, 37 tweets, 6 min read
My Authors
Read all threads
Runtuhnya Kesombongan Sang Gubernur
-utas-

Anda ingin tahu kenapa kita "sedikit pantas" untuk menyalahkan gubernur DKI jika ada banjir di Jakarta? Semua itu karena ucapan beliau sendiri. Berikut saya coba rangkai penyebabnya.
Saya sebenarnya malas menuliskan ini karena bagi saya banjir adalah musibah yang tak perlu dicari siapa yang salah. Namun, saya juga tidak suka saat para buzzer gubernur selalu pamer tentang banjir di kota lain.
Terutama Surabaya. Entah kenapa buzzer Anies suka sekali jika ada kabar Surabaya banjir. Bahkan kalau di WAG, mereka pakai metode sok peduli sok konfirmasi, "Surabaya banjir, ya?" Habis itu posting video-video banjir Surabaya.

Cepat sebarkan video banjir Surabaya, keburu surut!
Kenapa di banjir Jabodetabek awal tahun lalu, publik hanya menyalahkan gubernur DKI, bukan gubernur Jabar dan Banten? Ya semua karena ucapan Pak Anies sendiri sebagai gubernur DKI.
Kalimat pertama: "Banjir bukan bencana alam, tapi manajemen air."

Kalimat tersebut memperlihatkan kesombongan yang luar biasa. Seakan-akan dengan kemampuan manajemen dia senagai gubernur, dia pasti bisa menghindari banjir. Itu kan cuma mengatur jumlah air datang dan keluar.
Tapi, saat banjir besar melanda Jakarta, dia baru mengeluhkan bahwa curah hujan tidak bisa dia kendalikan, ini cuaca ekstrim seluruh Indonesia, bla-bla-bla....
Sadarlah, banjir itu ya memang bencana alam. Kita hanya bisa berusaha untuk meminimalisasi. Mengurangi risiko banjir. Namun, bukan berarti kita bisa sombong terhadap kebesaran alam.
Kalimat kedua: tentang pendapat bahwa membuat gorong-gorong raksasa itu dianggap salah. Melawan Sunnatullah.
Jakarta itu sudah jelas merupakan wilayah pesisir yang akan dilewati air dari daerah yang lebih tinggi. Kalau sadar manajemen air, menciptakan jalur raksasa khusus air tentu sangat bijak dibanding menyalahkan daerah di atasnya.
Yang terjadi, Anies menyalahkan wilayah atasnya agar membuat waduk dan lain-lain. Oke, waduk memang perlu, tapi itu bukan bagian dari wewenang yang bisa diambil sama gubernur DKI. Menciptakan jalur air (gorong-gorong) yaitu dengan normalisasi sungai jelas merupakan langkah nyata.
Itulah kenapa Jokowi dulu bilang bahwa dengan jadi presiden, dia akan lebih mudah mengurangi risiko banjir Jakarta, karena dengan jadi presiden, dia bisa menekan gubernur lain agar mengurangi air yang ke Jakarta dengan waduk dll. Dan itu sudah dikerjakan.
Namun, meski daerah atas sudah dibenahi, normalisasi sungai di Jakarta, ya harusnya juga dilanjutkan. Masalahnya, kesombongan ahli manajemen itu membuat normalisasi dianggap tidak penting dan tidak dilanjutkan. Tentu fatal akibatnya.
Kalimat ketiga: "Bukan normalisasi tapi naturalisasi."

Kalimat di atas diucapkan dengan penuh retorika. Duh!

Kalau sungai sudah normal, baru..., silakan bicara naturalisasi. Memangnya apa langkah pertama untuk mewujudkan naturalisasi? Ya normalisasi, itu langkah pertamanya.
Kalimat keempat: "Air hujan harus ditangkap dan dimasukkan ke dalam tanah oleh setiap rumah."

Saya setuju setiap rumah atau gedung punya resapan air sehingga air tanah kembali terisi. Namun bukan berarti sampai air hujan pun harus diresapkan ke tanah semua.
Coba Anda pikir saja, mana mungkin saat hujan deras, setiap bangunan bisa menampung dan meresapkan air hujan ke tanahnya. Tak masuk akal. Ya pasti harus ada yang dibuang keluar, itulah gunanya selokan dan sungai.
Yang wajib buat resapan air adalah untuk air domestik. Air mandi, cuci, dll. Itu harus diresapkan ke tanah. Dan harusnya memang dibuat perda untuk ini. Bangunan vertikal pun harus punya resapan super besar untuk pemakaian air domestik, entah di halaman parkir atau di tamannya.
Pokoknya, untuk air rumah tangga, tidak boleh dibuang keluar. Itu baru masuk akal dan seharusnya diterapkan secara nasional. Tapi air hujan, ya disalurkan ke selokan!
Kalimat kelima: "Banjir yang kemarin itu, bukan apa-apanya dibanding banjir yang pernah dialami pak Basuki."

Kalimat di atas diucapkan Pak Anies setelah banjir di awal Desember 2019. Baru banjir kecil. Setelah bicara seperti itu, Jakarta langsung diberi banjir besar akhir tahun.
Bahkan mantan gubernur DKI Pak Sutiyoso berkomentar di TV tentang parahnya banjir Jakarta awal 2020 itu, "Tetapi dasar nasibnya si Anies, ini mbahnya parah kalau ini. Ini terlalu ekstrim. Dulu saya itu nggak ada sampai mobil hanyut kayak yang saya lihat ini."
Jadi sekali lagi, kesombongan bahwa banjir di erah Ahok lebih besar, ya langsung dibalas oleh alam.

Apa setelah banjir besar itu masih ada kalimat bernada sombong lagi? Ada kutipan di di judul berita detikcom tanggal 9 Januari 2020 yang memgatakan:
Kalimat keenam: "Alhamdulillah bundaran HI tak ketutup."

Kalimat seperti itu adalah kalimat pembenaran dengan cara mencari kesalahan orang lain. Dan celakanya, kalimat sombong itu lalu dibalas dengan tergenangnya wilayah Monas.
Sudahlah, jangan cari kesalahan orang lain untuk membela diri. Jangan mengumbar banjir Surabaya hanya untuk tunjukkan bahwa banjir di Jakarta itu "tidak apa-apa".

Banjir memang tidak apa-apa. Banjir itu memang bencana alam. Makanya nggak usah bilang macem-macem.
Pak Anies, mari berhenti memberi pernyataan yang bernada ujub, takabur dan merasa sudah banyak berbuat. Ingatlah pesan Aa Gym.
Eh, kalau mengenai buzzer yang suka menyerang Surabaya mungkin wajar ya. Kan isunya Risma bakal ditandingkan ke Jakarta tahun 2022 nanti. Wajar kalau Risma harus diserang sejak sekarang.
Tolong diingat, saya sebenarnya malas menulis ini. Tapi buzzer Anies yang memaksa saya untuk menulis ini.
Tapi misal Anda tanya ke saya apakah saya dukung Riska ke Jakarta, saya akan jawab tidak. Risma baik, tapi belum tentu mampu. Saya sih tetap berpendapat kalau gubernur Jakarta itu levelnya harus setangguh Ahok. Dan masih sulit cari yang seperti dia.
Typo: Riska, harusnya Risma...
Jadi, jika berbicara banjir di kota lain itu, tak bisa diberi bumbu kritikan karena banjir adalah bencana alam.

Sedangkan mengkritisi banjir Jakarta itu sangat layak karena itu hanyalah masalah manajemen air dan kembali ke ucapan Pak Gubernur itu sendiri.
Oh ya, ada yang menyarankan saya untuk menyertakan sumber video yang saya kutip di tulisan ini. Berikut ini saya sertakan. Meski video yang saya temukan sudah diedit netizen. Semoga tetap bisa diambil poinnya.

Tentang banjir bukan bencana alam tapi manajemen volume air.
Air harus dimasukkan ke tanah, bukan dialirkan pakai gorong-gorong raksasa ke laut.
Tentang pilihan naturalisasi, bukan normalisasi.
Tentang air hujan yang tak boleh keluar halaman rumah.
Tentang banjir awal Desember 2019 yang bukan apa-apanya dibanding jaman Ahok.
Pendapat pak Sutiyoso tentang parahnya banjir awal tahun.
Untuk pernyataan terakhir, seperti yang sudah saya sampaikan, itu saya kutip dari judul berita di Detikcom. Berikut tangkapan layarnya.
Demikian sumber-sumber yang saya pakai dalam tulisan ini sudah saya sertakan. Mungkin tidak 100% kutipannya tepat, tapi insya Allah tidak melenceng dari maksudnya.
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Hasyim Muhammad

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!