"Nan, bentar lagi Pak Andi keluar rumah nih." Ucap Putra sembari melihat jam tangannya.
Putra tertawa lirih, "Habis dia keluar rumah, langsung tiduran di terasnya, macam orang kepanasan." Ucap Putra lebih lanjut.
"Klek."
Bunyi pintu terbuka dari seberang rumah sukses membuyarkan fokus gue dari game moba analog yang sedang gue mainkan.
Pak Andi bertelanjang dada tanpa baju, namun masih menggunakan kain sarung untuk menutupi sebagian tubuhnya.
Dengan menggunakan potongan kardus, dia mengipas-ngipas pada wajahnya, seperti orang kepanasan.
Gue heran, padahal malam ini lumayan dingin.
Putra hanya tertawa, "Gue ceritain sebuah kisah, Nan."
Dengan segelas kopi hitam dan sebungkus rokok, gue mulai mendengarkan kisahnya.
Mulai saat ini pakai sudut pandang Putra ya.
Sepuluh tahun yang lalu, gue dan keluarga pindah dari desa ke sebuah kota kecil di pulau Jawa.
Awalnya kita hanya mengontrak disebuah rumah kecil di pinggir jalan.
"Assalamualaikum." Terdengar suara seseorang dari luar rumah.
"Waalaikumsalam." Jawab kami sekeluarga sembari berjalan ke teras rumah.
Bapak mengangguk, "Oh iya pak, Saya Bapak, ini Ibu dan ini kedua anak saya, Putra dan Dani."
"Baru kelas 3 SD, Bude." Jawab Dani.
"Anak saya mah sudah pada besar, bahkan udah ada yang nikah." Seloroh Bu Asih perihal anak-anaknya.
"Iya." Kata Bapak dan Ibu bebarengan.
"Kalau gitu waktu Bapak sama Ibu kerja, si Dani titipkan sama saya aja, Bu." Tawar Bu Asih.
Semakin hari kami semakin dekat dengan keluarga mereka. Bahkan Ibu dan Bapak telah menganggap Pak Andi dan Bu Asih sebagai orang tua kedua mereka.
Semakin lama, ekonomi kita semakin baik dan bapak berkeinginan untuk membeli tanah dan membangun rumah.
"Pak, saya mau menjual tanah nih." Tawar Pak Mul.
"Tanah yang di depan rumah Pak Andi itu?" Tanya Bapak dan dibenarkan oleh Pak Mul.
"Kalo Bapak bersedia membeli tanah ini dengan harga yang lebih tinggi, lebih baik saya jual ke Bapak saya." Lanjutnya.
Beberapa bulan kemudian, berdirilah sebuah rumah yang hingga kini gue tempati. Rumah yang sebelumnya diidam-idamkan oleh kami sekeluarga.
Namun dari sini petaka itu muncul.
Karena faktor capek, akhirnya gue memutuskan untuk masuk ke kamar dan berniat untuk tidur siang.
"Kenapa, Mah?" Tanya gue dengan malas.
Gue bingung. "Lah tadi bukannya mamah yang lagi nonton TV kan?" Selidik gue.
Kini Ibu yang memasang muka bingung, "Lah mamah aja habis dari rumah Bu RT."
Lho tadi siapa dong?
Jadi keanehan yang terjadi adalah sosok yang menyerupai gitu. Jadi mereka bisa menyerupai gue atau menyerupai Ibu gitu.
"Bentar ya." Ucap Ibu sedikit berteriak dari dalam kamarnya dan berjalan menuju depan rumah untuk membuka pintu.
"Lah kamu Put, Ibu kira siapa." Ucap ibu kepada gue (yang palsu).
Namun gue (yang palsu) hanya diam, tidak mengucapkan sepatah kata dan bergegas menuju ke dalam rumah.
Disaat ibu sedang menutup pintu, gue (yang asli) baru pulang.
"Mah." Kata gue sambil lari dan sedikit berteriak.
"Iya Bu, emang kenapa?" Tanya gue balik.
"Lho yang tadi siapa?" Ungkap Ibu sambil menunjuk ke dalam rumah.
Tapi kami tidak menggubrisnya, kami hanya selalu berfikir jika hal seperti itu wajar terjadi pada rumah yang baru dibangun.
"Bu, semenjak saya tinggal disini kok seperti diganggu mulu ya." Curhat Ibu pada saat itu.
"Wajar jeng, kan belakang rumah ibu ada kuburan." Celoteh Bu Asih.
"Lagian kan disitu memang terkenal angker dari dulu, Bu." Ucap Pak Andi mengikuti pembicaraan.
Sehabis itu Ibu belum berfikir macam-macam, mungkin yang dikatakan Pak Andi dan Bu Asih itu memang benar. Toh di tempat ini memang dulunya terkenal angker, batin Ibu.
Ibu menderita sebuah penyakit kulit, bahkan diwajahnya terdapat tonjolan-tonjolan kecil.
Akhirnya gue membawa Ibu ke rumah sakit untuk memeriksa penyakit apa yang diderita oleh Ibu.
"Dok, Ibu saya sakit apa ya?" Tanya gue kepada dokter sesaat setelah keluar ruangan.
Dokter hanya menggaruk tengkuknya, "Setelah saya periksa dan uji darah, ibu tidak memiliki penyakit apapun." Ucap Dokter.
Aku hanya bengong mendengar penjelasan dokter. Bagaimana bisa ibu tidak terjerat penyakit apapun, sedang terdapat benjolan pada wajahnya.
Dokter selalu mengatakan jika Ibu tidak sakit apapun, harapan kepada medis selalu tidak menunaikan hasil.
"Gimana kabarnya, Bu?" Tanya Bu Asih.
"Ya gini-gini aja, Bu." Ucap Ibu lemah.
"Memang kenapa awalnya, Bu?" Kali ini Pak Andi yang bertanya.
"Kurang tau saya juga, Pak." Jawab Ibu lagi.
Ibu semakin bingung, mengapa akhir-akhir ini Pak Andi dan Bu Asih selalu mengait-ngaitkan penyakit yang di deritanya dengan rumah yang baru ini, aneh sekali, batin Ibu.
Apa-apaan nih, apa mereka tidak terima jika Pak Mul menjual tanahnya kepada kami? Atau mungkin bisa saja mereka kesal, karena tanah ini sudah diincar oleh mereka sejak dulu, batin Ibu.
Namun Ibu belum berfikir negatif kepada mereka pada saat itu.
Waktu itu sudah jam 1 malam, tiba-tiba Pak Andi keluar dari rumahnya.
Namun ada yang aneh dengan perilaku Pak Andi malam itu.
Aneh kan? Ngapain malam-malam jam 1 dia nyapu halaman rumah?
Selagi dia menyapu, matanya melirik-lirik ke arah rumah gue, seakan-akan menelusuri kegiatan yang ada didalamnya.
Lalu dia berjalan menuju rumah gue dan kemudian melempar barang yang sebelumnya dipungut itu ke halaman rumah gue.
Setelah itu dia kembali berjalan dan masuk ke dalam rumahnya.
Pada saat itu gue melihat jika benda tersebut adalah sebuah Paku berkarat yang dililit oleh tali.
Gue gak tau itu tujuannya buat apa, cuma ngapain dia ngelempar ke rumah gue?
Pas paginya setelah gue bangun, gue mencoba mencari barang itu dan ternyata sudah tidak ada. Hilang.
Sakedap nya, aing rek meuli pulsa heula di hareup.
Sedelo yo, aku tumbas pulsa sek nang ngarep yo.
Sebentar ya, gue beli pulsa dulu di depan.
Wait a minute, I want to buy pulsa on minimarket.
"Wah ini mah ada yang ngirim, Bu." Kata Paman.
"Ngirim gimana?" Tanya Ibu bingung.
"Ada yang gak suka sama Ibu, makanya ada yang ngirim penyakit sama Ibu." Jelas Paman.
"Nah, menurut Pakde sih, ini bukan orang jauh kok." Ucap Paman yang diamini oleh gue.
"Iya sih, Bu. Cuma aneh aja, masa ibu sakit begini, tapi kata dokter malah ibu gak sakit apa-apa. Ya aneh jadinya." Ucap gue.
"Yowes, biarin Ibu istirahat dulu." Kata Paman sembari mengajak gue untuk keluar kamar Ibu.
"Kamu kenapa yakin kalo itu kiriman, Put?" Tanya Paman.
"Soalnya aku kemarin malem liat salah satu tetangga itu buang sesuatu di halaman rumah, Pakde." Ungkap gue mengingat kejadian malam itu.
"Kayak Paku dililit benang gitu. Tapi pas pagi harinya aku cek, benda itu udah gak ada." Ucap gue.
"Wah berarti benar, ini memang kiriman." Ungkap Paman dengan mengepalkan tangan.
"Bu, besok kita adakan pembersihan ya." Ujar Paman kepada Ibu
Ibu hanya mengangguk, "Yaudah, kalo memang ini kiriman, kita bersihkan saja." Ibu menyetujui ide Paman.
Aku, Paman, Ibu, dan Bapak berada disebuah ruangan. Sedangkan Dani diungsikan terlebih dahulu ke rumah saudara.
Semua lampu dimatikan, hanya ada penerangan lilin dihadapan kita berempat.
"Pak, nanti kalo saya berbuat aneh, cukup pegangi yg kencang saja ya." Kata Paman kepada Bapak.
"Gubrak."
Gue membuka mata setelah terdengar bunyi gubrakan. Dalam kegelapan, gue bisa melihat Ibu yang juga memejamkan matanya.
"Gubrak."
Seketika gue melihat ke arah lemari. Lemari itu bergoyang perlahan, menimbulkan bunyi gedebak-gedebuk dari sana.
Gue mendengar Ibu masih bersholawat, walau beliau memejamkan mata.
Paman terlihat bergerak, namun segera dipegangi oleh Bapak. Melihat hal itu, gue menarik tangan Ibu supaya menghindar.
Dan benar paman melakukan gerakan-gerakan silat.
"Wes Pak, Paman lagi tarung itu." Ucapan gue membuat Bapak melepaskan pegangannya. Namun tetap menjaga Paman supaya tidak membentur tembok.
Ada juga aungan harimau yang entah darimana suara itu berasal.
Aku, Ibu dan Bapak hanya bisa membantu doa pada saat itu.
"Nyalain lampu dan buka lemarinya." Perintah Paman kepada gue dan Bapak.
Kami menuruti perintah Paman, dan kalian tahu? Lemari yang sebelumnya kosong, kini penuh terisi barang-barang yang entah darimana asalnya.
"Astahfirullah." Ucap kita bertiga beristigfar.
"Tapi gak papa, sekarang Inshaallah udah aman." Lanjut Paman.
Ibu menggeleng, "Udah gak usah, biar Tuhan yang membalasnya." Ucap Ibu dengan bijak.
"Yaudah, saya pagari rumahnya ya, seenggaknya bisa menangkal." Kata Paman memberi tahu.
Paman tersenyum, "Saya gak bakal beritahu nama, jika kalian ingin tau, coba saja cari orang yang setiap malam keluar rumah dan dia membuka baju, seperti orang kepanasan."
Malam hari tiba, saat itu gue, Bapak dan Paman sedang menonton TV di ruang keluarga.
"Mau lihat orang yang ngirim?" Tanya Paman yang diangguki oleh kita berdua.
"Tuh liat." Suruh Paman kepada kita.
Gue melihat, disana Pak Andi sedang diteras rumahnya dengan bertelanjang dada. Dia juga mengipas-ngipasi wajahnya dengan kipas.
"Bapak belum percaya saja kalo yang melakukan itu keluarga Pak Andi. Padahal mereka telah Bapak anggap sebagai orang tua sendiri." Ucap Bapak dengan sedikit sedih.
Gue hanya mengelus pundak Bapak pada saat itu.
Bapak mengangguk.
"Nah dari situ aku yakin kalo Pak Andi pelakunya." Lanjut gue.
Gue dan Bapak mengangguk.
"Masih ingatkan waktu Dani sunat itu dia rewel banget, badannya juga panas?" Tanya Paman.
Kita berdua mengangguk kembali.
"Padahal waktu paman di jalan, angin saja tidak ada." Lanjut Paman.
Gue dan Bapak menggeleng.
"Acara hari itu diganggu oleh Pak Andi. Dia sengaja membuat kacau acara sunatan pada hari itu, dengan mendatangkan angin yang terasa hanya disekitar rumah kalian." Jelas Paman lagi.
"Memang kenapa sampai keluarga Pak Andi berbuat demikian?" Tanya Bapak.
"Apa karena dia mengincar tanah ini?" Selidik gue.
Paman menjentikan jari, "Iyap, benar."
"Mereka merasa bahwa seharusnya keluarga dia yang berhak membeli tanah ini." Lanjutnya.
"Apalagi dengan kesuksesan Bapak dan warung kalian yang semakin laris manis semenjak pindah kesini, membuat mereka iri kepada kalian." Lanjutnya panjang lebar.
*FLASHBACK OFF*
"Jadi, sekarang dia menanggung perbuatannya dengan rasa kepanasan setiap malam?" Tanya gue yang diangguki oleh Putra.
Putra mengangguk, "Iya, karena setiap dia mengirimkan lagi hal itu, pasti selalu gagal. Dan ujungnya kembali lagi ke dia akibatnya."
Tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul tiga pagi. Soalnya emak gue pesen, jangan pulang malem-malem, yaudah gue balik subuh aja, gitu.
Sampai ketemu lagi, Nan.