"Pejabat korup" dianggap pasti merugikan negara, "pejabat bersih" dianggap pasti menguntungkan negara.
Bagi dia, "pemimpin muslim" pasti diridai Allah dan "pemimpin kafir" itu tidak diridai Allah.
1. Kalau pejabatnya korupsi, pasti proyeknya nggak jalan
2. Asal pejabatnya nggak korupsi semua proyek [khususnya pembangunan dan pengadaan] di bawah pengawasan dia pasti lancar dan beres
Kenapa birokrasi tebal? Orang awam jawab, "Ikut prosedur." Ada benernya; tapi, faktor yang lebih ngaruh: individu takut disalahin kalo proyek gagal.
Orang Indonesia itu malas, lambat, pengecut, dan sungkanan. Nggak gerak kalau nggak dipecut atau diiming-imingi. Masalahnya, kalau kamu mecut bawahan, kamu dikudeta.
Proyek amburadul, bisa masuk penjara—walaupun nggak ada uang yang masuk kantong.
Bahwa mereka punya porsi keserakahannya, iya. Bahwa terkadang mereka songong dan kelakuannya ngeselin, iya.
To some, they are "heroes".
Mereka itu makan [sebagian besar] uang investor dan uang korporasi. Pajak dari "rakyat" (orang berpenghasilan 1/2 SU sebulan) itu cuma receh.
Saat itu pemberantasan korupsi masih—dan sangat—relevan. Di masa itu, para "entrepreneur" nggak tahu diri dalam mematok "biaya jasa".
Tapi, menggebuk "entrepreneur berjasa" itu mirip kayak "membuang SDM unggul dari pemerintahan Indonesia".
Para "penasihat" KPK berharap bisa mengingatkan para "entrepreneur" biar, dalam bisnis, mereka nggak kelewatan mencari untung.
Enggak. Gue pas kuliah merasa aktif—atau setidaknya terlibat—sebagai legislatif dan eksekutif BEM kampus. Cuma, makin banyak gue tahu, makin banyak pertimbangan.
Analoginya gini: Bayangin pas lo kuliah, temen lo ada yang sidang skripsinya ketunda, terus lo mergokin dia di kamar kosannya nyabu gara-gara stres. Lo ngapain?
Kalo mau "pengertian" (kayak RUU KPK), lo konfrontasi dia, minta dia berhenti nyabu, temenin nyelesaiin skripsi, ajak terapi kalau perlu.