, 22 tweets, 5 min read Read on Twitter
Nah itu baru pertanyaan sulit. Di mata orang yang awam bisnis-dan-birokrasi [termasuk mahasiswa-pada-umumnya], cuma ada dua jenis pejabat: "pejabat korup" dan "pejabat bersih".

"Pejabat korup" dianggap pasti merugikan negara, "pejabat bersih" dianggap pasti menguntungkan negara.
Pandangan hitam-putih itu, gue usahain analogikan, mirip seorang penduduk dari pinggiran kabupaten yang "Islam banget" dan menganggap bahwa orang itu cuma ada dua: "kafir" dan "muslim".

Bagi dia, "pemimpin muslim" pasti diridai Allah dan "pemimpin kafir" itu tidak diridai Allah.
Mahasiswa-pada-umumnya juga hitam-putih dalam memandang "korupsi". Mereka menganggap bahwa:

1. Kalau pejabatnya korupsi, pasti proyeknya nggak jalan
2. Asal pejabatnya nggak korupsi semua proyek [khususnya pembangunan dan pengadaan] di bawah pengawasan dia pasti lancar dan beres
Kenapa ada korupsi? Orang awam jawab, "Karena pejabat serakah." Ada benernya; tapi, faktor yang lebih ngaruh itu: birokrasi tebel.

Kenapa birokrasi tebal? Orang awam jawab, "Ikut prosedur." Ada benernya; tapi, faktor yang lebih ngaruh: individu takut disalahin kalo proyek gagal.
Korupsi adalah {wow Okihita back as mahasiswa-kajian-BEM-antikapitalis would never believe this} oli pembangunan.

Orang Indonesia itu malas, lambat, pengecut, dan sungkanan. Nggak gerak kalau nggak dipecut atau diiming-imingi. Masalahnya, kalau kamu mecut bawahan, kamu dikudeta.
Tanpa iming-iming [yang biasanya duit—tapi bisa juga saham atau aset], para petinggi/eksekutor nggak berani mengiyakan proyek-proyek "besar", karena risikonya tinggi dan banyak hal yang bisa keliru.

Proyek amburadul, bisa masuk penjara—walaupun nggak ada uang yang masuk kantong.
Karena itu untuk menyukseskan "pembangunan" (mis. jaringan telepon, gedung perkantoran, mal, universitas, jalan layang, taman hiburan, klinik, perpustakaan, bandara, pasar, pabrik baja, tempat pelelangan ikan) dibutuhkan para "wirausahawan" yang cekatan dan berani ngambil risiko.
Para "entrepreneur" ini umumnya kompeten. Paham lapangan, peraturan, dan berbagai siasat di wilayah bisnisnya. Udah terlatih sebagai kader partai, pebisnis, atau keduanya.

Bahwa mereka punya porsi keserakahannya, iya. Bahwa terkadang mereka songong dan kelakuannya ngeselin, iya.
But they—the "entrepreneurs"—get things done. Tidak seperti "birokrat pemain-aman" mroses izin 4 tahun karena takut ada salah-salah, para "entrepreneur" ini bisa memberi izin dalam 6 bulan dan tau harus ngapain kalau di tengah pelaksanaan ada masalah.

To some, they are "heroes".
Salah paham terbesar orang awam—termasuk mahasiswa—dalam melihat "korupsi" adalah ngira para entrepreneur ini "makan uang rakyat". Salah.

Mereka itu makan [sebagian besar] uang investor dan uang korporasi. Pajak dari "rakyat" (orang berpenghasilan 1/2 SU sebulan) itu cuma receh.
Kalau KPK, tanpa pandang bulu, nangkepin para "entrepreneur" ini, dikhawatirkan nanti yang tersisa adalah para birokrat lambat goody-two-shoes, yang kerja cuma datang-absen-pulang, yang nggak berani ngambil terobosan, yang sungkanan kalo mau ngebentak anak buah yang kerja lambat.
Itulah kenapa Bang Moeldoko sampai bilang "KPK bisa menghambat upaya investasi". Bagi dia [dan para pengamat pembangunan lainnya], "korupsi" bukan sesuatu yang hitam-putih, salah-benar.

Tiap kasus "korupsi" harus dilihat kontekstual. Lebih nguntungin rakyat atau lebih ngerugiin?
KPK dibentuk tahun 2002, ketika Indonesia baru aja lepas dari korupsi puluhan tahun Pak Soeharto. Walaupun dia lengser, budayanya tetap bertahan.

Saat itu pemberantasan korupsi masih—dan sangat—relevan. Di masa itu, para "entrepreneur" nggak tahu diri dalam mematok "biaya jasa".
17 tahun berlalu. Ribuan kasus diselesaikan. Para "entrepreneur" yang nggak tau diri sudah digebuk, dan para calon-penerusnya dibuat takut.

Di 2019, yang tersisa adalah "entrepreneur tahu diri". Iya, mereka dapat "komisi", tapi jasa yang mereka berikan juga sepadan—bahkan lebih.
Tentu saja bakal terus ada "entrepreneur nggak-tahu-diri" yang mencoba peruntungan dan mengesampingkan kepentingan rakyat. Mereka harus tetap dicegah—dan digebuk kalo perlu.

Tapi, menggebuk "entrepreneur berjasa" itu mirip kayak "membuang SDM unggul dari pemerintahan Indonesia".
RUU KPK—secara umum—berharap supaya para staf KPK nggak langsung menyadap, menjebak, menangkap, dan memenjarakan para "entrepreneur" tanpa pandang bulu.

Para "penasihat" KPK berharap bisa mengingatkan para "entrepreneur" biar, dalam bisnis, mereka nggak kelewatan mencari untung.
Sebenernya ya, di belakang panggung, para elite Indonesia—kapolres, petinggi partai, direktur BUMN, pemilik pabrik, ulama, staf DPRD, pengembang mal, deputi KPK—itu saling kenal dan temenan juga—serta saling mengingatkan supaya dalam berbisnis nggak sampai merugikan orang banyak.
"Waaa, Okihita ini pasti kader partai sejak kuliah, makanya nggak punya idealisme dan jadinya permisif sama korupsi."

Enggak. Gue pas kuliah merasa aktif—atau setidaknya terlibat—sebagai legislatif dan eksekutif BEM kampus. Cuma, makin banyak gue tahu, makin banyak pertimbangan.
"Emang apa sih yang 'salah' dari metode KPK saat ini, sampai perlu 'dilemahkan'? Justru harusnya dikasih kuasa lebih!"

Analoginya gini: Bayangin pas lo kuliah, temen lo ada yang sidang skripsinya ketunda, terus lo mergokin dia di kamar kosannya nyabu gara-gara stres. Lo ngapain?
Kalo mau "taat hukum" (kayak KPK sekarang), harusnya lo cari jadwal dia nyabu, videoin dia diem-diem terus laporin polisi biar dia dipenjara.

Kalo mau "pengertian" (kayak RUU KPK), lo konfrontasi dia, minta dia berhenti nyabu, temenin nyelesaiin skripsi, ajak terapi kalau perlu.
Opini gue, RUU KPK secara umum mau: (1) memastikan "entrepreneur berjasa" enggak kena gebuk dan bisa terus melancarkan pembangunan; (2) mengutamakan "pencegahan dan penyadaran" ketimbang "penjeblosan dan pemiskinan".

RUU KPK ingin membawa KPK dari "Lawful Evil" ke "Lawful Good".
Sebenernya bisa aja Bang Fahri jelasin semua ini ke mahasiswa pendemo. Tapi, dilemanya mirip kayak ngajar biologi di depan kelas TK, terus ditanya, "Kak, bayi asalnya dari mana?"

Menurut gue itu kenapa dia trolling doang di depan perwakilan mahasiswa demo—nggak nanggepin serius.
Missing some Tweet in this thread?
You can try to force a refresh.

Like this thread? Get email updates or save it to PDF!

Subscribe to 谜智 Okihita Sihaloho
Profile picture

Get real-time email alerts when new unrolls are available from this author!

This content may be removed anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!