Setiap pembangunan, pasti ada tumbalnya. Entahlah, tapi sepertinya benar.
@bacahorror #bacahorror
Foto : Google.
Setelah puas memotret beberapa penguasa pantura itu, gue melangkahkan kaki menuju loket bus yang akan gue tumpangi malam ini.
Lelaki bername tag Jake itu mengecek komputernya, "Oh iya, pesanan atas nama Rizz, satu tiket jurusan rumah mantan ya." Ucapnya sembari menyodorkan selembar tiket.
Setelah menemukannya, gue menaiki kendaraan roda enam tersebut.
"Her, ngko jemput nang prapatan yo, aku wis nunggang bis kie." (Her, nanti jemput di prapatan ya, gue udah naik bis nih) Gue menulis pesan kepada salah satu teman kampung yang bernama Heru.
"Jam loroan lah, angger ra keno macet." (Jam duaan, kalo enggak kena macet) Jawab gue kemudian.
Sepanjang perjalanan, pikiran gue hanya ingin cepet-cepat sampai kampung, kenapa ya setiap lagi mudik pasti pemikirannya kayak begitu 🤣
Setelahnya, gue dikerubungi oleh beberapa tukang ojek yang menawarkan jasanya. Namun gue menggelengkan kepala.
"Hoy." Ucap gue sembari berjalan ke arahnya. "Wes sue tah nunggune?" (Udah lama nunggunya?) Tanya gue kemudian.
Gue langsung menaiki motor matic miliknya, "Arep langsung balik opo baturaden sek?" (Mau langsung pulang apa ke baturaden sek?) Tawar gue.
Angin dingin persawahan mulai menyambut kami. Bulan purnama menemani perjalanan menuju rumah tempat kelahiran gue.
Bahkan gue pernah berfikir, apakah orang kota dapat merasakan suasana ketenangan seperti ini?
"Her, mandeg sit. Ndeleng-ndeleng jembatan ki apik ketone." (Her, berhenti dulu. Liat-liat jembatan bagus nih kayaknya) Pinta gue kepada Heru.
Gue tidak menghiraukan ucapannya, pandangan mata ini masih tertuju pada sesuatu yang bergantung itu.
Akhirnya kita melanjutkan perjalanan pulang, namun ada yang berbeda. Heru tidak banyak omong seperti sebelumnya. Entahlah.
"Suwun ya, Her." (Makasih Her) Ucap gue. "Mampir disit apa ora?" (Mampir dulu apa enggak?) Tawar gue.
"Rausah, langsung balik bae." (Gausah, langsung pulang aja) Jawab Heru.
Gue mengangguk, "Yoweslah, koe ati-ati baline." (Yaudah lo baliknya hati-hati)
"Iya." Kata Heru dengan melajukan kendaraannya.
"Asu, malah kemutan bae." (Asu, malah kepikiran mulu) Umpat gue kesal.
Akhirnya, gue memutuskan sholat subuh dan tak begitu lama, gue tertidur diatas sajadah bekas gue bersujud kepada Tuhan.
"Balik kapan koe, Riz?" (Balik kapan lo, Riz) Tanya salah satu temanku, Ilham namanya.
"Wes sue koe ra balik ya, ujarku wis kelalen karo dewek." (Udah lama lo gak pulang, gue kira udah lupa sama kita) Celoteh sang tuan rumah, si Roni.
Sore itu kami berbincang-bincang, melepas rindu setelah sekian lama tidak berkumpul seperti ini.
"Yowes lah, lagian wes suwe dewek ra nongkrong nang kana." (Yaudah, lagian udah lama gak nongkrong disana) Tutur Ilham.
"Sore-sore ngene, angine pancen gede." (Sore-sore gini anginnya memang gede) Ucap gue dalam hati.
Wajah gue terangkat, melihat ke sisi jembatan yang lain. Gue sedikit syok, namun mencoba tenang.
Setelah gue berhasil mengingatnya, gue yakin bahwa pohon itu ada di tempat gue berpijak saat ini. Kok sekarang sudah tidak ada?
"Aneh, padahal tadi malam gue liat pohon ini masih ada." Gue bermonolog.
"Ah mungkin ditebang pagi tadi." Gumam gue.
Gue mendekat kepada pohon itu, memeriksa bekas potongannya, namun terasa janggal kembali.
Gue melamunkan hal semalam, tapi rasanya gue tidak halu. Gue benar-benar melihat pohon itu.
"Rapopo Ham." (Gapapa ham) Jawab gue dengan geleng-geleng kepala.
"Aja bengong, ngko kesambet." (Jangan bengong, nanti kesambet) Saran dari Ilham yang kemudian gue iyakan.
Dengan menyisakan rasa bingung, gue mengikuti Ilham. Namun sesekali melihat kebelakang, ke arah pohon yang gue lihat masih utuh tadi malam.
"Sisan udude kie." (Sekalian rokoknya nih) Kali ini Roni memberikan gue sebungkus rokok.
"Tumben wes pada tuku kopi karo udud?" (Tumben udah beli kopi sama rokok?) Tanya gue.
"Emang ada apa, Riz?" Tanya Roni kepada gue.
Gue cuma menggeleng, "Gakpapa."
"Weh, ngko mbengi mancing yok." (Wey, nanti malam mancing yuk) Roni membuka obrolan.
Gue setuju mengangguk, sudah lama gue tidak mancing.
"Wes melu bae, Her!" (Udah ikut aja, Her) Ajak gue sedikit memaksa.
"Arep mancing nang ndi, Ron?" (Mau mancing dimana, Ron?) Tanya Heru.
Kali persawahan adalah sebuah sungai lumayan besar yang berada ditengah persawahan.
Memang, dari dulu kerap dijadikan tempat untuk memancing bagi warga desa.
Disetrum adalah sebuah cara mengambil ikan, dengan setrum sebagai medianya. Namun ini dilarang oleh pemerintah.
"Yaudah deh." Jawab Roni. "Kowe piwe?" (Kamu gimana?) Tanya Roni kepada Heru.
"Emm, yoweslah, aku melu." (Em yaudah gue ngikut) Ujar Heru.
"Lah kenapa?" Tanya gue.
"Aku rep jalan disit karo Nana. Ngko bar kue, langsung marani." (Aku mau jalan sama Nana. Nanti habis itu, gue langsung nyusul) Jelas Ilham.
"Ngko jam 10 mbengi, ngumpul sek neng umahku. Bar kui langsung cus." (Nanti jam 10 malam ngumpul di rumahku, habis itu langsung berangkat) Roni memberi ide.
Senja atau sandekala memang indah, namun kita harus buru-buru pulang untuk menunaikan ibadah magrib, karena itu sebuah kewajiban.
"Langsung mangkat wae, ngko Ilham toli nyusul." (Langsung berangkat aja, nanti Ilham pasti nyusul) Ucap Roni yang sedang merakit alat pancingnya.
"Duite ndi cuk?" (Duitnya mana?) Heru menjulurkan tangan, meminta uang untuk membeli apa yang gue perintahkan.
Heru tersenyum, "Yo wes aku tuku." (Yaudah aku beli dulu.)
"Hayuk Riz, mangkat saiki. Ngko mampir warunge mba Anda, sisan jemput Heru." (Ayo Riz berangkat sekarang. Nanti sekalian mampir warung mba Andha, jemput si Heru) Ucap Roni.
"Ilham durung balik sekang ngelencer si Nana, Mba nda?" (Ilham belom pulang dari pacarannya sama si Nana, mba Nda?) Tanya gue ke mba Nda.
Gue turun dari motor dan menghampiri mereka.
"Wah kamu toh Riz, balik kapan?" Tanya mba Andha sambil menyalami gue.
"Lho kie temenan sing bayar si Ilham?" (Ini beneran yang bayar si Ilham?) Tanya mba Andha.
Alhasil, kami bertiga berangkat memancing dengan mengendarai satu motor, seperti terong-terongan.
Bahkan jembatan sepanjang lebih dari 50 meter ini hanya diterangi oleh tiga buah lampu yg remang-remang.
Tempatnya sangat sepi, bahkan lampu di jalan belum mampu menerangi posisi kami berada.
Roni melempar pancing pertamanya. Di susul oleh Heru.
"Woy, sianying goblok."
Teriakan dari belakang, membuat gue menoleh. Dan kita dapati Ilham disana tengah berjalan kemari.
"Salah server woy. Pake basa jawa." Ucap Heru.
"Eh, salah nya, hampura euy." (Eh salah ya, maaf) Lanjut si Ilham.
"Lah aku kan ra ngerti apa-apa, balik ngumah kon bayar udud. Jingan." (Lah gue gatau apa-apa, pas pulang disuruh bayar rokok) Lanjutnya.
"Nih pancingnya." Kata Ilham memberikan gue satu pancingan. Gue menerimanya dan berjalan sedikit menjauhi teman-teman. Berharap dapat ikan di lain tempat.
Heru, Ilham dan Roni pun tak ada yang mengeluarkan satu patah kata. Benar-benar sunyi malam itu. Semua terfokus pada pancingnya masing-masing.
Gue mendekatkan diri kepada Heru yang berada tak jauh dari tempat gue berada.
"Ndeleng apa?" (Liat apa?) Tanya Heru bingung.
"Itu." Gue memberikan kode kepada Heru untuk melihat ke arah jembatan.
"Mbuh. Mulane aku takon meng koe." (Gatau makanya gue nanya ke elo) Jawab gue.
Belum sempat Heru melanjutkan kalimatnya, gue sudah menginterupsinya, "Jangan-jangan apa?"
Heru nyengir, "Jangan-jangan orang iseng yang ngeliat kita mancing." Ujar Heru kemudian sedikit terkekeh.
Karena menurut gue ini sedikit menyeramkan saat ini.
Setelah hampir lima menit sosok itu mulai mendekat ke sisi tempat kita mancing.
"Wonge mereki." (Dia mendekat) Ucap gue pada Heru.
Heru menurut dan terlihat berbincang kepada Ilham. Setelah itu, Heru balik kembali ke tempat gue.
"Ilham ya ndeleng, tp mbuh kae sopo." (Ilham ya liat, tp gatau dia siapa) Jelas Heru.
Tak selang lama sosok itu sudah berada dibawah lampu jembatan. Kini gue melihatnya sedikit jelas ketimbang sebelumnya.
Sosok tersebut seperti mencangking sesuatu ditangan kanannya.
Gue sudah tidak fokus memancing. Kini fikiran gue hanya terpusat pada sosok itu.
Perlahan sosok itu memutar badannya dan terlihat jelas siapa gerangan sosok tersebut.
Gue sudah tidak fokus memancing. Kini fikiran gue hanya terpusat pada sosok itu.
Perlahan sosok itu memutar badannya dan terlihat jelas siapa gerangan sosok tersebut. (Ulang).
"Astagfirullah." Teriak gue, Heru dan Ilham secara bersamaan.
Sedangkan Roni yang berada dibawah, segera berlari menuju kami.
Gue memandang wajah Roni dengan shock, kemudian menunjuk sosok itu dengan tangan, "Kae ndeleng dewek." (Tuh liat sendiri) Titah gue.
Roni menengok, kemudian menutup matanya "Astagfirullah, apa itu?"
Ilham terdengar sedang membaca surat-surat pendek. Begitu juga dengan Heru.
"Kepriwe kie?" (Gimana nih?) Tanya Ilham.
"Arep balik kepriwe, dalan balike bae lewati kae setan." (Mau pulang gimana, jalan pulangnya saja lewatin itu setan) Ucap gue.
Jujur, kita semua sudah tidak tenang pada saat itu, mau pulang tapi harus melewati sosok tersebut.
Roni pun mulai berlari berlawanan arah dari jembatan, melewati kebun warga ditengah pekatnya malam.
Kita berlari hingga sampai ke jalan, nafas kami sudah tak beraturan.
Kami terduduk di pinggiran jalan hampir 5 menit dan tidak ada seorangpun juga yang melewati jalan ini.
Memang sih, jarang yang lewat sini jika sudah tengah malam.
Sebuah suara dari seseorang menyadarkan kami berempat. Gue menengok dan didapati seseorang yang sudah paruh baya sedang mengopi di teras rumahnya.
"Maaf mbah, tadi abis liat setan di jembatan." Kata Ilham mewakili kita semua. "Makanya kita lari kesini." Lanjut Ilham.
"Mancing mbah." Jawab gue.
"Wes ngerti angker, esih mancing nang kono." (Udah tau angker, masih aja mancing disana) Ucap Mbah Tikno lagi.
Kita mengangguk, "Kok iso ngerti mbah?" (Kok bisa tau?).
"Wong aku ya ndeleng sekang kene." (Kan aku liat dari sini) Ucap mbah Tikno sembari tertawa.
"Ro, Roro." Teriak Mbah Tikno ke arah dalam rumahnya.
"Ro, tulung gawekna kopi papat, go cah bagus-bagus iki yo." (Ro, tolong bikinin kopi empat, buat anak bagus ini) Ucap mbah Tikno yang dituruti oleh mbah Roro.
Mbah Roro keluar rumah, "Niki mas diunjuk, entene kados niki tok." (Silahkan mas diminum, adanya begini doang) Tutur mbah Roro.
"Halah, gak popo, sisan mbatiri ngalong mbah Tikno kui." (Halah gapapa. Sekalian nemenin mbah Tikno begadang) Jawab mbah Roro.
Kita sama-sama membisu, penuturan dari tetua desa itu ternyata baru kita tau sekarang ini.
Cita rasa tembakaunya memang pas, mampu menahan gundah yang kini tengah menyelimuti gara-gara mendengar kisah kelam dari sebuah jembatan.
Gue termenung, mengaitkan beberapa kejadian yang sejak kemarin menghantui.
"Wingi pas aku balik dijemput Heru, ana sing aneh." (Kemaren waktu aku pulang dijemput Heru, ada yang aneh) Ucap gue.
"Pas aku balik wengi kie, aku ndeleng ono sing gantung nang wit pinggir dalan." (Pas balik kampung malem itu, gue liat ada yang gantung di pohon pinggir jalan) Gue mulai bercerita.
"Nah iyo, ngapa koe malah langsung banter karo ra gelem mandeg?" (Nah iya, kamu kenapa langsung ngebut dan gamau berhenti?) Tanya gue juga kepada Heru.
"Iyo, mulane aku langsung banter, bar kue meneng, kepikiran kok wite esih ana, padahal wis ditegor." (Iya, makanya gue langsung ngebut, habis itu diem kepikiran tentang pohon itu) Jawabnya.
Mbah Tikno mengangguk, "Iya Ron."
Roni menelan ludah, sedangkan Ilham masih menjadi pendengar yang setia.
Gue dan teman-teman yang lain langsung merinding mendengar penjelasan dari mbah Tikno.
Kini kopi gue sudah dingin dan telah habis setengah.
"Dan semua yg gantung diri itu bukan berasal dari desa kita kan?" Tanya mbah Tikno yang diangguki oleh Ilham dan Heru.
"Warga desa aman-aman saja, namun sebaliknya dengan warga dari desa lain, tempat ini seakan bencana." Masih mbah Tikno menambahi.
"Namun dibalik itu, Jembatan dan Bendungan ini menyimpan misteri bagi kita semua."
"Namun kalian pantas untuk mendengarnya, sebagai pengetahuan bagi kalian tentang jembatan ini." Bijak mbah Tikno.
Tidak terasa hampir 5 jam kami berbincang dengan mbah Tikno, banyak pengetahuan dan asal usul dari desa tempat kelahiran kami.
"We won't be aware till we lose one."
Salam, Nan(a).
Muehehehe 🤣🤣