya tidak perlu ditolak. Masak berkat mau ditolak."

Bayu memeriksa dadanya. Lebam itu masih ada di dadanya, tetapi sudah tidak sakit dan panas seperti tadi pagi. Ketika Bayu memegang lebam itu seperti ada yang lain yang ikut bernapas bersamanya.
Bayu menutup kembali memarnya.

"Yen pas ngene iki (kalau pas begini ini) apa di jalan depan ada yang lewat-lewat, Le?" Kakeknya tiba-tiba bertanya sambil terus melihat ke jalan depan rumahnya.

"Saya tidak tahu, Kek. Munculnya itu tidak setiap saat. Kalau pas begini ini, ...
... ya biasa saja."

"Gosongmu piye?"

"Sudah enakan, Kek. Sudah tidak terasa seperti tadi. Tapi kalau begini saya merasanya ini seperti bukan memar saya ya. Kek, mama tadi pas saya telpon bilangnya ada yang menggelayut di tubuh saya. Nggandoli saya. Apa bener begitu ya, Kek?"
"Yang penting tidak sakit, to? Ya wis dijarno sik wae (dibiarkan saja dulu). Mengko ngenteni omong-omongan karo Mbah Suroso piye apike (Nanti menunggu bebicara dengan Mbah Suroso baiknya bagaimana)."

Kakek bercerita bahwa Mbah Suroso adalah anak dari pamannya Kakek. Jadi ibu ...
dari Mbah Suroso adalah adik dari bapaknya Kakek. Jadi sebenarnya kalau dirunut memang masih saudara dengan Bayu. Denok tadi pun masih saudara dengan Bayu tunggal canggah (satu canggah- orang tua buyut). Selain orang-orang yang memang bara dan pendatang, kebanyakan orang-orang...
di P adalah saudara-saudara serupa itu. Karena itu disarankan kalau menikah mencari orang di luar desa itu. Jika tidak beberapa dari mereka menikah dengan orang-orang yang bara di desa tersebut.

Mbah Suroso, dari cerita kakek, adalah orang yang sejak kecil memiliki kelebihan...
seperti yang dialami oleh Bayu. Beliau pernah ketika kecil, tidur dan tiba-tiba menjerit karena melihat ada orang yang berjongkok di tepi tempat tidur. Karena itu kalau ada hal-hal yang terkait hal-hal magis, Mbah Suroso yang kerap menjadi jujugan (tempat bertanya atau sejenis).
Bayu menghabiskan siang itu dengan membongkar-bongkar tasnya. Dia sadar bahwa baju-bajunya belum sempat dikeluarkan. Dia membawa beberapa buku untuk dibaca. Ada buku terkait kuliahnya. Buku-buku itu segera disingkirkannya. Dia lebih memilih mengambil sebuah novel. Dia juga...
mengambil sebuah binder dan pena. Dia berniat hendak menuliskan apa-apa yang dialaminya. Paling tidak mencatata apa yang dialaminya. Tapi begitu mau mulai menuliskan tentang mahkluk hitam besar di kamar mandi dia menutup bindernya. Tidak kuat hati. Bayangan makhluk itu masih...
segar dalam ingatannya. Dia melanjutkan membaca sampai ketiduran di kursi teras.

Ketika buliknya lewat di sebelahnya pada waktu pulang sekolah. Bayu terjaga.

"Terbangun? Maaf Bulik tidak bermaksud membangunkan. Tidurnya angler (nyenyak)."

"Nggak apa-apa kok Bulik. Enak ...
banget di sini. Gak kerasa ketiduran."

"Kalau bisa istirahat, pakai istirahat, Yu."

"Ada yang bisa dibantu, Bulik?"

"Gak usah. Habis ini bulik mau arisan dulu. Tiap Kamis ibu-ibu di sini kumpul arisan. Bulik kebetulan bendaharanya. Sudah makan siang? Eh ini makan sore ya?"
"Paklik belum pulang, Bulik?"

"Hari ini waktunya ngrancapi kakao (memangkas dahan-dahan coklat yang tidak perlu supaya kualitasnya semakin baik). Kalau begini biasanya sampai sore. Kamu jangan ikut-ikut ke Tegal dulu ya."

Bayu tertawa, "Enggak dulu lah, Bulik. Nanti saja kalau
sudah beres."

Buliknya ikut tertawa, "Beres itu yang seperti apa to, Yu? Hidup itu ya kayak gini ini terus. Gak pernah ada beresnya."

Keduanya tertawa.

"Ayo makan siang bareng Bulik. Tadi ada orang jualan bandeng di sekolah. Bulik beli beberapa. Mbah kung mana?"
"Istirahat di dalam kelihatannya."

"Oh ya sudah. Semalam itu Mbahmu tidak tidur. Menjaga kamu sambil berdoa terus menerus."

Bayu ke dapur bersama Buliknya. Tudung saji dibuka. Buliknya membuka plastik berisi bungkusan bandeng goreng dan meletakkannya di piring. Mengambilkan...
piring untuk keduanya.

"Bulik itu gak berani ke dekat tempat yang kemarin Bulik lihat apa itu... Makanya minta Paklikmu pagi tadi naruh gentong di situ. Soanya masih terbayang-bayang wajahnya. Aduh sudah jangan diingat."

"Bulik lihatnya jelas."

"Ya jelas. Aduh sudah sudah."
Bayu mengambil nasi, tempe, sayur kelor, dan sambal.

"Lah bandengnya diambil juga, sudah dibelikan kok. Memang nyediain kamu. Bulik gak mau nanti pas orang tuamu datang kamu kurus kering gara-gara mikir masalah gendruwo." Bulik tiba-tiba bergidik, "Aduh amit-amit! Ayo makan!"
Bayu mengambil sebuah bandeng goreng. Mencicipinya, enak sekali. Lalu tersenyum kepada Buliknya. Buliknya juga mulai makan.

Dapat beberapa suap, Bayu merasakan sesuatu yang aneh. Dadanya kembali panas. Bayu mengabaikannya. Tidak perlu dituruti. Tapi semakin banyak Bayu makan,
sakit di dadanya semakin terasa. Dia mulai susah bernapas. Dia terus menerus memegangi dadanya.

Buliknya memperhatikan Bayu, "Kenapa, Yu?"

Bayu masih merasakan kesulitan bernapas yang sangat berat, seperti ada yang meremas dadanya.

"Masak keracunan bandeng, Yu? Lah Bulik...
juga sama-sama makan bandengnya itu."

Bayu merasakan dirinya seperti mau pingsan. Karena selain panas, dadanya terasa semakin sesak. Udara masuk ke dadanya semakin berat.

Ketika itu Bayu sekelebat melihat ke belakang kursinya. Seperti ada sebuah kaki yang menjuntai di belakang
punggungnya. Bayu menolehkan kepalanya. Tidak ada apa pun. Kaki apa yang barusaja dilihatnya? Tapi yang jelas kaki itu adalah kaki seorang anak kecil. Seperti mengayun-ayun.

Di sudut matanya Bayu melihat seperti ada seorang perempuan berkebaya merah yang berdiri di atas kompor.
Perempuan itu rambutnya bergelung. Berdiri memunggungi mereka. Ketika Bayu menghadapkan wajahnya ke kompor itu tak ada apa pun. Matanya terasa berkunang-kunang.

"Jangan dimakan bandengnya. Makan nasi sama sayurnya saja. Bulik ambilkan obatmu ya. Di mana?"

Dengan kesulitan Bayu
mengatakan di atas meja samping buku-bukunya. Bulik berlari ke kamar. Bayu mencoba untuk terus makan. Tetapi napasnya semakin sesak. Dadanya semakin panas. Ketika itu Bayu berdiri dari meja makan.

Bayu hampir pingsan ketika melihat dua orang yang berdiri di dekat pintu di...
antara ruang tamu dan ruang dapur. Keduanya berdiri menghadap tembok, seperti saling bercakap-cakap. Tapi dalam diam. Ketika Bayu melewati mereka, yang seorang seperti menengok kepada Bayu. Bayu tidak kuat melihat mereka. Bayu hanya merasakan udara di sekitar mereka terasa lebih
... dingin dan ada bau yang aneh. Bukan bau anyir seperti amis ikan, tetapi bau yang lain. Bau yang seperti dia kenali tapi juga tidak. Bau ini pernah dia cium, tapi dia tidak ingat persis itu bau apa.

Tapi ketika Bayu benar-benar menghadapkan wajahnya kepada dua orang tadi,
mereka sudah tidak ada di sana. Seperti ada tetapi juga tidak ada.

Bayu menyambar air dan meminumnya cepat-cepat. Buliknya datang membawa obat. Bayu meminum obatnya. Dan berjalan keluar dari dapur itu. Ketika semakin jauh dari meja dapur, Bayu merasa mulai kembali ringan.
Buliknya tampak ketakutan sekaligus merasa sangat bersalah dengan keberadaan Bayu. Dia berkali-kali minta maaf. Dia segera pergi ke dapur. Bandeng yang baru saja dibelinya langsung dibuang ke tempat sampah.

"Maafkan Bulik, ya, Yu. Bulik tidak tahu akan jadi seperti ini. Maaf."
Bayu mulai bisa menata napasnya. Dan duduk di ruang tamu. Daru ruang tamu itu dia berusaha untuk melihat ke dapur, tetapi semua seperti kembali tenang. Dadanya juga sudah kembali mereda dan tidak lagi panas seperti sebelumnya. Bayu mengintip memarnya ke balik kaosnya. Memar itu..
memerah seperti bekas pukulan baru. Bentuknya masih serupa tadi.

"Tidak apa-apa, Bulik. Bukan salahnya Bulik. Jangan minta maaf ya. Ini kondisi Bayu saja yang tidak sehat."

"Bulik gak menyangka akan jadi kayak gini lo, Le. Maaf sekali ya. Bulik tidak bermaksud membuat Bayu...
seperti ini."

Bayu tersenyum. Napasnya yang ngos-ngosan mulai teratur kembali. Tiba-tiba dia tertawa, "Haduh, orang penyakitan itu kayak gini ya, Bulik."

Buliknya mau tertawa tetapi masih kelihatan ragu-ragu. Tapi melihat Bayu yang terus menertawakan dirinya, Buliknya akhirnya
ikut tertawa juga. Tapi tetap dengan permintaan maaf yang terus menerus mengalir dari bibirnya.

---

Akhirnya sore itu Bayu menghabiskan waktunya dengan terus membaca novelnya. Ketika Pakliknya datang, Bayu tidak menceritakan apa yang terjadi, daripada hanya membuat suasana...
jadi tambah ribut. Buliknya berangkat arisan.

Paklik dan kakeknya melanjutkan sore mereka dengan meneruskan menganyam daun kelapa untuk dijadikan keranjang. Bayu bertanya keranjang itu mau dipakai untuk apa. Pakliknya mengatakan digunakan untuk ngetus (meniriskan) isi kakao...
kalau habis dibelah. Biasanya kalau musim hujan, penjemuran kakao tidak bisa sampai bisa atus (kering) maka ketika tidak ada matahari ditiriskan di wadah-wadah serupa itu. Bayu akhirnya ikut belajar membuat keranjang daun kelapa bersama kakek dan pakliknya. Tidak ingin sakitnya..
menghalangi dia untuk beraktivitas.

---

Sorenya Mbah Suroso datang ke rumah kakeknya. Berbeda dengan kakeknya yang kurus jangkung, Mbah Suroso lebih gemuk. Wajahnya wajah orang yang biasa tersenyum. Garis senyum terpahat di ujung bibirnya. Mengerut bersama usia.
Walaupun kakeknya hampir sembilan puluhan tapi Mbah Suroso - yang berbeda 12 tahun lebih muda - justru kelihatan lebih sepuh dari kakeknya. Namun keduanya masih pria-pria bertenaga. Kehidupan tegal agaknya membuat mereka masih tetap berdaya sampai usia mereka.
"Aku wis ngomong, sak durunge Bayu tekan rene, ayam alas ikut kluruk ora ana entek-enteke. Bengine aku krungu asu ajag jenggong ra mendeg-mandeg. (Aku sudah mengatakan, sebelum Bayu datang. Ayam hutan berkokok sambung menyambung. Anjing hutan juga menggonggong tidak habis-habis)"
Tidak disangkanya bukan berkenalan atau bagaimana, Mbah Suroso justru membuka pembicara dengan cara demikian.

"Tapi aku rumangsa beda, Dik, lah wong langit itu padhang jingglang. Manuk pada saur siji liyane. (Tapi aku merasa berbeda, Dik. Langit terang benderang, burung-burung
saling bercuit tidak berhenti). Itu kan pertanda baik." Sahut kakeknya.

"Ya mbuh (entahlah). Mana yang benar, Mas. Mungkin dua-duanya bisa jadi benar." Mbah Suroso lalu melihat kepada Bayu dan tersenyum, "Wis gedhe kamu Le. Anak-anaknya Wijaya (ayah Bayu) iku kok padha ...
bagus-bagus niru bapake (rupawan ikut ayahnya)."

Bayu menyalami Mbah Suroso, "Eyang Suroso." Mencium tangannya.

Mbah Suroso justru tersenyum, "Ya pantes nek akeh sing nyenengi, wis bagus, sopan sisan. (Pantas kalau banyak yang menyukai, sudah tampan, sopan juga). Yang suka...
sama kamu itu banyak lo, Le. Makanya dijaga, jangan sampai salah pilih jalan.

Bayu tertawa, dia selama ini tidak pernah merasa menjadi orang yang ganteng. Kalau pernyataan itu muncul bukan dari kakeknya, tapi dari tante-tante atau om-om genit mungkin akan beda efeknya. Tapi...
syukurlah justru muncul dari saudara kakeknya.

"Eyang itu sudah terasa gak enak sejak kamu mau datang ke sini. Tapi kakekmu itu justru mengatakan sebaliknya. Mana yang benar kita belum tahu. Tapi kakek mau tanya, badanmu terasa berat gak?"

"Enggak itu, Eyang."

"Oh ya wis ...
... berarti ora nemen-nemen (berarti tidak terlalu parah)."

"Ora nemen piye, delengen kuwi dhadhane (tidak parah bagaimana, coba itu lihat dadanya)." Tambah kakeknya.

Bayu membuka kaosnya. Dan wajah Mbah Suroso berubah sama sekali. Wajah tenang dan bersahabat yang tadi nampak
tiba-tiba berubah sama sekali.

"Kait kapan kuwi, Le? (sejak kapan itu, Nak?)"

"Kemarin belum ada, eyang. Pagi tadi habis sarapan, pada waktu Bayu mau mandi, tiba-tiba keluar. Terus rasanya panas seperti sesak." Bayu hendak menambahkan peristiwa siang tadi tapi ragu-ragu.
"Ada apa, Le. Ceritakan saja. Mbah Suroso mungkin bisa bantu." Ujar kakeknya.

"Tadi siang juga begitu, Eyang. Bulik baru pulang sekolah. Membawakan bandeng. Pada waktu Bayu makan, ternyata sakitnya terasa lagi."

Kakeknya terkejut, "Oalah! Ngerti aku."

"Piye?" Tanya Mbah Suroso
"Kuwi dudu bandenge. Tapi dina iki mau si Ning masak kelor. (bukan bandengnya, tapi hari ini tadi Ning masak kelor)."

Mbah Suroso mengangguk-angguk, "Bayu pernah lihat anak-anak kecil belakangan?"

"Iya, eyang."

"Itu teman-temannya yang ikut sama Bayu sekarang."
"Dadi sing isa ndeleng macem-macem kuwi dudu Bayune? Tapi sing meloki (jadi yang bisa melihat macam-macam itu bukan Bayu? Tetapi yang ikut?)" Tanya si Kakek.

"Durung ngerti, Mas. (Belum tahu, Mas). Tapi nek tak deleng, Bayu iki kok kalung usus ya (Tapi kok kalau aku lihat...
Bayu ini berkalung usus ya - ketika lahir berkalung plasenta)."

"Sak elingku ya ngono (seingatku juga begitu)" Jawab kakeknya.

"Orang yang kalung usus itu, Yu," Mbah Suroso mengatakan kepada Bayu, "selama hidup dia memang akan bagus-bagus seperti kamu ini. Pakai baju apa saja
dia pasti akan pantes. Tapi biasanya kluwengnya jadi lebih tipis daripada orang-orang lain. Karena itu bisa lebih peka dengan hal-hal yang tidak kasat mata."

"Bayu seperti sekelebat-sekelebat lihat orang-orang gitu, eyang. Pada waktu di dapur, pada waktu kemarin di tegal...
termasuk ketika di lapangan. Juga ketika tadi jalan sama kakek, ya, Kek."

"Sing paling medeni apa? (yang paling menakutkan apa?)"

"Ya pada waktu lihat tidak menakutkan eyang. Biasanya habis itu kalau sudah mulai sadar itu yang mulai merinding." Tapi Bayu kemudian mengingat.
"Ada yang jaga di dalam kamar mandi, eyang. Gendruwo hitam besar." Tambahnya.

"Dudu gendruwo kuwi (bukan gendruwo itu). Gendruwo ora ngono rupane (Gendruwo tidak begitu wajahnya). Kuwi mong-mongane buyutmu biyen (itu peliharaan buyutmu dulu). Yang jaga rumah ini, supaya tidak...
ada maling atau orang jahat. Jaman Gestapu dulu, banyak orang yang pelihara seperti itu, biar merasa lebih aman."

"Tapi ya ngeri, eyang, Bayu sampai hari ini sudah tiga hari belum berani mandi."

Mbah Suroso dan kakeknya tertawa. Mbah Suroso menjawab, "Ya untung kamu kalung usus
itu tadi. Gak mandi masih tetap pantes." Mbah Suroso menambahi, "Tapi, Yu, apa pun masalahnya, kalau kejadian seperti ini terus muncul, itu harus dicari sebabnya. Sekarang ini Mbah Suroso ini tahu ada yang ikut kamu. Sementara dia ikut, kamu mungkin akan sering mengalami...
hal-hal seperti yang kamu alami itu. Bisa ditutup, tapi sebagus-bagusnya orang nutup, tetap tidak bisa selamanya. Celah itu pasti ada. Kalau itu sudah ada di kamu, mau dilepas bagaimana pun, wong namanya pemberian Yang Ilahi, ya tetap akan ada di kamu. Caranya ya membiasakan."
"Waduh membiasakan, Eyang? Biasa ketemu yang aneh-aneh gitu ya ngeri juga."

"Awalnya begitu, akan sering kaget-kaget. Tapi lama-lama ya biasa."

"Ditutup saja, Eyang."

Mbah Suroso tiba-tiba tertawa. "Di keluarga kita itu ada yang namanya tiba darah. Kamu itu kelihatannya dapat
itu dari buyutmu dulu. Mbahmu ini (kakeknya) isa rumangsa (bisa merasa) tapi tidak seperti Mbah Buyutmu. Anak-anaknya juga kelihatannya tidak ada yang begitu." Mbah Suroso melihat kepada kakek Bayu, "Iya to, Mbah?" Kakeknya mengiyakan. "Tibane nang awakmu (jatuhnya ke kamu."
"Tapi kalau sakit terus begini ya ... wah parah, eyang."

"Bukan, bukan. Kalau sakitmu itu bukan karena bakatmu. Tapi karena ada yang senang tadi itu. Atau entah bagaimana dia ikut ke kamu."

"Kapan, Eyang?"

"Itu eyang belum tahu. Tapi kelihatannya dia sudah kerasan sama kamu ..
jadi kelihatannya sudah lama."

"Waduh."

Mbah Suroso menoleh kepada kakeknya, "Tapi kok asale saka kene ya (tapi kok asalnya dari sini, ya). Padahal kan Bayu ini itungannya jarang-jarang ke sini." Mbah Suroso berganti melihat ke Bayu, "Itu yang harus dicari sebabnya, Le ...
Walaupun kamu pulang ke S, kalau dia masih ikut kamu, ya tetap dia akan ikut. Kalau asalnya dari sini ya dilepaskannya harus di sini."

"Apa harus murwakala?" Tanya kakeknya.

"Lah wong wis gedhe ngene (sudah besar begini), masak ya mau di-murwakala."

"Timbang ora ucul (daripada
tidak lepas)." Jawab kakeknya.

"Murwakala itu bukan melepaskan, tapi menolak bala, mala petaka yang dibawa karena kamu lahir khusus. Tidak ada hubungannya dengan yang ikut sama dia."

"Lah siapa tahu bisa sekalian." Ujar kakeknya.

Mbah Suroso nampak berpikir, "Aku kuwatir, nek
ora pener (kalau tidak tepat), murwakala bukannya membawa berkah, tapi malah membawa masalah lebih besar. Dan itu kan bukan acara kecil. Harus dengan wayangan juga."

"Maksudku, kalau nanti napaknya Bayu ini datang besok Sabtu rencanaku sekalian diomong-omongkan."

Bayu tidak ...
mengerti tentang murwakala atau apa pun itu. Tapi yang jelas ada pertanyaan yang menggantung di pikirannya, "Lah kalau saya nanti mandi gimana? Atau mau kencing malam-malam. Kan ya gimana kalau sampai ketemu yang jaga di kamar mandi."

Mbah Suroso tertawa, "Bocah lanang (Laki2)..
arep nguyuh neng ndi wae kan bebas (mau kencing di mana saja kan bebas)."

Giliran Bayu, "Anjrit! Nasihatnya baik sekali, Eyang."

Suasanana menjadi ringan. Semua orang tertawa bersama-sama.

"Begini saja, Bayu sementara mandi dan tidur di rumah eyang saja," Jawab Mbah Suroso,
"Kalau nanti siangnya mau dolan di sini atau ke mana ya silakan."

Maka sementara menunggu orang tuanya datang. Bayu diungsikan ke rumah Mbah Suroso. Barang-barangnya tetap diletakkan di tempat kakeknya. Tetapi malam itu Bayu menginap di Mbah Suroso.
Sampai di rumah Mbah Suroso (saya akan menyebutnya rumah atas, kakeknya rumah bawah, untuk memudahkan penceritaan selanjutnya, karena posisi kedua rumah memang berjauhan, rumah Mbah Suroso di atas lebih dekat hutan), Denok diminta mempersiapkan kamar belakang supaya digunakan...
oleh Bayu.

Malam itu, walaupun sudah lewat jam tujuh, akhirnya Bayu bisa mandi dengan tenang. Dia tidak merasakan kedatangan makhluk-makhluk lain. Hanya memar di dadanya yang masih terlihat gosong.

Kamar di rumah atas tidak sebesar kamar di rumah bawah. Selesai berdoa malam,
Bayu mempersiapkan dirinya untuk tidur.

Bayu bisa tidur dengan cukup nyenyak hingga terbangun karena suara ketukan di dinding rumah itu. Rumah itu dari papan dan lantainya masih tanah, ketukan di dinding terdengar cukup keras.

Bayu berusaha untuk tidak menghiraukannya...
dia ingin tidur tenang malam ini. Tapi ketukan itu pindah dari ujung yang dekat ke kakinya menuju dinding yang dekat dengan kepalanya. Ketukan itu seperti berirama.

Bayu menutup kepalanya dengan bantal. Tapi justru semakin dia menutup kepalanya dengan bantal, dia justru...
mendengar ketukan itu berubah menjadi ritme. Ketukan itu bertambah iringan kenong. Rasanya dekat sekali seperti di belakang telinganya. Lalu seperti ada yang menembang di pinggir dipannya.

Bayu kenal sekali lagu yang ditembangkan. Tembang dan iringan itu adalah iringan jathilan
yang dia dengarkan ketika di hutan. Bayu tetap berusaha untuk mengubur kepalanya di bawah bantal. Tapi musik jathilan yang semakin rampak itu tak mungkin bisa diabaikannya.

Suara penyanyinya perempuan.

Lalu terdengar seperti ada yang menggesek-gesek di dinding papan kamarnya.
Bayu membuka sedikit matanya dan melihat ke arah gesekan di dinding. Dan ya, di dinding itu seorang perempuan berpakaian merah duduk menggantung di atas jendela yang tertutup. Kakinya ditekuk dan tubuhnya meringkuk mengisi jendela.

Perempuan itu perlahan melihat...
ke arah Bayu. Lalu dia turun dari jendela.

Dia tidak berjalan mendekat ke arah Bayu, tetapi tetap menempel di jendela. Tubuhnya melompat-lompat dengan tetap menyandar ke dinding. Dia menyeret tubuhnya dalam lompatan-lompatan yang menggesek dinding, hingga menimbukan bunyi...
srek srek srek semakin mendekat ke arah kepala Bayu.

Bunyi jathilan terdengar semakin jauh. Dan perempuan itulah yang menembang. Semakin dia mendekat dengan Bayu, yang terdengar justru suaranya semakin jauh. Dia terus mendekat dengan melompat-lompat menempel di dinding.
Bayu tidak berani lagi membuka matanya. Dia memunggungi perempuan itu sambil terus mendengarkan bunyi srek srek srek di dinding papan.

Suara perempuan itu semakin jauh, tetapi bunyi gesekan itu semakin dekat.

Lalu diam.

Bayu menantikan dalam diam hingga beberapa saat.
Tidak lagi terdengar suara srek srek di dinding. Suara jathilan juga sudah tidak ada. Hanya tersisa suara binatang malam dan sapi mbengah dan suara anjing hutan yang menyalak-nyalak dari kejauhan.

Dikamar itu semua hening. Suara hanya bersal dari luar rumah yang cukup jauh.
Bayu membuka matanya. Melihat ke belakang dan tersentak dengan keras. Perempuan berbaju merah itu sudah berjongkok di atas dipannya, persis di belakang kepalanya.

Kepalanya menjulur ke bawah persis mendekati kepala Bayu. Jarak kepala mereka begitu dekat, ketika perempuan itu...
tiba-tiba tersenyum lebar.

Tangannya yang dingin diulurkan ke rambut Bayu. Bayu benar-benar bisa merasakan tangan itu. Dingin dan kering. Bayu merasakan tangannya sendiri dan sekujur tubuhnya yang bergemetaran tidak karuan.

Perempuan itu mendekatkan bibirnya ke telinga Bayu...
dengan tetap membelai rambutnya. Baunya... Bayu mencium lagi bau itu. Bau yang sangat akrab.

"Anak lanang, dolan wae. Dikangeni wong akeh. Mulih ya, Le"
(Anak lelakiku dolan terus. Dikangeni orang banyak. Pulang ya, Nak)"
Bayu tidak tahan lagi. Air kencingnya tidak tertahan. Dengan tetap mendekatkan kepalanya ke Bayu dan tangan yang mengelus rambutnya. Kaki perempuan itu bergeser menuju bagian tempat tidurnya yang basah dan duduk di situ.

"Anak lanang. Mulih ya, Le"

Bayu mengibaskan bantal.
Melemparkan ke arah perempuan itu. Dengan kekuatan penuh dia bangkit dari tempat tidurnya. Dia menyalakan lampu. Menjerit-jerit tidak karuan.

Perempuan itu sudah tak ada lagi.

Hanya ada kasurnya yang basah dan tubuhnya yang bercampur keringat dingin dan air kencing.
Mbah Suroso mendobrak pintu. Di belakangnya Denok. Mereka nampak baru terbangun dengan rambut tidak karuan.

"Eyang ... eyang..." Bayu mengiba dengan tubuh yang basah dan wajah yang entah seperti apa. Dadanya menyesak dan memar dalam tubuhnya semakin panas.
Dan entah bagaimana jendela kamar Bayu ternyata sudah terbuka sejak tadi. Padahal ketika Bayu melihat perempuan itu jendela itu masih tertutup.

Mbah Suroso membanting daun jendela. Lalu mengendus-endus kamar.

"Tidak tahu aturan. Kita pindah ke Mbahmu malam ini. Gak beres ini!"
---

“Kamu itu halu!” Desak Sara yang dari tadi masih mengacung-acungkan HPnya untuk mencari sinyal.

“Dibilangin gak percaya. Makanya coba tinggal di sini seminggu aja. Bakalan muter dunia kamu 360 derajat.” Bayu masih mencoba menghubungkan sebuah daun kelapa dengan daun lain,
“Gak ada sinyal di sini, Dodol, sana noh pergi ke pohon bambu di bawah.”

Sara berbalik dan terpesona melihat kakaknya yang mulai merangkai daun-daun nyiur hingga mulai nampak bagian bawah keranjang, “Widih tambah kreatif kamu di sini, Mas. Cocok sudah jadi orang P. ...
Sudah punya ilmu perdukunan segala, kan.”

“Kamu na, dikasih tahu gak percaya. Lihat gosong di dadaku tadi, kan.”

“Itu sih gara-gara paru-parumu yang rusak dari dalem. Lihat aja orang-orang diabetes itu. Ada kan yang sampai badannya gosong gitu juga. ...
Masak itu kemasukan setan setubuh-tubuh.”

“Arek cilik (anak kecil) dikasih tahu yang tua ngeyelan.”

“Mas, aku gak nampik ya yang magis-magis itu ada. Tapi banyak orang yang bilang punya pengalaman magis, tapi nyatanya cuma ngayal. Atau kalau gak, karena dia kena histeria, jadi
... bayangin yang aneh-aneh. Coba kamu baca buku-buku tentang penyakit-penyakit psikosomatis, psikopatologis. Jangan baca Naruto aja, baca tuh buku-buku di perpustakaannya ayah. Udah bangkotan masih webtoon aja.”

“Anjrit! Aku ngerti Freudian, aku ngerti Jung, Lacan, Le Bon.
. OK aku gak baca mereka utuh ya, paling gak aku tahu buku-buku ‘for dummies’nya mereka.” Bayu menantang Sara, meletakkan anyaman daun kelapa itu di tanah.

Sarah tertawa, “For dummies!”

“Emang kamu baca di mana, di situ juga kan. Gak usah songong kamu anak SMA. TOEFL aja ...
gak lulus.”

Sara tertawa ngakak.

Matahari sore itu seperti enggan terbenam. Sudah lewat pukul lima, tetapi masih tersisa titik kuning. Langit-langit memuarkan cahayanya merupa kuning, jingga, hingga kemerahan. Awan-awan sirus melanggengkan rekah cahaya itu menjadi ...
gelarit-gelarit lurus di langit yang lebih tinggi. Sore itu fotogenik.

Sara menatap kakaknya, “Aku kangen kamu lo mas. Tumben kan.”

“Ciye, baru gak ketemu seminggu. Coba kalau aku beneran satu bulan di sini. Meratap darah kamu.”

“P. Kenapa desa ini dikasih nama P?”
“Ya karena pohon bambu yang di bawah itu. Dulu katanya ketika daerah ini masih hutan. Dari ujung ke ujung isinya pohon bambu. Bisa bayangin kan jaman itu nebang pohon bambu hanya dengan parang.”

“Orang jaman dulu kan sakti-sakti. Brama Kumbara aja bisa terbang.”
“Yailah! Tahu dari mana kamu Brama Kumbara.”

“Nonton Iflix noh! Ada tuh film-film kuno. Suzzana yang jadi Nyi Blorong aja ada.”

“Noh!” Bayu meledek Sara dengan menirukan gayanya, “Dan kamu masih gak percaya.”

“Itu film! Hello! Kalau pingin lihat orang yang benaran bisa ...
terbang, pergi noh ke Suhat, Juanda, atau Kuala Namu!”

“Itu mah terbang diangkut, Songong.”

“Tapi bener kan, ato pergi ke Nasa sana, bisa terbang sampai Jupiter.”

Keduanya tertawa. Bayu membawa Sara ke topik awal, “Eh tapi, katanya kamu kangen, kok gak pernah WA atau apa.”
“Orang kamu di sini gak ada sinyal. Lagian kan sudah ada perwakilan dari rumah. Mama, ayah, silakan waktu dan tempat dipersilakan. Panggung orkes terbuka, aselole!”

“Anjrit! Gak ketemu seminggu, seleramu ganti jadi panggung dangdut. Wadaw!”

“Salah! Didi Kempot! Godfather of...
the broken heart!”

Bayu merasa kebahagiaan yang luar biasa. Tidak biasanya dia bisa ngomong panjang dengan Sara. Biasanya Bayu akan sibuk dengan kuliah dan Sara dengan ekstra dan acaranya yang entah ke mana. Gadis muda itu seperti burung yang enggan mau diikat.
Pikirannya sebebas bibirnya. Paling-paling mereka hanya bertemu pas lagi sarapan. Itu pun kalau Bayu sudah bangun. Momen bersama seperti ini tidak tergantikan. Dan semesta agaknya mengijinkan mereka berlama-lama dengan menahan sore tak segera surut.

“Tapi beneran kamu kangen?”
“Itu namanya sodara, Sedeng! Kamu pikir hatiku malin kundang, sudah terbuat dari batu.” Bayu tertawa ngakak. Sara duduk di sebelah kakaknya. Mengambil dua buah daun kelapa dan mencoba merangkainya. Sudah diduga, gagal. “Mama yang paling sering kuatirin Mas Bayu.”
Ketika keluarganya datang Sabtu sore itu. Mamanya yang memang paling kelihatan kaget. Bayu yang diharapkan lebih sehat ternyata terlihat lebih lusuh. Segaris hitam tipis terpahat di bawah matanya. Kurang tidur.

Tapi bagaimana bisa tidur dengan tenang. Hampir setiap malam ...
Bayu mengalami hal-hal yang serupa. Kemarin malam memang tidak ada gangguan yang berarti. Gegaranya adalah Paklik kembali mengajak beberapa orang berjaga di depan rumah.

Bayu sungkan dengan semua kebaikan orang-orang itu. Dia berniat ke P bukan untuk merepotkan.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Pagi tadi, sebelum keluarganya datang, Bayu sempat meminta maaf kepada Pakliknya karena justru jadi mengurus Bayu sampai gila-gilaan. Bayu sendiri tidak pernah sampai harus merepotkan orang sedemikian. Perasaan bersalahnya semakin dalam.
Pakliknya membalas ringan saja sambil tersenyum, “Selama masih hidup, kita akan selalu merepotkan orang, Yu. Itu berarti kita juga siap untuk direpoti oleh orang lain. Itu kodrat kita. Kodrat kita bukan masalah kita manusia makhluk paling sempurna. Jadi sempurna tanpa sadar ...
bahwa ada yang lain di sekitar kita membuat kita jumawa.” Pakliknya menyinggahkan sarung ke atas tumpukan bayu kotor di tali sebelah rumah. Menatap kembali kepada Bayu, “Apalagi kita ini keluarga. Baik buruknya keluarga, itu baik buruknya kita. Kita manusia ini bernilai dari ...
seberapa jauh kita menghargai dan menyayangi orang-orang di sekitar kita. Dimulai dari yang terdekat. Keluarga.”

Bayu merasa trenyuh. Bijaksana memang tak mengenal golongan. Tak mengenal pekerjaanmu apa. Tak mengenal kamu berasal dari mana. Ketika kamu bijaksana, bijaksana saja
, tidak membutuhkan kategorisasi dan standard khusus. Dan orang yang mengatakan itu kepada Bayu justru orang yang mendambakan seorang anak untuk melengkapi keluarganya. 12 tahun jelas bukan waktu yang pendek untuk sebuah penantian.

---
Keputusan sudah dibuat. Kebetulan-kebetulan menyerta dengan absurd. Tiga hari lagi weton Bayu. Akan diadakan Murwakala. Wayang akan digelar di tengah lapangan. Pamong desa begitu saja menyetujui. Mungkin karena tahu peristiwa ganjil yang terjadi ketika bancakan. Atau mungkin ...
karena kakek adalah orang yang dihormati, hingga tak perlu prosedur bertele-tele. Bisa juga karena desa itu merindu keramaian. Sudah lama tak ada tontonan. Tanggapan (*istilah orang P untuk acara yang ditonton orang banyak) yang menghidupkan desa. Rindu pada hiburan.
Dan sebaik-baiknya rindu adalah jika bertemu.

Murwakala adalah lakon tua dari pewayangan Jawa dan Bali. Tak ada di Mahabarata atau Ramayana. Namun, mengakar kuat dalam tradisi Hindu Jawa Bali. Dari Lontar Tattwa dan pewayangan Jawa, terkisah Batara Guru, pemimpin para dewata...
yang sedang naik wahananya (tunggangannya), lembu Nandini, melintas terbang di atas samudera bersama permaisurinya, Dewi Uma. Demi tak kuasa menahan syahwat Guru mengajak uma bercinta di atas Nandini. Uma menolak, karena tak sopan bersyahwat bebas. Seperti hewan saja.
Tapi karena nafsu sudah tak terbendung, sperma Batara Guru menyembur tak mampu ditahan. Sperma itu dibuangnya ke laut.

Sperma itu menjelma makhluk ganas, yang bertambah besar dan besar. Dia merusakkan dan makan segala yang ada di laut. Batara-batara dikirim memeranginya.
Semua tumbang. Makhluk itu sebenarnya hendak protes, dia mencari ayahnya. Batara Narada lalu mengatakan kepada makhluk itu untuk pergi ke swargaloka. Di sana ayahnya berada. Makhluk itu turut nasihat Narada dan terbang ke swargaloka.

Di sana dia bertemu Guru dan mengatakan ...
bahwa dia adalah anaknya. Guru bertanya, “Siapa namamu?” Makhluk itu menjawab, “Batara Kala.” Dia hanya ingin diaku anak. Demi tidak merusak kahyangan, Guru menerima Kala menjadi anaknya. Kala meminta makan kepada ayahnya. Dan Guru tidak mengijinkan memangsa kunyah...
semua manusia di bumi. Dia hanya boleh memakan anak-anak yang lahir sukerta. Anak-anak yang lahir dengan kondisi bajang, tidak sempurna. Keluarga yang aneh.

Kondisi bajang tak selalu berarti anak tersebut cacat. Tapi bisa jadi ketika kelahirannya tak baik menurut hitungan
Jawa. Supaya tak dimakan oleh Kala, anak tersebut harus diruwat murwakala. Wayang digelar dengan lakon murwakala dan dilakukan ritual khusus dengan tradisi Jawa. Selesai ruwatan anak tersebut dinyatakan bebas dari sukertanya.

Bayu yang lahir ketika matahari terbenam tergolong..
sukerta. Istilahnya julung caplok. Tapi bukan hanya itu kondisi kalung usus juga bukan kondisi yang membanggakan bagi seorang Jawa. Namun kakeknya menyarankan supaya bukan hanya Bayu, tetapi Sara juga. Dua orang anak bersaudara laki-laki dan perempuan juga dianggap sukerta, ...
kendhana-kendhini. Dalam tradisi Jawa kuno memiliki dua anak saja merupakan kondisi yang sial. Karena itu orang Jawa pada masa silam memiliki anak hingga kesebelasan.

Sara yang sedari awal tak percaya hal-hal demikian jelas menolak keras. Tapi mamanya melembutkannya, “Kamu ...
kepingin Mas Bayu sehat kan. Sar? Cepat balik Surabaya? Sudahlah diikuti saja. Wong gak ada ruginya.”

“Itu menakutkan, Ma. Kalau aku diapa-apakan gimana?”

Mbah Suroso kemudian maju mengatakan, “Tidak, ndhuk. Ruwatan murwakala itu tidak seperti rukiyah atau semacamnya. Itu ...
cara menjaga harmoni antara jagad gedhe dan jagad cilik.”

“Tahu jagad cilik paling kecil, Sara?” Tanya kakek.

Sara tidak menjawab,

Kakek melanjutkan, “Diri kita ini. Manusia. Masmu Bayu itu. Dan jagad gede terkecil kamu tahu? Semesta dalam bentuknya yang paling sederhana?”
Sara menggeleng.

“Keluarga.”

Dan Sara pun bersedia.

Namun dari semua pembicaraan yang dilakukan di tengah keluarga itu, ada seseorang yang diamati oleh Bayu tidak mengatakan apa pun. Pak Simon.
---

Penjor-penjor sudah terpasang. Tertata apik dari sepanjang gapura masuk. Ramai berwarna-warni. Patok-patok rafia sudah berkotak-kotak di tepi lapangan. Beberapa hanya ditandai batu-batu sepelemparan. Tanda bahwa nanti malam para pedagang akan menempati blok-bloknya dengan..
teratur. Entah siapa yang memberi tahu, tapi para pedagang selalu tahu di mana ada tontonan. Biasnya nanti menjelang matahari sore, mereka sudah akan berdatangan. Memasang dagangan-dagangan mereka dalam gerobak-gerobak bongkar pasang.
Mereka para pencari untung yang menyerta di setiap acara-acara kampung. Para penjual mainan anak-anak, kaos-kaos murah, jam, dan perkakas yang hanya bisa ditemukan di acara-acara tontonan mendadak. Permainan berbau anak-anak dari pancing-pancingan magnet, truk pasir hingga tempat
yang yang menyediakan kanvas sederhana dari styrofoam bergambar Garuda, Upin Ipin, Doraemon, atau Spiderman. Di sebuah halaman warga sebelah timur lapangan bahkan sudah datang istana angin. Anak-anak akan berlompatan di dalamnya. Penjual tahu petis, bakso, es, hingga sosis...
yang dibakar di tempat. Atau sekadar para pemain judi bandar kecil-kecilan yang biasanya ada di pojok-pojokan.

Sound system dan kelir sudah terpasang, sekalipun wayangnya belum. Mungkin akan dipasang menjelang sore. Posisinya disengaja tak berjajar dengan rumpun bambu di sisi...
Barat agar bisa ditonton dari depan dan belakang. Di sisi Selatan dan Utara. Para pria nampak memasang janur-janur di pojok-pojok lapangan. Anak-anak kecil berlarian. Entah bagaimana ceritanya hari itu bahkan sekolah-sekolah di P diliburkan. Dan benar saja, semua ikut senang.
Dalang belum datang. Tapi para pengrawit sudah datang sejak siang. Karena rumah Mbah Taji cukup jauh di atas lapangan, rumah Mbah Suroso lebih jauh lagi, maka untuk masak bagi para pengisi acara diadakan di bale dusun yang hanya berjarak 100an meter dari lapangan. Tanpa ada ...
yang mengkomando, para perempuan berdatangan dari kemarin malam. Memasak rawon, ayam goreng, dan ceker. Mereka menyediakan masakan untuk para pria yang sudah melekan (berjaga) dari kemarin sore kerja bakti membersihkan lapangan. Memasang lampu-lampu. Termasuk membersihkan ...
jalan kampung dari ujung ke ujung.

Buliknya tentu bagian yang sudah biasa bercampur dengan warga desa yang demikian. Yang menarik perhatian adalah mama Bayu. Jelas bahwa mamanya tak berkarib dengan acara desa yang demikian. Tapi mamanya nampak berusaha untuk tidak diam saja ...
menjadi mandor. Dia berupaya menyatu dengan warga desa dan mencoba akrab dengan para perempuan itu. Tidak sulit, karena warga desa di situ yang ramah dan terbuka bahkan menganggap mama seperti keluarga sendiri. Walaupun kalau dilihat sekilas tetap nampak aneh dan berbeda.
Ayahnya memutuskan untuk cuti satu minggu dari kantor supaya bisa menemani anaknya. Tanpa persiapan apa pun, sehingga dia harus meminjam pakaian Paklik Buadi untuk dikenakan sebagai baju ganti. Mamanya pun demikian. Sara yang kebingungan karena tidak ada pakaian anak perempuan...
yang pas dipakainya. Pakaian Denok jelas kedodoran kalau dipakai oleh Sara yang ceking tinggi seperti tiang listrik. Akhirnya kemarin siang bersama Denok dia berangkat ke P2 untuk belanja pakaian-pakaian yang bisa dipakai selama berada di P. Di sisi lain, Sara bersenang-senang...
karena seminggu ini diijinkan oleh ayahnya untuk tidak ke sekolah. Kebetulan memang di S sekolah Sara masih libur pergantian semester. Tapi sebagai siswi yang aktif berkegiatan di sekolah, ada saja acara masuk sekolah, entah untuk ekstra kurikuler atau kegiatan sekolah yang lain.
Ayah duduk di ruang tamu bersama dengan beberapa orang untuk totalan kebutuhan acara hari itu. Bayu sendiri sedari pagi tidak bisa anteng. Dia bolak-balik dari kamar mandi rumah atas ke rumah bawah. Tapi kelihatan bingung mau ngapain, karena tidak benar-benar tahu apa yang ...
harus dilakukan. Paling dia membenamkan dirinya dalam bacaan novelnya. Dia berusaha untuk mencari tempat yang tenang, tapi tetap bisa melihat orang banyak, karena tidak berharap ada hal-hal aneh yang dialaminya. Tapi jelas bahwa sekalipun berusaha membaca, Bayu tidak ...
benar-benar bisa tenang.

Sara apalagi. Dia pontang-panting dari rumah atas ke rumah bawah, lanjut ke Baledesa. Ada saja yang dikerjakan, mungkin juga untuk mengisi ketidaktenangannya. Mulai dari ikut bapak-bapak merangkai janur. Ikut memasang kursi, bahkan mencangkuli rumput...
bersama bapak-bapak yang ada di situ. Atau rela untuk diminta berkali-kali ke pasar membelikan printilan-printilan kebutuhan dapur. Yang jelas gadis muda itu tidak berhanti berputar seperti kincir.

Bapak-bapak dan ibu-ibu kampung jelas lebih akrab dengan Sara karena gadis...
itu lebih mudah ngobrol dengan banyak orang daripada kakaknya. Bahkan ada yang sesumbar, “Masnya seperti priyayi, adiknya bengkarokan*” (*tidak bisa tenang, tak bisa diatur, bertingkah laku bebas tanpa batasan). Dan bisa diduga Sara lebih senang disebut seperti itu.
Untung ada Denok yang menemani Sara ke mana-mana. Keduanya sudah langsung akrab. Yang menambah penilaian orang kepada Sara semakin menyenangkan. Denok yang selama ini gadis pendiam bisa tiba-tiba seterbuka itu dengan Sara. Para pemuda desa jelas menikmati kehadiran Sara. Bahkan..
mereka mengatakan supaya Sara pindah ke situ saja. Nanti diajak mancing, jalan-jalan ke hutan, ke Gunung K. Biasa, mencari perhatian.

Ayah membawa sebuah kursi lipat mendekati Bayu yang sedang membaca di sebelah rumah kakek. Dia meletakkan kursinya di sebelah Bayu, menepuk ...
pundak si sulung. “Sunatanmu kemarin kalah besar sama acara ini. Bisa-bisa kawinanmu saja kalah sama acara ini. Ini sudah kayak acara bersih desa besar-besaran, Yu.”

Bayu memandang ayahnya, nanar. “Maafkan Bayu ya, Yah, sampai merepotkan seperti ini. Ayah pasti keluar biaya...
banyak untuk ini semua.”

“Hei! Jangan ngomong begitu anak muda. Itulah orang tua. Kalau untuk anaknya, apa pun pasti dilakukan. Ayah lebih mending keluar uang daripada lihat kamu sakit-sakitan. Makanya rokoknya juga dikurangi, kalau bisa berhenti.”
“Aku selama di sini berhenti rokok sama sekali lo, Yah. Gak tahu ya, apa ya masalah ini membuat Bayu sampai gak kepikiran merokok atau gimana. Kalau nanti kembali ke S merokok lagi, ya ampunilah.” Bayu tertawa, ayahnya ikut tertawa.
“Pokoknya jangan sampai mamamu cerewet gara-gara rokokmu itu. Apalagi kalau masih belum sehat begini. Berhenti dulu lah.”

“Ayah dulu katanya juga merokok ya? Aku dapat cerita dari Paklik.”

“Ya, sampai mamamu itu ngomel dari Utara ke Selatan. Terutama pas kamu udah lahir.”
Sang pria besar itu memandang kepada yang kecil, “Anak kesayangan mama.”

“Widiw, mana ada. Sara tuh kesayangan. Apa-apa dibiarin.”

“Sara itu bukan dibiarin. Tapi memang tidak mau dibilangin. Tapi ya selama aman tidak apa-apa. Kan masih dalam pantauan orang tua. Selama orang ...
tua tahu, ya tidak apa-apa."

“Tapi dia itu luar biasa lo, Yah. Gak di S, gak di P, dia itu gampang banget dapat teman. Ketemu sama siapa saja itu kayak ada saja yang diomongin.”

“Anak kan beda-beda, Yu. Kalau dia disuruh diam tenang kayak kamu mana bisa. Buat ayah sama mama ...
sih yang penting keluarga itu rukun itu paling penting lah.”

“Tapi beneran kok. Kalau misalnya ada perang gitu. Kami disuruh sama-sama maju, aku pasti sudah mati duluan, dia kayak lakon, mati paling belakangan.”

“Mati paling belakangan dan cerewet minta ampun. Kalau jadi ...
hantu gitu dia hantu paling penasaran, siapa saja diganggu.” Keduanya tertawa, “Tapi aku gak yakin dia bisa sebebas itu kalau gak ada kamu. Kamu itu kan panutannya dia sebenarnya. Sayangnya dia sama kamu itu luar biasa lo, Yu. Lah Dia yang nyuruh ayah sama mama nanyain kabar ...
kamu terus. Tiap hari selalu minta update kabar. Gimana Mas Bayu sekarang. Gimana sekarang. kami juga mana tahu bakalan jadi kayak gini. Wong dihubungi saja susah. Susah sinyal.”

“Maafkan Bayu, ya, Yah.”

“Berhenti minta maaf. Kita hadapi ini bersama-sama.”
“Berapa, Yah, habisnya buat acara ini semua?”

“Ada lah. Tapi gak besar banget kok, Yu. Dan kamu terima kasih sama Opa Simon. Sebagian acara ini yang membiayai juga beliau. Beliau bahkan maksa untuk membiayai semuanya, lo. Ayah yang gak enak. Akhirnya ya kami fifty – fifty ...
nanti totalan belakang.”

“Opa Simon sampai gak ikut pulang, ya, Yah. Bertahan di sini.”

“Itu artinya kamu itu penting buat kamu semuanya. Tapi lagian kan tokonya Opa itu sudah ada pekerja-pekerja yang jaga. Beliau itu kan tinggal menikmati hidup, Yu. Kapan hari diajak Tante ...
Ratna untuk ikut ke Palangkaraya, tapi ya Opa memilih tetap di sini. Tahu alasannya?”

“Apa?”

“Biar bisa nemani cucu-cucunya di sini. Ya kamu sama Sara.”

“Wow! Gila! Segitunya.”

“Opa itu sudah kayak orang tua kedua buat ayah, Yu. Kalau bukan opa yang dulu nyekolahkan, ...
nguliahkan, mana bisa ayah jadi seperti sekarang ini.”

“Tante Ratna itu gak menikah ya, Yah? Ayah sama Tante Ratna itu tuaan siapa sih?”

“Tua tante lah. Beda delapan tahun sama ayah. Dia itu sudah lima puluh sembilan sekarang. Tapi memang enggak menikah, gak tahu ya. Tapi ya...
di sana punya banyak anak angkat. Nyekolahkan anak-anak begitu buat merawat dia kalau tua nanti. Wong katanya sudah tidak akan balik ke Jawa, kok.”

“Lah ini Opa Simon ke mana, Yah?”

“Gak tahu tadi keluar dari pagi kok. Kok gak kelihatan ya. Kalau kamu gak tanya, ayah juga ...
gak akan perhatian."

Ayahnya berdiri dan mengambil lagi kursinya, “Ayah mau cari Paklikmu dulu. Katanya pakdhe-pakdhe dan budhe-budhemu mau datang. Tapi kok belum kelihatan.
Jangan lupa nanti jam tiga kamu dan Sara diajak keliling sama Mbah Suroso untuk keliling desa dan tanam sajen.”

Bayu mengangguk dan menatap ayahnya pergi. Yang aneh adalah sejak keluarganya datang, perlahan-lahan memar bayu mulai perlahan-lahan sembuh.
Menyisakan ruam kemerahan saja. Dan selama mereka berada di sini, Bayu tak penah mengalami gangguan apa pun.

Hal itu yang menjadikan Sara semakin tidak yakin pada yang begini-beginian. Dia menganggap bahwa apa yang dialami kakaknya kemarin itu sebenarnya cuma karena kangen ...
ketemu sama keluarganya. Sara bahkan menyebutnya anak mbok-mboken.

Bayu sendiri tidak bisa meyakinkan Sara karena memang tidak bisa memberikan bukti apa pun. Jika ditanya kejelasannya, Bayu juga tidak benar-benar mengerti. Bayu bahwa mulai mempertanyakan apa yang dia lihat ...
memang sungguh-sungguh. Tapi bukankah bukan hanya Bayu yang mengalami hal itu. Bagaimana menjelaskan kesurupan yang terjadi ketika bancakan. Lalu apa yang dilihat buliknya. Tapi ketika keluarganya datang tiba-tiba semua seperti hilang begitu saja. Dia bisa tidur tenang ...
beberapa hari ini. Bayu yang dulu rasanya kembali lagi. Bayu yang tidak perlu khawatir masalah kluwengan atau apa pun itu. Walaupun dia masih ngeri juga kalau harus masuk kamar mandi kakeknya. Dia tidak berharap melihat makhluk hitam yang menggunung itu lagi. Cukup sudah.
“Sebenarnya ini tidak pas, Yu.”

Pak Simon mendekati Bayu. Lalu mengulurkan tangannya memberikan sebuah rangkaian gelang dari bambu kuning kepada Bayu. Bayu melihat beberapa penduduk desa di belakang Pak Simon membawa tumbuhan bambu kuning sebanyak satu pick up.
“Apanya yang tidak pas dengan gelang ini, Opa?”

“Bukan gelang ini yang tidak pas. Tapi acara ini.”

Pak Simon meminta orang-orang itu menurunkan bambu-bambu itu dari pick up. Mereka mengikuti perintah Pak Simon. Bambu itu diturunkan. Pak Simon meminta supaya sebagian bambu ...
diletakkan di dekat lapangan. Sebagaian lagi diletakkan di sekeliling rumah kakeknya.

“Dapat dari mana pohon-pohon ini, Opa?”

“Tadi Opa pergi dari pagi keliling P2 ke mana-mana mencari penjual bunga. Mana yang ada bambu kuning dibeli saja semua.” Opanya tersenyum kecil,
“Ini satu lagi nanti kamu berikan kepada Sara. Jangan dipakai sebelum tanam sajen. Gunakan ketika acara ruwatannya.”

“Buat apa ini, Opa?”

“Jaga-jaga saja. Hal-hal seperti yang kamu alami itu memang ada, Yu.”

Orang-orang memasang bambu kuning itu di sekeliling rumah eyangnya.
Di halaman depan, kiri kanan dan belakang. Dan ketika itulah peristiwa itu terjadi. Tiba-tiba terdengar seperti tiupan angin yang sangat keras di dalam rumah kakeknya. Lalu terdengar suara benda yang ambruk dan benda-benda lain yang dilempar. Padahal rumah itu sedang kosong ...
sama sekali. Semua penghuni rumah sedang mempersiapkan ruwatan murwakala. Mama dan Bulik memasak. Pakliknya pasti mengurus kebutuhan. Sedangkan kakeknya bersama Mbah Suroso mempersiapkan nanti sore.

Bayu, Pak Simon, dan orang-orang yang terkejut segera berlari ke dalam rumah.
Dapur berantakan. Alat-alat masak terlempar ke sana-sini sepenjuruu dapur. Kompor di rumah itu bahkan tertekuk seperti terinjak hingga gepeng. Pintu yang memisahkan dapur dengan halaman belakang jebrol. Terlepas dari engselnya dengan paksa. Di kamar mandi rak bambu yang dibuat...
Pakliknya ambrol bahkan tercecer berkeping-keping. Di kamar kakeknya, dipan terbalik dan sprei tersobek-sobek.

Peristiwa itu tak ada beberapa detik, tetapi kerusakan yang dibuat sampai sedemikian parah. Seperti ada yang menggoncang rumah itu dan menumpahkannya.
Ini pertama kali Bayu mengalami seperti ada serangan yang menyerbu sebuah rumah. Angin yang seperti masuk ke dalam rumah itu benar-benar membuat seisi rumah porak-poranda.

“Sudah dimulai. Malam ini benar-benar perang.” Gumam Pak Simon. Pak Simon meminta orang-orang desa yang ...
bersamanya untuk membantu menata lagi rumah itu., “Tidak perlu kuatir. Minta tolong dikembalikan seperti semula. Tidak perlu dianggap.” Orang-orang yang bersama Pak Simon kelihatan sama bingungnya. Tapi mereka melakukan saja apa apa yang diperintahkan.

Pak Simon mendekati Bayu
“Tidak apa-apa, Nak. Tidak perlu cerita juga ke Mbah Suroso atau Mbah Taji.”

Bagaimana maksudnya? Tapi Bayu ikut saja menata kembali barang-barang itu. Tentu tidak bisa seperti semula. Karena beberapa barang bahkan sudah tak berbentuk seperti barang asalnya.
Bayu menatap opanya itu dengan tatapan aneh. Jelas orang-orang yang bersama mereka merasakan keganjilan yang sama. Tapi orang-orang desa itu manut saja. Mungkin karena opanya orang yang berada dan dianggap lebih tua. Dan orang-orang sederhana demikian biasanya ikut saja apa yang
diminta oleh orang-orang yang mereka anggap lebih daripada mereka.

“Ini yang opa bilang, Yu. Acara ini gak pas. Opa kuatir, kalau diteruskan bukan hanya kamu, tapi seisi desa yang kena dampaknya.”

Paling tidak Bayu tersadarkan bahwa apa yang selama ini dialaminya benar dan ...
nyata. Tapi dia tidak tahu siapa yang saat ini harus dipercayai. Mengapa tidak perlu menceritakan kepada kakek dan Pak Suroso, kalau mereka jsutru yang menginisiasi acara ruwatan ini? Apakah ada masalah antara opanya dengan kakek dan eyangnya tersebut? Tapi jika tidak pas, ...
kenapa dia memaksa untuk membiayai acara ruwatannya?

Pertanyaan-pertanyaan itu terngiang di pikirannya tanpa mampu menemukan titik terang. Pak Simon sendiri agaknya tak berkeinginan untuk memberikan penjelasan lebih lanjut.
“Ingat, gelang bambu kuningmu jangan dipakai pada waktu tanem sajen. Pakai ketika acara. Mereka itu kuatnya setelah surup, kalau masih sore sia-sia saja. Malah bisa kena ke yang lain-lain.”

“Mereka siapa, Opa?”

Pak Simon tak menjawab, langsung meminta orang-orang yang ...
bersamanya untuk meneruskan memasang bambu kuning ke bawah. Ke dekat lapangan. Bayu ditinggal sendiri di sana dengan pertanyaan-pertanyaan yang masih menggantung.

Bayu melihat berkeliling. Tapi dia tiba-tiba merasa merinding di dalam rumah itu sendirian.
Dia memutuskan untuk keluar, mencari tempat yang lebih terbuka, lebih dekat dengan orang-orang yang lain.

---
Dalang datang ketika tengah hari bersama rombongan sinden. Mereka sempat ditemui oleh ayah bersama Mbah Suroso dan kakek. Mbah Suroso yang nanti akan memimpin acara keliling desa dan tanem sesaji. Dalang akan mempersiapkan dirinya, bersemedi sejenak sebelum melakonkan wayang ...
murwakala.

Untuk ritual murwakala di tengah acara wayang sendiri sudah disediakan umpak setinggi satu meter di sebelah tarub untuk wayang. Umpak ruwatan itu lebih kecil daripada tarub wayang. Umpaknya sendiri mungkin hanya dua kali dua meter.
Dua kursi diletakkan di sana. Satu untuk Bayu dan satu untuk Sara. Di sekitar umpak telah dipasang sesaji bunga setaman, buah-buahan, beras kuning, dan kemenyan yang dinyalakan sejak jam sepuluh pagi. Sebuah gentong berisi air dan bunga melati disiapkan di depan umpak. Lengkap...
dengan gayung batok kelapa. Di dekat gentong tersebut terdapat juga sesaji yang lain, serupa yang terdapat di atas umpak, hanya lebih kecil. Ruangan di sekitar umpak dipagari oleh pagar bambu yang dilabur kapur putih. Beberapa anak diminta untuk menjaga di sekitar umpak agar ...
tidak digunakan untuk main teman-temannya yang lain. Mereka berjaga seperti arca pentung yang setia melaksanakan tugas. Setiap kali ada kawannya yang mendekat diurak diminta pergi seperti mengusir ayam. Menghadirkan tontonan yang lucu sebenarnya.
Di rumah kakeknya, kakeknya jelas tahu apa yang terjadi di rumahnya, begitu juga Bulik dan Pakliknya. Tapi mereka tidak bertanya. Mereka seperti menampakkan bahwa ada hal-hal yang lebih baik tidak perlu dibicarakan. Atau mereka sebenarnya sudah tahu, termasuk tahu bahwa ...
Pak Simon tahu semua kejadian yang terjadi di rumah mereka. Bayu tidak tahu apa yang terjadi. Tapi karena tidak ada orang yang berbicara, termasuk Pak Simon pun tidak, maka Bayu pun memilih untuk tetap diam. Hanya mamanya dan Sara ketika mereka sempat masuk ke dapur mereka ...
ngomel-ngomel melihat pintu dapur yang terlepas dan Sara yang juga menemukan kompor penyok dan terlipat. Dia ngomel-ngomel seperti gayanya biasanya. Orang-orang yang lain agaknya lebih memilih untuk berfokus ke acara keliling desa dan tanam sesaji.
Selesai Ashar, Pak Suroso bersama kakek, paklik, Pak Simon, dan ayahnya sudah berpakaian hitam-hitam bersiap di depan rumah. Bayu dan Sara diminta untuk berdiri di belakang mereka. Sara seperti sudah diduga wajahnya dongkol seperti tidak rela melakukan itu semua.
Sebuah kurungan ayam diletakkan di halaman. Dihiasi dengan roncean bunga-bunga melati, bougenvil, pandan, mawar, pecah piring. Sara sempat berbisik kepada Bayu, “Kayak kerandanya orang mati.” Bayu menyahutnya dengan “Hush!”

Beberapa ekor ayam hitam yang kakinya terikat ...
dibawa oleh beberapa orang di sekitar mereka. Beberapa perempuan membawa sesaji-sesaji yang sudah ditata di tangan mereka. Bunga, hio, yang diletakakn di atas anyaman janur dibentuk seperti wadah. Beberapa lain kendi kecil berisi air bunga. Beberapa lain membawa obor yang ...
belum dinyalakan.

Dua orang anak laki-laki membawa kenong di tangan mereka, juga berpakaian hitam-hitam. Dua yang lain berpakaian dan bertopeng bocah ganong. Ada beberapa anak perempuan berpakaian kemben dan berhias make up di wajahnya membawa bokor berisi bunga, ...
uang kepeng, dan beras kuning yang nanti akan disebar sepanjang jalan. Yang membuat Sara semakin gemas dan lagi-lagi berbisik kepada Bayu, “Tuh kan persis ngantar jenazah.”

Mbah Suroso maju ke tengah-tengah yang hadir dan mulai menembang sebuah tembang yang tertulis di ...
lembaran kertas di tangannya.

“Ana tangis layung-layung. Tangise wong wedi mati. Gedongana kuncenana, wong mati mangsa wurunga. Ri pada-pada soyung mbokne lara. Cepaka paka tanjung, mbokne lara.” (Saya tidak tahu persis artinya bagaimana tetapi kira-kira:
Ada ratap tangis yang dahsyat. Tangisan orang yang gentar menghadapi kematian. Bungkuslah, ikatlah. Kematian tak mungkin dibatalkan. Marilah soyung – saya tidak tahu artinya – ibunya terluka/ sakit. Bunga cempaka bunga tanjung, ibunya terluka.)
Setelah itu lembaran kertas tersebut diberikan kepada Bayu untuk disimpan. Mbah Suroso masih mengatakan beberapa hal lain yang sama-sama sulit dimengerti, tetapi secara lisan. Lalu meminta Bayu dan Sara untuk mengitari kurungan ayam tersebut. Setelah itu bergantian mereka ...
diminta untuk masuk ke dalam kurungan ayam. Ketika Bayu keluar dari kurungan dan Sara sedang didalamnya itulah Bayu melihat bahwa Pak Simon berkomat-kamit. Tanpa suara. Tidak ada yang memperhatikan selain Bayu. Karena perhatian lebih banyak orang lebih terfokus kepada Sara ...
yang sedang di dalam kurungan.

Selesai mereka berdua keluar dari kurungan. Sebuah sesajen diletakkan di halaman rumah kakeknya. Sebuah hio dinyalakan di dekatnya. Bayu dan Sara dipercik dengan air bunga.

Pak Simon sempat mendekat kepada Bayu, membisikkan,
“Kalau ada apa-apa yang kamu lihat di jalan jangan dihiraukan! Jangan ditanggapi! Terus berjalan bersama rombongan! Ingat gelangnya jangan dipakai sekarang!”

Selepas sesajen ditanam, selanjutnya rombongan berjalan menuju jalan hutan. Selama perjalanan anak-anak perempuan yang...
membawa bokor berjalan di paling depan. Mereka menaburkan bunga, beras kuning, dan uang kepeng ke tanah. Bocah-bocah ganong menari di belakangnya. Diiringi iringan kenong yang ditabuh bertaluan. Tarian mereka begitu lincah. Bahkan mereka bisa berlompatan seperti monyet dari ...
satu sisi ke sisi yang lain. Di belakangnya Bayu dan Sara yang dipayungi. Bayu di depan dan Sara di belakangnya. Di belakangnya Mbah Suroso. Keluarganya. Dan para pembawa ayam dan sesajen. Di belakangnya beberapa penduduk desa yang ikut menyerta.
Perjalanan cukup jauh. Sampai di tengah hutan suasana sudah gelap. Beberapa orang menyalakan obor mereka. Gelap tersebut bukan karena sudah mulai sore, tetapi juga karena rimbunnya dedaunan pepohonan di sekitar mereka.

Tiba di tegalan kakeknya. Mereka berhenti. Mbah Suroso ...
memimpin rombongan untuk berjalan meninggalkan jalur hutan lebih ke dalam. Hingga Bayu melihat sebuah punden batu kecil. Punden yang diikat dengan kain hitam membuntuk kuncung. Sebuah sesajen yang agaknya masih belum terlalu kering terdapat di kaki punden itu. Sesajen itu ...
disingkirkan. Dan ritual tanam sesaji kembali dilakukan. Setelah tanam sesaji Bayu dan Sara kembali dipercik bunga. Namun kali ini seekor ayam hitam dipotong, dan darahnya diurai sekeliling punden.

Dan ketika itulah Bayu melihat bahwa di sekitar mereka ada orang-orang yang ...
keluar dari balik pepohonan. Beberapa dari mereka berwujud seperti manusia biasa. Tapi beberapa jelas bukan manusia. Ada yang seperti macan tetapi berkelapa manusia. Ada yang besar menggunuk. Ada juga yang kecil-kecil seperti monyet tapi berjalan dengan dengan dadanya di tanah.
Ada yang tinggi berkelapa lonjong seperti buah labu siam. Ketika berjalan kepala mereka miring miring seperti hendak terlepas dari lehernya. Beberapa berupa hewan-hewan yang tidak dikenalinya. Dan beragam rupa lain yang tidak bisa digambarkan.
Bulu kuduk Bayu merinding karena makhluk-makhluk tersebut semakin meringsek mendekati mereka. Bergabung dengan rombongan. Namun agaknya hanya Bayu yang menyadari hal itu, karena Sara tidak nampak memperhatikan ada yang berubah di sekitar mereka. Sara masih dalam wajah ...
dongkolnya sejak dari rumah. Ketika itulah Pak Simon muncul di belakangnya, “Jalan terus! Jangan diperhatikan.”

Ketika rombongan berjalan. Beberapa makhluk itu ikut berjalan bersama rombongan. Menjadikan rombongan mereka semakin besar. Sedangkan beberapa yang lain berhenti ...
dan punden dan mengelilingi punden kecil yang baru saja mereka tinggali tersebut. Namun bersama dengan perjalanan rombongan, ada yang keluar dari bebalik pepohonan yang lain.

Lalu tercium bau itu lagi. Bau yang diakrabi Bayu. Bayu bersusaha dengan keras untuk mengingat bau ...
apakah ini. Ini bukan anyir amis ikan. Bukan juga anyirnya laut.

Bau ini bau anyir yang arus. Bau yang sangat dikenalnya tapi juga tidak. Dan Bayu berhasil mengingat ini bau apa. Ini seperti bau darah menstruasi ketika Sara membuang pembalutnya di tempat sampah kamar mandi.
Ketika menuju punden kedua rombongan mereka semakin besar. Ritual yang sama dilakukan. Dan rombongan kembali berjalan. Semakin besar.

Ketika itulah Bayu melihat dari sudut matanya, bahwa di kiri kanannya ada anak-anak kecil yang ikut menari mengikuti pukulan kenong.
Mereka jelas bukan para bocah ganong. Karena kedua bocah ganong masih menari di depannya. Dan Bayu mendengar anak-anak kecil itu menyanyikan sebuah lagu bersama dengan pukulan kenong.

“Enak! Enco! Enak! Enco! Enak! Enco!...” Demikian terus menerus. (*Enco adalah istilah ...
yang digunakan ketika seseorang misalnya sedang naik tunggangan misalnya dokar. Di atas tunggangan tersebut, gerakan naik turun tunggangan seiring perjalanan menimbulkan sensasi ndut ndut ndut yang disebut ‘enco’).

Bayu tidak berani menoleh.
Suara anak-anak kecil yang di sekitarnya itu jujur sangat menganggu. Tapi dia terus berjalan. Bayu menoleh menatap mereka. Ternyata kepala anak-anak itu seperti menoleh kepada Bayu padahal kaki mereka berjalan ke depan. Tangan mereka menari-nari. Senyum mereka sangat lebar.
Bayu ingat senyum ini. Senyum yang dilihatnya dalam mimpinya pertama kali ketika dia seolah-olah melihat jathilan di lapangan. Senyum yang membelah wajah mereka menjadi dua dari pipi ke pipi. Seperti dari sisi dekat telinga ke sisi dekat telinga mereka yang lain.
Dan kali itulah Bayu memperharikan mereka dengan lekat. Mereka tidak bertelinga. Telinga mereka hanya serupa lubang kecil berbentuk seperti biji kacang tanah. Dan wajah itu adalah wajah anak-anak yang sama. Anak-anak di jathilan itu. Anak-anak yang menyapanya ketika di ...
tegalan hutan bersama pakliknya. Anak-anak yang datang dalam bancakan jenang merah jenang putihnya.

Bayu bergidik dan jalannya oleng. Ketika Pak Simon segera mendampingi di kanannya. “Tetap jalan. Ini belum apa-apa.”
Anak-anak tadi tetap melihat kepada Bayu dengan menembangkan, “Enak! Enco! Enak! Enco! Enak! Enco!...” Bergoyang-goyang naik turun seiring tembang yang mereka nyanyikan.

Ketika rombongan terus berjalan. Bayu merasakan ...
anak-anak enak enco tadi perlahan-lahan pergi. Mereka seperti menyisih ke belakang.

Bayu merasakan sesak berat di dadanya. Dan dadanya kembali memanas. Dia berusaha menekan dadanya untuk menghilangkan sakit dan panas itu.
Padahal sebaliknya, udara di sekitarnya justru berubah menjadi sangat dingin. Uap air keluar dari napasnya. Rombongan makhluk yang menyertainya juga semakin berkurang. Begitu terus semakin sedikit, semakin sedikit. Hingga hanya menyisakan rombongan yang bersama-sama Bayu ...
berangkat dari rumah. Rombongan manusia.

Bayu melihat di depannya sebuah pohon yang sangat besar dan tinggi. Butuh beberapa manusia untuk memeluk pohon itu. Langit semakin gelap dan pepohonan semakin rimbun. Jalan tanah di bawah mereka semakin basah.
Bagian hutan yang agaknya jarang dilewati oleh orang.

Bayu tiba-tiba merasakan genggaman tangan. Hangat. Tangan Sara. Sara berjalan lebih cepat, menjajarinya. Dia berbisik dalam genggaman tangan yang semakin kencang, “Aku takut, Mas!” Bayu menatap adiknya itu.
Kali ini gadis yang biasanya pemberani dan tak bisa diatur itu nampak rentan. Wajahnya pucat. Kengerian tergambar di sepanjang raut mukanya.

Hutan itu hening. Bahkan tak ada suara hewan apa pun. Berbeda dengan wilayah hutan yang baru saja dilewatinya, hutan yang digunakan oleh
penduduk untuk tegalan. Hutan ini pekat. Membuat napas terasa lebih lembab dan berat.

Terdengar orang-orang yang menyertainya di belakang mulai gelisah saling bergemeresak. Beberapa warga bahkan mengatakan, "Kan ora pareng mlebu kene (kan tidak boleh masuk sini."
Agaknya wilayah hutan ini pun bukan wilayah yang biasa mereka datangi. Wajah-wajah ngeri terbayang di mata mereka. Para bocah ganong dan pemukul kenong saling mendekat. Beberapa orang terlihat saling bergenggaman tangan. Bukan hanya Sara, bahkan wajah para penduduk...
desa itu pun memucat.

Kegelisahan itu semakin nyata, ketika tiba-tiba obor mendadak mati, semuanya sekaligus. Orang-orang ribut dalam suara yang ditahan. Bayu menoleh ke belakang. Beberapa orang berusaha untuk menyalakan kembali obornya. Tapi tidak ada yang berhasil.
Padahal tidak ada angin. Mungkin karena hutan yang terlalu lembab, atau entah karena apa.

Tapi pertanyaan yang Bayu rasakan adalah mengapa mahkluk-makhluk yang menyertainya juga pergi. Jika ini adalah hutan mereka, mengapa mereka memilih undur.
Pohon itu sudah seratus meter lagi di depan mereka.

Dan ketikah itulah suara itu terdengar. Suara Jathilan. Ini bukan jathilan yang biasa dia dengarkan. Musiknya berbeda. Alat musik yang dimainkan juga terasa lebih kompleks. Lebih banyak alat musik. Musik ini sama sekali baru,
baru untuk telinganya. Tapi entahlah, seperti ada sebuah perasaan purba. Perasaan bahwa Bayu mengenal musik ini dengan sangat dekat. Tapi tidak mungkin. Suaranya seperti terbawa angin. Datang lalu pergi. Tapi bulu kuduknya berdiri. Dia merasakan dingin di leher ...
belakangnya. Bayu sudah tahu sekarang, setiap kali ada yang dingin di leher belakangnya, berarti ada makhluk kuat yang sedang berada di dekatnya.

Makhluk-makhluk yang tadi menyertainya dalam perjalanan membuatnya bergidik. Tapi tidak seperti yang ini. Ini lebih dingin. Ada...
perasaan hampa di dalam dirinya. Perasaan sendirian. Perasaan ketika dia terluka. Perasaan yang menyiksa dan tak bisa lepas. Seperti tersembunyi di balik kulitnya. Tak bisa dibesat. Tak bisa diusir. Perasaan kosong tak bermakna.
Ketika itu lah Sara menggenggam tangan Bayu lebih keras. Genggaman tangan Sara tak lagi hangat. Dingin seperti dunia orang mati. Seiring dengan itu, dada Bayu terasa lebih sesak dan panas. Dia melihat Sara. Mukanya seperti memutih. Udara dingin di hutan itu membuat Sara ...
seperti sosok yang tak bernyawa. Bayu tiba-tiba merasa takut sekali kehilangan adiknya. Demi itu dia membalas genggaman Sara sama kencangnya. Dia menggenggam tangan Sara.

Sara memandangnya. “Mas Bayu dengar suaranya?”

Bayu diam, matanya memandang pohon besar itu, “Aku melihat.”
Di depannya temaram. Serupa pertunjukan.

Di tengah hutan?

Bayu tetiba sendirian. Sara menghilang hanya meninggalkan sisa dingin genggaman tangannya. Ini seperti mimpinya kala itu. Dia menonton jathilan bersama Mama dan Sara tapi mereka tetiba pergi hanya dirinya sendiri.
Tidak, Mereka tidak pergi. Mereka ada di sana. Ayah, Mama,. Bulik, Paklik, Sara, dan kakeknya mereka menari jathilan di tengah pertunjukan. Persis di tempat yang tadinya pohon besar. Mata mereka tertutup. Bayu merasakan kehampaan yang amat sangat. Dia kehilangan mereka semua.
Di sisi panggung pertunjukan, perempuan itu. Perempuan yang ditemuinya di rumah Mbah Suroso. Perempuan yang berjalan di dinding. Perempuan berbaju merah itu duduk bersila sambil menembang. Dia bersimpuh di sisi dua orang lain yang sedang berdiri. Bayu tak bisa melihat mereka...
berdua. Sosok mereka serupa tertutup kabut. Nanar oleh temaram cahaya pertunjukan jathilan yang ganjil itu.

Dan ketika itu Bayu mendengar Opa Simon, "Jalan Bayu. Jalan. Ini belum yang terberat."

Dan nyatanya Sara masih menggenggam tangannya dengan ketakutan. Tangan Sara...
sedemikian dingin hingga Bayu tak bisa merasakannya. Bayu melihat berkeliling. Orang-orang itu masih di belakangnya.

Lalu apa yang dilihatnya. Musik apa yang didengarnya.

"Sara," Bayu mendekati adiknya, "Kamu masih dengar suaranya?"

Sara mengangguk.

"Mas Bayu lihat apa?"
Bayu menggeleng.

Dan suara Pak Simon, "Jalan, kalian berdua jalan."
Bayu terus berjalan. Tangan Sara dipegangnya dengan erat. Sara balas memegang tangan kakaknya. Demikian keras hingga keduanya merasakan sakit oleh remasan masing-masing.

Namun, rasa hampa dan kehilangan yang baru saja dia rasakan barusan membuatnya tak ingin kehilangan adik ...
satu-satunya itu. Penglihatan yang baru saja didapatkannya menyadarkannya pada ketakutan besar yang dia rasakan. Mengingatkannya bahwa ada sebuah kengerian yang jauh lebih jeri dari segala teror dan ketakutan oleh makhluk halus, setan, atau sebangsanya. Ketakutan itu adalah ...
kehilangan orang-orang terkasihnya. Keluarganya. Ketika mereka tidak ada, menari bersama tarian pertunjukan gaib itu, meninggalkan Bayu sendirian tak berteman, tetiba semuanya mendadak hampa. Ada kosong yang tak mampu terisi apa pun. Tak akan terbayar dengan harga berapa pun.
Bukankah di S, setiap hari Bayu dan Sara bertengkar? Bertemu pun hanya sebatas waktu yang terluang. Namun, ketika bayang-bayang kepergian itu menyeruak, Bayu tak rela. Dia rela sakit dan menderita demi merasakan pertengkaran-pertengkaran kecil mereka. Demi melihat canda tengil...
adiknya yang kurang ajar. Demi melihat gadis yang bertumbuh dewasa dan tak berhenti ngomel-ngomel itu tersenyum atau menangis.

Inikah yang membuat ayahnya rela meninggalkan kerja demi dirinya. Membayar harga mahal untuk kebutuhan ruwatan dan wayang tanpa berhitung. Membuat ...
mamanya rela meninggalkan segala gengsi untuk bersatu bersama orang-orang baru yang dikenalnya. Meninggalkan ruang nyamannya di rumah dan melebur bersama warga. Membuat adiknya yang antipati pada klenik menyediakan diri untuk mengikuti ruwatan Murwakala yang asing baginya.
Demikian juga Paklik dan Buliknya. Kakeknya. Mereka melakukannya demi Bayu. Demi kesehatannya. Demi menemukannya sehat dan beraktivitas seperti biasa. Mereka mencintainya.

Perasaan hangat itu meruap dalam diri Bayu. Merasa bahwa dirinya dikasihi. Merasa bahwa jika dia ...
melihat lebih dekat, lebih banyak alasan untuk hidup dan sehat daripada menghabiskan hidupnya dengan kesia-siaan. Bahkan ketika hidup ini penuh lara dan bencana, itu masih lebih bernilai daripada kematian. Hidup, kesempatan untuk mencintai dan merasakan sungguh-sungguh dicintai.
Dia selama ini merasa tidak terlalu diperhatikan oleh banyak orang, merasa bahwa dia adalah anak muda biasa saja. Namun nyatanya dia ada di tengah kehidupan sebagai yang istimewa. Sebejat dan serusak apa pun dia, dia berharga.

Apa yang ada di depannya tak nampak lagi. Walau ...
tabuh gamelan jathilan masih membayang lamat-lamat seperti tertiup-tiup angin. Suara Sara yang gigil di sebelahnya, “Mas Bayu, benarkah kalau suaranya jauh berarti mereka dekat?”

“Mungkin. Aku tidak tahu.”

“Mas melihat mereka di mana?”

“Di depan kita. Di pohon besar itu.
Pohon itu adalah lapangan besar mereka. Mereka menggelar pertunjukan jathilan di sana.”

Sara mendekatkan dirinya kepada Bayu. Bayu merangkul adiknya di bahunya. Dan tidak disangkanya ayah dan mama sudah di belakang mereka, mendekap mereka berdua dengan jemari yang sama-sama ...
dinginnya.

“Sara,” Bayu berujar lirih, “Kamu percaya?”

Sara mengangguk. Dan menggamit lengan kakaknya.

Obor-obor tak juga berkenan menyala. Udara dingin dan rerimbun pepohonan hutan menjadikan suasana sekitar mereka serupa malam. Bocah-bocah ganong berhenti menari.
Demikian juga para bocah pemukul kenong, mereka menjadi kelu mendengar suara jathilan di luar perkiraan mereka.

Suara gemerisik takut warga desa yang ikut menyerta mereka terdengar di belakang. Namun, suara paling lantang adalah gelepak sayap ayam hitam yang mereka bawa.
Masih tersisa dua ekor ayam hitam, dan keduanya seperti tak rela dikorbankan. Mereka memberot ingin melepaskan diri. Taka da yang rela dikorbankan, bahkan seekor ayam. Mengapa nyawa harus membayar nyawa yang lain? Siapakah yang menentukan aturan yang sedemikian tragis.
Seolah nyawa tak lebih dari alat tukar menukar saja. Dan yang terlemah selalu dikorbankan untuk yang terkuat. Mengapa banyak orang merasa yang demikian perihal wajar saja? Bahkan dengan bangga menyebutnya sebagai aturan.
Kelepak sayap mereka semakin derap begitu mereka semakin dekat dengan pohon besar di depan mereka. Para pemegang ayam berupaya untuk memegang ayam-ayam itu lebih kekas. Kekuatan mereka jelas lebih kuat. Ayam-ayam itu terpaksa senyap. Seorang memegang mulut mereka, seorang lain...
memegang leher dan patuk mereka. Bergerak pun mereka tak mungkin.

Mbah Suroso menunjukkan sembahnya ke pohon yang ada di depan mereka. Menyatakan kula nuwun (permisi). Lalu merapalkan sebuah mantra dalam bahasa yang tak lagi dikenal. Jelas bukan bahasa Jawa, karena Bayu ...
sedikit banyak masih mengerti bahasa Jawa, sekalipun krama inggil. Bahasa yang halus. Meskipun Bayu tak mampu berbicara dengan Bahasa itu.

“Bahasa apa itu, yah?” Bayu bertanya kepada ayahnya.

Yang menyahut justru kakeknya yang sudah berada di sebelah kirinya. Bersanding ...
dengan Pak Simon. “Bahasa Kawi. Bahasa Jawa purba.”

“Ini benar-benar akan diteruskan, Pak Taji?” Tanya Pak Simon lirih. Ternyata pria yang menenangkannya dan menyuruhnya untuk terus berjalan itu pun menampakkan raut yang kalut. Bayu melihat berkeliling. Setiap mata pria dan ...
perempuan yang bersamanya menampakkan kecemasan serupa.

“Ini laku yang harus dilakukan, Dik.” Jawab kakeknya kepada Pak Simon yang agaknya tak berterima dengan jawaban pria yang dianggapnya kakaknya sendiri itu.

Di pohon itu, Bayu dan Sara diminta untuk maju ke depan.
Mbah Suroso mengalungkan dua untai melati. Masing-masing seuntai. Dengan air kendi yang masih ada, mereka berdua disiram dan dirapal mantra.

Dan Bayu mendengar suara yang tertawa mengejek. Bayu melihat berkeliling. Jelas tidak ada di antara perempuan yang menyertainya yang ...
akan tertawa dalan situasi demikian. Hingga Bayu melihat di kaki kirinya. Di kaki kirinya, tak begitu jelas, hanya nampak serupa bayangan yang lamat-lamat perempuan berbaju merah. Perempuan itu tak nampak utuh, hanya serupa pendar yang binary. Tipis serupa kabut.
Perempuan yang dijumpainya di kamar Mbah Suroso. Perempuan itu tertawa kepada Mbah Suroso seolah mengejeknya. Posisinya persis di betis Bayu, seperti bersandar ke kaki kirinya.

Bayu berusaha untuk tidak bereaksi. Dia berusaha untuk tetap tenang sekalipun jantungnya ...
berdegup tidak karuan. Namun tetap saja, rasa ingin tahunya membuatnya melirik ke bawah. Dan dilihatnya perempuan itu melihat ke arahnya. Tersenyum. Senyum yang sama seperti yang dilihatnya di kamar Mbah Suroso.

Tangan kanan perempuan itu diangkat dan diarahkan ke betis ...
belakang kaki kiri Bayu. Perempuan itu mengelus-elus betisnya. Bayu merasakan, sekalipun dia bercelana panjang, jari-jarinya yang dingin menembus sampai ke tulang. Bayu bergelinjang kalut. Dia melihat berkeliling dan tak ada yang menyadari kehadiran si perempuan selain Bayu.
Lalu nyanyinya. Suara sinden yang sedari tadi didengarnya di udara. Dan kali ini semua orang yang beserta Bayu mendengarkan lantunan suara perempuan itu. Hanya beberapa kata yang didengar Bayu, Salinan di bawah ini mungkin tak persis:

“Muliha, angger. Mulih kartaning sinuwun ...
nata. Balia wukir sinuwun nganti. Datan bali kepati janji…” (Pulanglah, Nak. Pulanglah dengan aman ke negeri kita/ kepada sang raja. Pulanglah ke gunung kita. Ada janji yang harus ditepati…)

Semua orang segera mengerubungi Bayu. Banyak yang bergegas memegangi tubuhnya.
Nyanyian itu jelas nyanyian mengundang pulang. Mamanya menangis seketika, meraung-raung sambil memegangi anak lelakinya tersebut. Melihat mamanya menangis, Sara ikut menangis luar biasa. Yang lain membentuk pagar di sekeliling mereka dengan ...
saling berdekatan satu dengan yang lain.

Yang dirasakan oleh Bayu justru tubuhnya memanas luas biasa. Dadanya kembali sesak tidak terkira. Rasa sakit ini berbeda dari biasanya. Karena panas ini tak seperti berasal dari kulitnya tetapi dari dalam tubuhnya. Seperti ada yang ...
mencengkeram organ-organ tubuhnya dari dalam. Napasnya tersengal-sengal tidak tertahankan.

“Hentikan ini semua! Hentikan!” Teriak Pak Simon, “Ini sudah kebacut! (Ini sudah kelewatan!)

Mbah Suroso yang menjadi sasaran perkataan Pak Simon justru terlihat kebingungan.
Di wajahnya yang tadi paling tenang justru sekarang nampak ikut bimbang.

“Kula sampun leladi ruwat murwakala makaping-kaping, Pak Simon. Nanging boten nate ngantos kados mekaten. Matemah sedaya tata cara, papan, uba rampenipun sami kaliyan dinten punika.
Nanging boten nate ngalami kados mekaten. (Saya sudah melayani ruwat murwakala berkali-kali, Pak Simon. Tapi tidak pernah sampai seperti ini. Padahal semua tata cara, tempat, dan kebutuhannya sama seperti hari ini. Tapi tidak pernah mengalami seperti ini.)”
Dalam sesak napasnya yang semakin hebat Bayu bisa melihat beberapa pendar cahaya yang lain. Barisan-barisan yang mengelilinya. Seperti para prajurit yang berjajar mengelilingi tanah lapang. Bayu dan rombongannya ada persis di tengah tanah lapang. Di sebuah pelataran pergelaran.
Beberapa penari perempuan dan laki-laki berdiri di depan barisan itu, menaiki kuda lumping mereka. Mereka diam menyaksikan saja. Tidak menari. Menyaksikan Bayu beserta rombongannya. Namun bayang-bayang itu seketika pudar kembali. Bersalin rupa kembali menjadi hutan dan mereka ...
berada di hadapan pohon besar tersebut.

“Rangkaiannya tidak boleh putus! Atau murwakalanya akan gagal.” Teriak kakek Bayu. Dia lalu berteriak kepada Mbah Suroso, “Cepat selesaikan setelah itu kita pergi dari sini!”

Mbah Suroso, yang kali itu jelas nampak gemetaran melihat ...
kepada Bayu dan bergantian kepada kakeknya.

“Cepat! Atau laku ritualnya putus!” Teriak kakeknya.

Mbah Suroso menyelesaikan ritual itu. Dia meletakkan sebuah sesaji di depan pohon besar itu. Dia berusaha untuk menyalakan hio, tetapi tak bisa menyala karena udara yang ...
semakin lembab.

Bayu kembali melihat semuanya. Para prajurit itu masih berdiri mengelilingi mereka dalam barisan segi empat. Perempuan berbaju merah itu menjauh dari rombongannya. Dan dua orang yang wajahnya seperti tertutup kabut yang berganti maju. Mereka berjalan seperti ...
tak menapak. Melayang di atas tanah. Perempuan berbaju merah itu kembali duduk. Senyum di bibirnya menghilang. Dia menunduk. Namun dua sosok yang tertutup kabut itu semakin mendekat. Dia jelas mengarah kepada Bayu.

Bayu menggigil ketakutan, sedang di dadanya justru panas ...
membakar seperti diremas-remas. Semakin dekat dua sosok itu mendekat. Semakin sesak dan panas di dalam dadanya membuncah. Beberapa orang berusaha memegangnya. Tapi Bayu justru melemparkan dirinya. Bukan karena ada yang melemparnya, tapi karena sakit di dalam dadanya yang ...
tidak karuan.

Orang-orang pasti menduga Bayu kesurupan. Karena Bayu berguling-guling di tanah dan mengerang-erang. Namun tidak. Bayu jelas-jelas sadar. Dia berguling di tanah dan mengerang karena dia semakin tak bisa bernapas. Dan panas di dalam dirinya semakin nyalang.
Bayu berusaha menghindar dari dua sosok yang mendekatinya. Bergerak semakin menjauh.

Rombongan Bayu berusaha untuk menghentikan Bayu. Bayu merasa kesal, karena mereka salah mengerti maksudnya. Mbah Suroso masih berusaha untuk menyalakan hio sesajinya. Kakek berusaha ...
membantunya. Namun hio itu tak terbakar-terbakar juga. Sedang kedua sosok itu terus menerus mendekat kepada Bayu.

Bayu merasa bahwa orang-orang semakin bodoh. Mereka berusaha menahan Bayu. Banyu sangat marah, mengapa tidak ada di antara mereka yang bisa melihat dua sosok itu.
Bahkan Mbah Suroso yang selama ini memiliki penglihatan pada hal-hal semacam itu justru nampak seperti orang yang sama bingungnya.

Bayu ingin berteriak. Namun seperti ada tangan yang menahan bibirnya. Tangan yang membungkan bibirnya dan menarik wajahnya ke samping supaya...
tidak bisa berkata apa pun. Sedangkan yang dilihat oleh banyak orang itu adalah Bayu yang perot. Wajahnya miring-miring. Suara yang terdengar hanyalah geraman Bayu. Dan suara tangisan Mama dan Sara. Kali ini dia mendengar beberapa perempuan ikut menangis juga. Buliknya salah ...
satunya. Buliknya bahkah berteriak-teriak, “Jangan ponakanku! Aku saja! Aku saja!”

Namun sosok itu semakin mendekat. Dan hio itu tak segera menyala. Kali ini pendar-pendar yang serupa para tentara itu mengetuk-ngetukkan tombak mereka ke tanah. Membentuk suara rampak…
bruk bruk bruk bersama-sama. Lalu terdengar terompet jathilan entah dari mana. Lalu bunyi gamelan yang lain. Para penari jathilan yang sedari tadi diam tiba-tiba menari berkeliling. Menggelepar-geleparkan kuda bambu yang mereka tunggangi dengan semangat.
Pak Simon mengambil inisiatif. Menumpahkan air bunga dari kendi kepada Bayu. Menyiram Bayu dengasn air itu. Tak terjadi apa pun. Yang terjadi adalah Bayu yang semakin marah. Karena Pak Simon pun agaknya menganggap Bayu sama-sama kerasukan. Bayu tidak kerasukan.
Dia sedang kesakitan yang amat sangat.

Dua sosok itu terus mendekat. Dan suara pangkal tombak para prajurit terdengar semakin derap. Bruk bruk bruk. Dalam tarian jathilan yang semakin rampak.

“Tidak bisa menyala hionya.” Teriak Mbah Suroso.
“Kita tinggal saja. Kita jalan terus!” Kakeknya membalas teriak, “Angkat Bayu!”

Maka para pria yang mengelilingi Bayu menenangkan Bayu yang dianggapnya kesurupan mengangkat Bayu. Kedua ayam hitam terlepas dan berlari ke tengah hutan. Anak-anak kecil bergerombol ketakutan di ...
dekat pepohonan. Dirangkul oleh dua orang perempuan yang sama-sama menangis.

Tubuh Bayu diangkut dan dibawa lari. Semuanya berlari menerabas pohon besar itu. Mereka tunggang langgang. Mereka terus berlari ketika dua sosok yang dilihat Bayu itu berhenti di tempat.
Demikian juga para prajurit dan penari. Mereka mematung. Hanya melihat kepada Bayu dari kejauhan.

Semakin jauh mereka berlari meninggalkan pohon itu, semakin pendar makhluk-makhluk itu menghilang. Hanya menyisakan hutan yang hening. Sama sekali sepi. Hanya suara orang-orang ...
yang menggotong Bayu, perempuan (dan kali itu juga pria) yang menangis tidak karuan. Sesenggukan sambil terbirit-birit.

Dan Bayu pun merasakan semua pelan-pelan mereda. Sakit dan panas di dadanya menyirna. Mulutnya seperti terlepas dari belenggu yang mengekangnya.
Perlahan-lahan kekuatannya kembali. Dia berusaha melepaskan dirinya dari orang-orang yang menggotongnya. Tapi geliat Bayu mungkin dianggap yang mnyusupi Bayu sedang meronta. Maka orang-orang itu semakin menguatkan genggaman Bayu. Bayu dipiting oleh beberapa warga desa itu.
Dia benar-benar tidak bisa bergerak.

“Lepas!”

Taka da yang mau melepasnya. Mereka berlari semakin kencang. Sekencang cengkeraman mereka ke tubuh Bayu. Di belakang Bayu bisa melihat Sari yang terpontang-panting mengikuti lari para pria itu. Dia terus menangis sambil ...
meneriakkan nama kakaknya, “Mas Bayu! Mas Bayu!...”

Sesampainya di gapura desa. Genggaman orang-orang kepada Bayu melemas. Mereka jelas kelelahan. Napas para pria itu ngos-ngosan karena harus berlari sambil membawa Bayu. Kesempatan bagi Bayu untuk memuntir dirinya.
Dia terlepas dari genggaman para pria itu dan terjatuh tepat di punggungnya.

Orang-orang itu hendak kembali mengangkat Bayu, ketika Bayu membuka kedua tangannya ke depan. Menghalau orang-orang itu untuk maju.

Dengan napas yang tak beraturan, Bayu berteriak, ...
“Goblok! Goblok semuanya! Apa dipikir saya kesurupan?”

Orang-orang saling melihat dengan kebingungan. Mereka bingung memutuskan apakah ini Bayu atau roh hutan yang masuk ke dalam tubuhnya.

“Saya gak apa-apa! Dari tadi saya itu gak apa-apa!”

Mama dan ayah mendekati Bayu ...
merangkul anaknya dengan air mata yang terus meleleh. Bayu baru menyadari mata ayahnya yang sembab membengkak. Sara ikut memeluk mereka bertiga sambil tetap meneriakkan, “Mas Bayu! Mas Bayu!” Dalam hatinya, Bayu merasa geram luar biasa. Tidak ada orang-orang itu yang memahaminya.
Kakek segera menengahi, “Sudah! Sudah jangan bertengkar di sini. Orang-orang sudah ramai. Kita rampungkan di rumah.”

---
Perjalanan ritual keliling desa dan tanam sajen itu dilakukan mengitari desa melalui sisi hutan. Perjalanan dilakukan ke atas, masuk ke hutan tegalan. Lalu keluar jalan tegalan menuju dua punden. Dari sana mereka berjalan menuju pohon di tengah hutan. Pohon terbesar dan tertua...
yang terletak lereng bukit. Seharusnya perjalanan dilanjutkan ke tempat selanjutnya ke sebuah danau kawah yang terletak beberapa kilometer dari sana. Tempat itu yang sebenarnya menjadi pusat tanem sajen dalam ritual apa pun, termasuk ruwatan murwakala. Dari sana perjalanan ...
turun menyisir lereng sampai ke gapura desa yang ada di bawah.

Tapi mereka tadi tidak bisa melanjutkan ke tempat keempat, karena di pohon besar itu mereka justru harus mengambil jalan pintas akibat salah paham Bayu kesurupan tersebut.

Jelas mereka tidak bisa berbantah di ...
gapura desa karenan pengunjung tontonan memang sudah ramai di sekitar lapangan. Para penjual sudah memenuhi sisi-sisi jalan. Suasana di dekat lapangan sudah serupa pasar tumpah. Lampu-lampu dari lapak-lapak para penjual itu menyorot ke segala arah, menjadikan desa yang ...
biasanya sepi menjadi hidup berdaya-daya. Anak-anak kecil sudah berlarian ke segala penjuru. Orang-orang yang andok makan di tenda-tenda bakso dadakan sudah antri menungu dilayani. Beberapa dari mereka adalah orang-orang bara yang bekerja di hutan.
Sama-sama ramai. Baik yang di dalam hutan maupun yang di tengah lapangan. Namun keramaian yang sama sekali berbeda. Di tengah hutan keramaian yang menegangkan. Sedangkan di lapangan itu keramaian yang melegakan.

Kelir sudah terpasang wayang utuh. Blencong sudah dinyalakan.
Tempat duduk sudah ditata di depan dan di belakang. Umpak untuk ruwatan pun sudah disinari cahaya dari lampu kuning mengarah pada dua tempat duduk yang akan menjadi tempat untuk Bayu dan Sara.

Ketika rombongan Bayu datang, beberapa orang yang berada di sekitar gapura ...
berjalan hendak ke lapangan melihat ke arah rombongan keliling desa memang sempat kaget dan bertanya-tanya kenapa Bayu digotong dan marah-marah. Untung kakek segera menenangkan rombongan dan membawa ke rumahnya. Namun bisa diduga, cerita semacam itu akan cepat menyebar bahkan...
ketika ditutupi. Anak-anak dari rombongan, yang tadi membawa kenong, bokor, atau menarikan ganongan, dilepas disilakan bermain bebas kembali. Tapi dapat dipastikan, mereka pasti akan bercerita kepada orang tua mereka atau kawan-kawan mereka perkara yang tadi terjadi di ...
tengah hutan. Manten ruwatannya kesurupan. Dan melihat bayu yang mengeram-eram dan berguling-guling, anak-anak itu pasti akan mengatakan bahwa Bayu kesurupan roh macam atau kera. Cerita yang segera dapat diduga.
Dan apa yang lebih mudah menyebar daripada gosip di tengah desa? Cerita tentang setan dan kesurupan.

Cerita-cerita semacam itu tak perlu dipercaya, cukup didengarkan dan dinikmati. Lalu diceritakan kembali. Kadnag dengan versi yang bertambah atau berkurang. Bumbu selalu ...
menjadikan sebuah cerita lebih dahsyat daripada yang sebenar-benarnya terjadi.

“Aku itu tidak apa-apa.”

“Tidak apa-apa gimana? Wong kamu tadi nggereng-nggereng di hutan gitu kok.” Tukas ayah kepada Bayu.

“Aku itu …” Bayu rasanya masih kesal hingga masih sulit berbicara.
“Sudahlah, Yah! Yang penting Bayu kan sudah baik lagi.” Mamanya memegang papanya. Keduanya nampak rapuh dan lesu. Mama tidak bersinar seperti biasanya.

Orang-orang dewasa yang ikut mengantarkan bersama rombongan duduk bersila sekenanya di lantai ruang tamu. Beberapa pria ...
masih merokok di luar. Mereka jelas masih terkejut dengan peristiwa yang baru saja mereka alami. Semuanya seperti melepas kengerian yang masih melekat di panggung benak mereka.

“Daerah gunung ini dulu…” Kakeknya berbicara pelan, “kalau menurut cerita buyutmu pada waktu dibuka
adalah daerah wingit. Alas gung liwang liwung, jalma mara jalma mati (hutan tak berbatas, manusia yang datang pasti mati).”

Semua orang menatap kepada kakeknya. Kakeknya menyalakan rokok kreteknya, terlihat tangannya masih bergetar. Di tengah muramnya, kali itu mamanya ...
tak berkomentar apa pun. Biasanya jika ada seorang yang mulai merokok di dekat Bayu, mama akan langsung ngomel. Tapi nampaknya mereka semua sudah kelelahan untuk saling mengomentari satu dengan yang lain.

“Tidak ada yang berani membuka hutan sampai di tempat yang kita ...
lewati tadi. Karena katanya ada penjaganya. Nyai Cempaka Rani.”

Mendengar nama itu disebutkan beberapa penduduk desa yang ada di situ terkisap. Menurut hikayat, Nyai Cempaka Rani adalah yang menunggu pohon besar itu. Danyang pohon, sekaligus penjaga hutan kawasan P.
“Kamu tahu cerita Pangeran Diponegoro, Sara?” Tanya kakeknya.

Sara tidak menjawab. Untuk gadis seperti Sara, Sara hanya tahu bahwa Diponegoro adalah pahlawan bangsa yang berperang melawan Belanda. Sara memilih untuk menggelengkan kepalanya.
“Pada waktu Perang Jawa, atau yang dikenal orang dengan Perang Diponegoro. Pangeran Diponegoro diakali oleh kumpeni. Katanya diajak berunding, malah ditangkap. Perang yang berlangsung dari tahun … “ Kakeknya berusaha tenang untuk mengingat, “ Ah …1825 sampai 1830. Kakek ...
ingat perangnya selama lima tahun. Perang itu berhenti. Dan bukan hanya Diponegoro. Anak buahnya pun ditangkapi. Mereka kocar-kacir ke segala penjuru pulau Jawa.”

Kakek menghisap rokoknya dalam sekali. Ketegangan dalam ruangan itu menenang. Berganti menjadi tenang.
Yang hadir beringsut khidmat.

“Salah satunya mereka lari ke tanah ini. Tanah bekas Keraton D. Keraton yang sudah hancur dan hilang. Tanah ini sudah menjelma hutan besar. Hewan-hewan buas di segala penjuru. Baik yang kelihatan atau yang tidak. Para anak buah Diponegoro itu ...
berubah menjadi bandit-bandit hutan. Bersembunyi di hutan dan jika ada orang yang tiba-tiba melintas hutan, apalagi kalau itu rombongan kumpeni, mereka jarrah dan mereka bunuh.

“Tapi dari cerita orang-orang tua, ada yang mengatakan bahwa anak buah Diponegoro ini bertemu ...
dengan Nyai Cempaka Rani. Perempuan ini cantik dan pada waktu itu tidak ada orang cantik kecuali kalau dia dari kerajaan atau dia dari keluarga antek-antek kumpeni. Karena tidak ada kerajaan di tempat ini, Nyai Cempaka Rani dianggap anak buah Belanda. Diserang.
Mereka berkelahi dari siang hingga siang hari berikutnya. Tapi mereka tak bisa mengalahkan perempuan ini.

“Di situlah Nyai Cempaka Rani menyatakan diri bahwa dia berasal dari kerajaan yang tak kelihatan. Nyai tahu bahwa para bandit itu bukan orang-orang jahat.
Mereka hanyalah orang-orang kalah yang sudah kehabisan akal dan harapan. Maka untuk menumbuhkan semangatnya. Nyai Cempaka Rani mengajarkan sebuah tarian kepada mereka. Tarian tentang ksatria berkuda …” Kakek memotong ceritanya, “Kamu tahu siapa ksatria berkuda itu, Sara?”
Sara menggeleng. Namun kali ini gadis itu memberikan perhatian khusus kepada kakeknya. Tidak ada orang yang mengerti apa hubungan cerita ini dengan peristiwa yang mereka alami sore itu. Tapi jarang sekali Mbah Taji berbicara hingga sepanjang ini kecuali ada maksud yang ...
hendak dia sampaikan. Maka semua orang memperhatikan dengan seksama. Bahkan para pria yang merokok di teras luar, mereka amping-amping di dekat pintu untuk mendengarkan cerita kakeknya.

Kakeknya melanjutkan, “Ksatria berkuda itu ya Pangeran Diponegoro dan pasukan ...
berkudanya, Sara.”

Bulik keluar dengan membawa sebuah nampan berisi beberapa kopi dan teh. Meletakkan di depan setiap orang satu-satu. Ketika berhenti di depan Bayu, Bulik berhenti sebentar, “Oalah, Le… Le… Jarang dolan ke P, sampai di sini kok jadi begini.”
Yang tersentuh justru Sara. Mendengar perkataan Buliknya, air mata gadis muda itu meleleh. Dia duduk mendekat kepada Bayu dan menggamit lengan kakaknya menyandarkan ke bahu Bayu. Melihat itu, air mata buliknya pun merambang. Mama dan ayah jelas ikut menyambung air mata itu.
Bulik memeluk kedua keponakannya itu, “Kalau boleh aku gantikan, aku gantikan sakitmu, Yu.” Buliknya mengambil napas panjang. Melepas pelukannya dan duduk di sebelah Paklik yang mulai ikut berkaca-kaca.

“Matunuwun, ya, Dik, ya!” Suara mama bergetar menatap kepada Bulik.
Air mata yang menggantung itu menetes. Dan diusapnya dengan kerudung hitam yang dikenakannya malam itu. Pak Lik memegang tangan istrinya.

“Lajeng kados pundi kala wau Nyai Cempaka Putih? (Lalu tadi bagaimana Nyai Cempaka Putih)” Tanya seorang pria yang duduk di teras depan.
Seorang kawannya di dalam mengatakan, “Hush! Cempaka Rani kok Cempaka Putih.”

“Oh inggih! Cempaka Rani.” Dengan wajah malu-malu pria itu beringsut mundur sambil mengambil kopinya.

Kakek pun melanjutkan ceritanya. “Itulah asalnya kuda lumping. Jathilan.
Jaran sesek (kuda anyaman bambu) itu lambang dari dukungan masyarakat kelas bawah kepada Diponegoro. Mereka yang hidup dengan bambu siap untuk menggunakan bambu mereka untuk mendukung perjuangan pangeran dan Ngayogyakarta tersebut. Karena itu setiap jathilan juga ada singa, ...
celeng, apalagi… ganong. Sebagai yang dilawan oleh para jaran kepang tadi. Singa dan celeng itu lambang dari apa yang dilawan oleh para ksatria tadi. Angkara murka. Tapi juga melambangkan bagaimana para ksatria tadi masuk ke hutan dan berhadapan dengan hewan-hewan di hutan.
Itu adalah cerita tentang Diponegoro, tapi juga cerita tentang para anak buahnya yang lari ke hutan. Memberi semangat kepada mereka untuk terus melanjutkan perjuangan.”

Kakek menghembuskan napas panjang. Lalu melihat ke atas seperti sedang mengingat sesuatu yang terluput, ...
“Kalau cerita orang tua tadi benar. Sebelum kita menempati tempat ini, memang sudah ada yang tinggal di sini sebelum kita. Kita ini cuma tamu. Tapi itu juga cara masyarakan di daerah K, termasuk di P ini untuk mengingat asal usul mereka. Itu cara kita menghargai dari mana ...
kita berasal. Jangan lupa air ini yang menjadi air kita. Tanah ini yang menjadi tanah kita.”

Mbah Suroso lalu bertanya kepada Kakek, “Kalau dari cerita yang kudengar, bapak sampeyan itu kan yang dulu membuka hutan di sini. Jadi sebelum bapak sampeyan sampai di sini.
Tanah ini sudah ada yang tinggal?”

Orang-orang yang datang cukup terkejut karena Mbah Suroso justru menanyakan hal tersebut kepada Kakek. Mereka berpikir karena usia Mbah Suroso kelihatannya seusia kakek maka beliau juga tahu cerita itu. Mereka agaknya lupa bahwa ...
Mbah Suroso jauh lebih muda dari kakek. Dan keluarganya pun baru datang ke sini setelah hutan dibuka oleh orang tua kakek.

Kakek menggeleng, “Daerah ini dulu masih hutan. Tapi di tempat yang jadi punden itu, dulu daerah itu seperti bekas ada orang yang tinggal.
Jadi bapak itu memang membuka hutan ini. Tapi sudah ada bekas beberapa rumah kuno yang sepertinya ditinggali. Ya yang sekarang kita jadikan punden itu. Bapak yang ikut meneruskan tradisi jathilan di sini. Aku juga tidak tahu bapak tahu dari mana.
Mungkin pernah belajar dari sekitar sini.”

Sara angkat bicara, “Buyut pernah bertemu Nyai Cempaka Rani, Kek?”

“Aku ora ngerti (aku tidak tahu)”

Ketika itulah Mbah Suroso justru yang membuka pembicaraan, “Yes saka sing tak dilok (kalau dari yang aku lihat)” Mbah Suroso ...
berhenti agak lamam “Tapi ya namanya melihat seperti itu kan bisa salah ya, Nak. Kita ini gak selalu mengerti, kita kadang pura-pura mengerti, sok tahu.”

“Gimana, Eyang? Gimana?”

“Aku biasanya isa ndeleng sing kaya ngono kuwi (aku biasanya bisa melihat yang seperti itu)”
Dia menghembuskan napas panjang, “Tapi kok isa ya aku pas tanem sajen iki mau ora nemui apa-apa blas. Ora katon siji-sijia (Tapi kok bisa ya selama tanam sesaji itu tadi, aku tidak menemui apa-apa sama sekali. Tidak nampak satu pun.) Apa ana sing nutup?”
“Ya pas eyang dulu bisa lihat. Bagaimana?” Sara mendesak.

“Kalau dari yang bisa aku lihat dulu,” Mbah Suroso melihat kepada Bayu, “Yang kamu lihat di kamar mandi itu, Yu, yang hitam besar, ingon-ingone (peliharaan) buyutmu, itu diberi oleh Nyai Cempaka Rani.”
Bayu bergidik. Sara melepaskan pegangan tangannya dari kakaknya dan melihat kakaknya.

Mbah Suroso pun tetap memandang kepada Bayu, “Dan kalau aku gak salah, Bayu ketoke ya tau ketemu (Bayu kelihatannya juga pernah bertemu)”

Bayu membelakakkan matanya, “Masak, Eyang?”
“Eyang tidak tahu. Tapi setahu eyang, Nyai Cempaka Rani itu, kalau pas tenang wanginya seperti bunga cempaka. Kembang Kanthil. Tapi kalau sedang marah, baunya arus seperti darah. Itu bau yang aku cium di kamar waktu kamu menginap di rumahku dulu. Makanya aku bilang ada yang ...
tidak beres. Kalau itu benar Nyai Cempaka Putih, maka dia sedang marah. Kalau dia marah, kuatirku pagebluk. Itu juga alasanku untuk setuju mengadakan murwakala ini.”

“Oh pada waktu saya …” Bayu menahan diri. Dan tiba-tiba tersenyum malu-malu. Bayu melanjutkan, “Sebelumnya ...
saya minta maaf, tadi saya marah-marah. Saya bahkan berkata kasar kepada bapak ibu.”

Yang menjawab justru bapak-bapak yang ada di luar, “Ora apa-apa, Le! (Tidak apa-apa, le)”

Bayu tiba-tiba merasa malu. Dan tersenyum. Melihat itu mama menatap ayah dan tersenyum.
Bayu meneruskan perkataannya, “Pada waktu saya ngompol itu, Eyang?”

“Halah kamu ngompol, Yu?” Tanya mama.

Semua yang hadir tiba-tiba tertawa. Dan tawa itu memecah segala ketengangan yang terbangun sejak dari hutan.

“Ganteng ganteng kok ngompol, minta disunat lagi mungkin,”
Timpal Paklik yang membuat tawa di ruangan semakin membahana. Ruangan yang tadinya terasa berat tiba-tiba menjadi enteng. Wajah-wajah yang tegang dan khidmat itu berganti menjadi sumringah. Para perempuan saling berbicara satu dengan yang lain.

Dan Bulik berdiri, “Ada yang ...
mau tambah kopi atau teh ini?” Beberapa orang mengangkat gelasnya, karena tanpa sadar mendengar cerita kakek dan Mbah Suroso beberapa orang menghabiskan wedang mereka tanpa mereka sadari.

Sara berdiri, “Sara bantuin, Bulik!” Bulik tertawa. Dan mengulurkan tangannya ke Sara.
Sara berdiri dari tempat duduknya, menyambut uluran tangan buliknya. Menggandengnya. Beberapa waktu yang lalu mereka keluarga yang hampir saja kacau balau. Berkat ompol kekacauan itu tercairkan. Kadang hanya butuh sesuatu yang sederhana untuk memperbaiki keadaan.
“Aku tidak tahu kok bisa-bisanya aku tadi tidak melihat apa pun ketika tanem sajen, Mungkin ada yang menutup mataku.” Ujar Mbah Suroso.

“Bayu yang lihat. Iya, Le?” Tiba-tiba saja Pak Simon angkat suara. Pria yang dari tadi cuma diam mendengarkan itu mengeluarkan sebatang ...
rokok putih dan menyalakannya. Mama yang sudah pulih dari perasaan tertekan hampir angkat suara tentang rokok itu, tapi ayah menahannya. Mama jadi urung bicara. Bayu bisa membaca ekspresi mamanya dan terkikik kecil.

“Opa Simon juga lihat kan?” Bayu menjawab pertanyaan dengan...
pertanyaan serupa.

Pak Simon justru menggeleng.

“Masak Opa?”

Pak Simon tetap menggeleng. Lalu menghisap rokoknya panjang sekali.

“Ayah Simon bukannya tidak merokok to?” Siapa lagi jika bukan mama.

“Saya ini sudah tidak merokok beberapa tahun, tapi tetap membawa rokok.
Jaga-jaga kalau kepingin. Napas saya dulu sering sesak, tapi sekarang saya tahu kenapa sesak saya hilang sama sekali beberapa tahun belakangan ini.”

“Tapi ada yang ke sini buat berobat dari sakit paru-parunya, lo! Kalau nanti tambah parah gimana?” Mama mengomel tapi tak ...
memandang kepada siapa pun, justru menatap langit-langit.

“Satu saja, Jen. Tamba kangen (obat kangen).” Jawab Pak Simon.

“Satu saja loh, ya!” Dan mama melihat kepada Bayu, “Yang sakit jangan ikut-ikutan lo, ya.”

“Berarti Nyai Cempaka Rani itu yang ke kamar saya itu, Eyang?
Yang pakai baju merah?”

“Benar bajunya merah!” Teriak kakek, “Itu yang dulu diceritakan mbah buyutmu. Bajunya merah.”

“Tapi kalau yang saya lihat tadi…” Bayu menahan napasnya. Wajahnya tiba-tiba menegang. Orang-orang yang sempat mencair tiba-tiba tertuju kepada Bayu.
“Saya tadi melihat panggung jathilan di pohon tengah hutan itu.”

“Itu memang kerajaannya Nyai Cempaka Rani.” Ujar Mbah Suroso.

“Bukan!” Bayu menghardik.

Orang-orang kembali serius. Wajah-wajah tegang itu mengeras.

“Perempuan berbaju merah itu seperti sinden. Dia melayani ...
dua orang lain. Saya tidak melihat wujudnya, tapi itu yang tadi mendekat kepada saya. Semakin mereka mendekat, tubuh saya semakin sakit dan panas. Itu kenapa saya tadi membanting-banting tubuh saya ke tanah. Saya menghilangkan rasa sakit saya, tapi sekaligus menghindar dari ...
dua orang tadi.”

“Ini serius ta? Mama merinding ini!” Mamanya menunjukkan lengannya yang mengkirig ke depan.

“Iya dia bukan pemimpin kerajaan itu. Dan itu bukan kerajaan. Pohon itu cuma seperti alun-alun tempat pertunjukan jathilan digelar.”
Mbah Suroso yang selama ini menganggap itu kerajaan Nyai Cempaka Rani kaget, “Lah masak, Le?”

“Benar, Eyang! Saya gak bohong. Saya gak berani main-main urusan begini. Saya bahkan melihat perempuan berbaju merah itu duduk bersembah bakti kepada dua sosok yang tidak kelihatan ...
wujudnya itu.”

“Memang bukan.” Pak Simon angkat bicara.

Ayah yang terkejut. Karena ayah tidak pernah mengetahui bahwa orang tua angkatnya itu mengetahui hal-hal seperti itu. Ayah yang sedari tadi diam membuka suaranya, “Ayah tahu?”

Pak Simon mencecapkan rokoknya ke asbak.
Dan tetiba matanya berkaca-kaca. Dia menatap ayah Bayu, “Maafkan ayah ya, Wijaya. Ini terkait Mbak Ratna.”

“Maksud Ayah bagaimana? Saya sama sekali nggak paham.” Ayahnya menatap ayah angkatnya itu penuh pertanyaan.

“Opa tadi tidak bisa melihat yang Bayu lihat.” Pak Simon ...
menatap Bayu, “Tapi opa pernah bisa melihat. Karena itu Opa tadi bilang Bayu jalan terus. Opa pikir semua akan baik-baik saja, karena dua buaya putih itu memang tidak tinggal di pohon itu. Dia tinggal di danau kawah, tempat tanem sajen yang terakhir. Opa gak tahu kalau ternyata..
dua buaya putih itu ada di sana.”

Bayu merasa bulu kuduknya merinding luar biasa. Namun kakek, Mbah Suroso, dan penduduk desa tahu cerita kisah buaya putih kembar yang tinggal di danau kawah. Konon mereka adalah penguasa gunung tersebut.
“Yang sekarang ikut Bayu, itu dulu ikut Ratna.” Suara Pak Simon terpotong-potong oleh tangisannya.

Sara keluar bersama Bulik membawa minuman, tapi melihat bahwa situasi ruang tamu sudah berubah sama sekali. Mereka meletakkan saja minuman itu di meja dan bergabung duduk ...
bersama yang lain.

“Saya tadi tidak melihat mereka seperti buaya. Mereka seperti manusia, hanya Bayu tidak bisa melihat wajahnya.” Bayu mengatakan itu tanpa tekanan apa pun.

“Jadi ayah yang kasih penyakit itu ke Bayu?” Ayah Bayu berdiri, wajahnya memerah.
Mamanya menarik tangannya dan menariknya kembali untuk duduk, “Aku gak ngerti, keluarga kok isinya setan-setanan semua. Apa gak bisa hidup normal kayak orang lain. Sekarang orang yang kelihatannya baik justru kasih masalah ke cucunya. Apa karena itu Mbah Ratna gak punya anak?
Jadi selama ini uang ayah itu dari pesugihan? Memalukan!”

“Enggak! Kamu salah paham, Nak …”

Pak Simon hendak meneruskan perkataannya tetapi dipotong oleh ayah Bayu, “Apa Bayu tadi gulung-gulung di hutan itu juga salah paham? Anak saya nggereng-nggereng kayak macam itu salah..
paham? Gosong di dadanya itu salah paham?”

Jika tidak ditahan oleh mama, Ayah sudah hampir berdiri lagi, “Kok ya tega, Yah?”

“Yah …” Bayu berbicara kepada ayahnya, “Di hutan tadi Opa Simon yang bantu Bayu.”
“Iya bantu kamu buat makanin kamu ke buaya-buaya itu?” Emosi ayahnya jelas tinggi. Bulik dan Sara yang masih kebingungan tidak tahu harus memihak kepada siapa. Begitu juga orang yang hadir. Mereka tidak tahu bahwa keluarga yang kelihatannya begitu bahagia, segalanya ada, ...
ternyata rapuh. Itukah harga yang harus dibayar untuk sebuah penampilan, menampakkan ke dunia segalanya indah dan melimpah tetapi keropos dan mati di dalam.

“Ratna dulu TBC ketika aku bawa ke sini. Dulu TBC tidak seperti sekarang, obatnya gampang dicari. Dulu kalau TBC ...
obatnya adalah tinggal di kawasan sejuk sambil terus minum obatnya. Karena itu anakku satu-satunya itu kubawa ke sini. Supaya dia bisa sembuh. Dan aku berterima kasih kepada Pak Taji yang menerima Ratna di sini.”

“Egois!” Ayah Bayu mengangkat kedua tangannya ke depan wajahnya...
dan melesakkan tubuhnya ke kursi. Membuang wajah dari ayah angkatnya itu.

“Dengarkan dulu, Jaya!” Pak Simon meneruskan ceritanya, “Dan Ratna memang sembuh. Dokter menyatakan penyakitnya sudah tidak ada lagi. Orang tua mana yang tidak senang kalau anaknya sehat.”
“Lalu saya sekarang harus senang anak saya sakit. Diikuti setan?” Ayah Bayu masih membuang wajahnya.

“Le, dengarkan dulu, to!” Tukas kakek.

“Tapi ketika aku memandikan dia. Aku menemukan bekas gosong seperti gosongnya Bayu di dadanya. Aku tidak tahu sampai aku bermimpi ...
malam itu, ada anak kecil yang merangkul Ratna. Anak laki-laki. Aku cari tahu ke mana-mana apa yang terjadi. Sampai aku tanya orang yang ngerti. Katanya kalau mau anakku bebas, aku harus memindahkan anak kecil itu ke orang lain. Dan tiba waktu itu, Pak Taji minta tolong ...
supaya aku merawat kamu di rumahku.” Pak Simon menahan perkataannya, “Aku pikir itu kebetulan. Aku bisa minta tolong memindahkan anak kecil itu dari Ratna ke kamu. Aku hanya ingin Ratna sembuh dan tidak tersiksa lagi dengan sakitnya. Setelah TBCnya, lalu sakit itu.”
Semua orang terkisap. Ayah Bayu benar-benar meledak. Dia memukul meja, “Oh jadi ini selama ini keluarga kamu itu cuma jadi tumbal ayah to? Ayah? Ayah macam apa!” Dia mengepalkan tangannya hendak menghantam Pak Simon, “Oh! Pantas karena itu ayah mau membiayai semua biaya ...
ruwatan Bayu? Biar cepat Bayu dicaplok buaya?”

“Diam kamu! Kamu gak tahu apa-apa!” Pak Simon terbawa emosi. Dia berdiri.

“Apa!” Ayah Bayu juga berdiri berhadap-hadapan dengan Pak Simon. Orang-orang menarik keduanya supaya tidak sampai terjadi perkelahian.
“Kamu pernah dadamu sakit? Kamu pernah dadamu gosong seperti yang dialami Bayu?” Tanya Pak Simon kepada ayah Bayu, “Jawab! Pernah?”

Kemarahan masih terpancar di wajah Pak Wijaya.

“Karena aku sayang kamu. Setelah kamu datang ke rumah, setelah aku melihat kamu, ...
aku gak melihat kamu sebagai cuma anaknya Pak Taji, Jaya! Begitu aku melihat kamu, aku seperti melihat anakku yang lain. Kamu itu aku anggap anak bungsuku. Apa yang terbaik yang aku kasih ke Ratna juga aku kasih ke kamu! Aku gak pernah mindah anak kecil itu ke kamu. Ngerti kamu?”
Pak Simon melanjutkan, “Kamu ingat waktu kamu kenaikan kelas 6 kamu minta sunat, aku menyunatkan kamu di sini. Di P ini. Kita pergi ke sini bersama Mbakmu? Ingat? Sore hari bersama Ratna aku naik ke gunung K, kamu pikir ngapain? Aku ingin melepaskan anak kecil itu dan ...
mengembalikan dia ke asalnya. Di situ aku tibat-tiba masuk ke entah dunia apa, ketemu orang tua anak itu. Dua buah buaya putih itu di danau kawah.”

Ayah Bayu beringsut mundur.

“Aku mau melepaskan anak itu. Dan orang tuanya, kedua buaya itu menerimanya. Tapi anaknya tidak ...
mau lepas. Dia minta ganti. Dan kamu tahu siapa yang menggantikan Ratna? Siapa yang membawa anak kecil itu selama bertahun-tahun? Aku!”

Ayah Bayu terduduk.

“Aku juga ayah sama kayak kamu. Ayah akan melakukan apa pun untuk anak-anaknya. Aku juga akan melakukan itu untuk ...
anak-anakku. Aku juga tidak mau anakku celaka. Dan kamu itu juga anakku. Eh …” Napas Pak Simon tersengal. Air mata menitik dari matanya, bibirnya bergetar. “Aku juga gak akan merelakan anakku, cucu-cucuku mangalami masalah. Lebih baik aku yang sengsara, asal anakku bisa ...
hidup senang. Aku gak akan mengorbankan kamu, Nak! Gak akan.” Dia mengatakan kalimat-kalimat terakhirnya itu dalam air mata.

Air mata ayah Bayu tiba-tiba pecah. Dia tidak kuasa, dia memeluk ayah angkatnya itu, ayahnya. “Maafkan, Jaya, Ayah!”

Sara menangis. Mama menangis.
Pak lik dan kakek tidak luput dari air mata. Bulik justru memandang kepada Bayu. Air matanya tertahan. Perempuan itu agaknya merasa bahwa derita itu akan dibawa oleh Bayu terus menerus sampai dia tua. Siapa orang yang bisa hidup seperti itu.
"Kita ini keluarga, Nak." Ucap Pak Simon kepada ayah Bayu.

“Lalu Bayu?” Tanya ayah Bayu ke Pak Simon.

Ketika mereka semua kembali duduk, Pak Simon melanjutkan, “Aku tidak tahu. Tapi sejak dulu aku bermimpi. Mimpiku selalu Bayu. Anak kecil yang ikut aku senang bermain-main ...
dengan Bayu. Mereka sangat akrab sejak kecil. Tapi aku tidak akan membiarkan Bayu begitu. Aku jujur tidak tahu bagaimana dia berpindah kepada Bayu. Aku hanya tahu begitu tiba-tiba gosong di dadaku hilang dan justru Bayu yang tiba-tiba sakit.
Aku tahu ketika itu anak itu sudah pindah ke Bayu.”

“Nyai Cempaka Rani selalu mengajak anak ini pulang.” Bayu berkata pelan, “Keluarganya juga merindukan dia.”

“Kita lepaskan dia ke keluarganya.” Sara yang awalnya sama sekali tak percaya pada hal-hal semacam ini ...
tiba-tiba memunculkan perkataan yang di luar dugaan.

“Tapi dia nggak mau pulang.” Tutur Bayu perlahan.

Suasana menjadi hening. Semua mata melihat Bayu.

“Ya sudah kita siap-siap ruwatan. Sudah mau jam delapan.” Tukas Bayu. Dia tersenyum. Pasrah.
Ruwatan itu mungkin tidak akan ada gunanya. Namun, paling tidak menyenangkan penonton yang haus hiburan. Membuat orang lain senang apa salahnya.

Bayu berjalan ke belakang, menuju kamar mandi. Seolah dia tak takut lagi pada kamar mandi itu. Sebelum masuk kamar mandi, ...
dia berbalik ke belakang, berkata kepada semua orang di ruang tamu, “Oh, ya… Nyai Cempaka Rani sejak tadi mengikuti kita dari hutan. Dia sekarang berdiri di jalan depan rumah. Cuma mengawasi, tidak kelihatan kepingin masuk mengambil momongannya. Mungkin benar, sudah kerasan.”
---

Dalang itu memandang keduanya. Dia tersenyum kepada Bayu dan Sara. Berjabatan tangan dengan ayah, mama, kakek, dan Pak Simon. Lalu berbicara dengan Mbah Suroso, “Kados pundi kala wau keliling desa lan tanem sajenipun? (Bagaimana tadi acara keliling desa dan tanam ...
sesajinya?)” Mbah Suroso tidak mengatakan apa pun selain hanya tersenyum. Dalang itu mungkin mengartikan senyum itu sebagai lancar tanpa halangan. Dalam itu menghabiskan waktu dengan merokok dan diam. Sebelum dia berbicara kepada orang-orang di Bale Desa itu, ...
“Kok wonten ingkang boten pas nggih raosipun? (Kok ada yang tidak pas ya rasanya?).”

Tentu saja semuanya tahu. Tapi mereka hanya tersenyum. Kakek yang angkat suara, “Sampun sae sedaya.” (Sudah baik semua).

Dalang itu berdiri dari tempat duduknya dan lalu berkeliling ruang ...
Bale Desa itu. Dia sempat berhenti di beberapa titik dan seperti menghirup sesuatu. Beberapa saat kemudian dia berjalan menuju Mbah Suroso, “Panjenengan ngambet arus? (Anda mencium bau anyir?)” Mbah Suroso jelas tahu yang dimaksudkan, tapi dia hanya menggelengkan kepalanya.
Nampak sekali dalang itu tidak tenang.

Wayang akan dimulai pukul 10 malam, sekitar sejam lagi. Kekira tengah malam ruwatan akan dilaksanakan. Dalang itu tentu tahu bahwa Murwakala bukanlah sebuah lakon biasa. Lakon itu harus dibawakan oleh dalang yang memang mengerti dan ...
tahu tata cara meruwat secara murwakala. Tidak semua dalam bisa melakukan ruwatan serupa itu. Untuk persiapan ruwatan memang bisa dilakukan oleh orang lain, tapi ruwatan itu sendiri dilakukan sang dalang di tengah pertunjukan.

“Estu nggih tanem sajenipun lumampah sae?
(Benar ya tanam sesajinya berjalan lancar?)”

Bayu yang menjawab dengan keras, “Inggih, Pak Dhalang!”

Dalang itu mengambil napas panjang. Nampak sekali bahwa dalang itu tidak yakin. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. “Asrep nggih? (Dingin, ya?)” Dalang itu bertanya lagi.
Dan semua orang yang ada di sana diam saja.

Para pengrawit diminta untuk naik lebih dahulu memainkan beberapa tembang. Para sinden mengikuti di belakang mereka. Dan tidak lama kemudian beberapa tembang sudah dimainkan. Tak lama dalang itu memandang kepada Bayu dan Sara, ...
“Nanti kalau saya panggil, Mas dan Mbaknya naik ke umpak ruwatan ya.” Sara mengangguk. Dalang itu pun melenggang pergi. Dan suaranya sudah bergelora memainkan Lakon Murwakala.

Bagi Bayu semuanya hampa. Ini semua tidak akan ada artinya. Ruwatan ini hanya guyonan saja, ...
tak akan bermakna apa pun. Segala persiapan, biaya, dan dukungan seluruh penduduk desa dilakukan hanyalah untuk sebuah penampilan saja. Tujuan utamanya sudah gagal sejak semula.

Bayu menyingkir sejenak. Menyingkap beskap yang dikenakannya. Menilik memar di dadanya.
Tidak ada yang berubah. Anak itu tetap ada di situ. Dia mengambil napas panjang. Entah ini pasrah atau keputusasaan. Apalah bedanya? Keduanya sama saja saat ini.

Tapi mengapa Bayu tidak bisa melihat anak itu? Itu menjadi pertanyaan besarnya sampai saat ini. Dia bisa melihat ...
hal-hal yang lain. Namun mengapa tidak anak ini. Bahkan Bayu bisa melihat perempuan berbaju merah yang sekarang berdiri persis di sebelahnya, mengelus-elus bahunya.

“Tadi waktu di rumah di rumah nggak mau masuk. Di sini sana berani mendekat.” Bayu mengucapkan lirih. Tak ...
hendak menatap wajahnya. Tapi dia merasakan elusan tangan perempuan itu di bahunya. “Kenapa masih marah? Bau Nyai kok masih arus. Saya loh sudah pasrah,” Perempuan itu hanya diam saja. Menepuk pundak Bayu beberapa kali.

Bayu berjalan mendekati opanya. Mbah Suroso yang ...
berada di sebelah opanya tiba-tiba mengendus. Ya beliau tahu. Bayu pun hanya mengangguk saja, mengiyakan. Perempuan berbaju merah itu mengikutinya di belakang. Ah, entahlah, mungkin dia harus membiasakan.

“Opa tadi siang bilang acara ruwatan ini tidak pas. Kenapa memangnya?”
Pak Simon menatap cucunya, “Gak tahu, Yu. Rasanya ada yang gak pas saja menurut, Opa. Tapi apa itu Opa juga tidak tahu persisnya. Maafkan Opa, ya, Le.”

Bayu tersenyum menatap Opanya, “Bukan salah Opa. Bukan salah siapa pun. Mungkin juga bukan salah anak ini. Cuma ada ...
anak-anak yang nakal saja. Bayu juga pernah nakal.”

“Eyang juga tidak mengerti, Yu. Eyang bisa sama sekali tidak kelihatan begitu. Bahkan sampai tanem sajen pun tidak tuntas.”

“Ayamnya lepas.” Bayu berusaha tersenyum.

Semuanya hambar. Semua pembicaraan, segalanya.
Sepertinya nasibnya sudah digariskan. Dia mungkin bisa melepaskan anak itu, tapi dengan syarat mengorbankan yang lain. Harus memilih menjadi orang jahat jelas bukan pilihan.

Perasaan hampa yang dirasakannya di hutan tadi seperti mengingatkannya, jika dia nekad melepaskan ...
anak ini kepada yang lain, maka Bayu siap kehilangan orang itu. Dan Bayu tahu seperti tahu bagaimana rasanya kehilangan. Daripada harus kehilangan orang lain untuk menanggung bebannya, lebih baik ini ditanggungnya sendiri. Dia tidak ingin Sara kehilangan kebahagiaannya.
Apalagi papa mamanya. Ah, anak yang sial. Anak sukerta. Ya, mungkin ruwatan ini memang cocok untuk dia. Sial.

Dia melihat kembali kepada Sara. Gadis itu tidak nampak ceria seperti biasanya. Gadis yang tak bisa tenang itu kini hanya duduk diam. Melamun. Sama seperti Bayu, ...
dia berpakaian Jawa. Kebaya dan rambutnya digelung berselip melati. Ayah dan mamanya juga lebih banyak diam. Paling-paling ketika mereka saling berhadapan mereka saling melempar senyum. Tapi sekadarnya saja. Bayu tahu bahwa mereka berdua beberapa kali mencuri pandang kepadanya.
Namun kembali berpura-pura seolah semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang baik lagi.

“Wayang ini seperti hidup kita, ya, Eyang.”

Mbah Suroso menatap anak muda itu. Apalah artinya memberikan hiburan. Segalanya terjadi begitu tiba-tiba. Seperti seorang yang diguyur hujan.
Sayangnya hujan itu adalah hujan malapetaka. Usianya belum genap 20 tahun. Tapi beban yang harus ditanggungnya melampaui banyak orang lain.

“Kita melakukan saja yang menjadi bagian kita. Tapi dalang yang memainkan kita. Kita tidak berdaya. Dan akhirnya semuanya hanya lakon ...
hiburan. Hanya permainan kepura-puraan untuk menikmati hidup yang … yah begitu-begitu saja.”

Opanya merangkulnya, “Sudah seperti orang tua saja kamu, Le.”

Akhirnya ruang baledesa itu hanya berisi orang-orang yang berbicara setengah suara. Berbicara di tengah keheningan yang...
meresap semakin kuat. Orang-orang kalah. Wayang yang dimainkan oleh kehidupan.

Sara memandang kakaknya, Bayu tersenyum kepada adiknya itu. Sara beranjak dari duduknya dan berjalan kepada kakaknya. Dia menunjukkan senyumnya yang terbesar. Lalu memeluk kakaknya, “Aku gak rela...
cuma anak itu yang memeluk Mas Bayu setiap waktu. Aku juga mau dapat giliran.”

Sara memeluk kakaknya dengan erat. Erat sekali, Sara seperti tak merelakan dirinya melepas pelukan itu. Sampai Bayu sadar bahwa gadis itu menangis di dadanya. Bayu membalas pelukan adiknya.
Gadis itu membik-membik, mengucapkan, “Aku gak mau Mas Bayu sedih. Sara sayang Mas Bayu.” Demikianlah, bagaimana mungkin Bayu bisa tidak ikut meneteskan air matanya.

Buliknya datang dari luar membawa jajanan. Matanya menatap kakak beradik yang berpelukan tersebut. Dia ...
meletakkan jajan itu di meja. Bayu bisa melihat perempuan itu menyembunyikan tangisannya ketika berlari keluar.

“Eh sudah! Sudah! Mas Bayu juga masih di sini. Gak ke mana-mana, kok. Ditangisi kayak orang mau mati aja. Sara kan perkasa. Tapi kamu cantik lo pakai baju Jawa.”
“Apaan sih!” Dia memukul bahu kakaknya. Mengusap air matanya. Lalu kembali tersenyum, walaupun masih juga terpaksa.

Sara ganti bergelayut ke Pak Simon, “Dulu Opa juga bisa melihat yang lain kayak Mas Bayu gini juga pas anak kecil ini ikut Opa?”
Opanya menggeleng, “Opa Cuma bisa melihat lewat mimpi. Cuma sama di dadaku persis seperti yang ada di masmu itu. Kalau pas nampak ya sesak dan panas. Tapi ya gitu, kadang nampak, kadang tidak. Makanya Opa tidak tahu ketika dia tiba-tiba sudah pindah ke Mas Bayu. ...
Paling hanya sekali pas di gunung itu, ketika Opa mau melepaskan anak itu dari tante Ratna, Opa baru bisa melihat yang tidak-tidak. Ketika tidak itu ya tidak.”

Sara melanjutkan, “Makanya tadi Opa mikir kami akan dibawa ke sana?” Opanya mengangguk. Sara memandang Bayu, ...
“Eh belum sampai ke sana ada orang jungkir balik ya, Opa.”

Pak Simon, Sara, Bayu, dan Mbah Suroso tertawa kecil.

“Tapi jenengan (Anda) dulu juga dengar suara musik jathilan begitu juga, Pak Simon?” Tanya Mbah Suroso.

“Mboten (Tidak). Ya baru kali ini tadi pas di ...
dekat pohon tadi. Cuma saya tadi lihat Bayu sudah mulai tidak nyaman. Saya pikir pasti ada apa-apa.”

Ketukan di bahu Bayu mengeras. Perempuan berbaju merah. Perempuan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Ah, apalah! Jika dia tak berniat membantu mengapa juga harus mengganggu.
“Jenengan leres Pak Simon (Anda benar Pas Simon)” Mbah Suroso melonjak, “Benar ada yang tidak pas! Ruwatan ini tidak pas. Bayu tidak butuh Murwakala. Karena hari ini pun banyak anak yang mengalami seperti Bayu, tidak diruat pun tidak apa-apa. Bayu butuhnya jathilan.”
“Maksudnya pripun, Pak (Maksudnya bagaimana, Pak)?” Pak Simon tetiba nampak antusias.

“Yang punya daerah sini mainnya jathilan. Anak yang ikut Bayu ini bereaksi pada musik jathilan. Pak Simon kala siyang, tanem pring kuning nggih sakubeng dalemipun Mbah Taji? (Pak Simon ...
siang tadi menanam bambu kuning ya di sekeliling rumah Mbah Taji?)”

Pak Simon mengiyakan.

“Pantes kala sonten wau kula boten saged ngambed Nyai Cempaka Rani. Awit boten saged mlebet dhateng ratan (Pantas saya tidak bisa mencium Nyai Cempaka Rani. Karena dia tidak bisa masuk...
ke halaman).”

Mata Pas Simon tiba-tiba berbinar.

“Iya, Yu!” Mbah Suroso berdecak, “Bukannya Nyai Cempaka Rani tidak mau menjemput anak ini. Tapi dia tidak bisa masuk ke rumah. Karena itu sekarang dia bisa berada di sini. Dia sedang menjemput anak itu.
Anak itu saja yang tidak mau pulang.”

“Tapi kok anak itu bisa tetap ikut saya padahal rumah sudah dipagar, Eyang?”

“Yang karena dia anaknya ratu. Dia pangeran di sini. Kemampuannya linuwih (lebih daripada yang lain).” Pak Simon menjawab begitu saja.
Tiba-tiba ada sesuatu yang menyerbu mereka. Semangat yang tadi tidak ditemukan. Sara tiba-tiba menampakkan wajahnya yang biasa. Mata Sarah yang biasa. Gadis 15 tahun yang berbahagia.

“Leres (benar)!” Jawab Mbah Suroso.
Pria sepuh itu segera melihat kepada Bayu. Ada yang berubah di antara mereka, “Yu?”

Bayu mengangguk.

Sara justru yang tiba-tiba mendekap Bayu, “Mas, kok bau bunga kuburan?”

“Sara cium juga?” Tanya Mbah Suroso.

Sara mengangguk. Dan bukan hanya Sara, ...
orang-orang di sekeliling mereka agaknya juga bereaksi serupa. Wangi bunga itu merebak di sepenjuru ruangan. Bayu merasakan hal yang lain. Ketukan-ketukan dingin di bahunya berubah menjadi elusan.

Mbah Suroso bersemangat, “Nyai Cempaka Rani ngestoni (merestui). Bocah iki isa ...
ucul (Anak ini bisa lepas). Wayang iki ben diteruske wae, tapi kudu ana sing nyambi golek tukang jathilan iki, mengko pas wayange arep bubaran, lagu sing dimainke lagu jathilan. Ben tukange njathil. (Tapi harus ada yang mencari pemain Jathilan. Nanti kalau wayang mau bubar, ...
lagu yang dimainkan lagu jathilan. Biar pemainnya menarikan jathilan).”

Bayu terus merasakan elusan di bahunya. Perempuan itu tak lagi marah. Bayu tidak berani menoleh. Senyuman Nyai Cempaka Rani lebih menakutkan daripada apa pun. Jadi lebih baik dia tetap membiarkan ...
perempuan itu mengelusnya tanpa perlu menatapnya. Walaupun begitu, dalam hitungan detik. Ada yang menyodok dada Bayu. Dadanya tiba-tiba menjadi begitu sesak. Dan panas luar biasa. Bayu memegang dadanya. Napasnya hingga berbunyi. Serupa orang yang terkena serangan asthma.
“Bocah ndableg, arep diculno malah nglunjak (Anak nakal! Mau dilepaskan malah menjadi!)”

“Kelor!” Bayu berucap dalam napas yang tersengal. “Saya bisa melihat dia kalau makan sayur kelor!”

Pak Simon dan Sara segera berteriak, “Kelor! Kelor! Cari daun kelor!”
“Senggolan, Yu! Bocah kuwi kudu disenggol (Disenggol, Yu! Anak itu harus disenggol).” Mbah Suroso setengah berteriak. “Tahan dhisik, ya, Le! Ben digolekne kelor. (Tahan dulu ya nak. Biar dicarikan kelor.)”

Orang-orang di Baledesa langung menjadi ribut. Ribut karen Bayu yang ...
tiba-tiba mendadak kesakitan. Tapi juga ribut karena saling berteriak keluar untuk mencari kelor.

“Golek tukang njathil, Di (Cari pemain jathilan, Di)!” Teriak Mbah Suroso kepada Paklik. Paklik yang dipertintahkan segera berlari keluar dengan tergopoh-gopoh.
Beberapa saat Baledesa menjadi ribut. Mama dan ayah menemani Bayu. Sara berputar-putar entah ngapain. Kakek ikut bersemangat. Yang masuk bukan orang yang membawa kelor atau pemain jathilan tetapi justru salah satu pengrawit, “Mas Bayu dan Mbak Sara diminta naik ke umpak ...
sekarang. Ruwatan akan segera dilakukan.”

“Halah!” Teriak Mbah Suroso. Pengrawit itu jelas bingung dengan tanggapan salah satu tetua desa tersebut. Dia tentu berharap tanggapan yang sesuai permintaan. Tetapi justru orang-orang di baledesa itu menampakkan sebaliknya.
Dia semakin terkejut karena melihat Bayu yang sudah terkapar di lantai memegangi dadanya.

“Tidak apa-apa. Saya dan Sara naik saja dulu. Biar lakon diselesaikan.” Teriak Bayu.

Dengan memegangi dadanya Bayu berusaha berjalan tertatih. Sara memapahnya untuk terus berjalan, ...
“Kuat, Mas?” Bayu mengangguk.

Pak Simon mendekat.

“Yu, gelangmu! Gelang bambu kuning.”

Bayu melihat kakeknya. Dia menggeleng. Gelang itu ditinggalkannya di rumah kakeknya. Pak Simon tahu kondisinya. Dia segera mengeluarkan sebuah gelang dari sakunya. Hanya satu.
“Sara?” Tanya Bayu, namun dia langsung melanjutkan, “Di kamar saya, di atas meja, sebelah obat.” Pak Simon tak meminta siapapun, dia sendiri segera berlari keluar.

“Sara gak usah pakek dulu, Mas Bayu aja dulu yang penting.” Cakap gadis muda itu.
Bayu memegang gelang itu. Ketika itulah elusan di bahunya melenyap. Bayu melihat berkeliling. Nyai Cempaka Rani berdiri di ujung ruangan. Tak lagi mengukuti Bayu. Tapi panas dan sesak yang dirasakannya di dadanya justru semakin menjadi-jadi. Dia berusaha tetap berjalan ...
keluar dituntun oleh Sara. Mama dan ayah ada di belakangya. Kakek, Mbah Suroso, Bulik, serta beberapa saudara dari keluarga besar berdiri di sebelah lapangan. Pakliknya pasti masih mencari pemain jathilan.

Para penonton segera bertepuk tangan melihat kedua yang diruwat ...
menuju ke umpak. Beberapa pemuda meneriakkan nama Sara sambil bersiul-siul. Musik gamelan bertalu-talu dan tembang para sinden menyeruak di udara lapangan. Bayu dan Sara berjalan menaiki umpak ketika Bayu mengenakan gelangnya. Seketika Bayu merasakan sodokan keras di dadanya.
Bayu melihat kepada dalang. Tapi dalang itu justru menutup mulutnya dengan mata yang membelalak lebar, ketakutan. Tapi penonton tak ada yang bereaksi. Mereka tetap bertepuk tangan dengan gempita.

Bayu pun menyadarinya, sepasang kaki mengayun-ayun di belakang betisnya. Kaki ...
anak kecil sepucat marmer. Kaki itu kecil tapi memiliki rambut-rambut putih yang panjang. Di dadanya sepasang lengan menggelayut. Bulunya tak selebat bulu kakinya. Tangan-tangan berkuku tajam menembus ke sisi-sisi tubuhnya sambil meremas-remas seperti gerakan memompa.
Bayu menahan diri untuk menoleh.

Dalang benar-benar berhenti. Hanya menatap kepada Bayu. Para pengrawit terus memainkan musik mereka, walaupun nampak kebingungan karena menunggu instruksi dalang yang tak segera-segera diberikan. Dalang itu justru mematung.
Sara menatap kakaknya, “Mas, ada apa?”

Bayu menggeleng. Dia melihat tangan kecil itu menggelayut naik ke atas. Bayu bisa merasakan suara mengecap-kecap di telinga kirinya. Seperti seseorang yang makan sesuatu. Perlahan sekali Bayu menoleh ke arah suara kecap-kecap itu.
Kepala anak itu lonjong dengan benjolan-benjolan besar. Kedua matanya miring ke atas. Seluruhnya hitam. Bibirnya berbentuk seperti segitiga karena belahan besar pada bibir bawahnya yang tengah. Dan dari belahan itu, sepotong lidah menjulur menjilati leher Bayu.
Bayu mendadak lemas. Dia berusaha memegang Sara.

Dalang itu tak juga melanjutkan ruwatannya. Sedang makhluk kecil itu terus menjilati lehernya dan mencecap-cecap. Ketika Bayu benar-benar menoleh. Makhluk kecil itu justru merenges kepadanya.
Tertawa lebar sambil mendesah-desah … heh heh heh … seperti suara anjing yang kelelahan berlari.

Ketika itulah angin bertiup sangat keras. Sedemikian keras hingga menabrak kelir wayang dan menjatuhkannya ke belakang. Penonton terkejut dan sontak berlarian.
Pedagang-pedagang kalang kabut, karena angin yang mendadak keras itu.

Mungkin tak ada yang sadar. Tapi bagi Bayu itu bukan hanya angin. Dari balik rerumpun bambu di sekeliling lapangan. Muncul anak-anak kecil, serupa yang dilihatnya di atas gunung.
Mereka tak berani mendekat. Hanya berdiri berjajar gerombol di beberapa tempat. Tapi mereka beringsut mundur, ketika dari jalan sebelah lapangan yang mengarah ke hutan tempat para bara, muncul derap. Prajurit yang dilihatnya di hutan. Berderap-derap. Musik berubah, gamelan ...
yang kalang kabut, berganti dengan musik jathilan.

Agaknya orang-orang pun bisa mendengarnya. Bayu bisa melihat orang-orang yang ketakutan. Tapi tak ada yang melihat. Karena mereka nampak kebingungan dari mana tabuh jathilan itu berasal. Para pedagang yang diterobos oleh ...
prajurit itu pasti juga tak merasakannya. Mereka sibuk dengan dagangan mereka yang kocar-kacir.

Lalu Bayu melihat yang lain. Sosok-sosok besar kecil muncul dari balik-balik rumah, dari balik-balik pohon menyaksikan dan menyongsong derap para prajurit itu. Mereka seperti ...
penonton pada umumnya. Hanya saja bentuk mereka yang beragam. Mereka memenuhi lurung desa hingga di balik-balik rumah.

Pasukan penari jathilan muncul dengan gerakan rampak. Bayu mengenali mereka. Mereka adalah yang dilihatnya di hutan ketika surup tadi.
Mereka menari mendekat kepada Bayu. Namun Bayu bisa merasakan anak kecil yang digendongnya mencengkeram dengan sangat keras. Tidak hendak melepaskan Bayu.

Bayu berusaha untuk melepaskan anak itu dengan menggobet tubuhnya ke kanan dan kiri. Bayu berusaha melepaskan dengan ...
sekuat tenaga. Hingga membanting dirinya ke tanah. Tapi anak itu tetap tak mau lepas. Sara melihat kakaknya dengan ketakutan. Tapi segera berlari mendekat. Dia berusaha meraih tubuh Bayu, ketika Bayu melihat dua sosok itu kembali.

Anak itu mencekik Bayu semakin keras.
Angin bertiup semakin derap. Makhluk-makhluk itu mundur begitu dua sosok itu mendekat. Suara tanah bergemuruh dari kejauhan. Seolah gunung akan meletus. Orang-orang kalang kabut menyelamatkan diri. Ketika itu seperti seekor monyet, makhluk itu memuntir dirinya ke dada Bayu.
Menatap Bayu. Kali ini mereka saling bertatapan. Bayu berusaha untuk memegang tubuhnya, ketika tangan berjari-jari panjang itu memukul wajahnya. Bayu terjengkang ke belakang.

Sara mendekat. Hendak menolong kakaknya. Ketika itu si makhluk itu memukul kepala Bayu dan ...
melompat dari tubuhnya menuju Sara. Bayu pingsan karena lompatan dan pukulan makhluk itu melemparkan kepalanya ke belakang. Menabrak kayu-kayu tiang umpak.

---
Bayu terbangun di rumah kakeknya. Mamanya duduk di sebelahnya. Orang-orang ramai di luar. Para perempuan berlari dari halaman ke dapur.

“Sara hilang.” Ujar mamanya.

Bayu berusaha bangun dari tidurnya. Mamanya melarang tapi Bayu berkeras.
Yang pertama dilihatnya adalah dadanya. Tak ada lagi memar atau semacamnya. Dia berlari keluar.

Di teras rumah kakeknya nampak khawatir, “Jangan ikut dulu.” Kakeknya menunjuk pada orang-orang desa yang pergi beramai-ramai membawa tampah dan cangkul. Mereka memukul tampah ...
dengan tangannya dan mengentheng cangkul dengan batu-batu kecil. Menimbulkan bunyi bluk neng bluk neng...

Bayu berlari ke lurung. Lapangan sudah sepi. Para pedagang sudah pulang. Lapangan yang tadi cerah oleh berbagai cahaya kembali seperti biasanya. Tanda bahwa barusaja ...
ada acara di tempat itu adalah umpak ruwatan dan tarub wayang masih yang porak poranda dan penjor-penjor yang roboh dan dikumpulkan sekenanya saja di tepi jalan.

Bayu mengikuti orang-orang itu berjalan naik. Di tegalan orang-orang sudah bergerombol- gerombol meneriakkan ...
nama Sara sambil memukul tampah dan cangkul. Mereka nampak dari titik-titik cahaya senter dan obor yang terpencar di sana-sini.

Bayu ikut meneriakkan nama adiknya. Air matanya sudah beruraian. Perasaan hampa itu kembali muncul. Dia tak akan melihat lagi adiknya.
Dia ingat apa yang dilihatnya di lapangan pohon besar itu. Kehilangan. Itulah kehampaan terbesar. Kehilangan orang terkasih, keluarga yang disayangi.

Bayu menangis sambil terus meneriakkan nama adiknya. Di sekitarnya suara orang-orang yang meneriakkan nama yang sama di ...
tengah suara tampah dan cangkul. Sudah hampir setengah jam Bayu mencari dan berpindah-pindah rombongan dari rombongan satu ke yang lain. Hingga dia bertemu dengan Ayah, Paklik, seorang Pakdhenya, dan Pak Simon.
Ayahnya berujar, “Kalau tidak ketemu di sini kita cari di danau kawah.”

“Mlakua ngetan ngidul (berjalanlah ke timur ke selatan)” Suara perempuan. Datang seperti terbawa angin. Bayu melihat sekeliling tak ada siapa pun. Tapi Bayu kenal suara itu.
“Ke timur lalu ke selatan.” Ujar Bayu. Semua menatapnya.

“Punden atas, Mas Jaya!” Teriak Pakliknya. “Tempat kita tanem sajen yang kedua.”

Rombongan itu berbekal senter berlari ke punden atas. Menerobos orang-orang yang bergerilya dengan tampah dan cangkul.
Mereka tak peduli napas mereka sudah ngos-ngosan. Ayah menarik Pak Simon ketika sudah nampak kelelahan.

Di sebelah batu punden yang terbungkus kain hitam itu, terbaringlah gadis itu. Sara meringkuk seperti anak burung yang ditinggalkan induknya. Tubuhnya dingin.
Ayah berusaha mengecek napasnya dan nadi di lehernya. Ayah mengangguk kepada yang lain.

“Syukurlah!” Teriakan serempak muncul dari Pak Simon dan Paklik.

Sara dibawa turun. Paklik dan Pakdhe meneriakkan di sepanjang perjalanan pulang, “Sudah ketemu!”
Orang-orang yang mendengarkan bergabung dengan rombongan itu. Meneriakkan teriakan yang sama supaya orang-orang kembali.

Rombongan besar berhenti di depan rumah kakek. Sara ditidurkan di kursi ruang tamu. Orang-orang diminta keluar ketika mama mengecek apakah ada memar ...
melintang di dadanya. Mama keluar dan menggeleng kepada ayah. Orang-orang bersyukur tak alang kepalang. Suara ribut berganti dengan tawa satu dengan yang lain. Guyonan menyebar. Rumah Kakek masih penuh dengan orang, laki-laki dan perempuan. Ribut seperti orang punya gawe.
Bayu duduk di sebelah adiknya, “Mama istirahat dulu. Nanti kalau Sara bangun mama aku bangunin.” Mamanya mengambil posisi rebah di sofa sebelah Sara. Ditemani suara ayah dan orang-orang yang masih ramai di luar. Bayu bersyukur segala cerita ini berakhir membahagiakan...
tanpa perlu kehadiran rasa terluka dan kehilangan yang menghampakan. Kasih itu menyelamatkan semuanya.

Hampir satu jam. Ramai orang masih belum berkurang. Hanya satu dua yang memilih untuk pulang karena kantuk. Selebihnya merasakan yang serupa dirasakan Bayu.
Sekalipun tontonan tak berakhir sukses dan yang terjadi justru kekacauan besar. Hal tersebut justru menjadi bahan guyonan mereka malam itu. Puat malam itu adalah bagaimana mereka bersama sebagai sebuah kelompok berhasil menyelamatkan kakak beradik. Mereka berhasil menunjukkan ...
bahwa selama ada cinta, harapan selalu ada.

Jangan pernah menyerah dengan harapan. Kadang orang hanya tidak mengetahui gambaran utuh yang ditayangkan oleh kehidupan. Karena itu mereka menyerah dan menyesali nasib. Ketika gambaran itu genap, yang tergambar adalah harapan.
Bayu bahagia. Hari ini utuh sempurna.

Sara terbangun. Dia menatap mamanya yang tertidur, dan melihat kepada kakaknya. Bayu mendekat kepada adiknya. Tersenyum sumringah. Namun sebaliknyam Sara justru membik-membik menangis. Kalimat pertama yang diucapkannya, “Bulik, Mas...”

---
Bayu selalu akan ingat malam itu. Buliknya dicari. Sampai ke daerah hutan atas. Beberapa hari mereka berputar-putar di kawasan danau kawah dan sekitarnya. Tak ada bekas.

Setiap kali datang ke rumah kakeknya, selalu ada yang hilang. Orang yang memasakkan sayur kelor dan sambal..
korek. Lalu ingatan-ingatan itu kembali membayang. Wajahnya yang bulat. Kerudung hitamnya. Termasuk teriakan-teriakannya di hutan.

Yang terpukul paling keras tentu adalah Paklik. Setiap kali datang kembali ke desa P, Pakliknya masih mengatakan, "Sampeyan momong anak ...
dhewean, dhik. Gak eling karo bojone (Kamu momong anak sendiri, dik. Tidak ingat dengan suaminya).

Cerita yang beredar di P setelah sekian lama menjadi beragam memang. Ada yang mengatakan Buliknya momong anaknya Buaya putih bersama Nyai Cempaka Rani. Ada juga yang mengatakan...
bahwa malam itu bulik minggat, karena sebenarnya tidak kerasan di P. Bahkan ada yang mengatkaan pernah melihat bulik di Banten dan menikal lagi dengan pria lain di sana. Mana yang benar tak ada yang tahu. Ada yang mengatakan meninggal terjatuh di salah satu jurang ketika mencari
Sara. Mana cerita yang benar, nyatanya sampai hari ini tidak ada yang tahu.

Bayu baru menyadari hal ini ketika bercerita. Dia dulu selalu menggap suara berjalanlah ke timur ke selatan itu suara Nyai Cempaka Rani. Rasanya bukan. Itu suara Bulik.

SELESAI
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Gui Ernald

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!