> Impian Pupus Sang Pengantin<

Sebuah cerita tentang macam2 aja, deh. Eksekusinya nanti aja, ya.

Lagi disuruh ngasuh sama bini...

#CeritaHororTwitter @ceritaht #ceritahoror @IDN_Horor @horrornesia @WdhHoror17 Image
November 1965

Sore itu di suatu rumah berbilik bambu di sebuah desa yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Rumah yang teduh karena terletak berdekatan dengan rerumpunan bambu yang rindang.

Isah, si gadis putri Pak Ramidjan dan Bu Surtini, sedang di kamarnya bersama ibundanya.
Gadis tersebut sedang disisiri sang ibunda sembari berkeluh kesah mengenai hari pernikahannya yang seminggu lagi akan digelar.

"Bu, Isah merasa tidak percaya diri. Pernikahan ini bagiku terlalu mendadak. Padahal baru kemarin dia datang melamar, tahu-tahu seminggu lagi," ucap
Isah seolah mengungkap keresahannya.

"Lho, pengennya nak Ramlan memang begitu, nduk. Kamu ojo kuatir, nak Ramlan ora bakal kecewain kamu," tukas Bu Surtini lembut.

Isah menatap lekat-lekat bayangan dirinya di cermin. Ia menghela nafas saat teringat pada pemuda satu kampungnya
itu. Pemuda itu yang sangat berharap dapat meminangnya.

Sayangnya pemuda itu keduluan Ramlan yang merupakan seorang pengusaha pengepul sabut kelapa dari Cirebon. Kini pemuda itu seolah menghilang pasca mengetahui sang gadis impiannya dilamar laki-laki lain dan lamarannya
mendapat lampu hijau baik dari orangtuanya maupun gadis itu.

"Bu, aku merasa nggak enak lho sama mas Budi. Padahal dia orangnya baik banget," tutur Isah disambut senyuman sang ibu.

"Baik saja tidak cukup, nduk. Baik tapi pengangguran yok kamu nanti mau dia kasih makan apa,"
kata Bu Surtini.

"Iya sih, bu. Tapi tetap saja aku merasa tidak enak sama dia," kata Isah sembari mengambil kotak berwarna merah di hadapannya.

"Doakan saja nak Budi segera mendapatkan calon yang cocok. Tidak perlu mengkhawatirkannya. Dia pasti tahu harus bagaimana," ucap Bu
Surtini.

Isah mengangguk, kemudian menatap cincin yang berada di dalam kotak merah tersebut. Sebuah cincin emas bermatakan berlian yang berkilau.

Malam menjelang di suatu lahan pemakaman umum. Seorang pemuda berkemeja warna biru dan celana jeans sobek, terlihat sedang
berlutut di depan sebuah makam dengan batu nisan yang telah kabur dimakan lumut.

Pemuda tersebut kedua matanya terlihat berkaca-kaca. "Mbok, ke mana lagi aku harus berkeluh kesah? Dirimu kini sudah tiada. Sedangkan aku telah berusaha menjalani hidup yang berat ini," ucapnya.
"Gadis yang kusayang dan kuimpikan sebentar lagi menjadi istri orang. Ke mana lagi harus kusangkutkan hidupku yang malang ini?"

Pemuda tersebut rupanya adalah Budi yang sebelumnya menjadi bahan curhatan Isah di hadapan ibundanya.

Budi yang telah mendengar kabar bahwa Isah akan
segera melangsungkan pesta pernikahannya, hanya bisa menangis bersedih, hingga bersimpuh di hadapan makam almarhumah neneknya.

Budi adalah seorang pemuda yang sedari kecil telah yatim piatu. Kedua orangtuanya telah lama tiada. Ketika kecil, neneknyalah yang membesarkannya.
Hingga ia berumur 12 tahun, nenek yang telah membesarkannya, berpulang ke Rahmatullah. Otomatis Budi hidup sebatang kara tanpa keluarga.

Kini malam semakin larut, Budi belum juga meninggalkan makam neneknya. Ia masih bersimpuh di sana seolah berharap bahwa neneknya akan bangkit
Mendadak Budi mencium bau amis seperti dari daging mentah. Bau tersebut semakin kuat saja, membuatnya menutup hidung.

Budi celingukan ke segala arah. Bau amis semakin menyengat membuat perutnya terasa mual.

Saat ia hendak muntah, terdengar suara cekikikan melengking yang
semakin lama semakin mendekat.

Sembari menahan mual, Budi menatap ke arah sumber suara. Tidak ada apa-apa. Hanya gelap yang terlihat.

Saat memutarkan pandangan, 'bammm', sesosok perempuan berambut panjang sepinggul, berpakaian gombrong warna merah dekil, sedang melotot ke
arah Budi.

Itu adalah Kuntilanak Merah, yang merupakan satu yang terlangka dari jenisnya.

"Aaaaaaa........!" Terdengar jeritan Budi yang bergema di malam yang kelam itu.
Keesokan harinya, warga setempat geger saat menemukan Budi tersangkut dalam keadaan tidak sadarkan diri di sebatang pohon di tebing seberang lahan pemakaman yang mengarah langsung ke sungai di bawahnya.

Selanjutnya warga membawa Budi ke puskesmas tidak jauh dari lokasi.
Beberapa orang warga yang sedang menunggu di ruang tunggu puskesmas, berbincang-bincang tentang pemuda yang mereka temukan di tebing jurang itu.

"Saya melihatnya selepas maghrib menuju ke lahan pemakaman. Saya heran, mau ngapain dia jam segitu ke pekuburan," ujar salah seorang
warga.

"Pak Husen melihatnya?" tukas warga yang lain.

"Iya, tapi saya melihatnya dari kejauhan dan saya sedang terburu-buru karena ada tamu di rumah. Tidak tahunya anak itu paginya pingsan, tersangkut di pohon pinggir jurang," kata Pak Husen.

"Pak Anwar, sepertinya dia
sudah siuman."

Pak Anwar memperdengarkan percakapan antara dokter dengan pasien yang adalah Budi.

Terdengar percakapan mereka yang dirasanya tidak biasa.

"Anda baik-baik saja, nak?" ujar dokter.

Hening sejenak. Kemudian Budi berucap.

"Saya melihatnya, dia sangat cantik.
Hahahhahaiaiaiyaha." Kata-kata Budi yang dilanjutkannya dengan tetawa aneh membuat semua orang terkejut.

"Kenapa orang itu, ya?" ucap salah seorang pengunjung puskesmas.

"Dia bukannya pasien yang tadi pagi ditemukan di pinggir jurang?"

"Aneh sekali ya. Apa dia gila?"
Terdengar kembali dokter berbicara.

"Nak Budi, apa yang sebenarnya telah terjadi? Kenapa kamu bisa ada di tebing jurang?"

Budi menjawab melantur.

"Saya melihat dia mengedipkan matanya kepada saya. Dia sangat cantik. Saya ingin menikah dengannya. Saya ingin ikut dengannya!
Yihahahhayyiaiyaya."

Perkataan Budi dilanjutkan dengan bentakannya yang membuat siapapun merasa ciut.

Dari dialognya telah diketahui bahwa Budi rupanya mengalami gangguan kejiwaan setelah ia diganggu makhluk mistis yang jarang diketahui orang yaitu Kuntilanak Merah.
Kuntilanak Merah diketahui jarang sekali menampakkan diri. Makhluk mistis berwujud perempuan berambut panjang berpakaian serba merah dengan wajahnya yang menakutkan itu konon hanya muncul di area pekuburan saja. Tidak seperti kuntilanak biasa yang bisa ada di mana sana.
Ralat : di mana saja#

Kuntilanak tersebut konon bukan hanya menakuti tetapi juga bisa mencelakakan hingga ke kematian.

Namun untuk kasus Budi, kuntilanak tersebut tidak sampai membuatnya terbunuh. Namun, karena serangannya, Budi kini mengalami gangguan jiwa.

Sementara warga
desa memutuskan untuk mengurung Budi di dalam kerangkeng karena ia sering mengamuk, bahkan melukai seorang anak kecil dengan membantingnya ke tanah.

Alasan warga tidak membawanya ke rumah sakit jiwa adalah karena jauhnya lokasi dan sulitnya akses jalan.
Mungkin dengan cara dikerangkeng, Budi akan sembuh dengan sendirinya, dan itu adalah harapan yang mustahil terwujud.

Warga juga pernah meminta bantuan orang pintar yang dalam hal ini adalah dukun.

"Pemuda ini diganggu Kuntilanak Merah. Jiwanya kini telah menjadi milik demit
kuburan itu." Mbah Dukun berucap dengan kedua matanya terpejam di hadapan Budi yang terpasung.

"Lalu apa yang harus kami lakukan, mbah?" tanya Pak Anwar.

"Bapak atau ibunya harus melakukan ritual tabur bunga kemboja di kuburan seseorang yang arwahnya menjadi Kuntilanak Merah.
Ritual itu harus dilakukan di malam Jumat Kliwon sembari menyembelih seekor ayam cemani. Paginya ritual dilanjutkan dengan melakukan buang air besar di setiap sudut ruangan di mana anak ini dipasung." Panjang lebar Mbah Dukun menyampaikan tata cara ritual.
Pak Anwar dan Pak Husen saling pandang sambil mengangkat bahu.

Mereka berdua tidak mau mengikuti anjuran Mbah Dukun. Mereka pun merasa menyesal karena telah memanggilnya.

"Seharusnya saya tidak mengikuti saran mbok Tumini. Katanya tabib, nggak taunya dukun sesat!" gerutu
Pak Husen.

"Mungkin kita seharusnya memanggil Pak Kiyai Adhar. Mudah-mudahan beliau bisa membantu," ujar Pak Anwar.

"Kamu yakin? Bukannya Kiyai Adhar mudah kerasukan?" tanya Pak Husen.

Pak Anwar tampak tercenung, "Iya, sih. Tapi siapa lagi yang mampu menolong anak ini?"
Singkat cerita, Pak Husen dan Pak Anwar mendatangkan Kiyai Adhar ke rumah di mana Budi dikurung.

Rumah tersebut sejatinya memang rumah Budi yang merupakan peninggalan mendiang neneknya.

Pak Adhar terkesiap saat melihat kondisi Budi yang memprihatinkan. Ia berkali-kali
mengucap istigfar.

"Karena hantu dia menjadi begini?" ujar Pak Adhar.

"Entahlah, Pak Kiyai. Kalau menurut penerawangan dukun sih begitu," tukas Pak Anwar.

Pak Adhar kembali beristigfar, "Percaya dengan dukun itu musyrik, pak. Percayalah hanya kepada Allah, Tuhan penguasa
seluruh alam semesta. Banyak orang beriman, berilmu, berakal sehat. Kenapa malah meminta tolong dukun!"

Pak Adhar tampaknya marah setelah mendengar penuturan Pak Anwar. Ia berkali-kali mengucap istigfar setelah itu.

"Maafkan kami, pak. Kami hanya mengikuti saran dari tetua,"
tukas Pak Husen sembari menatap antara merasa ngeri dan lucu ke arah Pak Adhar.

"Saran dari tetua desa ini? Saran dari Bu Tumini? Ada-ada saja di desa ini. Dukun beranak kok dijadikan tetua? Apa tidak ada laki-laki yang pantas untuk menjadi tetua di desa ini?" kata Pak Adhar
masih dengan nada agak sewot.

"Mbok Tumini hanya meneruskan tampuk kepemimpinan almarhum Mbah Saridan, suaminya. Lagipula kami belum sempat mengadakan musyawarah tingkat desa untuk menunjuk tetua desa, pak," tukas Pak Husen.

"Ya sudah, saya pusing mendengarnya. Lebih baik
saya mulai prosesi pengobatannya. Apapun penyebabnya pasti tidak jauh dari beban pikiran," kata Pak Adhar kemudian mulai membaca kalimat-kalimat untuk menyadarkan Budi dari pengaruh jin.

Waktu berlalu, setelah selesai, Pak Adhar pun pulang. Segala prosesi yang dilakukannya ia
anggap telah berhasil menyembuhkan Budi.

Namun, bukti bahwa Budi telah sembuh belum terlihat karena pemuda itu saat ini dalam keadaan tertidur.

Kita tinggalkan dulu Budi bersama dua orang warga yang getol berusaha menyembuhkannya.

Seminggu telah berlalu, pesta pernikahan
Isah dan Ramlan pun digelar di kediaman mempelai wanita. Entah hari itu dibilang hari bahagia atau bukan, yang jelas Isah selalu terpikirkan Budi. Apalagi setelah ia tahu bahwa pemuda itu kini dalam kondisi tidak waras.

Dalam hati, Isah merasa bersalah karena memilih menikah
dengan orang lain. Namun ia harus melakukannya jika tidak ingin dianggap anak pembangkang.

Selama di kursi pelaminan, Isah tidak berhenti termenung. Ia sering dikagetkan tamu undangan yang naik untuk menyalaminya dan memberi ucapan selamat.

"Kamu itu kenapa, nduk? Ono opo?
Cerita sama aku," ucap Ramlan perlahan. Rupanya ia mengetahui gelagat Isah yang terlihat sering sekali termenung.

"Rapopo, mas. Ra ono seng aku pikirno. Mas ojo kuatir," jawab Isah sembari tersenyum berusaha menyembunyikan wajah muramnya.

Ramlan membalas senyuman Isah.
Ia merasa sedikit lega dengan jawaban Isah.

Saat sore menjelang, selesai sudah acara resepsi pernikahan. Saat malam tiba, tibalah saatnya pasangan pengantin baru tersebut memasuki kamar.

Karena mereka berdua tidak pacaran sebelumnya, untuk berdua dalam satu kamar dirasanya
begitu canggung.

Baik Isah dan Ramlan hanya bisa saling memunggungi di atas tempat tidur.

Cukup lama mereka seperti itu hingga Ramlan memberanikan diri untuk menyentuh jari-jemari istrinya tersebut.

Tiba-tiba....

"Aaahhhhh, siapa kamu!"
Itu adalah teriakan Ramlan yang merasa kaget saat mendapati sesosok nenek-nenek yang berbaring bersamanya.

"Kamu yang siapa!" balas nenek-nenek tersebut sambil bangkit kemudian menjauh dari sosok kakek-kakek di hadapannya.

Akhirnya kakek-kakek dan nenek-nenek tersebut saling
melototi karena terkejut, sangat-sangat terkejut.

Padahal beberapa saat yang lalu mereka berdua adalah pasangan baru menikah yaitu Isah dan Ramlan.

Kenapa mereka berdua sekarang menjadi kakek-kakek dan nenek-nenek? Apa yang telah terjadi pada mereka berdua?
Rupanya keributan antara mereka berdua terdengar oleh kedua orangtua Isah dan adik laki-lakinya.

"Ono opo, nduk? Nak Ramlan, ono opo?" seru Bu Surtini sembari berlari ke arah pintu kamar Isah dan Ramlan.

Adik laki-laki Isah bernama Rizal juga turut menghampiri kamar Isah
dan Ramlan kemudian menggedor-gedornya.

"Kak Isah, Kak Ramlan, buka pintunya. Ada apa sebenarnya?" seru Rizal lantang.

Sementara di dalam kamar, Isah dan Ramlan tampak syok berat. Mereka berdua duduk di atas ranjang sembari mengusap wajahnya berkali-kali.

Tak lama kemudian.
Pak Ramidjan menatap bergantian ke arah Ramlan dan Isah. Ia merasa heran dengan apa yang telah dialami putri dan mantunya tersebut.

"Jadi kalian melihat masing-masing dari kalian menjadi berwajah tua seperti nenek-nenek atau kakek-kakek?" ujarnya sambil membetulkan letak peci.
"Iya, bapak. Saya melihat mas Ramlan berubah menjadi seperti kakek-kakek dan mas Ramlan pun sebaliknya melihat saya menjadi seperti nenek-nenek." Isah menatap ke arah ayahnya dengan raut wajah tegang dan penuh ketakutan.

Ramlan tampak menunduk. Ia rupanya masih merasa syok
setelah hal buruk yang dialaminya di malam pertamanya dengan sang istri.

"Saya heran, pak. Kenapa ini bisa terjadi? Apakah ada seseorang yang menaruh dendam pada Isah? Saya pribadi tidak merasa memiliki musuh ataupun orang yang pernah saya sakiti," tutur Ramlan.
Pak Ramidjan menghela nafas. Ia mencoba mengingat kembali kejadian masa lalu entah itu terkait dirinya maupun putrinya.

"Bapak tidak berhasil mengingatnya. Bapak yakin putri bapak tidak pernah memiliki masalah dengan siapapun. Ya sudah, sebaiknya kalian beristirahat. Apapun
yang terjadi, teriak saja. Panggil bapak atau ibu." Pak Ramidjan menyudahi pertemuan mendadaknya tersebut.

Selanjutnya seluruh penghuni rumah kembali ke kamar masing-masing.

Sementara Ramlan dan Isah masih merasa waswas, takut kejadian serupa terulang lagi.
Di malam yang sama di rumah Budi, Pak Anwar datang sembari membawa sebuah bakul nasi kecil lengkap dengan isinya.

Ia memasuki rumah tersebut kemudian terbelalak saat melihat kurungan Budi dalam keadaan terbuka dan pengisinya tidak ada di sana.

"Budi kabur? Ini tidak bisa
dibiarkan. Dia akan melukai orang-orang jika terlepas begini. Aku harus menemukannya dan membawanya kembali," ucap Pak Anwar sembari menaruh bakul nasinya.

Selanjutnya dengan diterangi lampu obor, ia menyusuri seisi rumah kemudian keluar setelah yang dicarinya tidak ditemukan.
Pak Anwar seorang diri menelusuri jalan perkampungan di tengah malam gelap gulita. Ia terus melangkah kemudian berhenti di depan rumah Pak Ramidjan yang tadi siang mengadakan pesta pernikahan putrinya.

Ia mengerutkan kening saat melihat suatu siluet warna merah mengapung di
atas rumah tersebut.

Siluet tersebut kemudian menghilang.

Meski hati diliputi tanda tanya, Pak Anwar meninggalkan pelataran rumah Pak Ramidjan. Selanjutnya ia melangkah semakin jauh hingga mencapai suatu area yang sangat menyeramkan yaitu lahan pemakaman.

Ia menyoroti area
tersebut. Ia berpikir jika Budi akan kembali ke area pemakaman di mana sebelumnya pemuda tersebut ditemukan di pinggir jurang seberang area itu.

Pak Anwar menyusur jalan yang berada di antara bibir jurang dan pekuburan tersebut. Ia menyoroti setiap jengkal area tersebut.
Tak lama kemudian ia menemukan apa yang dicarinya. Rupanya benar Budi berada di sana, tepatnya di kuburan mendiang neneknya.

Pemuda kurang waras tersebut terlihat sedang duduk di atas batu nisan kuburan. Tentu saja ia melakukannya karena ketidakwarasannya.

"Ah, kau di sini
rupanya. Ayo pulang, nak Budi. Jangan terlalu jauh dari rumah. Bahaya, lho," ucap Pak Anwar seraya menghampiri Budi.

Pemuda itu tidak menyahut. Wajahnya tertunduk seolah sedang menatapi kuburan neneknya. Terus menunduk tanpa menghiraukan kata-kata Pak Anwar.

"Nak Budi, ayo
pulang. Ini sudah malam banget, lho. Jangan keluyuran ke kuburan malam-malam begini. Bahaya." Pak Anwar mendekati Budi dan tanpa ragu menyentuh pundaknya.

Tiba-tiba Budi mengangkat muka, menatap garang ke arah Pak Anwar disertai kedua tangannya melayang kemudian mencekik leher
Pak Anwar dengan kuatnya.

"Akkkkrrrkkk, lllepppassskkann ssayyya!" Pak Anwar berusaha berontak saat cekikan Budi semakin kuat saja. Ia bahkan sebentar lagi kehabisan nafas karena saking kuatnya cekikan Budi.

Di saat sedang mencekik Pak Anwar, sosok Budi mendadak berubah wujud
menjadi sosok Kuntilanak Merah yang mengeluarkan bau amis yang sangat menyengat. Sosok hantu perempuan tersebut juga cekikikan dengan suaranya yang menerobos masuk merobek gendang telinga Pak Anwar.

Lama sekali Kuntilanak Merah mencekik Pak Anwar hingga laki-laki malang itu
pun tewas dengan mata mendelik serta mulut ternganga penuh darah.

Tubuh Pak Anwar jatuh berdebum ke tanah bersama lampu obornya. Tubuh malangnya terbujur kaku di samping makam yang tidak bertuliskan nama di batu nisannya itu.
Keesokan harinya, seluruh warga desa dibuat gempar dengan meninggalnya Pak Anwar. Ditambah lagi meninggalnya secara tidak wajar dengan lokasi tempat yang juga tidak biasa.

"Kasihan, Pak Anwar. Dia yang selalu merawat pemuda itu bersama Pak Husen. Sekarang pemuda itu entah
ke mana," ujar seorang warga yang sedang menyaksikan proses evakuasi jasad Pak Anwar dari lokasi.

"Pak Husen tidak terlihat berada di sini. Ke mana dia gerangan?" kata warga yang lain menimpali.

Tak lama muncul Pak Ramidjan yang rumahnya memang tidak terlalu jauh dari lokasi.
"Saya semalam memang sempat mendengar suara langkah kaki. Tapi saya tidak mengeceknya karena waktu itu saya sedang memeriksa hasil ujian anak-anak," ucap Pak Ramidjan di hadapan para warga yang ada di sana.

Singkat cerita, warga desa bergotong-royong memakamkan jasad Pak Anwar.
Sembari di benak masing-masing masih bertanya-tanya seputar penyebab kematian Pak Anwar, mereka mengantarkannya ke peristirahatan terakhirnya.

"Pak Rudi, saya merasa agak bingung. Jika saya teliti dengan seksama, kedua telapak tangan Pak Anwar itu menempel di lehernya. Seolah-
olah ia mati karena mencekik dirinya sendiri. Tapi untuk apa dia melakukan itu?" ujar seorang warga di suatu malam di pos ronda.

Pak Rudi tampak mengerutkan kening. "Hmm, bisa jadi ia memang bunuh diri tapi bukan karena kemauannya melainkan karena ada sesuatu yang mendorongnya
untuk bunuh diri," tukasnya.

"Jelas sekali saya melihat bekas cekikan di lehernya seukuran telapak tangannya. Artinya Pak Anwar memang bunuh diri. Tapi dia melakukannya di kuburan mbok Darmi, neneknya Budi. Ini sangat mengherankan," kata warga bernama Pak Samiun.
"Secara kebetulan Pak Anwar adalah orang yang paling getol merawat Budi. Tapi kalau mbok Darmi yang membunuhnya ngapain juga, ya? Bukannya seharusnya ia berterimakasih karena cucunya telah dirawat oleh Pak Anwar."

Pak Samiun tiba-tiba melihat ke arah ujung jalan dari pos ronda.
Ia melihat seseorang berjalan tergopoh-gopoh. Semakin dekat semakin jelas jika orang tersebut adalah Pak Husen yang berjalan tanpa penerangan.

"Pak Husen?" ucap Pak Samiun seraya bangkit dari duduknya.

"Pak Husen dari mana saja? Kok baru kelihatan?" tanya Pak Rudi.
Pak Husen berhenti tepat di depan pos ronda. "Saya baru mendapat kabar bahwa Pak Anwar telah meninggal. Saya baru datang dari kecamatan, pak. Saya berjalan kaki dari sana selama dua hari semalam, dan sekarang baru sampai," jawabnya kemudian menghampiri kedua warga itu.
Beberapa lama kemudian, Pak Husen tampak mendengarkan penjelasan baik dari Pak Rudi maupun Pak Samiun.

Beberapa kali ia mengucap istigfar setelah mendengar penjelasan dua warga tersebut.

Masih di malam yang sama di rumah Pak Ramidjan. Kejadian serupa terulang lagi.
Saat hendak memulai aktivitas suami-istri, Isah dan Ramlan kembali diganggu oleh wajah keduanya yang berubah menjadi seperti kakek-kakek dan nenek-nenek.

Seperti sebelumnya mereka berteriak-teriak ketakutan hingga keluar dari kamar.

Hingga beberapa saat kemudian di ruang
tengah.

Pak Ramidjan mengurut kening sembari menatap ke arah putrinya.

"Nduk, ceritakan pada bapak dan suamimu soal Arjo. Bapak baru dengar tentang hubunganmu dengan laki-laki itu," ujar Pak Ramidjan membuat Isah terkejut.

Ramlan lantas menatap ke arah Isah dengan penuh
selidik. "Nduk, sopo meneh iku? Lanangmu seng liane?" tembaknya dengan nada tegang.

Isah terlihat ketakutan. Ia menghela nafas berkali-kali sembari terkadang menelan ludah. Keringat dingin mengucur di wajahnya hingga melunturkan kosmetiknya.

"Jawab, nduk. Kamu nduwe hubungan
opo karo wong lanang seng arane Arjo?" Ramlan semakin tidak sabar ketika melihat Isah malah membisu bahkan mematung.

"Sabar, mas Ramlan. Biarkan Isah jawab dulu," ucap Bu Surtini yang merasa seolah semua orang di ruangan tersebut sedang memojokkan putrinya.
"Baik, bu. Nduk, jawab pertanyaanku karo bapak. Aku nggak akan marah apapun yang kamu akan ceritakan," tukas Ramlan memelankan intonasi suaranya.

Isah menghela nafas beberapa kali hingga kemudian ia berbicara.

"Aku dulu sama mas Arjo pernah berpacaran. Kami bahkan sempat
saling setuju untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Namun, kejadian itu membuat saya memutuskan untuk meninggalkan mas Arjo. Agar saya terhindar dari dia, maka saya setuju untuk menikah dengan mas Ramlan." Isah berhenti berbicara sejenak.

"Kejadian apa?" tanya Rizal
yang turut berada di sana.

"Mas Arjo mengkhianatiku. Dia selingkuh bahkan berbuat mesum dengan perempuan lain. Setelah itu dengan entengnya dia meminta maaf setelah saya tahu perbuatannya. Tentu saja saya tidak mau memaafkannya. Saya tinggalkan dia. Saya pun menikah dengan mas
Ramlan dengan harapan mas Arjo tidak lagi mengejar-ngejar saya," tutur Isah seraya terisak saat mengingat masa lalu yang menyesakkan dadanya tersebut.

"Begitu rupanya. Kenapa kamu tidak pernah cerita, nduk bahwa Arjo itu pernah menjadi pasangan harammu?" tukas Pak Ramidjan.
Isah hanya menunduk, tidak berkata-kata lagi.

"Besok bapak akan mengundang Pak Adhar kemari. Semoga saja beliau bisa membantu kita. Bukan tidak mungkin apa yang kalian alami adalah karena ulah jahil orang yang dendam sama kamu, nduk," kata Pak Ramidjan.
Keesokan harinya, tepat pada pukul sembilan, Pak Adhar telah tiba di rumah Pak Ramidjan.

Di dalam rumah, ia tampak mengitarkan pandangannya sambil manggut-manggut.

"Rumah ini sudah berapa lama berdiri, pak?" ujarnya ke Pak Ramidjan.

"Dua puluh tahun yang lalu, pak.
Memangnya kenapa, pak? Apa ada hubungannya dengan apa yang anak dan mantu saya alami, pak?" tukas Pak Ramidjan sembari bertanya.

Pak Adhar menggeleng, "Bukan rumahnya tapi kuburan di bawahnya."

Sontak perkataan Pak Adhar membuat semua orang yang berada di sana terkejut.
"Apa? Di bawah rumah ini ada kuburan? Bagaimana mungkin, pak? Tanah ini saya beli dari warga sini juga. Awalnya di sini adalah perkebunan cengkeh, makanya ada cukup banyak pohon cengkeh di sini," tukas Pak Ramidjan dengan nada kaget.

"Iya, tanah ini memang bekas perkebunan
cengkeh. Tapi sebelum menjadi perkebunan cengkeh, di tanah ini pernah dikuburkan seorang perempuan muda yang konon meninggalnya karena diguna-guna. Saya pernah mendengar cerita itu dari almarhum paman saya," kata Pak Adhar menjelaskan.

"Lalu terkait gangguan yang selalu
mendatangi anak dan mantu saya? Apakah itu berhubungan dengan kuburan di bawah rumah? Juga apakah dengan pindah rumah, gangguan itu akan hilang?" tanya Pak Ramidjan beruntun.

"Satu-satu pak, pertanyaannya. Say jadi bingung harus menjawab yang mana dulu. Hehehe," tukas Pak adhar
Pak Ramidjan tampak menggaruk kepala, merasa tidak enak karena telah bertanya begitu banyak.

"Seharusnya kuburan ini tidak menimbulkan gangguan apapun. Lha, wong di dalamnya kan orang yang sudah meninggal. Mana bisa orang yang sudah meninggal gangguin orang yang masih hidup.
Tapi, ya, meskipun begitu, gangguan bisa saja muncul karena campur tangan pihak luar. Misalnya karena ada orang yang dengki atau sakit hati sama pengisi rumah ini. Maka adanya kuburan itu semakin memberi dia peluang untuk menjahati penghuni rumah," papar Pak Adhar panjang lebar.
"Gangguan itu juga tidak akan hilang meski seluruh penghuni rumah pindah tempat tinggal sejauh apapun jaraknya dari sini. Jadi, yang bisa kita lakukan adalah berusaha meminimalisir gangguan serta tidak lupa terus berdoa. Sebagai langkah awal saya akan membacakan ayat-ayat suci
Al-Qur'an hingga maghrib tiba. Kenapa hanya sampai maghrib? Karena saya harus mengajar ngaji anak-anak di pondok. Apalagi nanti malam saya juga ada janji dengan Pak Kiyai Junaidi," tambahnya.

"Terimakasih, Pak. Tidak apa-apa meski hanya sampai maghrib juga. Semoga gangguan ini
segera berakhir," tukas Pak Ramidjan.

"Pak Kiyai, saya mau tanya. Bagaimana kalau seandainya nanti malam adalah puncak dari gangguan itu? Soalnya kami sudah dua malam mengalami hal yang sama. Di malam yang ketiga mungkin akan sangat buruk. Bukan saya sok tahu tapi entah kenapa
firasat saya mengatakan itu," ujar Ramlan membuat semuanya menatap ke arahnya dengan heran.

"Saya juga merasa seperti melihat almarhumah ibu saya sedang menunggu saya di alam sana." Kata-kata Ramlan barusan sukses membuat semuanya terkejut.

"Mas, jangan berbicara seperti itu.
Jangan membuat saya, bapak, dan ibu jadi khawatir, mas," sergah Isah merasa ngeri dengan kata-kata Ramlan.

"Nak Ramlan, apapun yang akan terjadi. Suka tidak suka, mau tidak mau, jika itu memang yang harus terjadi, apa boleh buat. Terkadang yang baik tidak selalu menang," tukas
Pak Ramidjan membuat Isah dan Bu Surtini melihat ke arahnya dengan sengit.

"Bapak bicara apa, sih? Bisa-bisanya ngomong kayak begitu!" sergah Bu Surtini dengan kesal.

Pak Adhar tampak mengerutkan kening sesaat setelah mendengar kata-kata Pak Ramidjan.

"Saya akan mulai
pembacaan ayat sucinya. Terlebih dahulu saya akan berwudhu. Di mana kamar mandinya, pak, bu?" ujar Pak Adhar seraya bangkit dari duduknya.

"Ikut saya, pak," tukas Pak Ramidjan seraya beranjak menuju ruang belakang rumah.

Setelah selesai berwudhu, Pak Adhar mulai membaca ayat-
ayat suci Al-Qur'an. Tidak lupa Pak Ramidjan bersama seluruh anggota keluarga yang tidak berhalangan turut serta.

Waktu terus beranjak. Pagi beranjak siang, dan siang pun beranjak sore. Tidak terasa, pasca maghrib telah tiba.

Saatnya Pak Adhar untuk pulang. Sementara mengaji
dilanjutkan oleh keluarga hingga pukul sepuluh malam.

Setelah jam tersebut, seluruh keluarga kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat.

Malam itu, di dalam rumah terasa agak panas. Hal itu membuat seluruh penghuni rumah merasa kegerahan.
Karena panas, sebagian dari mereka memilih untuk kembali keluar dari kamar, termasuk Isah dan Ramlan. Mereka mencoba mengusir gerah dengan duduk di ruang tengah.

Tak lama terdengar Bu Surtini memanggil Isah dari dapur.

"Nduk, kerokin ibu sini. Ibu sedang tidak enak badan.
Sepertinya ibu sedang masuk angin."

"Njeh, bu," tukas Isah. "Mas Raman, maaf saya tinggal dulu. Nggak apa-apa, kan?" katanya ke Ramlan.

"Oh, silahkan, nduk. Nggak apa-apa, kok," tukas Ramlan mempersilahkan istrinya.

"Terimakasih, mas," ucap Isah seraya beranjak menuju dapur.
Ramlan menatap ke arah istrinya yang menghilang di balik pintu dapur. Ia kemudian menelentangkan badan di atas kursi tamu.

Selanjutnya ia bangkit kemudian menuju kamar. Di sana ia berbaring sendirian hingga pintu kamar dibuka dari luar. Rupanya Isah telah kembali setelah
selesai mengerok ibunya.

"Mas, belum mengantuk, ya?" ujar Isah seraya duduk di pangkuan Ramlan yang saat itu memang dalam posisi duduk di atas tempat tidur.

Ramlan agak terkejut ketika istrinya tersebut duduk di pangkuannya. Padahal biasanya Isah suka langsung duduk di tempat
tidur.

Meski begitu, Ramlan merasa senang karena akhirnya sang istri berinisiatif bermanis manja kepadanya. Ia merasa begitu bahagia karena sang istri juga berinisiatif membukakan bajunya.

Isah juga bahkan mendorong tubuh Ramlan ke atas kasur kemudian menindihnya.
Ramlan merasa begitu nyaman dengan sentuhan Isah. Karena nyamannya ia pun memejamkan kedua matanya.

Saat membuka kedua matanya, tiba-tiba Isah berubah wujud menjadi sesosok perempuan berpakaian serba merah dengan wajah yang sangat mengerikan.

Kedua matanya melotot besar,
mulutnya yang lebar menampakkan gigi-giginya yang kotor dan dipenuhi darah.

Bau amis tercium menyengat, suara cekikikan sang Kuntilanak Merah terasa menusuk gendang telinga Ramlan.

Sosok mengerikan tersebut juga mencekik leher Ramlan hingga ia tidak berkutik. Ia meronta-ronta
bahkan berteriak meski suaranya hampir tidak keluar.

"Aaaaaakkkkhhhh, tttooolllooong!!"

Suara teriakan putus-putus Ramlan serta suara benturan membuat semua penghuni rumah termasuk Isah yang ternyata masih berada di luar berhamburan ke arah kamar di mana Ramlan berada.
"Mas Ramlan, buka pintunya!" teriak Isah saat mendapati pintu kamar dalam kondisi terkunci.

"Nak Ramlan, bertahanlah. Bapak akan dobrak pintunya," seru Pak Ramidjan seraya mengambil linggis yang berada di dapur.

Pak Ramidjan kemudian mendobrak pintu kamar karena Ramlan tidak
kunjung membukanya.

Suara putus-putus Ramlan serta suara benturan perlahan berhenti disusul pintu yang berhasil dibuka paksa oleh Pak Ramidjan.

Setelah pintu terbuka, semua orang terperanjat kaget menyaksikan Ramlan terkapar di atas ranjang dengan kedua tangan mencekik leher
nya sendiri.

Laki-laki tersebut telah terbujur kaku, meninggalkan dunia untuk selamanya.

"Mas Ramlaaaaaan....!" Isah menjerit histeris kemudian menghambur ke arah jasad Ramlan, namun ditahan Pak Ramidjan.

"Jangan gegabah, nduk. Ini kasus kedua setelah Pak Anwar. Bapak telah
gagal menyelamatkan nak Ramlan. Ini benar-benar di luar kemampuan kita," ucap Pak Ramidjan terbata.

Isah dan Bu Surtini menangis tersedu-sedan di hadapan jasad Ramlan. Mereka tidak menyangka jika Ramlan meninggalkan mereka secepat itu.
Singkat cerita, jasad Ramlan pun dimakamkan di kampung halamannya di Cirebon. Keluarga Isah pun turut mengantar Ramlan ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Dengan perasaan berat hati, semua orang melepaskan jasad Ramlan yang terbungkus kain kafan ke dalam liang lahat.
Pak Adhar yang turut serta bersama keluarga Pak Ramidjan tampak menghampiri Isah yang sedang duduk bersimpuh di depan pusara Ramlan.

"Kehilangan memang sangat menyakitkan, nak. Namun dari situ kita bisa mengambil pelajaran berharga. Kehilangan merupakan suatu hal yang niscaya
akan kita alami. Setiap makhluk hidup pasti akan merasakan kehilangan. Bersabarlah karena itu merupakan salah satu ujian dari Allah SWT," ujar Pak Adhar.

Pak Ramidjan yang berada di sana berjongkok kemudian menatap ke arah putrinya.

"Berdoalah, nduk. Semoga pelakunya cepat
terungkap," ucapnya.

Waktu berlalu, setelah seminggu kemudian di kampung halaman Isah.

Pagi itu, Isah bersama ibundanya pergi ke pasar untuk membeli resiko dapur. Jarak dari desa ke pasar cukup jauh, dan mereka pergi dengan berjalan kaki saja karena tiadanya angkutan umum.
Saat berangkat, perjalanan lancar. Hingga pukul 12, mereka pun tiba di pasar.

Ketika pulang, karena jauhnya jarak, saat hari hampir maghrib, mereka baru tiba di suatu kebun setengah hutan. Apalagi ditambah Bu Surtini sempat terjatuh hingga pergelangan kakinya terkilir.
Di tengah kebun setengah hutan tersebut mendadak muncul seseorang menghadang langkah keduanya. Isah rupanya mengenal siapa orang tersebut ketika melihat wajahnya.

"Hai, Isah. Masih ingat denganku? Sudah lama sekali kita tidak berjumpa. Bagaimana pernikahanmu? Sudah bubar, kan?"
ujar laki-laki yang sangat mengenal Isah itu.

"Mas Arjo? Sedang apa mas Arjo di sini? Mas Arjo tahu soal suamiku?" tukas Isah sambil menatap waspada ke arah laki-laki yang pernah menjadi kekasihnya itu.

Arjo terkekeh, "Semua tentang dirimu aku tahu. Itu karena aku masih
menganggapmu sebagai kekasihku. Isah, aku tahu kamu pasti akan melewati jalan ini. Aku menunggumu di sini karena aku ingin kita jadian kembali," kata Arjo sambil maju selangkah ke arah Isah.

"Nak Arjo sebaiknya pulang. Hari sudah hampir petang. Ibu dan Isah juga harus segera
tiba di rumah sebelum malam tiba," kata Bu Surtini sembari menggenggam tangan putrinya.

"Maaf, bu. Sebelum putri ibu mengatakan iya, saya tidak akan membiarkan kalian lewat. Isah, tolong jawab iya," tukas Arjo sembari menatap ke arah Bu Surtini kemudian ke Isah.
"Kalau saya mengatakan tidak, bagaimana, mas Arjo? Kami belum selesai berduka. Tolong hargai saya." Isah menatap tajam ke arah Arjo seraya berbicara dengan nada tegas.

Arjo terkekeh kemudian maju semakin dekat ke arah Isah dan Bu Surtini.

"Artinya kalian tidak akan bisa
pulang sampai kamu berubah pikiran, sah!" Arjo mengangkat tangan kemudian mencengkeram dagu Isah.

"Singkirkan tanganmu dari anakku, dasar tidak sopan!" hardik Bu Surtini seraya menampar tangan Arjo yang menggenggam dagu Isah.

Tampaknya tamparan Bu Surtini membuat Arjo naik
darah. Tanpa tedeng aling-aling, mantan kekasih Isah tersebut menyerang Bu Surtini dengan tendangan.

Akibatnya, Bu Surtini terjengkang ke belakang kemudian jatuh telentang.

"Ibu!" Isah berteriak kemudian ke arah ibunya yang sedang mengaduh kesakitan.

"Abaikan perempuan tua
laknat itu! Lihat mataku, Isah!" hardik Arjo seraya menangkap tangan Isah.

Selanjutnya ia memeluk tubuh perempuan itu dengan kuat.

Isah menjerit-jerit seraya meronta berusaha melepaskan diri.

"Lepaskan aku, mas Arjo! Kamu telah berperilaku tidak sopan kepada ibuku. Kau
bajingan!" teriak Isah sambil terus meronta.

Di saat itu, Isah lantas menendang area terlarang Arjo hingga laki-laki itu melepaskannya kemudian mundur beberapa langkah.

"Bangsat! Kuhabisi juga kau!" Arjo yang sudah kesetanan lantas menyambar Isah kemudian memelintir tangannya
ke belakang, membuat Isah menjerit kesakitan.

Di saat keadaan genting, tiba-tiba seseorang muncul dan berbicara.

"Jadi itu yang dilakukan oleh seseorang yang mencintai Isah? Omong kosong! Lepaskan dia!"

Arjo lantas melihat dengan marah ke arah orang tersebut.

"Kau orang
gila, tidak perlu ikut campur atau kau akan kubikin gila benaran!" balas Arjo tanpa melepaskan Isah.

"Aku memang gila tapi aku bukan bajingan!" ucap orang yang ternyata adalah Budi.

Arjo tersulut amarahnya mendengar kata-kata Budi. Ia kemudian melepaskan Isah selanjutnya
menyerang Budi.

"Mas Budi, hati-hati!" teriak Isah kemudian menghampiri ibunya yang masih terduduk di atas tanah.

Arjo dan Budi pun bergumul berusaha saling mengalahkan. Keduanya saling hantam hingga babak belur.

Saat Budi terpojok, Arjo mencabut pisau dan menghujamkannya
ke leher Budi. Namun, Budi dapat menahan serangan Arjo ketika ujung pisau tinggal sesenti lagi mencapai lehernya.

Budi menahan tenaga Arjo sekuat tenaga karena tampaknya lawannya itu ingin menghabisinya segera.

"Kau akan mati hari ini, dasar orang gila!" Arjo mendorongkan
pisau sekuat-kuatnya.

Mendadak Budi bergulir kemudian menepis pisau hingga berbalik ke kerongkongan Arjo. Pisau pun menancap di kerongkongan laki-laki yang tengah bernafsu untuk menghabisi Budi.

'Grrkkkkkk'

Suara kerongkongan terputus terdengar saat mata pisau semakin dalam
menembus leher Arjo.

Budi melompat mundur kemudian menatap terbelalak ke arah Arjo yang sedang sekarat.

"Aku membunuhnya?!" pekiknya panik sambil menatap kedua telapak tangannya.

Arjo pun terbunuh di tangan Budi setelah perkelahian di hadapan Isah dan ibunya tersebut.
Mantan kekasih Isah tersebut terbujur bersimbah darah dengan pisau yang masih menancap di lehernya. Pisau tersebut masih menancap ketika jasad Arjo dibawa ke rumah sakit.

Sementara Budi terbebas dari jeratan hukum mengingat ia hanya ingin membela diri maupun orang yang sedang
terancam.

Hingga suatu hari kemudian di depan sebuah pos ronda, Isah menatap sayu ke arah Budi yang telah menggendong sebuah tas besar.

"Jadi mas Budi benar-benar akan pergi?" tanya Isah.

"Aku di desa hanya seorang pengangguran yang bergantung pada sumbangan warga. Mulai
hari ini, aku buang kebiasaan itu. Aku harus kerja agar nanti istri dan anakku tidak kelaparan," tukas Budi sambil tersenyum.

"Jaga dirimu baik-baik, Isah. Aku akan pergi mengadu nasib di kampung orang. Selamat tinggal." Setelah berkata demikian, Budi berlalu meninggalkan Isah.
Isah menatap kepergian Budi dengan perasaan seperti disayat-sayat. Dalam hati ia mendoakan semoga Budi sukses dalam perantauannya.

~~TAMAT~~

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Acep Saepudin

Acep Saepudin Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @acep_saep88

25 Aug
- KOTA MISTERI DI LINGKUP HUTAN -
Cerita ini akan mengetengahkan perjalanan Johan dan kawan-kawan di tengah kota terpencil. Selamat membaca.

Pict. source : Google
@ceritaht #ceritahorortwitter @bagihorror @WdhHoror17 #bagihoror #wdhhoror #ceritamisteri @IDN_Horor
Cerita ini merupakan kelanjutan yang seharusnya dari cerita berjudul "Paninggaran". Cerita akan berfokus pada Johan dan Lidya yang setelah berhasil menghindari kejaran makhluk-makhluk penunggu Taman Ramayana, berhasil mencapai kota yang dinamakan Warung Kiara.
Cerita dimulai sebelum Johan dan Lidya diganggu sosok negatif di kota tersebut yang bernama Salasatri.

Johan saat itu menghentikan laju mobilnya saat tiba di depan sebuah bangunan tua terbengkalai berbentuk seperti pendopo.
Read 88 tweets
4 Jul
Sebuah Thread

- Pasukan Sirah Domba -

Mereka muncul dari balik gelapnya sebuah kebun misterius. Sepasukan makhluk halus yg haus darah muncul meneror desa.

Pict source : Google

@bagihorror @ceritaht @WdhHoror17 @horrornesia #CeritaHororTwitter #ceritahoror
Malam itu di suatu desa yang berlokasi tidak jauh dari hutan lebat. Tampak dua orang laki-laki sedang berbicara satu sama lain sambil celingukan.

"Pak Usup jangan bilang-bilang ke warga soal hal ini agar tidak ada kepanikan massal. Desa ini bisa bertahan karena apa yang
janggal yang terjadi selalu kita rahasiakan. Termasuk fakta perkebunan sawit yang tidak diketahui siapa pemiliknya ini," ucap laki-laki pertama.

Pak Usup menatap nyalang ke arah lawan bicaranya itu. Ia menghela nafas.

"Pak Nasrun, desa ini berdiri berkat sesepuh kita, Abah
Read 223 tweets
6 Jun
- MENCOBA PULANG -

Sebuah cerita fiksi tentang Perang Dunia Pertama.

Jika pernah membaca cerita Paninggaran, maka inilah lanjutannya... Cerita akan berfokus pada Johan yang tertinggal di Hellberg bersama masa suram itu...

#ceritaaksi #ceritaperang #fiksi Image
Parit pertahanan Hellberg dalam kondisi kacau balau. Para tentara berlarian di antara ledakan artileri dan berondongan senapan musuh.

Asap mengepul di beberapa titik. Kendaraan-kendaraan lapis baja merangsek ke arah pertahanan musuh yang sedang melonggar.
“Tetap di posisi!” Teriakan komando bergema di udara.

Blarrrrr

Ledakan artileri kembali membuncah mengenai apa saja yang berada dalam jangkauannya.
Read 131 tweets
14 May
SANG PEJALAN MALAM (REMAKE)

Kenapa remake? Karena versi pertama thread-nya tidak berurutan bikin pembaca pusing. Skrg sudah diperbaiki...

@bacahorror @deffrysrc @ceritaht #bacahorror #ceritahoror
Pemuda itu bernama Andre. Ia sedang berusaha tidur meski kedua matanya susah terpejam.

Sebabnya suatu suara ketukan selalu membuatnya terjaga. Suara ketukan pelan di pintu belakang rumahnya itu masih saja terdengar.
Jam dinding telah menunjukkan pukul 00.00.
Siapa gerangan di tengah malam begini yg mengetuk-ngetuk pintu?
Bukan kali ini saja ia mendengar ketukan di tengah malam. Di malam-malam sebelumnya pun acap kali terdengar suara ketukan itu.

Itu sering terdengar sejak ia menempati rumah bekas tempat tinggal bibinya tersebut.
Read 187 tweets
10 Apr
- KETAKUTAN MIRA : MEREKA IKUTI DIA -

Sebuah cerita horor. Jngn berharap real story kecuali anda ingin saya doakan benar2 alami yg horor2. Peace :p
#bacaceritahoror #ceritaht #fiksihoror #ceritahorror
Pagi itu di suatu sekolahan menengah atas. Suatu perkelahian terjadi antara dua siswi SMA di lapangan basket dekat lapangan upacara.

"Dasar psikopat! Kau bunuh mereka semua!" teriak siswi pertama berambut dikuncir belakang dengan seragam tertutup jaket.

"Terus saja ngomong!
Memangnya kau pikir aku benar-benar melakukannya! Mereka semua terperangkap di kota itu!" balas siswi yang menjadi lawannya yang berambut panjang tergerai acak-acakan.

"Alasan saja, kau psikopat!" teriak siswi pertama seraya melancarkan pukulannya yang telak mengenai dagu lawan
Read 209 tweets
9 Jan
Kota S, di mana sekarang salah seorang tokoh dari cerita sebelumnya berada. Di sebuah rumah bercat putih yang dikelilingi pagar tembok berwarna putih juga, Rina sedang mengepel lantai.

Maklum saja beberapa hari ini asisten rumah tangganya sedang pulang kampung. Otomatis ia harus
mengerjakan rutinitas sehari-hari.

Belakangan ini, Rina sudah tidak lagi bekerja di puskesmas Desa Kayu Jati setelah mengalami peristiwa Dewi Lajer. Ia ingat betul bagaimana sosok nenek tersebut membawanya ke suatu tempat antah-berantah yang disebut PANINGGARAN.
Read 459 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!